Profesionalisme , Bekerja dengan Hati, secara Hati Hati dan sepenuh Hati Berinovasi ?

Jusman Syafii Djamal
March 6, 2018

“Your Heart is more bigger than your voice”, kata Kofi Annan ketika memberikan apresiasi pada Pavarotti penyanyi tenor ternama dari Italia, sebagai pujian atas kesediaan Pavaroti ikut menggugah dunia atas nasib anak anak yang dilanda perang. Pavarotti setiap tahun menyelenggarakan konser charity “Pavarotti and Friends” dikota kelahirannya Modena Italy, dengan mengajak para musisi dunia seperti Andrea Bocelli, Jon Bon Jovi, Bryan Adams, Bono, James Brown, Mariah Carey, Eric Clapton, Sheryl Crow, Céline Dion, Anastacia, Elton John, Deep Purple, Meat Loaf, Queen, George Michael, Sting and the Spice Girls, untuk mengumpulkan dana bagi anak anak terlantar korban perang dan tragedi Bosnia, Guatemala, Kosovo and Iraq.

Mungkin “hati yang lebih besar dari suara” ini juga yang saya temui ketika berbincang dengan para sahabat, baik didunia nyata maupun Facebook dan dunia maya. Ada keinginanan kuat untuk saling berbagi “lesson learned” tentang pengalaman dalam membangkitkan gairah untuk lebih maju, lebih kreative dan mewujudkan sistem inovasi ditempat kerja nya.

Ambil contoh, kini banyak kepala daerah, kepala kantor kecamatan, lurah, kapolsek, dandim dan perangkat pemerintahan lainnya, yang secara sendiri sendiri tanpa diundang mereka mengambil inisiatip untuk berinovasi.

Fokus mereka adalah menemukan model inovasi yang mampu membangkitkan potensi daerah untuk lebih kompetitif dan mampu tumbuh lebih cepat sehingga kesejahteraan masyarakat diwilayah meraka dapat ditingkatkan dan kemiskinan dapat dikurangi.

Kini para bupati dan walikota ini ingin menemukan jawaban apakah inovasi dapat digerakkan sebagai kekuatan pembangkit potensi kesejahteraan dan menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit.
Ada Bupati yang ber Inovasi , menemukan terobosan untuk menggunakan ICT, Information Communicaion Technology dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas pegawai negeri sipil di Wilayahnya.

Inovasi untuk memanfaatkan ICT bagi upaya membangun sistem jaingan kerja di kawasan batik agar para perancang batik dapat menciptakan pelbagai alternatip corak dan motip batik, agar konsumen dapat memesan batik secara online dan agar para pembatik dapat meprediksi kemajuan pengusaha batik saingannya.

Melalui sistem inovasi daya saing dapat ditingkatkan.

Inovasi adalah segala jenis kegiatan akuisisi, pengetahuan dengan meniru dan mencontoh model kegiatan dari wilayah ekonomi lain yang baik. Telah muncul kegiatan adopsi iptek untuk meningkatkan produktivitas persatuan tenaga kerja dan pesatuan hektar lahan .

Semuanya merupakan proses adaptasi terhadap trend global disruption atau perubahan prilaku masyarakat global dan lokal akibat kemajuan teknologi dan konektivitas internet. Yang mendorong semua warga untuk menjadi jauh lebih efisien dan lebih produktip.

Melalui keterbatasan yang dimiliki mereka semua berupaya menemukan :”langkah out of the box thinking” untuk membawa secara bertahap masyarakatnya menjadi lebih sejahtera dengan memanfaatkan potency lokalnya.

What come from heart will go to the heart, apa yang dikerjakan dengan sepenuh hati pasti akan menyentuh hati yang lain untuk lebih terbuka pada kemajuan. Mungkin itulah definisi inovasi dari para Sahabat yang saya temui didunia maya dan dunia riel setiap Hari.
Yg membuat kita optimis Indonesia akan jauh lebih maju di masa depan.

Salam

Advertisement

Merevitalisasi Fungsi Inovasi BUMN RI

Amir F Manurung
Kandidat Doktor Kebijakan Iptek dan Inovasi,
The National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang.
PPI Jepang (ppidunia.org)

Perhimpunan Pelajar Indonesia
Kompas – 17/01/2018

“Jika BUMN milik rakyat Indonesia, apa fungsi nyatanya bagi saya?”

JIKA seorang WNI mengajukan pertanyaan di atas, seharusnya kita bisa menjawab terus-terang, terukur, dan tak mengawang-awang. Bila ingin tetap hidup, BUMN atau institusi mana pun adalah buatan manusia di konteks modern mutlak wajib terus beradatasi mengikuti perkembangan zaman.

Di masa serba canggih seperti sekarang, rasanya sulit paling tidak bagi generasi penerus Indonesia untuk mengerti sepenuhnya fungsi BUMN bagi tiap kelas masyarakat.

Coba saja lihat segala gadget dan segala aplikasinya yang kaum muda pegang sehari-hari, hampir tak ada keluaran BUMN, kecuali produk ZTE yang merupakan badan usaha berorientasi profit milik pemerintah China. Meski memberikan pengecualian, produk teknologi tinggi asal China itu tidak bisa sepenuhnya berkolerasi dengan format kepemilikan produsen perusahaan.

Sebaliknya, sebagai korporasi, latar belakang pemerintah di belakang ZTE lebih merupakan anomali dan bukan format umum di antara produsen komoditas inovasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Bila melihat sejarah, asal-muasal BUMN di dunia memang lebih berkolerasi dengan cara pemerintah menanggapi perkembangan lingkungan yang publik hadapi, termasuk karena faktor hadirnya teknologi baru.

Di dunia, BUMN bukanlah lembaga yang pemerintah bentuk untuk memicu munculnya inovasi baru. Vaksin, telepon, utilitas arus listrik, pesawat terbang, adalah sebagian temuan di era modern yang meskipun kerap jadi inti bisnis BUMN.
Namun, semuanya adalah hasil risetak ademia di rumah sakit, perguruan tinggi, atau instansi swasta.

Kita dapat melihat rumah sakit dan perguruan tinggi melakukan penelitian semata adalah demi memaksimalkan peran publik masing-masing. Adapun tujuan swasta menjalankan riset adalah mentransformasikan temuannya terutama bagi kepentingan operasi bisnis sendiri.

Di lain pihak, dengan sifat BUMN yang mengantongi dua dimensi menjalankan suatu sistem produksi dan melayani publik di luar diri mereka sendiri, riset ilmu pengetahuan di entitas ini pun bisa kita artikan sebagai upaya mereka mengembangkan kapabilitas fungsi diri dalam masyarakat.

Di konteks negara berkembang yang upaya industrialisasinya sering menghalangi masalah kendala hambatan akses ke permodalan, menjadikan BUMN berinovasi nilainya makin vital.

Dalam kondisi memiliki modal lebih kecil, dibanding koleganya di negara maju, perusahaan swasta di negara berkembang akan lebih memilih menggunakan pengetahuan dan teknologi impor daripada menanggung risiko kegagalan riset mandiri.

Akibatnya, tanpa memberikan tugas inovasi bagi BUMN, sektor produksi di negara berkembang punya peluang lebih kecil belajar menjadi pemimpin kompetisi atau bahkan sekadar menjadi pengekor perkembangan teknologi.

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa penguasaan teknologi rendah berakibat suatu masyarakat tak mampu mendiversifikasikan sektor produksinya. Pada akhirnya mereka jatuh ke perangkap masyarakat berpenghasilan menengah (middle income trap) alias gagal mencapai cita-cita jadi makmur bersama.

Untuk itu, kita perlu mencermati bagaimana negara lain memicu kemampuan riset BUMN mereka.

Keberadaan mitra riset Sinopec, yang mayoritas besar di dalam negeri, bukan berarti perusahaan tersebut punya portofolio riset ideal karena berarti mereka kehilangan peluang lebih besar dari perkembangan pengetahuan di seluruh dunia. Tetapi yang pasti, Sinopec saat ini punya akar rumput pengembangan pengetahuan luas di seantero China.

Perlu penulis tekankan, riset ilmiah bukanlah tugas Sinopec sebagai BUMN, tapi lembaga-lembaga lain. Sinopec sebagai perusahaan negara memberikan distribusi peluang lebih luas agar lembaga-lembaga negara lain untuk memiliki akses berkontribusi bagi pengembangan pengetahuan yang BUMN itu butuhkan.

Belajar dari evolusi ketenagakerjaan riset Sinopec tersebut, penting bagi Pertamina dan BUMN lain di Indonesia untuk melihat inovasi bukan sebagai beban, melainkan semata mengadaptasikan kontribusi mereka dalam pergerakan bangsa.

Inovasi BUMN01

Pada grafik di atas, kita bisa melihat data Scopus (basis data karya ilmiah internasional) atas produktivitas publikasi ilmiah berbagai BUMN di dunia dan satu pemain lama (Royal Dutch Shell) dari kelompok swasta pada sektor industri sama yang masuk kelompok elite Fortune 500 pada 2017. Pertamina adalah salah satunya.

Dari grafik tersebut, kita bisa melihat bahwa sebagai salah satu pemimpin di bidang penyulingan minyak, Shell sudah aktif melakukan riset ilmiah sejak sebelum era Perang Dunia II.

Di era 1990-an, BUMN dari China, Brasil dan Norwegia mulai menggenjot riset mandiri masing-masing, bahkan akhirnya bisa melampaui tingkat produktivitas Shell, dalam hal publikasi artikel ilmiah internasional.

Pertamina, yang menurut data Scopus memiliki indikasi investasi paling rendah dalam hal inovasi di antara BUMN kelas Fortune 500, perlu mempelajari dan mempraktikkan strategi Sinopec, China National Petroleum, serta perusahaan negara lain yang beradaptasi dengan cara memperdalam komitmen kepada iptek, meniru perilaku swasta “jagoan” di sektor mereka.

Jika mencermati sedikit lebih dalam rekaman bibliometrik khusus ke Sinopec, yang berada di jajaran top baik di daftar umum Fortune 500 maupun data Scopus, kita bisa menarik pelajaran bahwa BUMN tersebut punya peran mendifusikan jenis pengetahuan yang mungkin sulit diakses lembaga lain di China.

Dalam Laporan Publik tahun 2016, Sinopec menggelontorkan dana riset sekitar Rp 12,1 triliun (Sinopec, 2017, halaman 25). Dana tersebut adalah untuk penelitian operasi hulu-hilir mereka (Sinopec, 2017, halaman 17).

Data Scopus menunjukkan bahwa aktivitas riset Sinopec punya implikasi ke publik. Pada grafik bisa kita lihat bahwa pada tahun 2000, hampir tiga perempat laporan ilmiah Sinopec mengandalkan tenaga internal sendiri. Situasinya berubah cukup dramatis sekitar 17 tahun kemudian.

Pada akhir 2017, tenaga Sinopec berubah menjadi minoritas dalam memproduksi publikasi ilmiah. Variasi latar belakang sumber daya manusia yang turut berkontribusi agar BUMN tersebut sanggup menghimpun pengetahuan baru juga makin banyak, berasal dari pusat dan daerah.

Saat ini, lebih dari separuh kontributor riset Sinopec memiliki afilitas di lembaga-lembaga dalam negeri China dan hanya sekitar 5 persen berasal dari luar negeri.

Inovasi BUMN02

Kontrak sosial baru

Ada satu pelajaran penting lain dari penggalian latar belakang artikel ilmiah Sinopec di atas: seseorang atau satu lembaga tidak mungkin bisa berinovasi sendirian.

