Amir F Manurung
Kandidat Doktor Kebijakan Iptek dan Inovasi,
The National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang.
PPI Jepang (ppidunia.org)
Perhimpunan Pelajar Indonesia
Kompas – 17/01/2018
“Jika BUMN milik rakyat Indonesia, apa fungsi nyatanya bagi saya?”
JIKA seorang WNI mengajukan pertanyaan di atas, seharusnya kita bisa menjawab terus-terang, terukur, dan tak mengawang-awang. Bila ingin tetap hidup, BUMN atau institusi mana pun adalah buatan manusia di konteks modern mutlak wajib terus beradatasi mengikuti perkembangan zaman.
Di masa serba canggih seperti sekarang, rasanya sulit paling tidak bagi generasi penerus Indonesia untuk mengerti sepenuhnya fungsi BUMN bagi tiap kelas masyarakat.
Coba saja lihat segala gadget dan segala aplikasinya yang kaum muda pegang sehari-hari, hampir tak ada keluaran BUMN, kecuali produk ZTE yang merupakan badan usaha berorientasi profit milik pemerintah China. Meski memberikan pengecualian, produk teknologi tinggi asal China itu tidak bisa sepenuhnya berkolerasi dengan format kepemilikan produsen perusahaan.
Sebaliknya, sebagai korporasi, latar belakang pemerintah di belakang ZTE lebih merupakan anomali dan bukan format umum di antara produsen komoditas inovasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Bila melihat sejarah, asal-muasal BUMN di dunia memang lebih berkolerasi dengan cara pemerintah menanggapi perkembangan lingkungan yang publik hadapi, termasuk karena faktor hadirnya teknologi baru.
Di dunia, BUMN bukanlah lembaga yang pemerintah bentuk untuk memicu munculnya inovasi baru. Vaksin, telepon, utilitas arus listrik, pesawat terbang, adalah sebagian temuan di era modern yang meskipun kerap jadi inti bisnis BUMN.
Namun, semuanya adalah hasil risetak ademia di rumah sakit, perguruan tinggi, atau instansi swasta.
Kita dapat melihat rumah sakit dan perguruan tinggi melakukan penelitian semata adalah demi memaksimalkan peran publik masing-masing. Adapun tujuan swasta menjalankan riset adalah mentransformasikan temuannya terutama bagi kepentingan operasi bisnis sendiri.
Di lain pihak, dengan sifat BUMN yang mengantongi dua dimensi menjalankan suatu sistem produksi dan melayani publik di luar diri mereka sendiri, riset ilmu pengetahuan di entitas ini pun bisa kita artikan sebagai upaya mereka mengembangkan kapabilitas fungsi diri dalam masyarakat.
Di konteks negara berkembang yang upaya industrialisasinya sering menghalangi masalah kendala hambatan akses ke permodalan, menjadikan BUMN berinovasi nilainya makin vital.
Dalam kondisi memiliki modal lebih kecil, dibanding koleganya di negara maju, perusahaan swasta di negara berkembang akan lebih memilih menggunakan pengetahuan dan teknologi impor daripada menanggung risiko kegagalan riset mandiri.
Akibatnya, tanpa memberikan tugas inovasi bagi BUMN, sektor produksi di negara berkembang punya peluang lebih kecil belajar menjadi pemimpin kompetisi atau bahkan sekadar menjadi pengekor perkembangan teknologi.
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa penguasaan teknologi rendah berakibat suatu masyarakat tak mampu mendiversifikasikan sektor produksinya. Pada akhirnya mereka jatuh ke perangkap masyarakat berpenghasilan menengah (middle income trap) alias gagal mencapai cita-cita jadi makmur bersama.
Untuk itu, kita perlu mencermati bagaimana negara lain memicu kemampuan riset BUMN mereka.
Keberadaan mitra riset Sinopec, yang mayoritas besar di dalam negeri, bukan berarti perusahaan tersebut punya portofolio riset ideal karena berarti mereka kehilangan peluang lebih besar dari perkembangan pengetahuan di seluruh dunia. Tetapi yang pasti, Sinopec saat ini punya akar rumput pengembangan pengetahuan luas di seantero China.
Perlu penulis tekankan, riset ilmiah bukanlah tugas Sinopec sebagai BUMN, tapi lembaga-lembaga lain. Sinopec sebagai perusahaan negara memberikan distribusi peluang lebih luas agar lembaga-lembaga negara lain untuk memiliki akses berkontribusi bagi pengembangan pengetahuan yang BUMN itu butuhkan.
