Tempatkan setiap Anak kita sebagai “Leader” di setiap bidang Kehidupan

Harry Santosa
December 4·

Tempatkan Setiap Anak Kita sebagai “Leader” di Setiap Bidang Kehidupan

Konon pada tahun 2015, para pakar dan pemikir bangsa Israel berkumpul di New York (bukan di Tel Aviv) untuk menghadiri sebuah perhelatan besar konferensi yang bertujuan membuat “grand design” arsitekur peradaban bangsa ini beberapa dekade ke depan.

New York dipilih mengingat inilah tempat bersejarah kedua yang menjadi titik awal kebangkitan bangsa Israel sebelum negara Israel raya berdiri dengan menjajah Palestina.

Barangkali jarang yang tahu bahwa nama pertama New York adalah New Yerusalem atau New Amsterdam. Ini kota kedua sebagai pusat kebangkitan Israel setelah berpindah dari Amsterdam yang dulu juga bernama New Yerusalem.

Konferensi bangsa Israel ini melahirkan berbagai keputusan penting dan protokoler bangsa Yahudi setebal beberapa ribu halaman. Namun intinya adalah bangsa Israel membuat misi peradaban bahwa harus ada seorang putera bangsa Israel yang menjadi pakar sekaligus pemimpin yang menjadi rujukan dunia pada setiap bidang dalam kehidupan.

Yang menarik adalah bahwa konferensi ini ditutup dengan pidato seorang sepuh bangsa Israel, yang di akhir pidatonya mengutip sebuah quote dari filsuf Israel yang hidup di abad 1 Masehi bernama Hilar, yaitu

If I am not for me, who will be me
If i am for me, who am i
If not now, when?

(Jika saya bukan untuk saya, siapa yang akan menjadi saya
Jika saya untuk saya, lalu siapa saya
Jika tidak sekarang, lalu kapan?)

Quote ini sederhana, namun menggambarkan keinginan dan keseriusan besar bangsa mereka untuk leading pada setiap bidang kehidupan dengan mendorong tiap orang Israel untuk menemukan takdir peran peradaban dirinya untuk menguasai dunia.

Keseriusan ini bahkan tergambar dalam bidang kehidupan yang paling sederhana sekalipun, sebagai contoh, pemeran film Wonder Woman, adalah seorang perempuan pelatih Kraf Maga (beladiri khas Israel) pada tentara Israel.

Bayangkan, dalam bidang beladiri saja mereka ingin leading dan ingin menjadi teladan. Kraf Maga ini banyak digunakan sebagai andalan para petarung MMA (Mix Martial Art) di ajang dunia tarung bebas.

Tulisan ini bukan bermaksud SARA atau anti semit atau membenci ras bangsa Israel, namun kita dapat belajar betapa seriusnya mereka untuk fokus pada potensi kekuatan mereka sendiri dengan mendorong bangsanya agar setiap dari mereka menemukan peran peradaban dan leading pada setiap bidang kehidupan tersebut sehingga menjadi rujukan dunia.

Refleksi

Kita bisa berefleksi kepada peradaban Islam sendiri, bagaimana peradaban kita hari ini? Apa yang bangsa Israel lakukan di atas sesungguhnya sedang membangun arsitektur peradabannya.

Mereka meniru konsep alQuran bahwa setiap muslim harus memiliki daurul hadhoriyah (peran peradaban) dan menjadi teladan pada bidangnya masing masing sekecil apapun.

Peran peradaban personal seorang muslim adalah bashiro wa nadziro yaitu banyak memberi kabar gembira (solution maker) dan peringatan (problem solving) lalu harus rahmatan lil alamin yaitu menebar manfaat besar bagi manusia.

Kemudian, secara kolektif, peran peran personal ini akan membawa Ummat kepada peran komunal yaitu khoiru ummah (the best model community) dan ummatan wasathon (the best collaborator) bagi ummat manusia.

Untuk sampai kepada mengantarkan generasi peradaban anak anak kita kepada peran peradaban terbaiknya pada setiap bidang kehidupan agar menjadi khoiru ummah dan ummatan wasathon, sebagaimana yang Allah kehendaki itu harus diawali dengan model pendidikan peradaban yang mampu melakukan hal demikian.

Namun sayangnya, benak kebanyakan ummat Islam tentang pendidikan adalah hanya mengantarkan generasi pada pandai akademis dan pandai agama, bukan peran peradaban. Mindset pandai akademis inilah sesungguhnya yang membuat peradaban Islam menjadi mandul peran peradaban.

Kita banyak menemukan lembaga lembaga pendidikan Muslim maupun Orangtua Muslim yang masih berorientasi agar anaknya bagus di akademis dan atau bagus di agama, misalnya hampir seragam ingin punya anak yang lulus UN dengan nilai tinggi dan hafal banyak juz alQuran, lalu ujungnya agar bisa diterima di perguruan tinggi bergengsi dan bekerja di tempat “basah”.

Nampaknya tiada yang salah ketika berobsesi anak pandai akademis dan pandai agama lalu sekolah setinggi tingginya di kampus bergengsi dan akhirnya bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar sehingga zakat dan infaqnya besar.

Sesungguhnya Islam tak melarang manusia untuk kaya, berkuasa, terkenal dstnya, namun Islam melarang menjadikan dunia sebagai orientasinya walau dikemas dalam kemasan agama “agar banyak infaqnya”. Itu namanya hubbuddunya dan menjadikan agama sebagai bungkus ambisi dunianya.

Bayangkan apa jadinya, andai semua Muslim menjadikan dunia sebagai orientasinya? Mengantarkan anak anak kita yang cerdas dan hafizh itu untuk menjadi kuli kuli peradaban, bukan peran peran peradaban terbaik pada setiap bidang kehidupan? Tentu menjadi khoiru ummah hanya isapan jempol dan mimpi di siang bolong.

Hari ini generasi muda muslim, kebanyakan ketika selesai sekolah dan kuliah, hadir di masyarakat, menjadi orang yang mati (meminjam istilah Buya Hamka), tanpa peran peradaban. Mereka melayang layamg menjajakan kepandaian akademis dan kepandaian agama untuk mencari nafkah dan menjadi kuli peradaban bangsa lain.

Indonesia konon punya 600 Doktor Tafsir, namun tak satupun berminat bikin tafsir. Sejak Indonesia merdeka, kita hanya punya 2 tafsir kontemporer, yaitu AlAzhar (Hamka) dan alMisbah (Quraish Shihab). Kita punya banyak hafizh namun sedikit yang berminat jadi guru Quran apalagi ahli Quran dsbnya. Lembaga pengembangan SDM Muslim yang merekrut banyak pemuda pandai untuk diberi bea siswa dengan dana ummat, namun ujungnya hampir semuanya diserap perusahaan konglomerat.

Ini terjadi karena orientasi pendidikan kita tak berorientasi peradaban dengan mengantarkan anak anak kita kepada peran peradaban terbaiknya dan menjadikan mereka sebagai rujukan dunia pada bidang itu.

Lima tahun lalu, seorang ibu yang jadi rujukan banyak orang, menulis status di sosmed sbb

“….alhamdulillah anak saya yang hafizh alQuran sekarang sudah tamat dari PTN,
…….mohon doanya agar segera diterima bekerja”

Bisa dibayangkan peradaban Islam 10-20 tahun ke depan jika mindset setiap ibu demikian.