Jan Fagerberg dalam buku The Oxford Handbook of Innovation (2005) bahkan menuliskan arti inovasi sebagai upaya yang tidak bisa dihasilkan dari langkah linear melakukan riset ilmiah dan dilanjutkan pada upaya komersialisasi hasil penelitian (Fagerberg, 2005, halaman 08-09).

Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa temuan vaksin, telepon, utilitas arus listrik, pesawat terbang, atau segala invensi lain tak akan berkembang tanpa adanya aliansi manusia-manusia yang memiliki banyak latar belakang keahlian berbeda.

Dari peneliti dan insinyur, sampai pengacara dan ahli keuangan, semua penting untuk membangun sistem inovasi.

alam paradigma itu, kita bisa lihat bahwa inovasi punya semangat demokratis, yaitu mendorong semangat gotong-royong anggota masyarakat untuk saling berkolaborasi.

Dari contoh Sinopec tadi, kita bisa melihat secara jelas bahwa perusahaan tersebut sekarang ada di posisi membutuhkan dan dibutuhkan insitusi lain untuk bisa berinovasi secara teknologi.

Karena sifatnya yang menciptakan saling ketergantungan, inovasi mensyarakatkan transparansi tinggi untuk menurunkan hambatan interaksi sosial akibat adanya ketidakpercayaan.

Namun, menumbuhkan budaya inovasi juga sekaligus bermanfaat untuk menciptakan suasana saling percaya. Itu karena inovasi memerlukan fondasi pola pikir ilmiah yang sangat bergantung pada pensintesisan dan peninjauan fakta berdasarkan data.

Untuk menjalankan roda inovasi sarat nilai ilmiah tersebut, BUMN perlu mengambil inisiatif aktif mencari dan memperkenalkan diri ke aktor-aktor pelaku riset di seluruh Indonesia (termasuk industri swasta nasional) dan mancanegara yang berpotensi menopang aktivitas riset mereka.

Kegigihan BUMN mempromosikan diri sangat penting, lebih-lebih saat menghadapi aktor lembaga yang mungkin secara tidak sadar tak menginginkan adanya perubahan dalam perannya atau lingkungannya.

Dalam hal ini, menyadari pentingnya fungsi pionir inovasi BUMN, pemerintah Jepang bahkan pernah mengikat NTT secara permanen untuk mengutamakan mempromosikan litbang dan mendiseminasikan hasilnya sebelum BUMN itu diprivatisasikan pada 1985.(Lihat “Act on Nippon Telegraph and Telephone Corporation, etc. Act No. [85 of December 25, 1984] as amended last by Act No. 87 of July 26, 2005”).

Dalam pengertian ilmu ekonomi, strategi mandat promosi litbang bagi Nippon Telegraph and Telephone (NTT) sangat rasional, karena perusahaan yang menguasai pasar menyerupai kekuatan monopoli cenderung tidak efesien dan akhirnya menetapkan harga juallebih tinggi untuk konsumsi publik.

Dengan menginstruksikan NTT secara abadi menjadi tulang punggung riset negara di sektornya, pemerintah menstimulasikan rantai industri dalam negeri, penopang badan usaha tersebut, untuk menciptakan kapabilitas dinamik yang akhirnya mengumpanbalikkan perbaikan efesiensi bagi proses kerja NTT sendiri.

Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan agar setiap perusahaan BUMN memiliki fungsi inovasi bagi publik seperti langkah pemerintah Jepang tersebut.

Di tataran kebijakan, ancaman menjadikan BUMN instrumen inovasi adalah sikap laten ego sektoral badan-badan pemerintahan. Sesungguhnya, sikap tersebut sangat mungkin punya landasan mengingat suatu instansi dapat mudah berdalih bahwa tugas membina BUMN adalah tugas Kementerian BUMN.

Padahal, kembali seperti jelas terlihat di contoh Sinopec di atas, inovasi suatu BUMN bergantung pada sektor-sektor di perguruan tinggi, bidang pemerintahan bertautan (seperti bidang mineral, industri, dan lainnya), pemerintahan daerah, serta lembaga-lembaga riset pusat dan daerah.

Untuk itu, Kementerian BUMN RI perlu mencari dan mendapat pertolongan dari kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.

Agar koordinasi berkualitas tinggi bisa tercapai, Presiden RI perlu mengawasi dan membina secara langsung supaya lembaga-lembaga pemerintah menghormati dan mendukung proses pembangkitan fungsi inovasi BUMN.

Saran ini tidak terlalu berlebihan, mengingat secara struktural posisi kepemimpinan pemerintahan inovasi di Jepang, Korea Selatan, dan China ada di kepala pemerintahan bukan tingkat kementerian.

Kita perlu percaya Presiden Joko Widodo tidak akan keberatan untuk melakukannya. Jika presiden menjalankannya, maka itu jadi prestasi yang belum pernah berhasil diukir oleh presiden-presiden sebelumnya.

Karena kita butuh menjadikan BUMN memiliki kontrak sosial baru dengan semua warga negara Indonesia dengan mentransformasikan diri jadi wahana yang terbuka bagi publik secara lebih luas untuk langsung berkontribusi secara intelektual bagi pembangunan.

Kalau itu tercapai, kita bisa menjawab pertanyaan yang tadi dilontarkan di bagian atas tulisan ini adalah BUMN adalah tempat di mana kita, rakyat Indonesia, bisa ikut lebih leluasa berinovasi.

Mengapa Model Entrepreneur Start Up dan “Silicon Valley” Perlu Dikembangkan ?

JUSMAN SYAFII DJAMAL·SATURDAY, FEBRUARY 3, 2018

Istilah ‘kewiraswastaan’ atau entrepreneurship, dikenalkan pertama sekali oleh Ekonom Prancis Jean-Baptiste Say pada abad ke 19.Pada saat itu konsep tersebut tidak dipandang penting oleh para ekonom mainstream. Baru pada tahun 1920an, ekonom Austria Joseph Schumpeter mengusulkan sebuah paradigma alternatif untuk menjelaskan fenomena perubahan ekonomi dengan cara berbeda.

Schumpeter tahun 1934 menulis buku yang memusatkan perhatian pada fenomena perubahan siklus bisnis revolusi industri pertama.Menurutnya keuntungan perusahaan akan menurun saat teknologi yang digunakan telah mencapai titik jenuh. Kemunculan teknologi baru memungkinkan perusahaan atau negara lain untuk melampaui kemampuan manufaktur bangsa dan negara Inggris ketika itu. Dia menggambarkan proses ini sebagai ‘penghancuran bisnis akibat daya kreatif’ atau creative destruction. Lahir pengusaha baru yang memanfaatkan teknologi baru yang menjadi basis penciptaan industri yang sama sekali baru.

Sementara pada saat bersamaan, industri yang berpegangan pada teknologi tua kadaluarsa tidak mampu lagi mempertahankan keunggulan produknya dalam persaingan di pasar. Revenue stream nya mandeg, dan berangsur angsur sirna.

Fokus utama Schumpeter pada tulisan itu sebetulnya adalah pada munculnya fenomena jenis kewiraswastaan baru . Entrepreneur jenis baru yang memanfaatkan kemajuan teknologi baru sebagai dasar bagi pertumbuhan usaha kecil menengah baru dan sebagai hasil dari penghancuran kreatif dari waktu ke waktu dapat menjadi industry besar menjadi sumber pencipta kekayaan .

Schumpeter menganggap pengusaha jenis baru itu bukan sebagai individu yang hanya merespons peluang pasar, melainkan entrepreneur yang mengembangkan dan mewujudkan visi pribadi mereka sendiri tentang apa yang akan menjadi “leading industry” dimasa depan dengan mengandalkan intuisi mereka. Dia mengidentifikasi lima jenis kesempatan : 1. Produksi produk baru atau kualitas yang sama sekali baru yang ada pada produk. 2. Pengenalan metode produksi baru 3. Terciptanya bentuk baru organisasi industry 4. Pembukaan pasar baru dan 5. Pembukaan mata rantai sumber pasokan baru.

Selanjutnya Schumpeter pada tahun 1954 mengalihkan perhatiannya ke perusahaan-perusahaan besar yang ada. Kesimpulannya adalah bahwa perusahaan besar ternyata cenderung tidak terlibat dan tidak terpengaruh oleh apa yang disebutnya sebagai proses penghancuran kreatif. Sebaliknya mereka cenderung terlibat dalam ‘akumulasi kreatif’, mengeksploitasi pengetahuan akumulatif yang telah dikuasai mereka dalam pengembangan produk dan layanan generasi berikutnya.

Jadi perusahaan besar ternyata menjadi follower dari perusahaan kecil dan menengah yang merintis jalan baru dari pemanfaatan teknologi baru. Ujung tombak pertumbuhan akselerasi penguasaan teknologi baru menurut Schumpeter adalah industry kecil menengah atau entrepreneur start up.

Ada harapan bernada romantis tentang entrepreneurship dalam masyarakat. Yang menganggap bahwa wiraswasta itu modalnya Cuma dengkul dan otak belaka. Alias setiap orang pintar atau kelompok pengusaha kecil yang bekerja keras di laboratorium garasi atau universitas untuk menghasilkan inovasi teknologi yang sama sekali baru. Dan dengan kerja keras inovasi itu akan menjadi sumber kekayaan baru. Universitas , pusat Riset tidak perlu dana. Sebab fikiran dapat dimanfaatkan jadi inovasi yang mengalirkan ung, jadi mengapa harus perlu dana atau kapital tambahan . Itu pola fikir yang tombul.

Sehingga seringkali disebut Universitas itu selalu hasilkan Riset Kertas tanpa implementasi karena pola fikir ini tumbuh. Banyak yang berpendapat bahwa Dari universitas dengan hasil hasil risetnya pastilah akan berujung pada peluncuran produk atau proposisi layanan baru untuk menerobos dan menciptakan pasar yang baru.

Meski kejadian dan harapan semacam itu akan muncul terus Akan tetapi disaat seperti sekarang tidak mungkin ilmuwan atau kelompok ilmuwan di pusat Riset Universitas akan mampu melahirkan terobosan luar biasa. Tanpa dukungan infrastruktur memadai. Hal ini karena karena teknologi menjadi lebih kompleks.

Semakin sulit bagi individu atau kelompok kecil individu untuk memiliki pengetahuan dan sumber daya pengembangan dan komersialisasi teknologi baru secara radikal, tanpa dukungan Negara atau Perusahaan Besar.

Dua perusahaan terkaya di dunia dalam hal nilai pasarnya , kini dipegang oleh Apple dan Google, keduanya berbasis di Silicon Valley, California. Slicon Valley dikenal sebagai sumber kekayaan kewirausahaan yang terkemuka. Riset Pengembangan Produk dan Teknologi baru di jantung Silicon Valley, menghasilkan paten industri lebih banyak daripada yang lain. Wilayah geografis kecil ini berada di peringkat ke-17 di dunia untuk produksi paten jika dibandingkan dengan semua negara lain. dan

Silicon Valley menjadi kelompok ‘inovasi terdepan di dunia’. Dalam cluster ini, teknologi baru dikembangkan dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi daripada di tempat lain di dunia. Ekosistem yang mencerminkan lingkungan inovasi dengan infrastruktur padat modal, keahlian dan bakat yang dapat mendukung pengembangan industri baru dan cara baru dalam berbisnis.

Ekosistem cluster terdiri dari perusahaan start-up, perusahaan jasa profesional yang mendukung proses start up dan perusahaan besar serta jaringan perbankan dan investor. Fokus inovasi pada upaya mempertahankan pertumbuhan jangka panjang melalui penekanan terus-menerus pada wirausaha berbasis teknologi.

