Bonus Demografi: Tahun Rejeki atau Bunuh Diri?

DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.
09 May 2017

Saya adalah orang yang senang mengamati hal-hal yang berhubungan dengan ‘manusia-manusia kreatif’ – dan kadang saya bandingkan dengan apa yang juga dilakukan orang di negeri sendiri.

Modus pengamatan yang terasik tentunya dengan media elektronik alias televisi. Layar kaca, selain memberi tampilan fakta langsung, juga memuat narasi yang menegaskan impresi pemirsanya.

Sebutlah acara masak memasak. Menarik untuk diamati bahan-bahan pangan yang dipakai hingga berupa makanan jadi, dandanan yang memasak, hingga komentator atau sikap juri jika programnya adalah lomba masak.

Adopsi acara-acara serupa dari stasiun televisi barat kerap membuat saya terpaksa melontarkan komen nyinyir.

Terlepas dari ketidakmampuan membuat tayangan baru yang orisinil, justru kualitas dan kompetensi manusia-manusia yang bermunculan di layar kaca itu terlihat amat mengerikan.

Entah tuntutan stasiun televisinya atau hanya ingin kelihatan ‘eksis’, ujaran-ujaran yang muncul kerap membuat yang tampil kelihatan bodoh dan hanya mengandalkan riasan wajah tebal. Belum lagi cekikikan genit yang tak ada hubungannya dengan konten acara.

Entah sudah ada atau belum, barangkali stasiun televisi perlu membuat survey konten program yang memberi pembedaan antara kualitas dan kuantitas rating.

Rating bicara soal penghasilan dan iklan yang mau mendukung, akibat semakin banyaknya yang menonton.

Program kesehatan hampir-hampir tak punya porsi. Seandainya ada pun, jauh dari kualitas yang bisa mengejar ketinggalan pengetahuan hidup sehat yang sesungguhnya. Padahal televisi adalah media yang paling diikuti masyarakat, selain informasi lewat ponsel.

Di daerah pelosok pun, rumah boleh kumuh atau berlantai tanah, tapi televisi tetap ada di atas bale-bale sederhana atau meja plastik – terhubung dengan stop kontak yang kabelnya menjuntai entah kemana.

Justru yang ada belakangan ini dengan mendompleng istilah kesehatan, begitu banyak orang menjual berita bohong – tepatnya: berbagai cara yang tidak diakui dunia kesehatan dan kedokteran yang berlaku, dengan motif semata-mata menuai untung.

Mana ada diabetes misalnya, disembuhkan hanya dengan meminum air dari botol ajaib berisi bebatuan? Mana ada pembuluh darah bebas plak dan sumbatan hanya sesederhana itu menenggak cairan berlabel antioksidan?

Lebih nista lagi, didukung profesi yang mestinya dijalankan sesuai jalur pendidikan yang sudah ditempuh sekian tahun.

Gelar dokter dan jas putih dijual dengan pengkhianatan terhadap ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Di sisi lain, kewenangan mengatur jualan abal-abal dan etika profesi seperti tak tersentuh.

Jika rakyat dididik dengan “tayangan-tayangan” serupa itu, tanpa adanya pelurusan masalah dan penegakan kebenaran, mau jadi apa orang Indonesia 3 tahun ke depan?

Tahun 2020 yang disebut sebagai bonus demografi hanya tinggal tiga tahun lagi. Saat 70% penduduk Indonesia berada di usia produktif, antara 15 hingga 64 tahun. Secara jumlah kedengarannya masif dan efektif, tapi jika kualitasnya tidak beres, maka Indonesia akan mengalami era eksplosif.

Kebodohan akan semakin mempersulit kehidupan bangsa, ibaratnya jargon ‘banyak anak banyak rejeki’ – hanya berlaku saat kerja otot yang diunggulkan.

Tapi di tahun 2020 jika kita masih mengandalkan kerja otot bukannya gawe otak, maka kegaduhan akan tak terelakkan.

Usia produktif adalah kelompok yang membutuhkan pekerjaan, penghargaan, aktualisasi diri dan sekaligus konsumsi.

Bayangkan kebutuhan mendesak yang begitu banyak tanpa dibangun oleh landasan yang kuat dan kokoh, maka hanya satu kata yang muncul di depan mata: kolaps.

Sepuluh tahun sebelum 2020 menjelang, kita sudah merasakan adanya susupan cara pikir maupun cara bertindak yang diam-diam semakin nyata karena azas pembiaran.

Pola asuh keluarga sudah amat jauh berubah akibat suksesnya gerilya perusahaan pangan. Bermunculan ‘keluarga-keluarga praktis’ yang dapurnya amat bersih, tapi tubuhnya kotor dengan polusi pangan yang salah. Janganlah di tahun 2017 kita tuding sebagai hoax walaupun faktanya demikian.