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#fitrahbasedlife

Mendidik Fitrah Keimanan

Harry Santosa
September 30 ·

#fitrahkeimanan

Fitrah adalah Islamic Concept of Human Nature (konsep Islam ttg Asal Mula Kejadian Manusia). Sejak lahir manusia telah membawa pokok kebaikan (innate goodness) yang sangat cukup untuk menjalani peran peradaban spesifiknya dalam rangka mencapai maksud penciptaan untuk Beribadah (Hamba Allah) dan untuk menjadi Khalifah Allah di muka bumi.

Diantara aspek fitrah adalah kecenderungan manusia untuk beriman atau bertuhan, yang disebut fitrah keimanan. Fitrah keimanan bahkan telah diinstal sejak di alam rahiem (QS 7:172) dalam bentuk persaksian Allah sebagai Robb (kholiqon-pencipta, roziqon-pemberi rezqi, malikan-pemilik/pemelihara dstnya).

Instalasi persaksian ini kemudian muncul dalam kenyataan bahwa tiap bayi lahir menangis. Para ulama mengatakan bahwa bayi menangis karena “seeking Allah” atau mencari Allah, dalam hal ini adalah Robb. Itulah mengapa menyusui diwajibkan karena sebagai bentuk penguatan dan perawatan syahadah Rubbubiyatullah. Dalam pemberian ASI, sang bayi merasakan adanya Zat yang memberi rizqi, melindungi, merawat, menyayangi dstnya.

Perihal syahadah Rubbubiyatullah ini juga nampak pada perihidup bangsa bangsa, bahwa tiada satu sukupun di muka bumi yang tidak ada tempat untuk sujud kepada Tuhan.

Atheisme sendiri baru dikenal manusia pada Abad 18an sebagai bentuk penolakan terhadap penindasan Raja Diktator dan Gereja. AlQuran bahkan menyebut bahwa Kafir Quraisy sekalipun mengakui Tauhid Rubbubiyatullah. “Jika ditanyakan kpd mereka siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka menjawab Allah”.

Karenanya dalam hadits ttg Fitrah, dikatakan bahwa “setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang merubahnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” , namun dalam hadits ini tidak dikatakan merubahnya menjadi Muslim. Mengapa? Karena setiap bayi sudah lahir dalam keadaan Islam.

Lalu bagaimana Mendidik Fitrah Keimanan?

Mendidik fitrah keimanan, tentu bertahap sesuai tahapan usia.

Usia 0-2 tahun. Ini tahap penguatan fitrah keimanan dengan memberikan ASI secara eksklusif, menghadirkan hati, perhatian, sentuhan, pandangan dsbnya ketika menyusui. Inilah tahap penguatan awal Tauhid Rubbubiyatullah.

Usia 3-6 tahun.

Ini tahap merawat fitrah keimanan dengan membangun imaji imaji keindahan ttg Allah, ttg Rasulullah SAW, ttg Islam dan kebaikan lainnya sehingga melahirkan kesan dan cinta yang mendalam. Cinta sebelum Islam, Iman sebelum Amal.

Dilarang merusak imaji imaji anak di usia ini ttg indahnya alHaq. Para ulama meminta untuk menunda menceritakan ttg neraka, perang akhir zaman, Dajjal, qiyamat dstnya, sampai benar benar fitrahnya kuat di usia 7 tahun ke atas.

Dilarang mendidik adab dengan memaksa, menyakitkan hatinya, dstnya, agar tidak malah membenci adab. Namun upayakanlah adab berkesan indah. Jadi tahap ini sepenuhnya full cinta namun tidak memperturutkan yang tidak baik.

Ceritakanlah hal hal indah yang membuat ananda sangat tergugah, berkesan mendalam dan antusias pada kebenaran. Suasanakanlah keshalihan dalam setiap momen dan kesempatan tanpa terasa dan formal.

Ini tahap emas untuk mengenalkan Allah, Rasulullah SAW dan kebaikan kebaikan Islam. Anak sedang pada puncak imaji dan abstraksinya, alam bawah sadarnya masih terbuka lebar, maka mengenalkan apapun ttg kebaikan apalagi dgn cara berkesan akan masuk ke dalam bawah sadarnya dna menguatkan fitrahnya. Penting mengkontekskan semua peristiwa baik dengan Allah dalam setiap kesempatan.

Teladankan kebaikan tanpa pasang target untuk segera diikuti. Hindari semua bentuk formal dan penerapan disiplin yang membuatnya jadi membenci kebaikan itu sendiri. Ingat bahwa sholat baru diperintah saat usia 7 tahun, jadi di bawah 7 tahun sholat diimajikan indah bukan dipaksa tertib gerakan, tertib bacaan, tertib waktu. Misalnya penting setiap azan berkumandang, wajah bunda menjadi sumringah dan tersenyum seindah mungkin, bahkan memeluk dan mengucapkan kata kata indah di telinga ananda.

Dahulukan amar ma’ruf daripada nahi munkar. Misalnya jika ananda naik ke atas meja, katakan saja “nak meja untuk makan, kaki untuk ke masjid atau ke taman” daripada panik dan menyebut keburukan.

Diharapkan pada fase ini anak sudah antusias mengenal dan menyebut nama Allah di usia 3 tahun. Nanti di usia 7 tahun, diharapkan ketika kita mengatakan, “nak, sholat itu diperintah oleh Allah lho…” maka ananda menerima perintah Sholat dengan suka cita”.

Usia 0-6 tahun adalah masa emas bagi mendidik fitrah keimanan, dengan menguatkan konsep Allah sbg Robb, melalui imaji imaji indah yang melahirkan kecintaan kpd Allah, Rasulullah SAW, Islam. Metodenya adalah keteladanan dan suasana keshalihan yang berkesan mendalam.

Usia 7-10 tahun.

Ini adalah tahap menumbuhkan dan menyadarkan Tauhid Mulkiyatullah. Pada tahap ini ananda sedang sangat kritis (fitrah belajar dan bernalar pada puncaknya), mereka juga mulai bergeser dari ego sentris ke sosio sentris, mereka mulai memahami adanya keteraturan di alam dan di kehidupan.

Inilah tahap yang tepat untuk menumbuhkan dan menyadarkan bhw Allahlah Sang Maha Pengatur, Sang Maha Pembuat Hukum, Zat Yang harus ditaaati. Fitrah keimanannya ditumbuhkan dengan membaca alam dan mentadaburi keteraturan ciptaan Allah di alam semesta.

Fitrah keimanan tumbuh baik dengan menginteraksikannya pada kenyataan keteraturan yang indah dan sempurna alam semesta. Keimanannnya mulai berbunga menjadi keinginan kuat memahami keteraturan itu dan mencintai Sang Maha Pengaturnya. Keimanan tidak bisa lagi lewat kisah kisah menjelang tidur, namun harus dialami langsung dengan interaksi di alam.

Usia 11-14 tahun.

Ini tahap mendidik fitrah keimanan untuk Tauhid Uluhiyatullah. Metodenya adalah mengokohkan fitrah keimanan melalui ujian ujian kehidupan sehingga mennjadi kebutuhan. Iman itu perlu diuji bukan lagi dikisahkan atau diinteraksikan, tetapi melalui beban beban kehidupan dalam batas kesanggupannya. Ingat bahwa fitrah keimanan bukan bicara seberapa banyak ilmu agama yang direkam di benak, namun bicara seberapa banyak anak mengokohkan keimananannya melalui cinta yang mendalam pada alHaq.

Pada tahap ini, memberikan anak kesempatan untuk merantau yang tidak terlalu jauh, berbisnis kecil kecilan, memberi investasi, memagangkan pada maestro, melibatkan pada aktifitas dakwah dll. Maka kita akan lihat, bagaimana fitrah keimanannya diuji dalam kehidupan.