Sumber daya manusia, modal, dan pengetahuan sangat mobile dan laju transaksi didorong oleh pengejaran kesempatan, pembelanjaan bertahap, dan siklus model bisnis singkat’ tanpa henti.Silicon Valley, bersama dengan pusat inovasi lainnya di tempat lain di dunia, sangat bergantung pada pengusaha yang didukung oleh infrastruktur yang merupakan investor modal ventura, perusahaan dewasa bertindak sebagai investor strategis, universitas, pemerintah, pusat litbang dan penyedia layanan khusus.

Infrastruktur iptek, kawasan inovasi, dan Jaringan kerjasama yang dibangun secara sengaja oleh inisiatip Pemerintah dan merupakan tulang punggung para Ilmuwan dan engineer untuk bekerja membangun kesejahteraan bersama, sangat diperlukan. Sama pentingnya dengan dengan infrastruktur jalan raya, bandara, pelabuhan dan jalan Kereta API.

Salam

Inovasi Digital yang Inklusif

Nyoman Pujawan ;
Profesor Bidang Supply Chain Engineering,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
KOMPAS, 17 Februari 2018

Banyak pesan penting dan menarik dari Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada 23-26 Januari lalu.

Hadir dan memberikan pemikirannya pada forum bergengsi tersebut adalah para pemimpin negara, pemimpin perusahaan besar, maupun para pemikir terkenal. Salah satu tokoh yang isi pembicaraannya cukup menarik adalah Perdana Menteri Inggris Theresa May. Dalam pidatonya, Theresa May sangat lugas membawakan tema tentang bagaimana Inggris menghadapi inovasi teknologi yang telah mengubah lanskap bisnis, sosial, politik, maupun pelayanan publik.

Perkembangan teknologi dewasa ini memang luar biasa. Digitalisasi dan otomasi adalah dua kata yang mencerminkan perubahan besar yang menyertai kehidupan kita saat ini. Dua hal tersebut mengubah kehidupan sosial masyarakat, merevolusi model bisnis, serta mengubah cara pemerintah melayani masyarakat. Inovasi teknologi ini bahkan juga mengubah politik ekonomi dunia, mengubah cara orang mendapatkan pendidikan dan mengubah cara pengobatan terhadap berbagai penyakit.

Berbagai inovasi ini menawarkan kemudahan sekaligus memunculkan tantangan. Di bidang otomasi, berbagai teknologi baru mulai digunakan untuk kegiatan produksi, transportasi, dan pergudangan. Sebagai contoh, perusahaan daring (online) Amazon dan perusahaan logistik DHL telah menggunakan drone untuk mengangkut barang pesanan pelanggan ke alamat mereka. Truk tanpa sopir juga sudah mulai diuji coba oleh beberapa perusahaan angkutan barang di AS.

Baru-baru ini perusahaan sepatu Nike dan Adidas merilis rencana mereka menggunakan robot dalam kegiatan produksinya. Alibaba, raksasa ritel daring di China, telah menggunakan robot untuk memindahkan barang di dalam gudang. Robot-robot tersebut mampu mengangkut barang dengan berat 500 kilogram dan memiliki sensor untuk menghindari tabrakan di area gudang.

Teknologi baru memang selalu menjanjikan kemudahan. Drone yang digunakan untuk mengirim barang ke pelanggan mengurangi persoalan kemacetan jalan. Penggunaan truk tanpa sopir diperkirakan bisa meningkatkan produktivitas, mengurangi kecelakaan, dan mempercepat pengiriman barang sampai ke tempat tujuan karena truk tanpa sopir ini tak lagi dibatasi oleh jam kerja.

Persoalan

Terlepas dari berbagai keunggulan yang ditawarkan teknologi tersebut, ada banyak sisi lain yang harus kita waspadai. Salah satu tantangan nyata adalah lapangan pekerjaan. Otomasi di kegiatan produksi, transportasi, pergudangan, perbankan, serta digitalisasi perdagangan mengancam begitu banyak lapangan pekerjaan. ILO (Organisasi Buruh Internasional) bahkan memprediksi bahwa dalam 20 tahun mendatang sekitar 56 persen dari tenaga kerja di kawasan Asia Tenggara akan terkena risiko tergantikan oleh mesin sebagai konsekuensi dari otomasi secara besar-besaran. Senada dengan itu, sebuah tulisan di Dailymail Online, 29 November 2017, menyebutkan bahwa sekitar 800 juta pekerja akan tergantikan oleh robot pada tahun 2030.

Kalau kita melihat struktur rantai pasok dari berbagai barang seperti sepatu dan garmen, saat ini Indonesia memperoleh banyak sekali lapangan kerja akibat kebijakan subkontrak yang dilakukan perusahaan pemegang merek besar dunia. Ketika robot makin banyak digunakan, konfigurasi rantai pasok global akan berubah, di mana produksi tidak lagi harus dilakukan di negara-negara dengan tenaga kerja murah seperti di Indonesia, tetapi bisa lebih mendekati pasar, termasuk di negara-negara maju yang biaya tenaga kerjanya mahal.

Perusahaan yang selama ini bekerja dengan model rantai pasok global karena ingin mencari lokasi produksi dengan biaya tenaga kerja murah akan mengubah strateginya menjadi apa yang mereka sebut sebagai nearshoring, yakni memindahkan fasilitas produksi ke lokasi yang dekat pasar. Tentu bagi Indonesia hal ini menghadirkan tantangan besar dalam penyediaan lapangan kerja di masa mendatang.

Penggantian tenaga kerja oleh mesin juga akan merambah berbagai pekerjaan lain, seperti pekerjaan kantoran yang sangat berulang, sistematis, dan teknis. Substitusi oleh mesin sudah dan akan terjadi di pekerjaan restoran cepat saji, sektor perbankan, agen perjalanan, dan di berbagai sektor lainnya.

Isu tergantikannya pekerjaan manusia oleh mesin sebenarnya sudah jadi diskusi yang cukup lama. Tahun 2011, dua profesor dari MIT, Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee, memublikasikan buku berjudul Race Against the Machine. Buku ini mengulas bagaimana teknologi memberikan kemudahan bagi manusia, tetapi juga memunculkan ancaman berkurangnya lapangan pekerjaan. Lebih lanjut juga dipaparkan data bahwa kemajuan teknologi tidak memberikan manfaat yang merata bagi semua orang. Kemajuan teknologi ditengarai justru menciptakan kesenjangan ekonomi yang lebih tinggi di kalangan masyarakat.

Peran pemerintah

Kemajuan teknologi memang tidak bisa dibendung. Perusahaan yang menjalankan bisnis, organisasi pemerintahan yang melayani masyarakat, ataupun masyarakat secara individu tidak mungkin mengelak dari perkembangan teknologi karena memang banyak kemudahan yang ditawarkan dengan memanfaatkan teknologi tersebut.

Kementerian Perindustrian kabarnya sudah mulai mendorong perusahaan manufaktur besar untuk mengadopsi teknologi industri 4.0, sebuah inovasi yang menciptakan keterhubungan informasi dalam kegiatan produksi dan pengiriman barang. Namun, isu utama yang harus dihadapi pemerintah adalah konsekuensi dari implementasinya, bukan pada mau tidaknya perusahaan menggunakannya.

Tantangannya justru bagaimana pemerintah bisa berperan aktif dalam membuat kerangka yang komprehensif, yang mencakup regulasi, penyiapan SDM, pengurangan ketimpangan, dan peningkatan inklusivitas dari perkembangan teknologi ini. Pemerintah harus memiliki peta jalan yang jelas bagaimana menghadapi risiko perubahan peta lapangan kerja ke depan.

Harus ada tim yang memformulasikan langkah-langkah strategis dalam mencegah termarjinalkannya sebagian masyarakat karena tidak cukupnya kesempatan kerja atau tak punya keahlian memadai untuk mengambil pekerjaan yang ada. Sudah banyak kita dengar bahwa inovasi teknologi akan memunculkan peluang pekerjaan baru, tetapi peluang itu butuh keahlian yang baru juga. Implikasinya, perlu ada perubahan besar di sektor pendidikan dan pelatihan kerja.

Sebagai rujukan, kita bisa melihat apa yang dilakukan Inggris, misalnya. Dalam pidatonya di Davos, PM May secara tegas menyatakan sikap dan kebijakan Pemerintah Inggris menghadapi inovasi teknologi yang sangat pesat itu. Pertama, menyediakan dana sekitar 45 juta pound sterling untuk mencetak para doktor pada bidang kecerdasan buatan. Kedua, mereka juga membentuk apa yang dinamakan Institute of Coding, sebuah konsorsium besar yang melibatkan sekitar 25 perguruan tinggi serta perusahaan besar, seperti IBM, Cisco, Microsoft, dan British Telecom.
Misinya: menyiapkan tenaga kerja ahli dan terampil yang siap mengambil dan menciptakan pekerjaan di era ekonomi digital di masa mendatang.

Indonesia sebagai negara besar dengan ketimpangan ekonomi cukup lebar tentu harus bersiap lebih serius. Mampukah pemerintah menyiapkan lapangan kerja bagi lulusan sekolah/perguruan tinggi yang masuk ke dunia kerja maupun mereka yang pekerjaannya tergantikan oleh mesin? Apakah pemerintah sudah memformulasikan langkah strategis secara komprehensif, termasuk melibatkan perguruan tinggi dan industri?

Sudahkah ada mitigasi terhadap risiko melebarnya gap ekonomi akibat inovasi teknologi dan terpinggirkannya sebagian masyarakat yang tak mampu mengikuti perkembangan teknologi tersebut?

Kita harus mampu membuat inovasi teknologi nyaman bagi setiap orang, mampu meningkatkan pemerataan, merealisasikan ekonomi berkeadilan sosial, dan meningkatkan inklusivitas. Di era digital dewasa ini, mendengungkan kembali perlunya keadilan sosial dalam pembangunan ekonomi bahkan menjadi lebih penting dibandingkan dengan di era sebelumnya.

Transformasi Bisnis dalam Perubahan “Life Cycle “

Jusman Syafii Djamal
June 30, 2017 ·

Semua pakar ekonomi concern dengan penutupan gerai Seven Eleven dipelbagai sudut di Indonesia. Ada yang mengatakan sebabnya berasal dari Rule and Regulation Pemerintah. Sebab gerai seven eleven ini dianggap sebagai inovasi model bisnis.

Hibrida dari model bisnis toko kelontong dan restaurant. Variant dari konsep One Stop Shopping. Jika model bisnis ini berhasil tumbuh berkembang, bukan tidak mungkin Restorant Padang , atau Warung Tegal dan pelbagai restoran tradisional lainnya akan tumbuh maju, dengan bergabung ke Alfamart atau gerai toko kelontong lainnya.

Sayang concern seperti ini tidak terlihat ketika Pasar Klewer terbakar dan gerai tradisional milik UMKM, restoran padang, warung tegal dan pedal madiun banyak juga terancam gulung tikar.

Mengapa model bisnis hibrida ini tenggelam ? Ada yang menyebutnya karena dua kementerian yang urus izinnya tak berada dalam platform kebijakan yang sama.
Sebagai restoran izin harus datang dari Kementerian Parawisata. Sebagai gerai toko kelontong atau distribution channel, izin datang dari Kementerian Perdagangan. Dua kementerian ini dianggap tidak sinkron. Paling tidak secara prinsip berdiri diatas fondasi berbeda. Sebagai restoran tidak ada pembatasan modal asing, boleh 100% dimiliki Jepang atau asing lainnya. Sebab modal bisnis nya sudah melebihi pagu 10 Milliar.