Mengapa? Karena korbannya sudah banyak, sekali lagi, akibat pelurusan masalah dan penegakan kebenaran tidak buru-buru dilaksanakan.

Seorang sahabat saya, dokter spesialis anak – sempat mengeluh. Makin banyak pasien masuk rumah sakit dengan demam berdarah yang sudah lanjut.

Diberi resep obat segera yang harus ditebus pun, orangtua malah lebih ‘khusyuk’ blusukan memburu sari kurma dan angkak.

Jangan-jangan, perlu ada mata kuliah baru bernama “health marketing” dalam semua pendidikan tenaga kesehatan – sebab kelihatannya agen-agen multi-level-marketing lebih lihai menarik simpati rakyat ketimbang nasehat dokter yang klasik dan monoton.

Kita baru membahas satu segmen kecil potret kesiapan dunia kesehatan menjelang tahun 2020. Yang kualitas orang-orangnya masih sebatas mencari solusi jika masalah sudah muncul, ketimbang bersiap diri dengan fondasi kesehatan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Saya yakin di area lain, sebutlah kedewasaan berideologi apalagi pemahaman religi jika dikupas terbuka dengan jujur akan semakin bikin ngeri.

Semoga anak-anak dan remaja yang menjadi fondasi lekas tertangani dan tersalurkan kehausan pengetahuan dan pendidikan paripurnanya di jalur yang benar, karena saya masih optimis kita bisa sekali menjadi bangsa yang besar.

Inovasi Disruptif

Muhammad Chatib Basri,
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Usianya belum lagi tiga puluh tahun. Gadis berambut pirang tersebut masih muda, tetapi ide dan kecerdasannya mengagumkan. Saya terkesima. Saat itu musim panas tahun 2015, tetapi angin sejuk bertiup dari semenanjung. Saya jadi ingat Mark Twain yang mengatakan, musim yang paling dingin di Amerika Serikat adalah musim panas di San Francisco. Twain benar.

Gadis itu menemani saya saat saya diundang mengunjungi beberapa perusahaan teknologi utama di Silicon Valley. Ketika saya bertanya, berapa rata-rata umur yang bekerja di sana, ia menjawab, “Belakangan ini semakin tua, akhir 20 tahunan.” Ada nada kekecewaan di akhir kalimatnya. Saya tersedak. Saat itu saya sadar—bagi anak-anak muda di Silicon Valley—saya adalah dinosaurus!

Redefinisi pekerjaan

Di sini, saya melihat bagaimana anak- anak muda bicara tentang ide-ide yang cemerlang. Lalu bagaimana regulator menempatkan dirinya dalam dunia yang berubah ini? Terus terang saya tak pandai benar menjawabnya. Dunia juga masih mereka-reka. Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu dibahas.

Pertama, revolusioner kah perubahan ini? Kita pernah mengalami revolusi industri pertama, yang mentransformasi metode produksi, tatanan sosial, meningkatkan produktivitas, dan mengubah taraf hidup. Penemuan mesin uap telah mengubah metode produksi. Industri tekstil berkembang pesat, tetapi kita mencatat sejarah yang kelam terhadap kaum buruh. Dengan sedih kita membaca novel Oliver Twist karya Charles Dickens atau Germinal karya Emile Zola. Namun, mimpi gelap bahwa mesin akan menggantikan buruh tak sepenuhnya benar.

Manusia melampaui musim dengan sebuah catatan penting dari Joseph Schumpeter: destruksi kreatif dalam jangka panjang justru memberikan kesempatan kerja baru. Ia juga mendorong kemakmuran. Barry Eichengreen dari University of California Berkeley menulis: yang terjadi bukanlah hilangnya pekerjaan, melainkan redefinisi pekerjaan. Tengok saja, profesi perawat, akuntan, atau pekerjaan lain mungkin tak hilang. Akan tetapi, ke depan, mereka membutuhkan kemampuan analitik untuk memanfaatkan big data dan teknologi.

Ini soalnya: transformasi untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatihan. Sayangnya, sarana pelatihan pemerintah terbatas. Anggaran pemerintah jelas terbatas. Lalu bagaimana? Ajak sektor swasta untuk melakukan pelatihan, on the job training. Caranya, dengan memberikan potongan pajak apabila mereka melakukan pelatihan atau pendidikan vokasi untuk keahlian baru.

Kedua, stress test yang dilakukan Bank Sentral Inggris, Bank of England, menunjukkan bagaimana teknologi keuangan (tekfin) memiliki dampak kepada penurunan pendapatan perbankan, walau perlu dicatat: di dalam jangka panjang akan meningkatkan kesempatan bagi dunia perbankan. Di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, kita melihat tarik-menarik terjadi antara bisnis konvensional dan yang baru. Kita membaca soal Uber, Gojek, tekfin, Airbnb, dan konflik yang semakin keras.