Rasulullah SAW memulai magang berdagang bersama pamannya dan merantau ke Syams sejak usia 11-12 tahun. Maka kita lihat Rasulullah SAW piawai di dakwah dan piawai di pasar.

Dalam ujian ujian kehidupan itu mereka akan menyadari butuhnya sholat malam, butuhnya panduan alQuran dan alHadits, butuhnya memperbaiki misi hidup sesuai yang Allah kehendaki dstnya.

> 15 tahun. Peran Peradaban atas Tumbuhnya Fitrah Keimanan

Fitrah Keimanan yang tumbuh paripurna akan berujung kepada peran peradaban berupa ghairah dan antusias Menyeru Kepada Tauhidullah. Inilah adab tertinggi kepada Allah sebagaimana yang ditugaskan kepada para Nabiyullah Alaihimusalaam sepanjang sejarah.

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah
#fitrahkeimanan

Ayah Pendidik Anak yang Utama

Oleh : Ustadz Adriano Rusfi

Sering saya bertanya-tanya : “Kenapa Islam membolehkan lelaki Mu’min menikahi wanita Ahli Kitab ? Bukankah sang ibu yang kelak akan mendidik anaknya, dan akan mendidiknya menjadi ahli kitab pula ?”

Tapi belakangan saya sadar :
“Tidak… Karena pendidik utama anak-anak dalam Islam adalah AYAHNYA !!!”
Sedangkan ibunya adalah pelaksana harian….

Bagaimana caranya Meng-AqilBaligh-kan Anak? Siapa yang bertanggung-jawab meng-AqilBaligh-kan anak?

Perlu dipahami bahwa penanggung jawab utama pendidikan adalah AYAH. Bukan BUNDA! Bunda adalah pelaksana pendidikan.

Dalam sejumlah referensi islami ditemukan tokoh parenthood yang terkenal adalah laki-laki.
Ada nama Lukmanul Hakim, seorang budak berkulit hitam yang petuah-petuahnya untuk anak-anaknya menjadi referensi parenting hingga kini. Namanya bahkan diabadikan dalam Al Quran.

Saat ini, sebagai korban revolusi industri, para ayah menjadi sekedar buruh. Jangan berlindung dibalik kualitas, padahal kuantitas sangat kurang. Tidak ada KUALITAS tanpa KUANTITAS yang CUKUP. Sudah seharusnya Ayah bekerja cukup dengan 4 jam sehari, sehingga memiliki waktu lebih untuk mendidik anak-anaknya.

Tapi jangan juga jadi ayah yang serakah.
“Kalau 4 jam saya dapat 30 juta, berarti dalam 8 jam bisa dapat 60 juta nih.”
Banyak sekali Ayah yang seperti ini.

Terkadang para Ayah pulang bawa gaji, “Ini uang bulan ini, cukup-cukupin ya.”
Lantas petantang petenteng seolah bisa menjajah seisi rumah karena merasa pencari dan pemberi nafkah.

Salah satu masalah berat dalam rumah tangga adalah tanggung jawab pendidikan anak, bukan urusan cari uang. Maka memikirkan matang-matang Poligami bukanlah semata masalah “Adil”, tapi juga kemampuan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.

Tanggung jawab yang bukan sekadar menyekolahkan anak di sekolah mahal dan bagus, tapi tanggung jawa meng-aqilbaligh-kan anak.

Tugas pengajaran bisa didelegasikan ke sekolah, namun tugas pendidikan tetap di rumah. Sekolah tidak bisa dijadikan tulang punggung pendidikan anak.

Sumber: Buku Menjadi Ayah Pendidik Peradaban

Sang Tamu

Dari kak Ila Laila Sari
(dengan sedikit penyuntingan, foto ilustrasi)

Seorang ibu muda yang cukup cantik dengan gadis kecil yang juga tidak kalah cantik, datang ke sebuah Sekolahalam. Sang Ibu sedang survey mencari sekolah untuk anaknya yang akan masuk Sekolah Dasar (SD). Seorang guru di sekolah itu mengajaknya berkeliling melihat kondisi dan fasilitas yang ada sambil berbincang-bincang banyak hal.

Ditengah pembicaraan, acapkali si Ibu mengingatkan mbak/perawat untuk mengawasi anaknya yang begitu antusias berlari di halaman sekolah dan mencoba memanjat rumah pohon. Sang guru sangat menikmati kegembiraan si anak, tapi sayang jadi sedikit terganggu juga dengan jeritan si Ibu yang berulangkali memanggil dan mengingatkan anaknya. Sang guru berusaha menenangkan bahwa anaknya akan aman karena ada guru yang mengawasinya.

Dengan semangat si Ibu bertanya apa anaknya akan aman di sekolah ini, mengapa ada anak-anak yang menyapu halaman (ketika itu petugas kebersihan tidak masuk karena sakit), apakah kamar mandi bersih atau tidak, siapa yang membersihkan kelas dan banyak pertanyaan lainnya. Secara rinci dijelaskan tentang kondisi dan pendidikan yang diterapkan di sekolah bahwa anak-anak harus memiliki kepedulian dan bersama-sama menjaga semua yang mereka gunakan walaupun ada petugas yang membantu. Sang guru menduga bahwa si Ibu sangat peduli pada lingkungan sekitarnya, pembersih dan ingin anaknya nyaman di sekolah.

Mereka juga bercerita banyak hal tentang pendidikan, sampai cerita tentang keinginannya untuk menyekolahkan anak semata wayangnya sampai ke luar negri.

Akhir pembicaraan, si Ibu disarankan untuk bertanya kepada anaknya apakah mau bersekolah di Sekolahalam ini serta berdiskusi dengan pasangan. Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama dan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) butuh waktu yang cukup lama (6 tahun).

Setelah selesai, mereka pun hendak pulang walaupun si anak masih cemberut karena tidak mau pulang dan masih asyik berlari menangkap belalang. Sedikit memaksa, si Ibu menggandeng anaknya menuju mobil. Pemandangan ini tampak menjadi penghias kegiatan anak-anak yang bergotong-royong membersihkan halaman sekolah.

Alangkah kagetnya ketika memandang si Ibu yang begitu enaknya membuang sampah, tissue dan sisa bungkus makanan dari dalam mobil mewahnya ke halaman parkir. Sang guru tampak hendak berlari untuk menyerahkan keranjang sampah, tapi ragu karena khawatir ia akan malu. Ternyata karakternya tidak semewah mobil yang ia gunakan. Ternyata, kepeduliannya tentang kebersihan tidak inheren dengan sikapnya menjaga kebersihan di luar dirinya (lingkungan sekitar).

“Jika kita tidak bisa membantu membersihkan lingkungan sekitar, minimal tidak mengotorinya”. Itu yang sering disampaikan kepada anak-anak. Bagaimana dengan kita? Seberapa besar kepedulian kita menjaga lingkungan?

.

Ayah Under Construction 2 – Merawat Iman Anak Kita

Ario Muhammad
November 4, 2018

Tantangan paling besar menjaga iman anak-anak di negeri yang tak mengenal Islam adalah meyakinkan mereka bahwa Allah adalah Tuhan Semesta Alam, bahwa Islam adalah agama paripurna, bahwa ada hari pembalasan yang akan menentukan apakah kita bahagia selamanya atau larut dalam siksa yang maha pedih.

Di Inggris, mereka bisa dengan mudah membandingkan Tuhan agama yang satu dengan agama yang lain, mempertanyakan kenapa kita harus menjadi muslim, bahkan tak jarang meninggalkan perintah-perintah wajib dalam Islam yang orang tua mereka titahkan sejak kecil.