Hanya restoran bermodal 10 M kebawah, kepemilikan asing dibatasi. Sebab asumsi yang digunakan tak mungkin ada pengusaha Restoran Indonesia punya uang melebihi 10 M.

Sementara di kementerian perdagangan, kepemilikan asing dalam distribution channel dibatasi. Tidak boleh 100 %. Akibatnya model bisnis hibrida yang menngawinsilangkan model bisnis retail dan distribution channel dengan restaurant akan terbentur “conflict” dalam aturan dan tatacara memiliki izin usaha.

Apa benar begitu ?

Apa yang dialami oleh model bisnis hibrida ini juga ditemui dalam bisnis aplikasi. Uber Taxi, Grab, GoJek dan Arbnb. Sebagai usaha transportasi syarat syarat bisnis nya ditetapkan oleh kementerian perhubungan. Sebagai bisnis aplikasi syarat syaratnya ditentukan oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi.

Tapi mengapa model bisnis hibrida ini tidak bangkrut dan malah sebaliknya jaya ?

Salah satu sebabnya adalah karena kementerian Kominfo sebelumnya merupakan salah satu Direktorat Jenderal di Kementerian Perhubungan. Baru pada tahun 2014 kementerian ini dipisah oleh Presiden SBY. Sebagai anak dari satu induk tatakelola nya mengandung DNA yang sama. Jadi tidak ada konflik. Apa begitu ?
Penjelasan tingkah laku birokrasi atau DNA tatakelola sebagai sebab musabab bangkrutnya sebuah perusahaan disatu sisi ada benarnya, tetapi disisi lain juga memerlukan kajian mendalam. Sebab bangkrut tidaknya sebuah perusahaan faktornya bermacam macam.

Diantaranya perubahan lingkungan strategis akibat proses Deregulasi yang seperti banjir bandang. Seperti kepemilikan saham 100 % boleh dimiliki asing untuk 35 sektor usaha memang bisa bikin tenggelam semua perusahaan indonesia yang sudah bertahun tahun ada disana.

Dalam bisnis berlaku hukum Darwin. Teoritikus model bisnis menyebutnya sebagai Darwinism in Business model. Tiap model bisnis memiliki “life cycle”, daur hidup. Tumbuh secara tahap demi tahap melalui proses Embryonic, Balita, Produktip, Jenuh dan Kadaluarsa menghilang dari permukaan. Schumpeter seorang ahli ekonomi tahun 1934 menulis buku tentang diklus bisnis yang dapat timbul tenggelam.

Ia menyebutkan bahwa Inovasi yang melahirkan tatacara baru, proses produksi baru, produk baru dan jalan baru dalam menemukan “revenue stream” sumber pendapatan baru, biasanya akan melahirkan “landskap ekonomi baru”.
Dan kekuatan inovasi merupakan “engine for growth” serta “means of survival’. Hanya mereka yang cerdas dan selalu berinovasi yang tidak tenggelam dalam perubahan zaman begitu kata Schumpeter kurang lebihnya.

Kisah IBM tahun 1990 merupakan contoh klasik bagaimana “inovation in doing business”, telah mampu membangkitkan kembali raksasa bisnis yang jatuh terjerembab karena membiarkan “perusahaan kecil Intel” memproduksi processor personal komputernya.

Sehingga ia membiarkan dalam setiap PC tertulis “Intel Inside”. Akibatnya Intel kemudian menguasai bisnis processor dan berhasil menjadi pemasok utama dalam semua processor yang menjadi jantung sebuah Personal Computer.

Melalui model business outsourcing yang dikembangkan oleh IBM diawal mula, perusahaan lain seperti HP, Dell, Acer, Toshiba dan lain sebagainya kemudian menjadi pesaing IBM. Sehingga kemudian dikenal sebuah nasihat berharga bagi semua CEO, agar berhati hati ketika menyusun strategi Outsourcing. :”Beware of Intel Inside”.

Seorang CEO harus extra hati2 ketika mau memutuskan “made it internally ” or “buy through outsourcing”. Perlu Hati hati pilih mitra. Sebab pangsa pasar bisa digerogoti mitra sendiri .

Kita bisa bangkrut oleh model bisnis yang dikembangkaq. Nasihat orang tua kita :”jangan memelihara anak macan dirumah sendiri”.

Ketika Lou Gestner seorang Ahli Bisnis Retailer atau waralaba ditunjuk menjadi CEO IBM, ia membuat program transformasi dengan judul :”Lets Make The Giants Dance”, Mari bangun Raksasa tidur ini mampu berdansa kembali.

Ia melakukan proses transforms bisnis dengan merestrukturisasi semua Portfolio business di IBM. Ia menjalankan strategy Move from Manufacture to Operator and be an Alocator. Pindahkan “core business” dari manufaktur menjadi operator dan kemudian konsolidasikan DNA business menjadi hibrida dari dua duanya. Integrator Manufakture maupun Operator.

IBM yang awalnya hanya semata mata menjadi manufaktur hardware Komputer Besar dan Komputer desktop, diubah dengan menambahkan “Portfolio bisnis” sehingga menjadi Industri pencipta Software dan Consultant Solusi Bussiness IT + Industri Manufaktur Hardware. Model hibrida dalam prilaku bisnis mendapatkan tempatnya.

Sejak saat itu kemudian kita amati lahir seorang Jeff Bezos yang menciptakan Amazon.com, memindai buku dari analog menjadi digital kemudian menciptakan supermarket digital dan akhirnya kini mengakuisisi semua gerai dan warehouse distribution channel menjadi raksasa. DIkenal istilah Busines Platform.

Model Bisnis Platform ini meniru langkah Airbus yang merekayasa pesawat terbang berdasarkan “family concept”, satu cocpit pesawat dan sayap pesawat dapat dikawinkan dengan pelbagai badan pesawat dengan daya angkut berbeda dan biaya persatuan tempat duduk lebih rendah. Dan variasi engine untuk tingkat efisiensi berbeda pula.

Konsep ini lahir dari tatacara Toyota dalam memproduksi mobil secara massal. Menciptakan satu Chassis untuk pelbagai jenis tipe mobil. Dari sebuah Platform lahir pelbagai “sungai dan mata air Revenue”.

Pendekatan ini yang mungkin diterapkan dalam model bisnis Seven Eleven. Sayangnya model bisnis hibrida ini kebentur proses deregulasi yang ada. Disektor Parawisata , semua bisnis restorant boleh 100 % dimiliki Asing sementara di Sektor Perdagangan ada pembatasan kepemilikan asing dalam bisnis.

Proses transformasi bisnis memang memerlukan kecerdasan dan “kesabaran revolusioner” untuk terus tekun dibidang bisnis yang sama. Sebab business memiliki “life cycle”, pasang surut dan gelombang perubahan.

Proses transformasi nya secara psikologis mirip seperti transformase dari orang yang terbiasa merokok menjadi orang tak merokok. Transformasi from smoker to non smoker bukan hanya berfokus pada upaya menghentikan kebiasaan merokok, tetapi juga merubah gaya hidup, pola makan dan segala sesuatu yang lahir dengan sendirinya dari upaya merubah kebiasaan.

Trans-formation berarti lintas bentuk dan format. Format lama ditinggalkan, bentuk kehidupan baru ditemukan. Dan itu tidak mudah. Ada bahaya kebangkrutan mengancam ditengah jalan.

Ditengah proses deregulasi yang terjadi melalui 15 paket Ekonomi dengan tujuan membuka lebar lebar pada investasi asing, kini semua “pengusaha” dan “industriawan” Indonesia didalam Negeri harus kembali menghitung ulang semua “bussiness portfolio” nya.

Maju terus dgn blue print masa lalu atau banting stir kearah berbeda.
Industri komponen Mobil dan Motor pemasok Industri mobil Toyota dan Hondan misalnya bagaimana mungkin bersaing dengan “pemberi lisensi” komponen dari Jepang dimasa lalu. Kini oleh kebijakan deregulasi telah diberi izin untuk berinvestasi didalam negeri 100 % tanpa mitra dalam negeri.

Begitu juga semua restoran dan gerai yang awalnya tumbuh dengan license dari luar harus mikir dua kali karena kini pemilik lisensi dapat hadir ketika pasar domestik sudah tumbuh besar.

Dgn kata lain Level of Playing Field kini sudah tidak sama seperti dimasa lalu. Kekuatan modal lebih menentukan panjang pendek nya nafas “life cycle” bisnis yang kita tekuni. Transformasi harus dilakukan dgn sengaja dan terancana sebelum terperangkap maju kena

Apa benar begitu ? Wallahu alam
Salam

Inovasi Disruptif

Muhammad Chatib Basri,
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Usianya belum lagi tiga puluh tahun. Gadis berambut pirang tersebut masih muda, tetapi ide dan kecerdasannya mengagumkan. Saya terkesima. Saat itu musim panas tahun 2015, tetapi angin sejuk bertiup dari semenanjung. Saya jadi ingat Mark Twain yang mengatakan, musim yang paling dingin di Amerika Serikat adalah musim panas di San Francisco. Twain benar.

Gadis itu menemani saya saat saya diundang mengunjungi beberapa perusahaan teknologi utama di Silicon Valley. Ketika saya bertanya, berapa rata-rata umur yang bekerja di sana, ia menjawab, “Belakangan ini semakin tua, akhir 20 tahunan.” Ada nada kekecewaan di akhir kalimatnya. Saya tersedak. Saat itu saya sadar—bagi anak-anak muda di Silicon Valley—saya adalah dinosaurus!

Redefinisi pekerjaan

Di sini, saya melihat bagaimana anak- anak muda bicara tentang ide-ide yang cemerlang. Lalu bagaimana regulator menempatkan dirinya dalam dunia yang berubah ini? Terus terang saya tak pandai benar menjawabnya. Dunia juga masih mereka-reka. Namun, ada beberapa hal yang mungkin perlu dibahas.

Pertama, revolusioner kah perubahan ini? Kita pernah mengalami revolusi industri pertama, yang mentransformasi metode produksi, tatanan sosial, meningkatkan produktivitas, dan mengubah taraf hidup. Penemuan mesin uap telah mengubah metode produksi. Industri tekstil berkembang pesat, tetapi kita mencatat sejarah yang kelam terhadap kaum buruh. Dengan sedih kita membaca novel Oliver Twist karya Charles Dickens atau Germinal karya Emile Zola. Namun, mimpi gelap bahwa mesin akan menggantikan buruh tak sepenuhnya benar.

Manusia melampaui musim dengan sebuah catatan penting dari Joseph Schumpeter: destruksi kreatif dalam jangka panjang justru memberikan kesempatan kerja baru. Ia juga mendorong kemakmuran. Barry Eichengreen dari University of California Berkeley menulis: yang terjadi bukanlah hilangnya pekerjaan, melainkan redefinisi pekerjaan. Tengok saja, profesi perawat, akuntan, atau pekerjaan lain mungkin tak hilang. Akan tetapi, ke depan, mereka membutuhkan kemampuan analitik untuk memanfaatkan big data dan teknologi.

Ini soalnya: transformasi untuk keahlian baru membutuhkan pendidikan atau pelatihan. Sayangnya, sarana pelatihan pemerintah terbatas. Anggaran pemerintah jelas terbatas. Lalu bagaimana? Ajak sektor swasta untuk melakukan pelatihan, on the job training. Caranya, dengan memberikan potongan pajak apabila mereka melakukan pelatihan atau pendidikan vokasi untuk keahlian baru.