Mengikuti konsep ekonom Mancur Olson dalam karya seminalnya, The Logic of Collective Action, kita bisa menduga: mereka yang terpinggirkan akibat inovasi disruptif ini terkonsentrasi dan terorganisasi. Sebaliknya mereka yang mendapatkan manfaat dari perubahan ini tersebar luas. Akibatnya: tekanan politik dari kelompok yang merasa dirugikan akan lebih kuat dibanding konsumen penikmat digital teknologi.

Apabila ini terjadi, di dalam sistem demokrasi, ada kecenderungan regulator akan menjaga status quo ketimbang mendukung inovasi. Padahal, inovasi sangat dibutuhkan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana inklusi keuangan atau pertumbuhnan ekonomi bisa meningkat apabila aturan mengenai teknologi keuangan begitu kaku. Dalam hal ini, regulator harus menarik garis yang adil antara inovasi dan perlindungan.

Mengubah cara pikir

Ketiga, regulator tidak lagi bisa menggunakan cara pikir lama. Revolusi dalam teknologi informasi ini menerobos hal-hal yang selama ini dianggap tak mungkin. Mereka yang belajar ilmu ekonomi tahu, nyaris tak mungkin menerapkan harga yang berbeda (diskriminasi harga) untuk tiap individu. Alasannya, informasi per individu terbatas. Kalaupun bisa, harganya sangat mahal dan hanya diperuntukkan bagi pelanggan yang amat kaya (high networth individual).

Ke depan, informasi dari big data memungkinkan untuk mempersonalisasi produk (bespoke), dan itu bisa dilakukan secara masif dengan biaya yang relatif murah. Artinya, produk atau harga dapat disesuaikan dengan selera dan daya beli individu. Saya tak akan terkejut jika asuransi, misalnya, bisa disesuaikan menurut kebutuhan individu. Jangka waktunya dapat disesuaikan jadi hitungan jam atau hari. Orang tak perlu membayar premi yang mahal karena waktunya pendek dan tujuannya spesifik. Saya menduga, di masa depan tingkat bunga bank dapat berbeda untuk individu berdasarkan profil risikonya, juga berbeda untuk jenis investasinya. Akibatnya, biaya monitor (monitoring cost) dalam pinjaman menjadi lebih murah. Berbagai ceruk pasar (niche market) akan tercipta dan setiap waktu berubah. Regulasi sulit untuk mengejar inovasi ini.

Bulan November 2017, di Tokyo, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Otoritas Jasa Keuangan Jepang. Kita setuju, cara pikir harus diubah. Regulasi berubah dari statis menjadi supervisi yang dinamis. Ia tak lagi mengatur hal-hal yang rinci. Regulasi lebih fokus kepada prinsip-prinsip dasar, misalnya perlindungan konsumen, level playing field, dan menjamin keterbukaan. Jika ia mulai mengatur masalah yang teknis dan rinci, ada risiko regulasi akan menjadi usang karena inovasi terjadi setiap waktu.

Di sinilah masalah akan timbul: bisakah regulator menjadi dinamis dan luwes. Kritik utama terhadap birokrasi adalah sifatnya yang tak luwes. Birokrasi juga bergerak atas dasar prinsip keseragaman dalam aturan. Lalu bagaimana ia harus menghadapi dinamika produk yang sifatnya semakin personal, luwes, dan membutuhkan diskresi?

Ketimpangan pendapatan

Ketiga, inovasi disruptif dalam jangka pendek dapat mendorong ketimpangan pendapatan. Ia akan memberikan keuntungan berlipat pada sekelompok kecil masyarakat yang berhasil mengembangkan idenya, sementara dalam jangka pendek pekerja tak terampil terancam kehilangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin akan mendapatkan pekerjaan baru, tetapi ia membutuhkan keahlian baru juga. Mereka yang tak punya keterampilan baru akan terpinggirkan.

Proses penyesuaian ini bisa sangat pahit. Dan ini memiliki implikasi ekonomi politik yang serius. Bulan Oktober 2017, ketika saya berbicara untuk sebuah konferensi di Harvard University, saya sempat berdiskusi panjang dengan Jeffry Frieden, guru besar ekonomi politik di Harvard. Kami membahas mengapa tren anti globalisasi dan politik identitas meningkat dan berkembang di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, Australia, Indonesia, dan negara lain.

Menurut Frieden ini tidak spesifik AS, Indonesia, atau Eropa. Ia terjadi di sejumlah negara pada saat yang bersamaan. Karena itu, penjelasannya tidak bisa khusus satu negara. Frieden mengajukan hipotesis: ketimpangan pendapatan dan kehilangan pekerjaanlah yang mendorong menguatnya politik identitas. Konsisten dengan ini, ekonom Dani Rodrik mengingatkan, ketimpangan ekonomi akan menimbulkan polarisasi politik apakah lewat politik identitas atau polarisasi kaya dan miskin.