Pemberontakan iman garis keturunan kita, bisa berada pada titik terendah saat mereka mulai tak percaya dan tak meyakini Allah sebagai Tuhan mereka. Pertanyaan apa yang paling menakutkan bagi orang tua muslim dimanapun selain anak-anak mereka yang tak lagi mempercayai Allah dan Rasul-Nya? Rasanya ini adalah ketakutan paling mengkhawatirkan dalam kehidupan kita sebagai orang tua.

Namun ada banyak kisah di dalam Alquran yang memberikan kita pencerahan tentang keimanan anak-anak keturunan kita. Seberapa besarpun usaha yang sudah kau hadirkan, jika ada yang memilih untuk memberontak, maka kamu tak punya kontrol terahadapnya. Sebagaimana Ya’qub yang menjamin kehidupan anak-anaknya: Yusuf dan saudara-saudara mereka. Menjaga mereka dalam keimanan dan kehidupan yang layak dan penuh persaudaraan. Namun saudara-saudara Yusuf memilih untuk menghianati Ya’qub. Mereka membuang Yusuf di sumur dibanding melindunginya [QS Yusuf: 7-19].

Apa yang kurang dari Ya’qub, dia adalah seorang Nabi, seorang yang begitu jelas kekuatan karakternya, yang akan memberikan kualitas kehidupan terbaik bagi anak-anaknya. Saudara Yusuf yang tumbuh besar di lingkungan sebaik keluarga Ya’qub saja bisa melenceng perilakunya, apalagi dengan kita?

Di saat yang bersamaan, ikhtiar yang paripurna dari seorang Ya’qub juga menghasilkan seorang anak semesta bernama Yusuf. Lelaki yang tidak hanya cerdas, berkarakter sempurna, namun punya paras paling tampan sejagat raya. Jika saudara-saudara Yusuf yang lain tetap tumbuh bersama keluarga Ya’qub, Yusuf justru terbuang menjadi seorang pelayan, lalu di penjara dalam bilangan waktu yang lama. Sebagai manusia normal, waktu-waktu bersama lingkungan yang tak baik seperti itu akan menjadikan kita jauh dari Allah. Namun tidak dengan Yusuf, dia masih menjadi pribadi terbaik dengan kesempurnaan perangai yang membelalakkan mata.

Maka sungguh, ikhtiar kita sebagai orang tua takkan pernah bisa mengontrol kehidupan anak-anak kita. Mereka bisa tumbuh saleh-salihah, pecinta Quran, pendakwah yang istiqomah, namun bisa juga sebaliknya, akan menjadi cobaan dan alasan kita menangis sepanjang waktu memohon Allah untuk mengampuni mereka.

Untuk itu wahai orang tua, tanggung jawab dan kontrol terbaik kita hanya ada sampai mereka baligh. Setelahnya, pilihan ada di tangan mereka. Kita boleh mengingatkan mereka tentang Shalat, mengajak mereka kepada kebaikan, namun jika mereka sudah bosan dan jengah dengannya, mungkin kita perlu kembali mengambil peran kita sebagai orang tua. Yang mendengar, yang menjadi sahabat mereka, yang mampu berbicara dari jiwa mereka yang bisa jadi terluka karena banyaknya perintah dan aturan dari kita.

Pekerjaan mendidik sejatinya jauh lebih sulit dibanding tahun-tahun pertama merawat mereka. Malam-malam panjang menyusui mereka, mengganti popok mereka yang bau, hingga melihat tantrum mereka yang berkepanjangan sejatinya jauh lebih mudah dibanding merawat iman mereka.

Semoga Allah mampukan, semoga Allah mampu, dan semoga Allah mampukan.

Teruslah berikhtiar, karena garis pahala dan surga yang menyala sejatinya terlihat dari ikhtiar kita.

Ayahku Idolaku

Igo Chaniago

Kamis, 16 Agustus 2018 kemarin komunitas HEbAT chapter Malang, menyelenggarakan kajian parenting di Masjid Peradaban Asyafa’at dengan mengundang Ustadz Adriano Rusfi, psikolog dari UI dan konsultan pendidikan di sekolah Al Hikmah, sekolah percontohan terbaik di Surabaya.

Kami mengadakan kelas lukmanul hakim, sebuah kajian parenting khusus untuk para ayah. Alhamdulillah cukup banyak peserta yang hadir, meskipun acara kami adakan di hari kerja dan banyak para ayah yang bolos kerja karena ingin mengikuti acara ini. Sebenarnya kami ingin mengadakan di hari libur, namun hari sabtu atau ahad jadwal Ustad Adriano sudah penuh untuk berbagi ilmunya keliling indonesia sehingga hanya bisa mengisi acara di hari kerja.

Mengapa kami mengadakan kajian parenting untuk para ayah?

Karena bu Elly Risman, pakar pendidikan ini mengatakan bahwa Indonesia ini adalah fatherless country, negeri tanpa ayah. Dimana para ayah sudah terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan di kantor, sibuk mengurus bisnisnya, atau bahkan ironisnya sibuk berdakwah sehingga tak punya kepedulian dalam mendidik anak. Para ayah berdalih dengan mengatakan bahwa tugasnya sebagai kepala rumah tangga adalah mencari nafkah untuk keluarga. Urusan mendidik anak itu tanggung jawab istri.

Benarkah tugas utama Ayah adalah mencari nafkah?

Ketika kita buka petunjuk hidup kita, yaitu kitabullah. Ternyata disana tidak ditemukan kisah kisah para ibu yang mendidik anaknya. Justru yang ditemukan adalah kisah kisah tentang Nabi Ibrahim yang mendidik anaknya, kisah Ali Imron mendidik anaknya, dan juga kisah seseorang yang bukan Nabi dan juga bukan pula Rasul tapi Allah abadikan kisahnya dalam mendidik anaknya, yaitu Lukmanul Hakim.

Di dalam Al Quran, yang ada adalah surat Annisa (wanita), tidak ada surat Ar Rijal (lelaki). Namun dalam surat Annisa dikatakan bahwa “Ar rijalu qowam ala nissa”, Lelaki adalah pemimpin kaum wanita. Jadi tugas utama seorang laki laki adalah memimpin. Maka jika laki laki harus memimpin keluarganya, dia harus bertanggung jawab dalam skala kecil mendidik istrinya, mendidik anaknya dan di dalam skala besar menjadi pemimpin dalam mendidik umat, karena berdakwah itu kewajiban seorang muslim.

Jadi mencari nafkah itu bukan kewajiban utama. Ketika Rasulullah menyampaikan ayat yang turun tentang perempuan dan anak anak, Rasulullah tidak menyampaikan langsung kepada mereka, tapi Rasulullah menyampaikan kepada para ayah, dan menyuruh para ayah ini menyampaikan kepada keluarganya.

Jika kita teliti membaca doa kebaikan untuk orang tua yang diajarkan Rasulullah yang redaksi doanya berbunyi :

Allahummaghfirli… waliwalidayya… warhamhumma… kamma robbayani… shoghiro…

Yang artinya : Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka, seperti mereka menyanyangi aku di waktu kecil

Doa ini adalah doa bersyarat, dikatakan dalam doa tersebut bahwa anak kita meminta kepada Allah agar dosa orang tua mereka diampuni dan Allah menyayangi orang tua mereka, dengan syarat “SEPERTI MEREKA MENYAYANGI AKU DI WAKTU KECIL”.