Kedua, stress test yang dilakukan Bank Sentral Inggris, Bank of England, menunjukkan bagaimana teknologi keuangan (tekfin) memiliki dampak kepada penurunan pendapatan perbankan, walau perlu dicatat: di dalam jangka panjang akan meningkatkan kesempatan bagi dunia perbankan. Di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, kita melihat tarik-menarik terjadi antara bisnis konvensional dan yang baru. Kita membaca soal Uber, Gojek, tekfin, Airbnb, dan konflik yang semakin keras.

Mengikuti konsep ekonom Mancur Olson dalam karya seminalnya, The Logic of Collective Action, kita bisa menduga: mereka yang terpinggirkan akibat inovasi disruptif ini terkonsentrasi dan terorganisasi. Sebaliknya mereka yang mendapatkan manfaat dari perubahan ini tersebar luas. Akibatnya: tekanan politik dari kelompok yang merasa dirugikan akan lebih kuat dibanding konsumen penikmat digital teknologi.

Apabila ini terjadi, di dalam sistem demokrasi, ada kecenderungan regulator akan menjaga status quo ketimbang mendukung inovasi. Padahal, inovasi sangat dibutuhkan. Saya tak bisa membayangkan bagaimana inklusi keuangan atau pertumbuhnan ekonomi bisa meningkat apabila aturan mengenai teknologi keuangan begitu kaku. Dalam hal ini, regulator harus menarik garis yang adil antara inovasi dan perlindungan.

Mengubah cara pikir

Ketiga, regulator tidak lagi bisa menggunakan cara pikir lama. Revolusi dalam teknologi informasi ini menerobos hal-hal yang selama ini dianggap tak mungkin. Mereka yang belajar ilmu ekonomi tahu, nyaris tak mungkin menerapkan harga yang berbeda (diskriminasi harga) untuk tiap individu. Alasannya, informasi per individu terbatas. Kalaupun bisa, harganya sangat mahal dan hanya diperuntukkan bagi pelanggan yang amat kaya (high networth individual).

Ke depan, informasi dari big data memungkinkan untuk mempersonalisasi produk (bespoke), dan itu bisa dilakukan secara masif dengan biaya yang relatif murah. Artinya, produk atau harga dapat disesuaikan dengan selera dan daya beli individu. Saya tak akan terkejut jika asuransi, misalnya, bisa disesuaikan menurut kebutuhan individu. Jangka waktunya dapat disesuaikan jadi hitungan jam atau hari. Orang tak perlu membayar premi yang mahal karena waktunya pendek dan tujuannya spesifik. Saya menduga, di masa depan tingkat bunga bank dapat berbeda untuk individu berdasarkan profil risikonya, juga berbeda untuk jenis investasinya. Akibatnya, biaya monitor (monitoring cost) dalam pinjaman menjadi lebih murah. Berbagai ceruk pasar (niche market) akan tercipta dan setiap waktu berubah. Regulasi sulit untuk mengejar inovasi ini.

Bulan November 2017, di Tokyo, saya sempat mendiskusikan hal ini dengan Otoritas Jasa Keuangan Jepang. Kita setuju, cara pikir harus diubah. Regulasi berubah dari statis menjadi supervisi yang dinamis. Ia tak lagi mengatur hal-hal yang rinci. Regulasi lebih fokus kepada prinsip-prinsip dasar, misalnya perlindungan konsumen, level playing field, dan menjamin keterbukaan. Jika ia mulai mengatur masalah yang teknis dan rinci, ada risiko regulasi akan menjadi usang karena inovasi terjadi setiap waktu.

Di sinilah masalah akan timbul: bisakah regulator menjadi dinamis dan luwes. Kritik utama terhadap birokrasi adalah sifatnya yang tak luwes. Birokrasi juga bergerak atas dasar prinsip keseragaman dalam aturan. Lalu bagaimana ia harus menghadapi dinamika produk yang sifatnya semakin personal, luwes, dan membutuhkan diskresi?

Ketimpangan pendapatan

Ketiga, inovasi disruptif dalam jangka pendek dapat mendorong ketimpangan pendapatan. Ia akan memberikan keuntungan berlipat pada sekelompok kecil masyarakat yang berhasil mengembangkan idenya, sementara dalam jangka pendek pekerja tak terampil terancam kehilangan pekerjaan. Dalam jangka panjang, pekerja mungkin akan mendapatkan pekerjaan baru, tetapi ia membutuhkan keahlian baru juga. Mereka yang tak punya keterampilan baru akan terpinggirkan.

Proses penyesuaian ini bisa sangat pahit. Dan ini memiliki implikasi ekonomi politik yang serius. Bulan Oktober 2017, ketika saya berbicara untuk sebuah konferensi di Harvard University, saya sempat berdiskusi panjang dengan Jeffry Frieden, guru besar ekonomi politik di Harvard. Kami membahas mengapa tren anti globalisasi dan politik identitas meningkat dan berkembang di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), Eropa, Australia, Indonesia, dan negara lain.

Menurut Frieden ini tidak spesifik AS, Indonesia, atau Eropa. Ia terjadi di sejumlah negara pada saat yang bersamaan. Karena itu, penjelasannya tidak bisa khusus satu negara. Frieden mengajukan hipotesis: ketimpangan pendapatan dan kehilangan pekerjaanlah yang mendorong menguatnya politik identitas. Konsisten dengan ini, ekonom Dani Rodrik mengingatkan, ketimpangan ekonomi akan menimbulkan polarisasi politik apakah lewat politik identitas atau polarisasi kaya dan miskin.

Ini tema besar dalam ekonomi politik. Tak ada jawaban tunggal untuk masalah ini. Faktor politik, ideologi, dan sosiologis lain tentu berperan. Namun, lepas dari itu, hipotesis Frieden bisa jadi relevan ke depan. Erik Brynjolfsson dari Massachusetts Institute of Technology mengingatkan, teknologi menjadi faktor yang penting dalam menjelaskan ketimpangan pendapatan di AS saat ini.

Menariknya: alih-ahli menuding teknologi sebagai penyebab, reaksi yang muncul adalah politik identitas ala Donald Trump. Saya kira pemerintah di sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, akan dihadapkan dalam pilihan sulit. Mengekang teknologi dan inovasi akan membuat kemandekan dalam ekonomi, dan memperburuk kesejahteraan. Kelas konsumen —saya enggan menyebutnya kelas menengah—adalah professional complainers. Sebagai konsumen, mereka menikmati perubahan ini. Mereka akan menuntut inovasi dilanjutkan. Kita ingat, bagaimana pelarangan Gojek dibatalkan pemerintah dalam waktu sangat singkat karena protes masyarakat.

Di lain pihak, ketimpangan yang meningkat akan mendesak pemerintah berpihak. Di era demokrasi, tarik-menarik ini akan lebih rumit. Pemerintah perlu memberikan perlindungan agar proses penyesuaian ini tak terlalu pahit, tetapi tak mengekang inovasi. Sulitnya: tak ada formula untuk ini. Dialog antara pelaku ekonomi digital dan regulator menjadi amat penting. Sayangnya, waktu tak bersama kita. Perubahan terjadi begitu cepat. Saya masih ingat kata-kata gadis belia itu ketika saya menanyakan rata-rata umur pekerja di Silicon Valley , “It is getting older Sir, it is late twenties now”. Ada nada penyesalan dan khawatir di ujung kalimatnya. Saya juga khawatir. Namun, untuk sesuatu yang lain: apabila tak berubah, kita tinggal sejarah.

Anak Tiri Bernama Inovasi

Miftah Sabri
CEO Selasar Indonesia

Kompas, 26 Dec 2017

BEBERAPA bulan lalu, INSEAD, WIPO, dan Cornell SC Johnson College of Business meluncurkan The Global Innovation Index 2017 edisi ke-10.

Laporan dari proyek bersama tersebut menghasilkan pemeringkatan kinerja inovasi dari 127 negara yang meliputi 97 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.

Tak terlalu jauh dibanding Laporan tahun lalu, Switzerland berada pada posisi puncak. Di urutan lima besar selanjutnya adalah Swedia, Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris.

Satu-satunya negara Asia yang menduduki posisi sepuluh besar adalah Singapura. Sementara China semakin membuktikan diri bahwa negara Tirai Bambu itu proinovasi, yakni dengan menyabet posisi 22.

Menariknya, ada pula dua negara ASEAN lainnya yang masuk ke dalam 50 besar, yaitu Malaysia di peringkat 37 dan Vietnam 47. Thailand berada di urutan ke-51 dan Filipina ke-73.

Nahas, Indonesia hanya mampu berada di uturan ke-87 dan mengantongi skor 30,1 alias tidak sampai separuh dari skor tertinggi yang disandang oleh Swiss sebesar 67,7. Di bawah Indonesia adalah Kamboja di peringkat ke-101.

Jika kita coba bandingkan perkembangan GII Indonesia dan Vietnam, hasilnya agak kurang menggembirakan. Indonesia pernah lebih baik dari Vietnam tetapi tahun-tahun ke belakang Indonesia malah disalip.

Posisi Indonesia pada mulanya lebih tinggi dari Vietnam. Pada 2007, skor Indonesia 2,71 di urutan ke-49. Adapun Vietnam dengan skor 2,38 di urutan ke-65 (pada versi awal range skor adalah 0-10, kemudian berganti menjadi 0-100).

Pada 2009-2010, skor Indonesia persis sama dengan Vietnam, yaitu 2,95, tetapi Vietnam satu peringkat lebih tinggi.

Sialnya, setelah itu, Vietnam melesat kian meninggalkan Indonesia. Pada edisi terakhir, Vietnam justru telah masuk 50 besar, sementara Indonesia di posisi ke-87. Skor Indonesia 30,10 sedangkan Vietnam 38,34.

Rangking dan skor indeks inovasi dirinci per pilar, di antaranya Institutions, Human Capital and Research, Infrastructure, Market Sophistication, Business Sophistication, Knowledge and Technology Outputs, dan Creative Outputs.

Dari semua pilar tersebut, Indonesia tidak mampu berbicara banyak di level dunia dan Asia. Semua pilar rata-rata ada di posisi 50 ke atas.

Salah satu keunggulan Indonesia ada di pilar Market Sophistication, menempati posisi ke-62 pada 2016.

Market sophistication merupakan pilar yang terkait dengan kondisi pasar dan jumlah transaksi. Pilar ini terdiri dari beberapa subpilar, antara lain Credit; Investment; dan Trade, Competition and Market Scale.

Berdasarkan analisis sederhana, diperoleh hasil bahwa letak kekuatan Indonesia ialah pada Trade, Competition and Market Scale dengan Domestic Market Scale sebagai kekuatan utama.

Oleh karena itu, Indonesia perlu memberikan perhatian lebih terhadap bidang perdagangan, persaingan dan skala pasar khususnya skala pasar domestik jika ingin meningkatkan pengalaman pasar tanah air di kancah global. Semisal dengan terus mendorong dan memberi kemudahan berinovasi bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang kreatif dan berkelanjutan yang notabene memang telah terbukti mampu menopang perekonomian.

Faktor pasar sebenarnya adalah faktor yang sudah bisa ditebak. Pilar unggulan inovasi Indonesia yang satu ini, tetapi berbeda dari bidang ekonomi. Toh ekonomi nasional Indonesia sangat terbantu oleh pasar yang tercatat terbesar kelima di dunia.

Oleh karena itu pula mengapa pertumbuhan ekonomi sangat bergantung kepada naik turunnya tingkat konsumsi rumah tangga, yang kontribusinya berkisar 55 persen.