Ini tema besar dalam ekonomi politik. Tak ada jawaban tunggal untuk masalah ini. Faktor politik, ideologi, dan sosiologis lain tentu berperan. Namun, lepas dari itu, hipotesis Frieden bisa jadi relevan ke depan. Erik Brynjolfsson dari Massachusetts Institute of Technology mengingatkan, teknologi menjadi faktor yang penting dalam menjelaskan ketimpangan pendapatan di AS saat ini.

Menariknya: alih-ahli menuding teknologi sebagai penyebab, reaksi yang muncul adalah politik identitas ala Donald Trump. Saya kira pemerintah di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, akan dihadapkan dalam pilihan sulit. Mengekang teknologi dan inovasi akan membuat kemandekan dalam ekonomi, dan memperburuk kesejahteraan. Kelas konsumen —saya enggan menyebutnya kelas menengah—adalah professional complainers. Sebagai konsumen, mereka menikmati perubahan ini. Mereka akan menuntut inovasi dilanjutkan. Kita ingat, bagaimana pelarangan Gojek dibatalkan pemerintah dalam waktu sangat singkat karena protes masyarakat.

Di lain pihak, ketimpangan yang meningkat akan mendesak pemerintah berpihak. Di era demokrasi, tarik-menarik ini akan lebih rumit. Pemerintah perlu memberikan perlindungan agar proses penyesuaian ini tak terlalu pahit, tetapi tak mengekang inovasi. Sulitnya: tak ada formula untuk ini. Dialog antara pelaku ekonomi digital dan regulator menjadi amat penting. Sayangnya, waktu tak bersama kita. Perubahan terjadi begitu cepat. Saya masih ingat kata-kata gadis belia itu ketika saya menanyakan rata-rata umur pekerja di Silicon Valley , “It is getting older Sir, it is late twenties now”. Ada nada penyesalan dan khawatir di ujung kalimatnya. Saya juga khawatir. Namun, untuk sesuatu yang lain: apabila tak berubah, kita tinggal sejarah.

Pola Pikir Pra-sekolah

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Emak dulu ingin anak-anaknya sekolah. Dia sendiri tak pernah sekolah. Jadi, ia memiliki semacam “dendam”, bahwa anak-anaknya harus sekolah.

Tak ada sekolah di kampung kami saat anak laki-laki Emak memasuki usia sekolah. Emak memutuskan untuk mengirim anaknya ke kampung lain, jaraknya 3 hari berkayuh sampan dari kampung kami. Emak rela berkayuh 3 hari untuk sekedar mengirim anaknya masuk SD.

Kelak kampung kami punya sekolah. Orang-orang bergotong royong membangun sekolah. Ayah termasuk salah satu yang memotori pembangunan sekolah ini. Guru didatangkan, digaji dengan sumbangan yang dikumpulkan sekadarnya dari orang-orang kampung. Guru ini kelak menjadi menantu Ayah.

Saat anaknya tamat SD, Emak mengirim anaknya sekolah ke kota. Tindakan itu termasuk yang pertama kali terjadi dalam sejarah kampung kami. Anak-anak Emak yang lain mendapat giliran. Begitu tamat SD, dikirim melanjutkan sekolah ke kota.

Langkah Emak ini kemudian diikuti banyak orang kampung. Mereka mengirim anak-anaknya sekolah ke kota setamat mereka dari SD. Banyak dari mereka yang berhasil. Macam-macam jadinya setelah mereka sekolah ke kota.

Ada yang jadi guru, pegawai pemerintah, karyawan swasta, atau jadi pengusaha. Banyak dari mereka yang berhasil membebaskan diri dan orang tua dari belitan kemiskinan.

Tapi tak semua berhasil. Ada yang putus sekolah. Ada yang hanya menghamburkan harta orang tuanya yang tak seberapa di kota. Mereka hanya mendapat gaya hidup orang kota secara semu, gagal memanfaatkan kota sebagai tempat belajar.

Sebagian kembali ke kampung dengan tangan hampa. Ada pula yang bertahan di kota, hidup sebagai orang pinggiran.

Apa yang membedakan semua ini? Pola pikir! Waktu mengirim kami sekolah, Emak tak pernah mengajarkan bahwa sekolah akan mengubah segalanya.

“Bukan sekolah yang akan mengubah kau, tapi tanganmu!” itu pesan Emak selalu.

Artinya, sekolah hanyalah tempat belajar. Tapi hanya orang yang memang siap belajar yang akan dapat belajar. “Masuk sekolah itu, buka mata buka telinga, lapangkan pikiran. Kalau masuk sekolah sekadar ulang alik pulang pergi, isi kepala kau akan tetap kosong.”