Para ulama menafsirkan kata “robbayani” ini dengan istilah selain menyayang adalah mendidik. Maka jika para ayah tidak mau ikut berperan dalam mendidik anaknya dan semua tanggung jawab pendidikan anak diserahkan kepada ibu, maka para ayah jangan berharap mendapat doa dari anak kita ketika kelak mereka dewasa dan kita sudah tua renta atau di alam kubur nanti.

Ketika sang ayah lepas tangan dan menyerahkan semua tanggung jawab kepada ibu, maka akan terjadi beberapa hal, yang pertama adalah munculnya remaja galau.

Istilah remaja baru dikenal di zaman revolusi industri eropa, dimana waktu itu adalah puncak kejayaan ekonomi di eropa, sehingga industri butuh banyak para pekerja, dan para orang tua sibuk dengan pekerjaannya di pabrik, dan akhirnya dibuatlah sebuah tempat penitipan anak yang bernama “schole”, yang artinya waktu luang. Zaman dahulu sekolah hanya tempat penitipan anak untuk mengisi waktu luang mereka selama orang tua mereka bekerja, tapi seiring berkembangnya zaman sekarang ini sekolah bukan lagi menjadi tempat mengisi waktu luang anak anak, tapi malah menjadi kesibukan yang membuat pusing anak anak, dijejali dengan berbagai kurikulum yang belum tentu sesuai dengan minat dan bakat mereka, bahkan di era millenia ini banyak sekolah yang membuat program full day school, yang makin membuat anak strees dan kehilangan waktu luang mereka.

Dalam psikologi pendidikan ada istilah pedagogi, dimana ada perlambatan kedewasaan sehingga rentang antara anak baligh dan aqil semakin besar. Dalam undang undang pendidikan nasional tahun 1951, dikatakan bahwa anak usia 15 tahun sudah dianggap dewasa. Namun, belakangan ini banyak anak anak kita yang sudah baligh tapi belum aqil. Padahal aqil dan baligh ini seharusnya tumbuh bersamaan.

Baligh artinya sudah mampu menghamili, aqil artinya sudah mempunyai kematangan berpikir. Di zaman tahun 80-90an, anak anak perempuan rata rata baru baligh ketika usia 13-15 tahun. Tapi di zaman ini, anak perempuan usia 8-9 tahun sudah baligh.Seperti yang diberitakan di media massa, ada anak perempuan usia 9 tahun di Karawang sudah hamil, dan yang menghamilinya adalah temannya di SD yang sama, dan mirisnya si laki laki yang sudah baligh mampu menghamili ini baru berusia 10 tahun. Naudzubillah…

Dan sebaliknya, ada dosen di ITB mengatakan bahwa ada mahasiswanya yang S3 disebutnya belum aqil. Karena si dosen ini masih menegur si mahasiswa ini untuk membuat disertasi, mengingatkan ini baru BAB berapa, bangun tidur masih ditelephone mamanya, padahal ini mahasiswa S3 lho, bikin disertasi, bukan skripsi atau tesis. Bahkan ada mahasiswanya yang S2, ketika sidang masih didampingi orang tuanya, ketika sidang ga lulus, dosen pengujinya dimarahi, kenapa anak saya tidak diluluskan. (#tepok jidat)

Jika di usia 8-9 tahun anak anak sudah baligh, tapi sampai usia 24-25 tahun anak belum juga aqil. Maka ada rentang sekitar 15-17 tahun anak ini akan menjadi remaja galau. Dan BKKBN telah melakukan riset bahwa di tahun 2037 nanti, indonesia akan mendapat bonus demografi dengan pelonjakan anak anak usia ini, jika makin banyak remaja yang galau ini bertumbuh pesat, dan kita tidak segera sadar untuk membuat solusinya, maka ini bukan bonus demografi, tapi dissaster demografic.

Jika ini terjadi, kenalakan remaja akan semakin liar, narkoba semakin marak, bahkan yang membuat merinding, angka free sex akan meningkat cepat, sampai sampai di akhir zaman nanti disebutkan dalam hadits bahwa banyak orang yang melakukan zina di tempat umum tanpa malu dan orang di sekitarnya tidak peduli.

Itulah mengapa dalam pendidikan seksualitas berbasis fitrah, Allah sudah menginstall bahwa anak anak lelaki yang sudah dewasa harus didekatkan pada ibunya, dan anak anak perempuan dewasa harus didekatkan pada ayahnya. Karena ada porsi maskulin dan feminin yang harus seimbang. Dan ini hanya bisa didapatkan jika ayah dan ibu berperan, tidak bisa pendidikan anak seluruhnya menjadi tanggung jawab ibu.

Anak lelaki dewasa didekatkan ke ibu. Agar sisi maskulinitasnya bisa dibasuh dengan femininitas sekitar 25%. Karena seorang lelaki yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, maka di saat yang sama harus ia harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya, menjadi tempat berkasih sayang sekaligus tempat curhat baginya. Agar ia tak mencari sosok perempuan lain diluar rumahnya.

Dan sebaliknya, anak perempuan didekatkan ke ayah agar ia tersentuh sisi maskulinitas sekitar 25%. Agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis, bisa tegar dalam mengelola perasaan, mempertahankan kepemilikannya, dan disaat yang sama ia harus memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata lelaki bukan kacamata perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya. Anak perempuan yang tidak dekat ayahnya di tahap ini, kelak berpeluang besar akan denan mudah menyerahkan tubuh dan kehormatannya pada lelaki yang dianggap dapat menggantikan sosok ayahnya yang hilang dimasa sebelumnya.

Di samping itu, jika tidak ada sosok ayah yang berperan, maka inilah yang menjadi sumber LGBT. Dan para predator LGBT ini semakin hari makin bertambah jumlahnya. Di negara negara barat, LGBT sudah dilegalkan. Maka di negara demokrasi yang berprinsip suara paling banyak dialah yang menang, para LGBT akan terus mencari korban selanjutnya hingga jumlah mereka bertambah besar, beberapa sudah menyusup di parlemen dan berusaha melegalkannya melalui undang undang di Indonesia.

Sadarlah para ayah sebelum semua ini terjadi…

Di atas tadi baru salah satu dampak jika para ayah tidak mau terlibat dalam mendidik anaknya. Masih banyak dampak dampak lain dan bagaimana seharusnya menjadi ayah idola yang insya Allah akan saya tulis di episode serial fatherhood selanjutnya. Semoga bermanfaat…
#fatherhood forum
#HEbAT community
#home education

Ayah…Ibu, Dengarkan Dulu, Aku ingin Bercerita..!!

IKhuttab Media Edukasi

Mengizinkan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka, berbagi kebahagiaan dan penderitaan, merupakan prinsip yang penting dalam tarbiyah anak. Jika orang tua berhasil mengizinkan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka, anak akan selalu kembali kepada mereka, mencari mereka untuk membantu segala masalah. Ketika orang tua tidak mengizinkan anak untuk mengekspresikan perasaan mereka, sang anak akan menyimpan sesuatu yang ada pada mereka dan tidak akan menyingkap berbagai informasi kepada mereka.

Ini adalah kesalahan serius yang dibuat oleh orang tua. Hal tersebut mencipatakan sebuah kerenggangan komunikasi antara anak dan orang tua. Anak perlu untuk mengekspresikan perasaan merka kepada orang tuanya, sebaliknya mereka akan menemukan orang lain untuk berbicara, seperti guru, penasihat, teman atau beberapa teman sebaya yang mampu menyesatkan mereka.