Belajar dari evolusi ketenagakerjaan riset Sinopec tersebut, penting bagi Pertamina dan BUMN lain di Indonesia untuk melihat inovasi bukan sebagai beban, melainkan semata mengadaptasikan kontribusi mereka dalam pergerakan bangsa.

Pada grafik di atas, kita bisa melihat data Scopus (basis data karya ilmiah internasional) atas produktivitas publikasi ilmiah berbagai BUMN di dunia dan satu pemain lama (Royal Dutch Shell) dari kelompok swasta pada sektor industri sama yang masuk kelompok elite Fortune 500 pada 2017. Pertamina adalah salah satunya.
Dari grafik tersebut, kita bisa melihat bahwa sebagai salah satu pemimpin di bidang penyulingan minyak, Shell sudah aktif melakukan riset ilmiah sejak sebelum era Perang Dunia II.
Di era 1990-an, BUMN dari China, Brasil dan Norwegia mulai menggenjot riset mandiri masing-masing, bahkan akhirnya bisa melampaui tingkat produktivitas Shell, dalam hal publikasi artikel ilmiah internasional.
Pertamina, yang menurut data Scopus memiliki indikasi investasi paling rendah dalam hal inovasi di antara BUMN kelas Fortune 500, perlu mempelajari dan mempraktikkan strategi Sinopec, China National Petroleum, serta perusahaan negara lain yang beradaptasi dengan cara memperdalam komitmen kepada iptek, meniru perilaku swasta “jagoan” di sektor mereka.
Jika mencermati sedikit lebih dalam rekaman bibliometrik khusus ke Sinopec, yang berada di jajaran top baik di daftar umum Fortune 500 maupun data Scopus, kita bisa menarik pelajaran bahwa BUMN tersebut punya peran mendifusikan jenis pengetahuan yang mungkin sulit diakses lembaga lain di China.
Dalam Laporan Publik tahun 2016, Sinopec menggelontorkan dana riset sekitar Rp 12,1 triliun (Sinopec, 2017, halaman 25). Dana tersebut adalah untuk penelitian operasi hulu-hilir mereka (Sinopec, 2017, halaman 17).
Data Scopus menunjukkan bahwa aktivitas riset Sinopec punya implikasi ke publik. Pada grafik bisa kita lihat bahwa pada tahun 2000, hampir tiga perempat laporan ilmiah Sinopec mengandalkan tenaga internal sendiri. Situasinya berubah cukup dramatis sekitar 17 tahun kemudian.
Pada akhir 2017, tenaga Sinopec berubah menjadi minoritas dalam memproduksi publikasi ilmiah. Variasi latar belakang sumber daya manusia yang turut berkontribusi agar BUMN tersebut sanggup menghimpun pengetahuan baru juga makin banyak, berasal dari pusat dan daerah.
Saat ini, lebih dari separuh kontributor riset Sinopec memiliki afilitas di lembaga-lembaga dalam negeri China dan hanya sekitar 5 persen berasal dari luar negeri.

Kontrak sosial baru
Ada satu pelajaran penting lain dari penggalian latar belakang artikel ilmiah Sinopec di atas: seseorang atau satu lembaga tidak mungkin bisa berinovasi sendirian.
Jan Fagerberg dalam buku The Oxford Handbook of Innovation (2005) bahkan menuliskan arti inovasi sebagai upaya yang tidak bisa dihasilkan dari langkah linear melakukan riset ilmiah dan dilanjutkan pada upaya komersialisasi hasil penelitian (Fagerberg, 2005, halaman 08-09).
Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa temuan vaksin, telepon, utilitas arus listrik, pesawat terbang, atau segala invensi lain tak akan berkembang tanpa adanya aliansi manusia-manusia yang memiliki banyak latar belakang keahlian berbeda.
Dari peneliti dan insinyur, sampai pengacara dan ahli keuangan, semua penting untuk membangun sistem inovasi.
alam paradigma itu, kita bisa lihat bahwa inovasi punya semangat demokratis, yaitu mendorong semangat gotong-royong anggota masyarakat untuk saling berkolaborasi.
Dari contoh Sinopec tadi, kita bisa melihat secara jelas bahwa perusahaan tersebut sekarang ada di posisi membutuhkan dan dibutuhkan insitusi lain untuk bisa berinovasi secara teknologi.