Ada satu lagi yang sering diomelkan Emak, soal tipu daya kota. “Jangan kau lihat macam megah saja kota itu. Tipu daya semua itu. Kau tengok anak-anak orang kaya, lalu kau pun nak berlagak macam mereka. Itulah awal kehancuran kau. Ingat selalu, kita ini orang miskin. Kita baru nak berjuang untuk berhenti jadi orang miskin. Jangan tipu diri dengan berlagak macam orang kaya,” kata Emak berulang-ulang.

Tiba masa libur sekolah, tak ada kesempatan berleha-leha ke kota. Pulang kampung. Apa dibuat? Kerja kebun.

“Dah puas lah kau melenakan badan selama sekolah. Waktu libur, gerakkan badan itu, supaya jangan jadi daging mati.”

Pernah suatu saat waktu libur sekolah, setiap hari saya kerja di kebun. Bahkan paman yang tinggal agak jauh dari rumah kami pun tak tahu bahwa saya pulang.

Berbeda betul dengan beberapa anak kampung yang lain. Kalau mereka pulang musim libur, jadi riuh rendahlah kampung oleh polah mereka. Macam-macam saja perayaan yang mereka buat. Mereka pulang laksana para pembesar negeri yang sedang pulang berlibur.

Pesan Emak itu abadi. Waktu saya hendak berangkat kuliah ke Yogya, pesan itu diulang-ulang terus, sampai saya sudah menjinjing tas hendak menuju ke bandara.

Di Yogya saya saksikan hal-hal yang sama. Banyak anak orang kaya dikirim sekolah. Lagaknya membuat heboh. Kalau tiba masa liburan, kami pulang bersama-sama. Selama perjalanan, kapal jadi riuh rendah oleh polah mereka. Tapi begitulah. Tak sedikit dari mereka ini yang kemudian gagal. Pulang kampung dengan tangan hampa.

Jadi, pelajaran penting dari Emak, sekolah itu penting. Tapi yang lebih penting lagi adalah menyiapkan atau membangun pola pikir. Pola pikir itu yang akan menentukan tingkah laku. Ia akan menentukan gagal atau suksesnya kita.

Menyiasati Budaya Lokal

MENYIASATI BUDAYA LOKAL

Oleh Zulkarnaini Diran
(praktisi dan pemerhati pendidikan)

“Mengapa wacananya Topeng Monyet, Bu?” Begitu pertanyaan seorang pengawas sekolah kepada salah seorang guru kelas. Pertanyaan itu dilontarkan usai melakukan supervisi akademik dalam pelaksanaan proses pembelajaran. “Wacana itu yang ada di dalam buku paket Pak”, jawab guru yang mengajar di kelas lima Sekolah Dasar itu. Buku paket yang dimaksud adalah buku teks utama yang disediakan oleh pemerintah pusat. Buku pelajaran itu didistribusikan ke setiap sekolah di Tanah Air. Jadilah wacana seragam untuk seluruh Indonesia.

Untuk daerah ini (Sumatera Barat – Minangkabau), jelas “Topeng Monyet” bukanlah produk budaya yang akrab dengan anak-anak seusia sekolah. Akan tetapi, oleh kebijakan pusat, senteralistik, wacana itu harus digunakan.

“Terpaksalah” anak-anak menelan budaya sangat jauh dari kehidupan nyatanya. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip belajar, “mulai dari yang dekat kepada yang jauh, dari yang konkret kepada yang abstrak, dan dari yang mudah kepada yang sulit”. Meskipun begitu, guru kelas tetap bersikukuh menggunakan wacana itu. Kalau itu tidak digunakan jangan-jangan wacana itu yang muncul ketika ujian akhir sekolah.

Kondisi seperti itu berlangsung sudah sangat lama. Sampai kini, Kurikulum 2013, buku teks utamanya (buku siswa) juga dipaketkan dari pusat. Produk budaya lokal belum atau tidak terakomodasi di dalam buku teks “buatan pemerintah pusat”. Seyogyanya, kearifan lokal setempat, terutama untuk jenjang pendidikan Sekolah Dasar teraktualisasi di dalam buku teks. Nyatanya tidak demikian karena buku-buku teks utama yang diterbitkan oleh pemerintah adalah buku dari buah tangan penulis pulau Jawa. Oleh karena penulisnya dari Pulau Jawa, maka teks atau wacana didominasi oleh wacana produk budaya yang ada di pulau yang terpadat penduduknya itu.

Mengajak sejawat guru Sekolah Dasar untuk memanfaatkan wacana produk budaya lokal amatlah berat. Masalahnya ada dua “ketakutan” yang “menghantui” sejawat guru. Kedua ketakutan itu adalah jika sewaktu-waktu ada yang melakukan supervisi. Supervisor menanyakan kenapa buku paket (buku teks) tidak digunakan. Guru akan sulit memberikan alasan dan marasionalkan alasan. Bila dipaksakan untuk mencari alasan tepat, bisa-bisa guru menangung resiko lain. Oleh karena itu wacana yang ada di buku teks “wajib” ia gunakan.