Ini juga bisa menjadi awal dari penutupan perasaan mereka terhadap orang tua mereka, yang mampu membawa kepada masalah serius: sang anak tidak mendengarkan orang tua mereka atau berkonsultasi dengan mereka di saat mereka memiliki masalah atau sebuah persoalan untuk didiskusikan. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan anak-anak muda untuk mengekspresikan perasaan mereka dan tidak menyangkal beberapa ekspresi mereka. Sebenarnya, dia tetap mengakui perasaan ini dan berbagi dengan anak-anak mereka.

Diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam datang ke rumah Abu Bakar radhiyallahu anhu dan menemukan Aisyah di belakang pintu sambal menangis, dia bertanya kepada Aisyah dan mengadu kepada ibunya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menangis karena simpati kepadanya dan berbicara kepada ibunya untuk mengatasi masalahnya. Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbagi perasaan dengan Aisyah radhiyallahu anha, yang mana pada saat itu Aisyah masih berumur enam tahun.

Bagaimana kita mampu menggunakan sebuah prinsip kepada anak kita ? Sebagai contoh: andaikan anak kita pulang ke rumah dari sekolah pada hari di mana ia merasa buruk, ia mengadu bahwa ia memiliki masalah dengan beberapa teman sebayanya.

Beberapa orang tua mungkin akan langsung merespon dan berkata kepada anaknya, “Ini bukanlah sebuah masalah, kamu sekarang adalah anak lelaki yang kuat dan tidak perlu khawatir terhadap sesuatu yang kecil,” tanpa mengizinkan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Ini bukanlah hal yang dibenarkan untuk mendatangkan solusi dari sebuah masalah.

Sebagai orang tua, kita harus mencoba untuk menggunakan metode dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam. Mintalah anak kita menjelaskan permasalahannya kepada kita dan tunjukkan rasa simpati kita kepada mereka. Katakan kepada mereka bahwa kita mempunyai perasaan yang sama jika sesuatu terjadi pada diri mereka.

Tanyakan kepada mereka jika dia menginginkan kita untuk ikut campur tangan membantu memecahkan masalah. Usulkan berbagai ide untuk menguraikan masalah dan biarkan mereka dengan pilihannya, dengan bimbingan kita, ambil satu yang paling cocok.

Pada cara ini, kita harus berbagi perasaan, membantu menganalisis masalahnya dan membimbing melalu pemilahan mana yang pro dan mana yang berlawanan dari suatu saran penyelesaian masalah.

Ini adalah sebuah harapan yang berharga bagi anak kita. Waktu yang kita habiskan dengan mereka adalah hal yang sangat baik dan dia akan mengapresiasi pengertian kita dan menjadikan kita sebagai ‘tempat mengadu’ pada waktu-waktu yang sulit. Apa yang ia butuhkan lebih terasa karena adanya dukungan dan dorongan orang tuanya.

Sumber:
[Parenting skill, Drs. Ekram dan Muhammad Ridha Bashir (dengan sedikit penyesuaian)]

Sesibuk apapun orang tua, tidak boleh kemudian meremehkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak kita. Jika anak kita sudah tidak lagi percaya kepada orang tuanya lantas kepada siapa ia akan mengadu semua permasalahannya, meminta solusi. Orang tua yang baik adalah mereka yang perhatian dan siap mendengarkan segala keluh kesah anaknya dan selalu mencoba memberikan solusi sebijak mungkin.
Semoga kita termasuk orang tua yang demikian..Amiiin.

Semoga bermanfaat…Baarokallahu Feekum

Masjid Ramah Anak?

Wicak Amadeo

Sang Khatib sedang menyampaikan khutbah. Sementara itu, beberapa kelompok anak tetap asyik berbincang dan bersenda gurau.

Mungkin jika sang khatib menggunakan gaya story teller, akan jauh lebih menarik bagi anak-anak dibanding gaya ceramah dengan intonasi naik turun yang monoton. Pesan yang disampaikan agar anak-anak duduk tenang selama khatib berceramah, rasanya adalah bentuk kesalahpahaman bahwa dunia anak berbeda dengan orang dewasa. Mungkin para khatib lupa dengan masa kecilnya dulu. Masa yang dinamis dan penuh keriangan adalah khas masa anak-anak.

RASULULLAH SAYANG ANAK

Ketika Rasulullah Menjadi Unta

Alkisah, suatu hari Rasul berjalan di lorong gang menuju Masjid, lalu berjumpa dengan anak-anak yang tengah bermain. Saat melihat Rasul, anak-anak segera merangkulnya seraya berkata: “كن جملي”

“Ayolah jadi untaku.!” Karena kerap melihat Hasan dan Husain melakukan hal yang sama pada Rasul, mereka pun menginginkanya. Rasul dengan senang hati mengabulkan permintaan mereka.

Di sudut lain, para sahabat tengah menantikan Rasul untuk memimpin shalat berjamaah di masjid. Bilal pun datang untuk menjemput beliau. Namun Rasul bersabda: “Bagiku, terlambat waktu shalat lebih baik daripada membuat hati anak-anak bersedih”. Rasul lalu meminta Bilal datang ke rumahnya, mengambil makanan untuk anak-anak. Bilal kembali dengan membawa beberapa butir buah kenari, lalu diserahkan pada Rasul.

Kepada anak-anak itu Rasul berkata: ” ا تبيعون جملكم بهذه الجوزات ؟” “ Maukah kalian menjual untamu dengan buah-buah kenari ini?” Anak-anak menyanggupi tawaran Rasul dan melepaskan rangkulannya. Rasul berjalan ke arah masjid sambil bercanda: “Semoga Allah merahmati saudaraku, Yusuf. Ia dijual dengan harga beberapa dirham sementara aku terjual dengan beberapa kenari”

Inilah kisah hidup *Sang Nabi yang Welas Asih* itu. Membaca cerita ini, membuat hati kita bergetar hebat: “Ah…Rasul, engkau memang manusia langit. Tapi, perilakumu begitu membumi hingga bisa menjadi tauladan bagi seluruh ummat”.

Jika dicermati, ada tiga catatan yang bisa kita renungkan dari kisah diatas:

1. Pentingnya BERMAIN dengan ANAK

Sangat mengagumkan. Rasulullah, seorang kepala negara dan rujukan agama dengan setumpuk agenda dan kesibukan, menyempatkan bermain, tidak hanya dengan keluarganya juga anak-anak lain. Jabir bin Abdullah pernah menuturkan: “Rasulullah selalu bermain dengan anak-anak para sahabat, juga memangku mereka” (Nihayatul masul fi riwayatir Rasul, juz 1, 340). Hal yang sama juga diakui sahabat Anas bin Malik dalam Shahih Bukhari (8/37): “Nabi Muhammad adalah manusia termulia akhlaknya. Aku memiliki adik yang baru saja disapih. Oleh karena itu, aku menjaganya. Setiap kali Rasul melihat adikku, beliau berkata: “Pasti kau merasa sakit karena disapih” lalu Rasulpun bermain dengannya”.

Yang lebih mengagumkan lagi, Rasul bahkan menunda waktu shalat, sebuah ajang perjumpaan dengan sang ‘kekasih’ demi menyelamatkan hati anak-anak agar tidak terluka dengan bermain bersama mereka. Dalam keseharian, betapa sering kita mengecewakan putra putri kita hanya karena tak ingin diganggu ketika masak, mengetik di depan komputer atau menyelesaikan pekerjaan rumah lainnya.

Belakangan, dalam teori psikologi anak, disebutkan bermain adalah hak anak yang sama pentingnya dengan hak pendidikan. Dengan permainan, sebenarnya seorang anak sedang menangkap berbagai stimulus untuk perkembangannya. Tepat sekali kiranya, Rasul begitu memberikan prioritas untuk bermain bersama anak-anak.