Dengan kata lain, keunggulan pasar yang didapat Indonesia bukan semata karena usaha aktif dari pemerintah atau semua institusi yang terkait dengan kemajuan inovasi nasional, tetapi memang sudah semestinya secara alamiah demikian.

Berlawanan dengan itu, pilar Institutions adalah pilar yang selalu terbelakang dari waktu ke waktu. Pada 2016, pilar ini menempati rangking 122 dengan skor 41,6. Tak pelak, institusi untuk bertumbuhkembangnya inovasi menjadi titik kelemahan Indonesia secara keseluruhan.

Hal itu terlihat jelas dari subpilar lingkungan politik, peraturan maupun kebijakan-kebijakan soal bisnis. Hampir tidak ada daya tarik dan kekuatan dari pilar institusi kelembagaan yang akan mendorong maju pesatnya inovasi di Tanah Air.

Beberapa hasil analisis membuktikan bahwa Indonesia masih lemah soal pembebasan kelebihan biaya yang terkait dengan lingkungan peraturan/regulasi serta lemah pada kenyamanan dalam memulai bisnis yang terkait dengan subpolar lingkungan bisnis.

Pekerjaan rumah pemerintah, mau tak mau, adalah segera melakukan pembenahan kelembagaan ke arah yang lebih kondusif bagi inovasi. Bila dibiarkan berlarut-larut, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menjadi negara yang benar-benar tidak ramah terhadap inovasi dan perubahan di mata dunia maupun masyarakatnya sendiri.

Selain pilar infrastruktur, Indonesia juga terbilang sangat lemah di pilar Business Sophistication yang menempati posisi 106 pada tahun lalu.

Pilar ini terkait dengan persoalan sejauh mana kondusifnya suatu perusahaan dalam melakukan aktivitas berinovasi di sebuah negara. Subpilar yang membentuknya terdiri dari Knowledge Workers; Innovation Linkages; dan Knowledge Absorption.

Kendati rangking secara keseluruhan kurang menggembirakan, terkait jaringan inovasi khususnya kolaborasi penelitian antaruniversitas dan atau industri serta dasar dari pembangunan klaster inovasi, Indonesia terbilang cukup baik.

Hal tersebut menjadi salah satu pertanda bahwa kolaborasi lintas bidang maupun klaster secara spasial kewilayahan dapat menunjang terciptanya hubungan jaringan inovasi bisnis.

Kembali ke masalah awal bahwa Indonesia harus dengan segala upaya mendorong lahirnya inovasi di berbagai bidang.

Inovasi adalah napas perubahan ke arah yang lebih baik. Tanpa inovasi, perubahan terkadang tak terukur, dan bahkan terbuka peluang untuk terus mundur. Mengapa bisa? Karena faktor institusi.

Jaminan politik dan keberpihakan sistem hukum kepada pelaku-pelaku ekonomi bisnis dan sosial inovatif menjadi kuncinya. Jika keberpihakan justru minim, bahkan boleh jadi tak ada sama sekali, maka setiap inovasi muncul, lalu berbenturan dengan tatanan lama, inovasi dipastikan kalah karena tidak memiliki jaminan hukum dan politik yang jelas.

Risikonya, pemerintah, sebagaimana yang kerab kita saksikan, kelabakan menengarai relasi konfliktual antara pelaku-pelaku usaha inovatif dan pemain-pemain lama yang cenderung sangat gigantis. Walhasil, stake holder, terutama masyarakat ikut terjebak di dalamnya, sebagai salah satu pemangku kepentingan, baik sebagai konsumen ataupun pelaku lapangan.

Oleh karena itu, sudah waktunya politisi-politisi, pemerintah, dan intitusi penegak hukum, untuk duduk bersama, berbicara tentang masa depan Indonesia dari perspektif inovasi nasional.

Tujuannya adalah agar segera lahir institusi-instutusi yang benar-benar menyamankan bagi aneka rupa inovasi yang sudah ada dan yang sedang berproses untuk hadir (terutama regulasi-regulasi, kebijakan-kebijakan, keberpihakan fiskal, sikap-sikap politik, dan lain-lain). Semoga.

Inovasi Tak Muncul Karena Selalu Ragu Dengan Olok-Olok ?

Jusman Syafii Djamal
June 19, 2017 ·

Strategi daya saing bertumpu pada upaya menemukan keunggulan produk atau proses berbeda. Memilih untuk berbeda. “Diferentiation” atau “cost leadership” jadi kata kunci. Dengan kata lain, daya saing tumbuh jika kita secara sengaja memilih sekumpulan aktivitas rekayasa, rancang bangun, dan proses pengolahan, untuk melahirkan produk berbeda dengan nilai guna yang unik dan otentik.
“Strategi berarti memilih mana aktivitas atau mana jalan yang tidak dipilih dan dijadikan prioritas,” begitu kata Steve Jobs.

Untuk membangun strategi daya saing, kita bisa melakukan langkah step by step atau lompatan jauh ke depan. Jika kita kurang sumber daya dalam jangka pendek, kita bisa melakukan langkah bermula dari akhir menuju awal. Dari hilir ke hulu, dimulai dengan melakukan proses ATM: Ambil, Tiru, dan Modi kasi. Lakukan program untuk imitasi, adopsi, dan rekayasa ulang produk yang ada di pasar hanya untuk menguasai konsep teknologi dan kekuatan pasar. Quality cost and delivery.

Tetapi, dalam jangka panjang, kita tak mungkin terus-menerus menjadi follower atau tukang copy paste. Perlu dilakukan proses pen- dalaman struktur industri. Penguasaan pasar, keahlian merawat dan memodi kasi, serta penguasaan jalur distribusi, harus dibarengi dengan langkah untuk menguasai keahlian rekayasa dan rancang bangun.
Dari tukang jahit, makloon, dan perakitan, diperkuat menjadi desainer atau perancang. Dari original equipment manufacture ditransformasi menjadi original design manufacture untuk kemudian membangun branding produk sendiri.

Langkah sistematis berkesinambungan untuk industi nasional mampu agar berdiri di atas kaki sendiri ini memerlukan perencanaan dan konsistensi. Diperlukan investasi dan inovasi untuk menjadi unggul dalam kompetisi di pasar domestik maupun international. Investasi memerlukan dukungan perbankan dan insentif fiskal yang memadai.

Keperluan dukungan nansial jangan terus dipandang sebagai ke- manjaan para industriawan untuk dibilang “ingin menyusui” dan tak mau maju-maju. Kalau pada industri international ada proses deregulasiyang memudahkan mereka masuk ke pasar domestik, dengan pelbagai insentif, kenapa untuk industriawan dan pengusaha dalam negeri tak diperbolehkan?

Amerika pun yang semula memberi keleluasaan pada industri dan perusahaan asing untuk menguasai pasar domestik dan membiarkan industrinya melakukan outsourcing, sebagai upaya mencari lokasi produksi berbiaya rendah, kini menghadapi buah simalakama. Industrinya terus merosot dan lapangan kerja tak tercipta.

Akibatnya, Donald Trump kini menegaskan, “American First”. Dahulukan kepentingan Amerika dengan melakukan proteksi. De-regulasi menjadi Re-regulasi, menata ulang postur dan kebijakan industrialisasinya dengan mengedepankan industri nasional.

Karenanya, sudah saatnya bagi kita untuk tak peduli cemoohan, yang selalu mengatakan bahwa perusahaan Indonesia itu tak bermutu, sekedar tukang jahit dan jago kandang saja.

Anggaplah cemoohan itu sebagai pecut untuk kita bekerja lebih keras. Sebab, penguasaan teknologi ibarat membaca buku yang rumit dan kompleks. Lebih baik dari akhir bab baru masuk introduksi. Ada langkah dan tahap demi tahap yang dilewati. Tiap jenis teknologi memiliki siklus hidup. Ada yang memiliki clockspeed cepat, ada yang lambat. Karena pasar tak mungkin menunggu.

Kita memang harus jago kandang. Kekuatan pasar domestik kita memang harus dimanfaatkan untuk menguasai teknologi. Jika kita di awal sudah keluar benteng karena takut dicemooh jago kandang, sama saja seperti pasukan yang menyerahkan jalur logistik pada musuh.

Kita jangan lengah pada perang urat syaraf yang selalu bilang, “Manusia bersumber daya iptek Indonesia kurang banyak, perlu tenaga ahli asing dan waktu lama untuk menguasai teknologi.” Akibatnya, kita tidak per- caya diri dan meninggalkan benteng pertahanan, yakni pasar domestik untuk dikuasai produk impor. Kita lantas hanya menjadi penonton dan pembeli. Semua industri dan perusahaan luar negeri pasti mengincar pasar domestik dari 250 juta orang di sini.

Keunggulan produk made in Indonesia hanya mungkin meningkat jika terjadi siklus produksi yang berkesinambungan. Pengalaman memproduksi barang dan jasa yang terus menerus hanya mungkin muncul jika ada interaksi, antara perusahaan dan industri domestik dengan pasar dalam negeri.

Hanya dengan keahlian memproduksi barang dan jasa, kita menemukan lahan subur untuk masuk ke hulu, yakni proses rekayasa dan rancang bangun berdasarkan research and development.

“Competitive strategy is about being different. It means deliberately choosing a diferent set of activities to deliver a unique mix of value,” kata Michael Porter dalam bukunya, Competitve Strategy.

Karenanya, mengapa kita selalu ragu melakukan investasi pada proses inovasi ? Mengapa kita terus mengolok olok Industri Nasional dan pengusaha dalam negeri. Kita semua berkata mengkritik adalah pecut untuk maju. Akan tetapi kita jarang menyadari bahwa jika kritik berubah menjadi upaya sitimatis berkelanjutan untuk menggebuk dan membully para pekerja Industri yang sedang terengah engah menghadapi kerasnya persaingan produk import yang masuk seperti air bah ke pasar domestik, kita sebetulnya sedang melancarkan psywar agar semua selalu ragu dyngan pilihan mau kemana ?

Ketika Donald Trump Presiden Amerika menjalankan policy “American First”, kita di Indonesia masih terus såja berdebat ini salah itu keliru. Saling menarik tali kolor yang hendak maju melangkah.

Dimalam ke 25 Ramadhan ini kita berdoa : “Ya Allah mudahkanlah jalan bagi Bangsa Indonesia membangun kekuatan industrinya sendiri”. Jauhkan kami dari kebangkrutan fikiran , sebab kami menyadari fikiran yang bankrupt mengkerut jauh lebih berbahaya dari mereka yang meyerah, mundur teratur , putus asa karena bangkrut usahanya.

Jika ada yang keliru, mohon dimaafkan, Salam

Sistem Inovasi Dalam Lanskap Ekonomi Digital

DR. Ir. Agus Puji Prasetyono, M.Eng.
Staf Ahli MenRistek & Dikti bidang Relevansi dan Produktivitas,
Dosen Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
24 Oct 2017

Gelombang perkembangan inovasi global yang begitu cepat, kini sudah tidak dapat dibendung lagi. Saat ini akselerasi yang sangat tinggi dalam kompetisi ekonomi global selalu ditandai dengan gegap gempitanya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Jika beberapa dekade silam teknologi Informasi dan komunikasi menjadi salah satu bidang fokus yang harus dikembangkan, kini hal itu telah berubah menjadi alat dari sebagian besar wahana dalam proses inovasi. Industri besar kini mulai memutar barisan dan mengambil tempat di posisi strategis ini. Tidak heran jika kini bermunculan e-commerce seperti alibaba.com, bli-bli.com, facebook, traveloka.com, dan sebagainya bersaing merebut pasar potensial ini. “Sungguh menakjubkan..!”. Dengan perkembangan itu negara semakin tidak dapat menutup diri melakukan penataan internal yang tak berkesudahan, melainkan harus semakin terbuka dan melakukan penyelarasan terhadap perkembangan dunia. Dinamika Dunia menjadikan negara saling tergantung.