Kedua, ujian akhir sekolah yang bersifat nasional menjadi “momok” bagi guru. Jika wacananya diganti dengan wacana lain, jangan-jangan wacana yang ada di buku teks muncul di ujian akhir sekolah. Guru bisa menyesali diri atau disesali oleh banyak orang seperti siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Menghindar dari rasa bersalah dan berdosa itulah yang membuat guru “terpaksa” menggunakan wacana buku teks meskipun sangat jauh dari kehidupan peserta didik.

Membebaskan guru dari berpikir “paternalistis” adalah bagian penting dalam mengubah “pola pikir atau paradigma” pembelajaran. Hendaknya tumbuh keberanian guru untuk “menyimpang” dari kondisi seragam yang telah tercipta sedemikian lama. Ada keinginan dan keberaniannya untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran, terutama dalam pemilihan bahan sebagai basis pembelajaran. Selain itu, guru perlu mendapat motivasi dari supervisornya (pengawas dan kepala sekolah) untuk membuat hal-hal baru dalam pembelajaran. Jika hal itu bisa dilakukan, guru dapat menyiasati penggunaan “produk budaya lokal” untuk bahan ajar atau basis pembelajaran.

Minangkabau – Sumatera Barat memiliki kekayaan produk budaya lokal yang melimpah. Kekayaan itu bisa benda-benda buatan, bisa ajaran, bisa mitos, bisa lemabaga kata-kata (limbago kato-kato), bisa karya seni, dan sebagainya. Menyiasati penggunaan produk budaya lokal ini bagian dari inovasi pembelajaran yang mungkin dapat diraih oleh guru. Untuk menyiasati penggunaan produk budaya lokal itu diperlukan perubahan pola pikir. Selain itu diperlukan penguasaan langkah-langkah teknis dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian serta evaluasi pembelajaran.

Kisah heroik Anggun Nan Tongga dalam kaba berbahasa Minangkabau, dapat dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Perjuangan Nan Tongga menghadapi berbagai tantangan, hambatan, dan ancaman dalam upaya membebaskan tiga orang mamaknya yang tertawan adalah kisah yang perlu digali dan disiasati dari budaya lokal. Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kepercayaan Nan Tongga merupakan ekpresi kehidupan nyata yang sarat dengan nilai-nilai karakter atau budi. Bisakan Kaba Anggun nan Tongga dijadikan wacana pendek sebagai pengganti “Topeng Monyet”? Tergantung kepada kemauan dan kemampuan sejawat guru.

Mengapa harus “Tangkuban Perahu”, padahal ada “Bujang Sambilan” dari mitos asal-usul Danau Maninjau. Danau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Agam itu bukan lagi milik Sumatera Barat tetapi milik Indonesia. Bukankah dari pinggir danau itu lahir banyak tokoh seperti Hamka dan sebagainya. Kisah dan asal-usul danau terkenal itu juga dapat diolah dalam bahasa yang sesuai dengan usia peserta didik. Mengolah dan menulis ulang kisah itu merupakan salah satu langkah menyiasati budaya lokal untuk bahan ajar atau basis pembelajaran.

Mungkinkah dapat dibuatkan wacana pendek tentang “carano” dan isinya untuk pembelajaran kelas lima Sekolah Dasar? Carano dengan fungsinya berisi berbagai kelengkapan. Ada daun sirih, ada buah pinang, ada gambir, dan ada kapur (sadah). Formulasi keempat isi “carano’ itu akan menjadi instrumen dalam upacara tertentu di Minangkabau. Masing-masing isi kelengkapan itu mengandung makna dan filosofi yang sarat dengan nilai. Pertemuan sirih, pinang, gambir, dan kapur (sadah) di dalam carano bukangkah merupakan gambaran keanekaragamn yang memunculkan warna baru?

Bukankah sirih, gambir, dan pinang berasal dari tumbuhan dan kapur (sadah) berasal dari hewan di laut? Darat dan laut adalah kekayaan negeri yang merupakan hadiah dari Yang Mahakuasa untuk umat manusia. Semuanya ada di alam. Alam menjadi guru bagi orang Minangkabau, “alam takambang jadi guru”. Kerjasama antara unsur alam yang menumbuhkan daun siri, yang menghasilkan uah pinang, yang memunculkan getah gambir, dan melahirkan kapur sirih adalah gambarn budi dalam kehidupan. Hal-hal seperti inilah yang mungkin perlu disiasati untuk memperkaya khasanah bahan dan basis pembelajaran.