Karena sifatnya yang menciptakan saling ketergantungan, inovasi mensyarakatkan transparansi tinggi untuk menurunkan hambatan interaksi sosial akibat adanya ketidakpercayaan.
Namun, menumbuhkan budaya inovasi juga sekaligus bermanfaat untuk menciptakan suasana saling percaya. Itu karena inovasi memerlukan fondasi pola pikir ilmiah yang sangat bergantung pada pensintesisan dan peninjauan fakta berdasarkan data.
Untuk menjalankan roda inovasi sarat nilai ilmiah tersebut, BUMN perlu mengambil inisiatif aktif mencari dan memperkenalkan diri ke aktor-aktor pelaku riset di seluruh Indonesia (termasuk industri swasta nasional) dan mancanegara yang berpotensi menopang aktivitas riset mereka.
Kegigihan BUMN mempromosikan diri sangat penting, lebih-lebih saat menghadapi aktor lembaga yang mungkin secara tidak sadar tak menginginkan adanya perubahan dalam perannya atau lingkungannya.
Dalam hal ini, menyadari pentingnya fungsi pionir inovasi BUMN, pemerintah Jepang bahkan pernah mengikat NTT secara permanen untuk mengutamakan mempromosikan litbang dan mendiseminasikan hasilnya sebelum BUMN itu diprivatisasikan pada 1985.(Lihat “Act on Nippon Telegraph and Telephone Corporation, etc. Act No. [85 of December 25, 1984] as amended last by Act No. 87 of July 26, 2005”).
Dalam pengertian ilmu ekonomi, strategi mandat promosi litbang bagi Nippon Telegraph and Telephone (NTT) sangat rasional, karena perusahaan yang menguasai pasar menyerupai kekuatan monopoli cenderung tidak efesien dan akhirnya menetapkan harga juallebih tinggi untuk konsumsi publik.
Dengan menginstruksikan NTT secara abadi menjadi tulang punggung riset negara di sektornya, pemerintah menstimulasikan rantai industri dalam negeri, penopang badan usaha tersebut, untuk menciptakan kapabilitas dinamik yang akhirnya mengumpanbalikkan perbaikan efesiensi bagi proses kerja NTT sendiri.
Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan agar setiap perusahaan BUMN memiliki fungsi inovasi bagi publik seperti langkah pemerintah Jepang tersebut.
Di tataran kebijakan, ancaman menjadikan BUMN instrumen inovasi adalah sikap laten ego sektoral badan-badan pemerintahan. Sesungguhnya, sikap tersebut sangat mungkin punya landasan mengingat suatu instansi dapat mudah berdalih bahwa tugas membina BUMN adalah tugas Kementerian BUMN.
Padahal, kembali seperti jelas terlihat di contoh Sinopec di atas, inovasi suatu BUMN bergantung pada sektor-sektor di perguruan tinggi, bidang pemerintahan bertautan (seperti bidang mineral, industri, dan lainnya), pemerintahan daerah, serta lembaga-lembaga riset pusat dan daerah.
Untuk itu, Kementerian BUMN RI perlu mencari dan mendapat pertolongan dari kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.
Agar koordinasi berkualitas tinggi bisa tercapai, Presiden RI perlu mengawasi dan membina secara langsung supaya lembaga-lembaga pemerintah menghormati dan mendukung proses pembangkitan fungsi inovasi BUMN.
Saran ini tidak terlalu berlebihan, mengingat secara struktural posisi kepemimpinan pemerintahan inovasi di Jepang, Korea Selatan, dan China ada di kepala pemerintahan bukan tingkat kementerian.
Kita perlu percaya Presiden Joko Widodo tidak akan keberatan untuk melakukannya. Jika presiden menjalankannya, maka itu jadi prestasi yang belum pernah berhasil diukir oleh presiden-presiden sebelumnya.
Karena kita butuh menjadikan BUMN memiliki kontrak sosial baru dengan semua warga negara Indonesia dengan mentransformasikan diri jadi wahana yang terbuka bagi publik secara lebih luas untuk langsung berkontribusi secara intelektual bagi pembangunan.
Kalau itu tercapai, kita bisa menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan di bagian atas tulisan ini adalah BUMN adalah tempat di mana kita, rakyat Indonesia, bisa ikut lebih leluasa berinovasi.