2. BERLAKU SEPERTI KANAK-KANAK di hadapan mereka

Saat anak-anak berkata “Ayolah jadi unta untukku” mungkin kita teringat adegan seorang ayah yang sering menjadi ‘kuda’ untuk anaknya. Sebenarnya, saat Rasul berperan menjadi tunggangan bagi anak-anak, seakan Rasul ingin berpesan, bermainlah seperti keinginan mereka. Dalam wasailusyiah (juz 15, 230) disebutkan: “Siapa saja yang sedang berada di dekat anak, hendaknya ia berperilaku seperti kanak-kanak”.

Anjuran Rasul ini juga selaras dengan teori perkembangan anak yang menganjurkan orangtua dan para pendidik untuk berkomunikasi dengan anak sesuai dengan tingkatan umur dan perkembangan anak. Selain anak akan merasa menemukan teman sejati, juga akan belajar memberikan kepercayaan kepada sang orangtua.

3. MEMBERIKAN ALTERNATIF, bukan larangan

Akhir potongan kisah diatas cukup menarik, bagaimana Rasulullah memberi tawaran buah-buah kenari untuk anak-anak sebagai pengganti permainan yang mereka inginkan. Konon, jika orangtua melarang secara langsung, anak akan belajar pembangkangan. Sebaliknya, bila menawarkan alternatif, anak akan belajar menerima hal berbeda dengan cara yang bijak. Saat diberikan alternatif, anak tidak merasa tertolak, bahkan merasa diperlakukan istimewa.

Bagaimana menurut Anda?

Apakah Anda adalah seorang Muslim yang sudah bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Utusan Allah?

Apakah Madjid tempat Anda melaksanakan ibadah shalat dapat dikategorikan sebagai MASJID RAMAH ANAK?

Peran Orangtua dalam Proses Belajar

Oleh : Venni Siska, Guru SD di Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe
Media Indonesia edisi Senin, 24 September 2018

BILA berbicara tentang pendidikan, berarti pula menjelaskan hubungan dan peran penting antara guru, murid, dan orang tua. Proses belajar di sekolah akan berjalan lancar seperti yang diharapkan, jika terjalin relasi yang baik dan peran yang optimal di antara ketiganya.

Murid merupakan amanah yang dititipkan orangtua kepada guru/sekolah. Sementara itu, guru wajib menjalankan amanah dengan cara memberikan pelayanan, rasa dicintai, dan rasa aman terhadap para muridnya, baik saat berada di dalam maupun di luar kelas. Termasuk membangun kesadaran siswa bahwa sekolah adalah milik mereka.

Penting untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sekolah adalah milik bersama. Seperti dinyatakan Elaine B Griffin, guru terbaik Amerika pada 1995, “Jika kita dapat membuat para murid menganggap bahwa sekolah adalah milik mereka, mereka akan melindunginya. Buatlah mereka merasakan bahwa sekolah adalah juga komunitas mereka, maka mereka akan memedulikannya.”

Milik bersama yang di dalamnya terdapat guru, teman sejawat, kelas, meja, kursi, dan semua benda-benda lainnya yang harus dilindungi bersama. Murid yang merasa memiliki sekolah akan merasa nyaman dengan teman, guru, dan kelas yang menjadi tempat belajar mengajar. Tempat proses saling berbagi, memberikan dan menerima ilmu sekaligus media ketika guru dan murid bisa saling bekerja sama. Jika guru dan murid mampu berperan dalam proses belajar dengan menumbuhkan rasa memiliki sekolah, lalu bagaimana dengan peran orangtua?

Kepercayaan dan peran

Peran orangtua juga tak kalah pentingnya dalam proses pendidikan anak. Keberhasilan proses belajar mengajar tidak bisa hanya dibebankan pada guru semata. Orangtua harus berperan aktif dalam proses belajar anak. Pada hakikatnya, orangtua merupakan madrasah utama bagi seorang anak dalam mendapatkan pendidikan. Sementara itu, guru dan sekolah merupakan madrasah lanjutan bagi para murid.

Memberikan dukungan kepada anak dalam proses belajar merupakan salah satu contoh motivasi yang dapat dilakukan orangtua bagi anaknya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, masih banyak orangtua yang tidak mengetahui bagaimana cara mendukung anak-anak dalam meraih mimpi-mimpi mereka. Mengapa banyak orangtua justru tidak menunjukkan dukungan kepada anak-anak mereka? Apa yang dapat dilakukan guru dalam situasi seperti ini?

Dalam hal menumbuhkan kesadaran orangtua atas pentingnya peran mereka dalam menentukan keberhasilan anak/murid, guru dapat membantu dengan cara memberikan saran atau masukkan yang bersifat positif dan informatif kepada orangtua. Tidak ada orangtua yang ingin melihat kegagalan anak-anaknya di masa sekarang atau mendatang. Namun, tidak semua orangtua sadar bahwa mereka memiliki peran signifikan dalam menentukan keberhasilan anak-anak mereka.

Seperti dinyatakan Mari Moreland, “Terdapat begitu banyak hal yang dapat dilakukan oleh orangtua agar anak-anaknya datang ke sekolah dengan kesiapan untuk belajar. Jika orangtua tidak mendukung anak-anaknya, pastilah karena satu dari dua alasan berikut. Pertama, para orangtua tidak tahu bagaimana cara mendukung anak-anak mereka. Atau kedua, mereka tidak mengerti bahwa dukungan mereka sangatlah penting.”

Pada titik inilah guru berkewajiban untuk membangun komunikasi yang baik dengan orangtua siswa. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi dan dukungan yang memadai terhadap berbagai hal yang dapat orangtua lakukan, sekaligus menjelaskan manfaat dukungan mereka terhadap anak/murid dalam proses belajar.

Guru dapat memulai pembicaraan dengan orangtua siswa melalui pesan atau telepon singkat, mengadakan pertemuan dengan orangtua siswa di sekolah atau kunjungan ke rumah. Bagaimanapun orangtua juga harus mengenal siapa guru yang mengajar anak-anak mereka, memahami aturan main (juga hak dan kewajiban) yang harus dipatuhi di sekolah. Apa tugas dan peran orangtua dalam proses belajar murid di sekolah maupun di rumah, dapat disampaikan dan kemudian dipahami melalui komunikasi yang intensif dengan orangtua.

Pertukaran informasi dan diskusi yang baik antara guru/sekolah dan orangtua juga berimbas pada kedekatan guru–orangtua yang semakin erat yang juga akan memudahkan guru dalam mengelola peserta didiknya atas dasar kepercayaan yang diberikan orangtua.

Kepercayaan yang diberikan orangtua kepada guru merupakan senjata paling ampuh bagi guru dalam mendidik murid. Kepercayaan ini akan mendorong suasana proses belajar mengajar yang lebih kondusif, akuntabel, dan berorientasi pada perkembangan positif murid. Orangtua menyadari bahwa guru merupakan pengemban amanah atau sebagai orangtua kedua bagi anaknya di sekolah.

Pada saat terjadi masalah terkait dengan anak/murid, orangtua tidak dengan mudah menerima mentah-mentah informasi yang disampaikan si anak atau orang lain, dan serta-merta menghakimi guru dan pihak sekolah sebagai pihak yang harus disalahkan. Orangtua akan langsung mengonfirmasi masalah yang terjadi kepada guru yang bersangkutan atau pihak sekolah terkait.