Melihat perkembangan global saat ini, China dengan strateginya yang disebut“One Belt One Road-OBOR” dan telah diubah menjadi “Belt Road Initiative-BRI” memiliki pola strategi menyatukan ASEAN menjadi kawasan kolaboratif dalam inovasi dan ekonomi, bersatu menghadang hegemoni ekonomi negara raksasa seperti Eropa dan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Namun hal ini menjadikan negara lain tidak tinggal diam, Jepang dan India mengembangkan kolaborasi ekonomi dalam “Freedom Initiative” yang bergerak meningkatkan kemampuan inovasi dan ekonominya berupaya untuk mengalahkan raksasa lainnya di dunia.

Internet of Things (IOT) Technology.

Jika hari ini masyarakat telah mahir menggunakan internet untuk mencari data atau berhubungan dengan orang lain termasuk menghubungkan satu kelompok dengan kelompok lainnya, dari berbagai tempat yang berjauhan dengan mudah secara real time, maka sebenarnya Indonesia telah masuk dalam skenario permainan di Global Smart Technology. Dalam perkembangannya, banyak negara telah menggunakan sistem dan teknologi digital ini untuk memproduk barang dan jasa dengan cepat dan efisien.

Pada saat kita membuat perencanaan terhadap sebuah disain inovatif maka saat itulah kita berhadapan dengan sebuah smart computer yang digunakan untuk mencari data dan komponen yang diperlukan sekaligus siapa, dimana dan dengan dana berapa kita bisa mendapatkan komponen tersebut.Smart computer diberi tugas untuk menganalisis dan memilih komponen yang paling sesuai dengan metoda yang sudah kita siapkan. Begitu kita tekan tombol akses, maka dalam waktu yang sangat singkat komponen bisa kita tentukan dan produk inovasi dapat dilahirkan dengan cara yang sangat simpel, singkat efektif dan efisien. Di sinilah letak keunggulan Internet of Things Technology. Jika ini merupakan pilihan dunia, maka pada saatnya tidak akan ada industri besar yang harus mengeluarkan biaya besar untuk operasionalnya. Industri besar yang memiliki ciri produksi dengan membuat semua komponen untuk produk inovasinya, suatu saat akan tumbang satu persatu karena beban operasional sangat tinggi. Industri berskala kecil dan sarat dengan penguasaan dan pemanfataan teknologi digital akan berkembang dengan pesat, karena memiliki elastisitas dan beban yang ringan namun kapasitas dan kemampuannya luar biasa cepat.

Jika dulu kita miliki “Bandung Bondowoso” yang mampu membangun Candi Perambanan dalam semalam, maka kedepan bisa dibayangkan akan ada “Bandung Bondowoso” modern yang mampu membangun produk inovasi dalam sekejap dengan menggunakan teknologi digital yang berkembang sangat pesat ini. Peran komputer akan banyak mengantikan peran manusia, robotika akan menjadi populer dengan segala program otomatisasinya. Bahkan pekerjaan yang berbahaya tidak lagi masalah, karena bisa dikendalikan dari jarak jauh ditempat yang aman, bahkan dapat dilaksanakan oleh sistem otomatis yang cerdas. Tidak menutup kemungkinan pusat perbelanjaan yang penuh pengunjung tiba-tiba menjadi sepi, karena jual beli dapat dilakukan dalam jarak jauh. Digital financial akan menjadi trend tidak hanya sebatas pada kartu ATM, tetapi pembayaran sudah dapat dilakukan dengan deteksi muka secara otomatis. Hidup menjadi lebih berkualitas, efektif dan efisien. Bagaimana dengan Indonesia…? Apa saja yang harus disiapkan?

Kaca Benggala Inovasi

Bercermin kepada kegagalan masa lalu harus mampu menjadikan pelajaran untuk menemukan kunci keberhasilan yang berharga dalam melihat strategi menaatap masa depan yang lebih produktif. Hal ini menjadi penting bagaimana menata ulang perencanaan penerapan dan penciptaan sistem inovasi selaras kebutuhan dalam pembangunan ekonomi negara melalui sistem yang dipastikan dapat berkompetisi diarena global. Upaya ini tidak hanya membantu, tetapi memberikan dasar bagi munculnya pemikiran tentang praktik terbaik dengan cara memastikan teknologi dan sistem inovasi yang dirancang selaras dengan perkembangan global. Dengan cara ini dapat dipastikan sebuah teknologi benar-benar “memberdayakan” yaitu ketika Negara mampu menciptakan proses perancangan yang bersifat kolaboratif di tingkat regional, nasional dan global (consortium model practically).

Ketika Negara menjadikan Teknologi Digital sebagai faktor penentu untuk kemandirian ekonomi maka semestinya kinerja teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital yang memiliki kekuatan transformatif dalam pembangunan nasional didorong menjadi prioritas nasional. Berbagai proyek pemerintah yang direncanakan dalam APBN semestinya “tidak hanya terarah kepada sistem inovasi nasional”, namun juga seharusnya berorientasi pada “Global Innovation system and management” dengan memasukkan itu sebagai faktor utama dalam mencari solusi dalam pembangunan ekonomi bangsa. Kuncinya adalah dengan mengenali semua elemen terutama dukungan kebijakan seputar pendidikan, keterampilan dan pembangunan yang berbasis pada teknologi digital.

Kita sudah semestinya menangani tantangan pembangunan global melalui penelitian, pengembangan dan pemanfaatan smart technology secara komersial yang kolaboratif dengan industri terutama industri strategis seperti bidang energi dan transportasi, yang notabene menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang dan masa mendatang. Berbagai lapangan pekerjaan akan terbuka menyesuaikan trend perkembangan global melalui investasi dan substitusi komponen teknologi yang telah proven dalam mendukung industri nasional.

Begitu pula kebijalan fiskal dan moneter Negara tentu akan menyesuaikan trend global untuk mendorong sektor Industri yang memungkinkan tercapainya pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus menurunkan gap kaya miskin (Gini Ratio) dan pengentasan kemiskinan melalui perbaikan pendapatan masyarakat.

Terobosan kebijakan yang harus dilakukan..

Pertama, kombinasi stagflasi dan persaingan internasional berbasis teknologi digital yang semakin meningkat memunculkan gerakan daya saing yang membutuhkan seperangkat kebijakan pelengkap untuk mendorong pertumbuhan produktivitas jangka panjang. Pemerintah sesegera mungkin merancang strategi penataan sistem dan peningkatan daya saing negara dengan menemmpatkan teknologi digital sebagai alat untuk mendorong bidang industri berbasis keunggulan teknologi dan inovasi. Fokus pada pertumbuhan produktivitas jangka panjang beserta rekomendasi dan langkah spesifik untuk meningkatkan investasi.

Kedua, memperbaharui sistem riset dan teknologi di level pendidikan tinggi dan lemlitbang yang bertanggung jawab penuh hingga berskala pasar. Namun di sisi lain perlu menjadikan industri nasional sebagai finish line, sehingga kompetensi mahasiswa menuju profesional sudah terprogram sejak di universitas melalui pembelajaran, pelatihan, dan perolehan keterampilan baru secara terus-menerus. Pemerintah perlu memperkuat kebijakan iptek hulu mengembangkan formula dan disain fundamental bagi berkembangnyascience dan technology.

Ketiga, kebijakan perdagangan dirancang untuk mengadopsi kebijakan ekonomi luar negeri yang berusaha membuka pasar di seluruh dunia berbasis pada pengurangan (minimalisasi) defisit untuk memperbaiki iklim investasi, termasuk pengembangan dan pemanfaatan Iptek untuk kemandirian. Internet of Things Technology berperan sebagai media untuk mengambil peran dalam percaturan persaingan yang bebas dalam era global.

Keempat, political will untuk mendukung peningkatan infrastruktur dan kompetensi sumberdaya manusia sebagai prime mover pembangunan Iptek dan Inovasi hingga komersialisasi. Dukungan pemerintah juga diperlukan di tataran promosi maupun desiminasi hasil inovasi secara masif. Dari skenario ini berakibat dapat dipastikannya dampak pada jutaan rakyat Indonesia yang memanfaatkan kesempatan baru untuk pendidikan dan pelatihan. Hal ini memungkinkan adanya lembaga intermediasi sebagai wahana pendampingan dan konsultasi segala hal yang terkait dengan industri dan inovasi.

Kelima, menciptakan kerangka kerja yang terarah dan berguna untuk kebijakan ekonomi masa depan, sehingga iklim ekonomi mampu mendorong investasi. Kebijakan ekonomi internasional yang mampu membangun kolaborasi dan pasar yang berkelanjutan merupakan strategi yang baik, sukses dan berkelanjutan.

Keenam, penyelarasan terhadap perkembangan global. Perkembangan global yang kompleks, memaksana negara untuk lebih berperan dalam diplomasi dan networking secara masif dan terstruktur sehingga gejala ancaman dini dapat diatasi dengan strategi yang komprehensif, holistik dan terintegrasi.

Innovasi ditengah Transformasi Analog ke Digital society : Munculnya Sharing Economy dan Bahaya Competitive Authoritarian.

Jusman Syafii Djamal
May 25, 2017

Ownership atau kepemilikan di zaman analog merupakan suatu hal yang utama. Tidak dimasa Digital. Kini “access” atau jalan menuju sumber daya jauh lebih utama. Tidak heran jika kini Negara Adi Daya seperti Amerika mengedepankan motto : “American First”.

Presiden Trump bertekad untuk menDahulukan kepentingan Amerika, baru lainnya. Dengan motto itu Amerika di masa kepemimpinan Trump ingin mengisolasi semua pintu masuk Bangsa lain ke sumber daya Amerika.

Pintu masuk untuk Bangsa lain seperti Tiongkok dan Negara Asia lainnya mempelajari Teknologi Amerika yang terejawantah dalam Perusahaan dan Industri Amerika kini ditutup. Industri Amerika tidak dibolehkan untuk di investasikan di luar Amerika. Pajak nya terlalu tinggi.

Begitu juga pintu masuk ke lapangan kerja di Amerika bagi Immigrant Mexico terutama ditutup dengan tembok tinggi. Hal sama pintu masuk untuk produk asing masuk pasar Amerika juga dipersempit. Semua perjanjian Perdagangan seperti Nafta atau Trans Pacific Trade Agreement yang sebelumnya di gerakkan oleh Inisiatip Amerika juga kini dibatalkan.

Seolah fikiran Perdagangan bebas kini dipandang tidak relevan lagi. Apakah trend ini bersifat sementara, ketika Trump menjadi Presiden atau seterusnya dan akan menjadi model serta arah baru kebijakan semua Negara, kita belum tau pasti.

Yg kasat Mata Terlihat ada kecenderungan semua pihak yang kini memiliki akses pada kekuatan politik dan kekuatan ekonomi semakin memprioritaskan segala tindakannya pada pada upaya mempersempit pintu masuk bagi orang lain ke dalam alokasi sumber daya.

Dalam teori politik muncul istilah “Competitive Authoritarian”. Seorang teman mengirim sebuah buku menarik karya Steven levitsky dari Harvard University dan Lucan A. Way dari University of Toronto berjudul :” Competitive Authoritarianism : Hybrid Regimes After the Cold War”.