Pada saat pembelajaran di sekolah, khususnya di pendidikan dasar menjauh atau dijauhkan dari budaya lokal, saat itu anak-anak bangsa ini mulai tercerabut dari akar budayanya. Saat itu pula anak bangsa ini akan disalokasi, diseksistensi – tidak mengenali keberadaannya sehingga ia terombang-ambing dalam budaya yang menggelobal. Mereka kehilangan jati diri dan kehilangan milik yang sangat berharga. Menyiasati budaya lokal untuk bahan ajar dan basis pembelajaran, mungkin langkah awal untuk “mengakrabkan” anak bangsa dengan budayanya yang sarat dengan nilai-nilai “budi – karakter”. Mungkinkah? Tergantung kepada sutradara dan pemegang skenario. Semoga.

Tulisan ini terpublikasi pada Surat Kabar Nasional terbitan Padang, Sumatera Barat “Singgalang” Senin 19 Januari 2015.
https://www.facebook.com/zulkarnaini.mamak/…/929765837048626

Muslim dan Pandangan Hidupnya

November 3, 2014

Notulensi : Kajian Pekana DISC Masjid UI pertemuan ke-7, 7 Muharram 1436 AH/31 Oktober 2014
Pemateri : Tri Shubhi Abdillah
Notulen : Samsoel Amin (Peserta Kajian Pekanan DISC Masjid UI, Mahasiswa LIPIA Jakarta)

BismiLlāhi ar-Rahmāni ar-Rahīm. Saudara-saudariku yang dimuliakan oleh Allah Subhānahu Wa Ta’āla, sesungguhnya kolonialisme di dunia Muslim secara keseluruhan telah meninggalkan berbagai permasalahan. Di antaranya adalah permasalahan keilmuan. Konsep keilmuan Barat yang dibawa oleh para penjajah telah memberikan pengaruh yang mendasar bagi pola fikir kaum Muslimin yang saat itu sedang menghadapi berbagai tantangan zaman. Baik tantangan dalaman maupun luaran. Keadaan kaum muslimin pada waktu itu pun tidaklah sebagus ketika mereka berjaya di masa Kekhilafaan Harun ar-Rasyīd, tidak pula seperti saat Islam terang benderang di Andalusia.

Kedatangan penjajah ke bumi kaum muslimin telah membawa semangat rasionalisme Barat yang tidak lain adalah brentuk pengejawantahan unsur-unsur asasi peradaban mereka, seperti sekularisme, dualisme, humanisme, dan tragedi. Kemudian, faham-faham ini lambat laun mewarnai jiwa-jiwa kaum muslimin dan pandangan-hidupnya melalui lembaga pendidikan yang didirikan oleh kaum kolonial. Padahal Kaum Muslimin sebenarnya telah mewarisi keilmuan Islam dari para ulama dari generasi ke generasi. Ilmu-ilmu itu yakni ilmu yang multi-disiplin ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu yang fardhu ‘ain sampai fardhu kifāyah, yang kemudian di akhir abad menjelang milenium ini, keduanya terekduksi hingga menjadi sekadar ilmu syariah, akidah, dan yang semacamnya. Lebih buruk lagi adalah proses dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu- ilmu umum yang tidak pernah kita kenal sebelumnya semakin menyata.

Keadaan ini menimbulkan berbagai tanggapan. Dalam dunia Melayu-Indonesia, apa yang umumnya dikenal sebagai “Pembaratan” (westernisasi), difahami sebagai kelanjutan dari semangat rasionalisme, individualisme dan internasionalisme yang asas filosofisnya telah lebih dahulu diletakkan oleh Islam (Al-Attas, 2009: 209). Akan tetapi, semangat rasionalisme yang telah dimulai oleh Islam, jika dibiarkan berlangsung mengikuti cara pandang Barat, tidak diragukan lagi pandangannya akan menyimpang ke arah tujuan-tujuanyang sekular (Al-Attas, 2009: 223-224).

Oleh karena itu, dalam kasus di atas, Prof. M. Naquib al-Attas sangat menekankan bahwa Ilmu itu tidak netral. Ia tidak bebas nilai, di sana dapat diserapi suatu sifat dan kandungan yang menyamar sebagai ilmu. Namun hakikatnya, jika diamati secara keseluruhan, ia bukanlah ilmu yang benar, melainkan hanya berupa tarsiran–tafsiran melalui prisma pandangan-hidup atau pandangan-alam (worldview), suatu pandangan intelektual dan persepsi psikologis dari peradaban yang memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya saat ini. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah ilmu yang diserapi oleh watak dan kepribadian tertentu (Al-Attas, 2009: 166).