Selain itu, orangtua dapat menimbang untuk menjalankan beberapa praktik atas peran mereka sebagai berikut: menjadi panutan dalam proses belajar anak melalui serangkaian praktik disiplin diri terhadap waktu dan tenggat penyelesaian tugas/pekerjaan. Termasuk keinginan untuk mempelajari hal baru.

Selain itu, memberi perhatian lebih pada minat anak, memahami cara belajar anak yang sifatnya unik atau tak bisa disamakan dengan anak lainnya melalui ragam cara belajar yang sesuai dengan kebutuhan anak. Lalu meluangkan waktu untuk terlibat dalam kegiatan belajar anak–terutama di rumah–melalui beberapa kegiatan bersama. Membaca, mengerjakan PR, tugas atau proyek si anak. Juga melatih dan menumbuhkan rasa tanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan proses belajar si anak, antara lain dengan melakukan diskusi dan evaluasi atas hasil belajar mereka.

Terakhir, orangtua juga dapat membantu anak untuk memahami apa yang dipelajari dengan mengaitkan proses belajar mereka dengan dunia nyata, melalui contoh dan praktik di kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, anak dapat berpeluang mengalami serangkaian moment of learning yang nyata.

Melalui beberapa cara di atas, ditopang dengan relasi yang baik dengan guru dan sekolah, peran orangtua akan lebih bermakna dan terasa manfaatnya.

Gagal Faham Memahami Fitrah

Igo Chaniago

Kemarin saya membuka treath diskusi di grup HEbAT, karena ada sebuah lembaga parenting islami yang HTMnya jutaan rupiah, yang tidak perlu saya sebut namanya mengatakan di salah satu promosinya :

*Akhir akhir ini sering ada seminar tentang mengembalikan fitrah yang memisahkan agama dan dipengaruhi pola pikir kapitalis* 

Saya heran, bagaimana cara berpikirnya sehingga metode parenting yang digaungkan komunitas kami ini dikatakan telah memisahkan agama dan dipengaruhi pola pikir kapitalis. Karena itu hal ini saya diskusikan dengan para gurunda di komunitas kami, Ustadz Adriano, Ustadz Harry dan Bu Septi. Isi diskusinya sangat mencerahkan dan patut untuk disimak oleh ayah bunda agar tidak gagal faham tentang mendidik anak sesuai fitrah.

Ustadz Adriano mengatakan : Seandainya ijtihad pendidikan kita sepenuhnya berasal dari Al-Qur’an dan As-sunnah, tetap kita nggak boleh melakukan klaim-klaim kebenaran. Karena kebenaran hakiki yang sudah mendapatkan sentuhan manusia, sifatnya jadi relatif. Kebenaran Al-Qur’an itu absolut, tapi tafsir Al-Qur’an itu kebenarannya relatif. Sayapun sudah berkali-kali mengoreksi pemahaman sendiri, padahal rasa-rasanya udah Islami banget
Hal ini juga dibenarkan ustadz harry dengan menyarankan agar kita berjamaah dan berkolaborasi terus menerus agar kebenaran itu bisa disaling nasehati, karena “no one of us is as smart as all of us , no all of us as smart as Allah”

Salah satu ustadz di grup tersebut mengatakan, bahwa *”Ilmu psikologi dan sosiologi itu bukan dari islam dan peraban islam, tapi dari tsaqofah asing yang bukan dari tsaqofah islam”*

Ustadz Adriano menyanggah hal ini, karena ini sudah dibahas sejak dulu. Tahun 1985 bahkan pernah dirancang materi khusus berjudul “Ilmullah”, untuk menjawab tentang keabsahan ilmu-ilmu manusia seperti psikologi,  antropologi, filsafat dsb. 

Intinya : SEMUA ILMU BERSUMBER DARI ALLAH. Ada yang Allah turunkan lewat wahyu (jalur resmi) melalui para nabi, ada yang Allah turunkan lewat ilham (jalur tak resmi) kepada seluruh manusia. 

Ilmu yang Allah turunkan lewat wahyu, memiliki kebenaran absolut. Sedangkan ilmu yang Allah turunkan lewat ilham memiliki kebenaran relatif, karena telah dipengaruhi oleh kelemahan manusia. 

Ilmu-ilmu Allah yang turun lewat jalur ilham ini disebut hikmah. Kita boleh mengambilnya dari manapun. “Hikmah itu milik Mu’min yang tercecer. Di manapun ia temukan, ia berhak mengambilnya”

Yang penting, kita harus kritis dalam menghimpun ilmu semacam ini. Yang baik ambil, yang buruk buang. Tolok ukurnya adalah wahyu dan hati. 

Ilmu-ilmu sosial-humaniora ini unik : semakin besar manfaatnya, resiko mudharatnya juga besar.

DR Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan :

“Ada tiga ilmu yang sangat penting bagi dakwah : filsafat,  psikologi dan antropologi. Tapi resiko negatifnya juga tinggi”

DR Sa’id Hawwa juga meminta kita untuk mendalami ketiga ilmu ini, tapi dengan iman yang kuat, dan mempelajarinya dari pakar-pakar mu’min pula.

Saya pernah beberapa kali membaca konsep parenting islami. Tapi kok justru banyak yang nggak Islami ya. Makanya saya cenderung menganggapnya sebagai branding dan perang dagang saja.

Saya dari dulu justru menghindari label-label “Islam” dari produk-produk ijtihad manusia, walaupun diturunkan sepenuhnya dari ajaran Islam. 

Saya khawatir pelabelan “Islam” terhadap ijtihad manusia ini justru disebabkan karena kita sedang jauh dari Islam. 

Mari kita sadari bahwa di Padang nggak ada Rumah Makan Padang… Di Madura nggak ada Sate Madura… Di Tegal nggak ada Warung Tegal… Namun, saat kita jauh dari Padang, Madura dan Tegal, kita mulai butuh label

Makanya waktu Khilafah Islamiyah masih tegak, nggak ada sekolah Islam,  Rumah Sakit Islam dsb. Ibnu Khaldun saat menyusun Teori Sosiologi, nggak menyebutnya sebagai Sosiologi Islam

Bu Septi menambahkan hal ini dengan mengatakan : Pemahaman ini yg dari dulu saya pegang, bahwa saya tidak perlu menambah embel-embel nama islam di komunitas, sekolah dll karena Islam sdh menyatu dg diri kita, Tinggal mewujudkan sikap islaminya. Sehingga antara islam dan islami tidak akan pisah ranjang. Tapi tidak semua orang paham akan konsep ini. Misal contoh perilaku yg islami kita ambil yg paling dasar saja , kamar mandi bersih, maka tunjukkan dulu. Jangan namanya sudah mengandung unsur  Islam, kamar mandinya kotor banget. 

Allah telah memberikan kita sebuah nikmat, dimana nikmat itu tidak diberikan kepada selain Umat Islam yakni nikmat Iman dan nikmat Islam.” Tentu hal tersebut benar adanya. Namun pertanyaan nya adalah, apakah kita memang telah merasakan kenikmatan beriman dan berislam tersebut? Bukankah sesuatu yang bernama nikmat itu tentu dapat dirasakan kenikmatannya? Tidak hanya sekedar tertulis dan terbaca.
direnungkan satu hal lagi dengan pertanyaan yang mendasar yaitu :

” Bagaimana tolak ukur seseorang itu bisa dikatakan merasakan nikmatnya beriman dan berislam?”

Sehingga manisnya Iman dan Islam dapat dirasakan, yang kemudian berpengaruh pada amal orang tersebut di dunia.

#Fitrah Based Education
#HEbAT Community
#Fatherhood Forum