Kata Competitive sebetulnya merujuk sisi positive outcome. Akan tetapi ajektive Authoritarian yg menimbulkan kehawatiran. Ada pengertian dominasi kepemilikan yg membuat level playing field yg tidak setara .

Buku ini diawali dengan kutipan kata Daniel arap Moi, President of Kenya yang bilang “Politics …is not like football, deserving a level playing field. Here, you try that and you will be roasted.” Politik bukan permainan sepak bola. Jika kita mencoba untuk bermain jujur dan fair mungkin akan terpanggang.

Dalam sepak bola lapangan permainan dijaga seimbang oleh Wasit dan setiap tim memiliki kesempatan sama untuk membukukan kemenangan.

Fairness membuat bola bundar menjadi menarik untuk ditonton. Akan tetapi dalam politik “fairness” atau “level playing field yang sama” sukar ditemukan.

Dalam buku tersebut dikatakan : rejim “Competitive authoritarian” adalah rejim pemerintahan sipil yang berkuasa melalui mekanisme demokrasi seperti pemilu akan tetapi sebagai incumbent akan terus melanggengkan kekuasaan nya sepanjang waktu dengan memanfaatkan instrument negara untuk melumpuhkan saingan .

Rejim ini seolah menggunakan kompetisi sebagai sarana demokrasi bagi pemilih menemukan pilihan terbaiknya . Tetapi lapangan pertandingan sudah “disetting” tidak seimbang.

Muncul fenomena Rejim Putin di Russia dan kini mungkin Trump di Amerika ??
“Competitive Authoritarian regimes are civilian regimes in which formal democratic institutions exist and are widely viewed as the primary means of gaining power, but in which incumbents’ abuse of the state places them at a significant advantage vis-`a-vis their opponents.”

Such regimes are competitive in that opposition parties use democratic institutions to contest seriously for power, but they are not democratic because the playing field is heavily skewed in favor of incumbents. Competition is thus real but unfair.”

Buku Steven Levitsky tentang Competitive Authoritarian tersebut dapat dinikmati dalam bentuk lain pada essay pendek di majalah Foreign Affairs May/June issue, judulnya “Is America Still Safe for Democracy?” ditulis oleh Robert Mickey, Steven Levitsky, and Lucan Ahmad Way.

Tulisan itu diawali dengan kata begini :” Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden memculkan cara baru dalam pemerintahan demokratis di Amerika. Trump yang menyatakan pers dan media mainstream seperti CNN dan banyak lainnya sebagai “enemy” dan tiap hari gunakan “tweeter” untuk menyerang siapa saja termasuk Obama pendahulu nya atau juga memuji Pemimpin dunia lain yang dianggap diktator telah menumbuhkan rasa hawatir Amerika menuju Negara Otoriter. Sebab mekanisme check and balance seolah tak berfungsi sebagaimana adanya.

The election of Donald Trump as president of the United States—a man who has praised dictators, encouraged violence among supporters, threatened to jail his rival, and labeled the mainstream media as “the enemy”—has raised fears that the United States may be heading toward authoritarianism.

While predictions of a descent into fascism are overblown, the Trump presidency could push the United States into a mild form of what we call “competitive authoritarianism”—a system in which meaningful democratic institutions exist yet the government abuses state power to disadvantage its opponents.”

Dengan kata lain akibat kemajuan internet dan proses transformasi dari analog ke dunia digital, kini muncul masalah akibat banyak orang tidak lagi peduli pada institusi, ingin serba cepat “mak jeg mak nyes”, kata orang jawa. Dunia seolah dalam genggaman.

Melalui jempol jari di twitter Presiden Trump dapat memecat seorang tokoh profesional Comey, Direktur FBI, misalnya, ketika sedang pidato didepan anak buahnya dikota lain. Comey tau dipecat ketika menonton TV.Tidak lazim dan Semua geger.

Ini suatu petunjuk bagaimana Pintu masuk kekuasaan dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk memutus mata rantai pandangan independent dalam mengelola institusi Negara dan diputar menjadi hamba kepentingan satu golongan.

Di Indonesia pengalaman “Competitive Authoritarian” sebenarnya sudah pernah terjadi baik dimasa Demokrasi Terpimpin maupun dimasa Orde Baru. Hanya ketika itu istilah “competitive authoritaritarian” tidak dikenal dalam ilmu politik.

Akan tetapi saya bukan politisi dan juga bukan ahli ilmu politik. Sy engineer yg menyenangi mathematical model dan simulation.

Yang ingin saya tonjolkan sebetulnya adalah perubahan atau proses transformasi dari dunia analaog ke dunia digital ini sangatlah perlu dipelajari dengan seksama oleh para ahli.

Sudah saatnya ahli sosiologi, psikologi, politik dan ekonomi dari Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia sebagai leading University di Indonesia membahas fenomena ini. Agar masa depan generasi muda Indonesia memiliki roadmap dan arah yang dapat diprediksi.

Ambil contoh dalam model dan platform bisnis masa kini seperti Taxi Uber dan Arbnb yang tidak memiliki “ownership” terhadap sumber daya seperti mobil , motor dan juga property.

Kumpulan anak anak muda yang berlokasi nun jauh di New York dengan sebuah algoritme dan software mampu menembus dan menyediakan access atau pintu masuk kesetiap orang dipelosok dunia untuk menggunakan mobil atau motor atau rumah orang lain dengan leluasa untuk melayani kepentingan sesaatnya.

Sebuah model bisnis dan platform bisnis yang dapat menghancurkan “Perusahaan Bisnis taksi yang menyediakan lapangan kerja ribuan orang”, Perusahaan Perhotelan dan lain sebagainya. Industri analog dgn pabrik dan ribuan pekerja kini jadi soal apa diperlukan ataukah tidak ?

Lapangan kerja dalam industri barang dan jasa berskala besar mungkin meng hilang, potensi pajak dari perusahaan dapat menyusut, keuntungan terbesar dapat dipindahkan secara virtual ke Negara lain seperti yg dilakukan Google di Indonesia tanpa Menteri Keuangan mampu berbuat apa apa.

Dan dilapangan menyempitnya pendapatan bagi para sopir taksi tradisional lahirkan konflik antar bisnis online dan tradisional terus bergerak seperti api dalam sekam diseluruh dunia. Pemerintah mau condong kemana ??

Transformasi analog ke Digital society menyebabkan makna Access to Resources jauh lebih utama dari ownership pada Sumber Daya. Dan ini menjadi PR besar untuk dikelola ketika kita sebagai “policy maker” bicara tentang “level playing field”.

Policy untuk menDistribusikan asset jauh berkurang relevansi nya dibandingkan kesetaraan aksess terhadap Kapital, Pasar dan Sumberdaya lainnya.

Karenanya Tak mudah menemukan Policy atau kebijakan yang setara dan tidak diskriminatip bagi semua warga negara. Diperlukan smart policies bukan hanya smart cities.

Sebab teknologi telah mengalami percepatan pertumbuhan yang tak mudah diprediksi daya “disruption” nya. Perubahan landskap ekonomi dan politik dapat terjadi serta merta.

Dulu kepemilikan “automobile” merupakan simbol “ownership”. Kata Automobile sendiri terdiri atas dua suku. Auto-nomy dan Mobil-ity. Otonomi dan Mobilitas. Semua anak muda atau kepala keluarga menginginkan mobile. Sebab dengan mobil yang dimiliki sendiri lahir kebebasan untuk bepergian kemana suka. Ada perasaan bebas merdeka jika memiliki mobil sendiri. Freedom melahikan autonomy dan mobility. Automobile menjadi simbol “our conventional notion of freedom”.

Akan tetapi generasi anak anak saya dimasa digital ini pemahaman freedom dengan memiliki sendiri sebuah property kini berubah makna. Freedom tidak lagi diartikan “to exclude other”, Kebebasan memiliki sebuah property seperti rumah dan mobil tidak berarti mengharamkan orang lain menggunakan atau memanfaatkannya. Kini Freedom is measured more by access to others in networks than ownership of property in markets. Begitu kata Jeremy Rifkin in his book :”The Zero Marginal Cost Society”.

Generasi digital anak anak saya sekarang telah mentransformasikan ketergantungannya pada kepemilikan mobil pribadi dan lebih cendrung menyenangi kebebasan untuk memiliki akses pada pemanfaatan kepemilikan mobil orang lain melalui jaringan networking tersedia. Dalam hal ini konsep taxi uber menjadi menarik bagi mereka.

Begitu juga jika bepergian keluar negeri yang dicari tidak lagi hotel atau rumah teman, melainkan Arbnb, rumah orang lain yang sedang tak ditempati tetapi dapat digunakan melalui network. Sharing Economy.

Dengan dua contoh diatas saya ingin mengajak para ahli politik, ekonomi, sosiologi dan psikologi untuk mengamati dan menganalisa dua kecenderungan berikut :

Pertama Apa yang dilakukan Presiden Trump selama 100 hari dalam kehidupan Demokrasi Amerika kini seolah dianggap mengabaikan Institusi lain dan Kepentingan Negara lain dalam mengelola Amerika. Pertanyaannya apakah benar asumsi ini ?

Pertanyaan kedua, apakah tingkah laku Presiden Trump yang berusia 70 tahun dapat dianggap sebagai mewakili paradigma bergfikir generasi analog atau generasi tua, yang mengedepankan “ownership” , kepemilikan sebagai sesuatu yang sakti dan harus digenggam sendiri.

Paradigma ownersip ini telah menyebabkan muncul kehawatiran akan lahirnya “competitive authoritarian”. Dimana kekuasaan politik dapat dianggap sebagai milik pribadi selama lima tahun dan dimanfaatkan sebagai milik mereka ya memenangkan pemilu, sehingga yang lain dan kalah “di exclude” atau ditutup jalan masuk nya ke sumber daya.

Dalam paradigma seperti ini Demokrasi kehilangan elan vitalnya. Demokrasi untuk menciptakan kesejahteraan bersama menjadi problema tersendiri dan “vulnerable”. Jika kekuasaan dianggap milik sendiri, semua orang bisa dipenjara dengan pelbagai alasan. Semua Pajak orang orang yang tak sefaham dapat diperiksa tanpa sebab musabab. Dan lain sebagainya.

Demokrasi yang seharusnya melahirkan “playing field” yang setara kehilangan elan vitalnya. Ini yang dihawatirkan oleh Steven Levitsky sehingga ia menulis buku Competitive Authoritarian tersebut dan essay pendek di majalah Foreign Affairs May/June issue, judulnya “Is America Still Safe for Democracy?” yang ditulis bersama Robert Mickey, Steven Levitsky, and Lucan Ahmad Way.

Yang kedua , Fenomena Uber Taxi, Arbnb yang mengedepankan penggunaan software dan algoritme dan platform bisnis “sharing economy” yang mengedepankan “Access to Network” telah menjadi trend masa depan. Generasi Digital berbasis internet telah lahir.

Jika begitu bagaimana kita sebagai suatu bangsa dapat menciptakan “level playing field” yang sama dalam sistem ekonomi nasional agar generasi muda Indonesia dapat membendung kebebasan entrpreneur bangsa lain yang ada di mancanegara dan berpusat di New York, Tokyo, Beijing, Singapura misalnya, untuk memiliki kebebasan akses terhadap sumber daya di Indonesia tanpa kendali ? Bagaimana sharing economy dapat dijadikan fondasi bagi platform bisnis untuk menciptakan lapangan kerja dan membayar pajak ?

Jika ada yang keliru, mohon koreksi dan komentar nya. Salam