Sehingga, boleh dikata bahwa di balik ilmu seseorang itu terdapat worldview yang secara aktif menyaring, kemudian menerima sesuatu yang masuk ke dalam jiwa. Ia adalah cara pandang seseorang terhadap realitas yang sebenarnya, dan bukan sekadar fakta empiris saja. Ini sangat jelas terlihat ketika kita memperbandingkan beberapa hal dari dua cara pandang yang berbeda. Misalanya dalam hal ‘baik dan buruk’. Seorang yang sekular akan melihat baik dan buruk ditentukan dengan faham humanisme. Seperti hukum rajam bagi pelaku zina yang telah menikah, akan mereka katakan sebagai hukum yang tidak berperikemanusiaan, tidak humanis, dan lain-lain. Ini berbeda sekali dengan seorang Muslim yang memandang hal itu sebagai perintah Allah yang disampaikan melalui Nabi-Nya yang Agung, Nabi Muhammad SAW. Sebab Islam memandang ‘baik dan buruk’, adalah sesuatu yang musti diukur melalui apa yang Allah tentukan. Perihal di atas akan berlaku dalam cara pandang berbagai hal yang lain, seperti dalam menajemen/tadbir, bahasa, pemimpin, keadilan, nilai, dan lainnya. Sehingga sebagai seorang Muslim patutlah bagi kita untuk menjadikan Islam sebagai pandangan-hidup atau pandangan-alam (worldview). Prof. Al-Attas megistilahkannya dengan The Worldview of Islam atau dalam bahasa Arab beliau istilahkan dengan ru’yat al-Islām li al-wujūd, artinya pandangan Islam terhadab wujūd. bahwa Pandangan-Alam Islam itu bukan sekadar pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau keterlibatan manusia di dalamnya dari segi historis, sosial, politik dan kebudayaan, tapi mencakupi aspek al-dunyā dan al-ākhirah, di mana aspek dunia harus terkait erat dan mendalam dengan aspek akhirat, sedangankan aspek akhirat harus diletakkan sebagai aspek terakhir lagi mu’tamad (zarksasyi, 2012: 138).

Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sebuah Keniscayaan

Islamisasi yang dimaksudkan Prof. Al-Attas bukanlah gagasan yang muncul tiba-tiba di ruang hampa. Professor mendasarkan dan mengisnadkan gagasan ini kepada para ulama-ulama sebelumnya, dari para ulama yang mewariskan Ilmu Islam dari generasi ke generasi, dari Syeikh Nuruddin ar- Raniri dan Hamzah Fanshuri dan ulama-ulama lain di alam Melayu ini, sampai ke Imam al-Ghazali dan para Ulama yang berasal dari negeri Arab, Persia, dll. Gagasan ini juga buka rasionalisasi mukjizat dan hal-hal penting dalam Islam, bukan pula pembenaran fakta-fakta empiris dengan menggunakan ayat -ayat Al-Quran, bukan pula integrasi, bukan pula seperti Bauchilisme, dan buka pula dengan menggunakan etika-etika Islam dalam bergelut dengan ilmu yang sekular.

Islamisasi yang Prof. Al-Attas maksud adalah “pembebasan manusia yang diawali dengan pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan kuasa sakti (magic), mitologi, animisme, kebangsaan-kebudayaan yang bertentangan dengan Islam, dan sesudah itu pembebasan dari kungkungan sekular terhadap akal dan bahasanya, manusia Islam (Muslim) adalah orang yang akal dan bahasanya tidak lagi dikungkung oleh kuasa sakti, mitologi, animisme, tradisi nasional dan kebudayaan, serta sekularisme” (Al-Attas, 2009: 54-56).

Sehingga Islamisasi bukanlah proses yang buru-buru dan dicepat-cepatkan. Menurut Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dari definisi Islamisasi yang seperti itu, haruslah difahami bahwa Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer melibatkan proses dewesternisasi yang selektif, namun pada dasarnya merupakan sebuah proses kembali kepada pandangan-alam yang metafisik, kerangka epistemik, dan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam (Daud, 2014: 33). Beliau melanjutkan bahwa, sayangnya Islamisasi sering direduksi untuk melegalkan atau menegakkan sebagian entitas sosial-politik, dan ilmu pengetahuan secara serampangan disamakan sebatas fakta, keterampilan dan teknologi. Jadi, Islamisasi bukanlah gagasan yang dilakukan dengan serampangan. Bukan pula hanya sebatas dipopulerkan tanpa kita dalami terlebih dahulu ilmu-ilmu Islam, dan tanpa kita faham mengenai Peradaban Barat yang Sekular. Menalaah karya-karya Prof. Al-Attas serta syarahan murid-murid beliau adalah sangat diperlukan.

Wa nastaghfiruLlāh, wa natūbu ilaihi, WaLlāhu a’lam bisshowab…

Rujukan :

Al-Attas, Syed M. Naquib. (2011). Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN
Al-Attas, Syed M. Naquib. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC
Zarkasyi, Hamid Fahmy. (2012) Pandangan Alam Islam Sebagai Kerangka Pengakajian Falsafah Islam dalam buku Adab dan Peradaban: Karya Pengi’tirafann untuk Syed Muhammad Naquib al-Attas.. Petaling Jaya; MPH Publishing.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. (2014) Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer Dan Peran Universitas Islam dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonialisasi. Bogor: Universitas Ibnu Khaldun & CASIS-UTM.