Tempatkan setiap Anak kita sebagai “Leader” di setiap bidang Kehidupan

Harry Santosa
December 4·

Tempatkan Setiap Anak Kita sebagai “Leader” di Setiap Bidang Kehidupan

Konon pada tahun 2015, para pakar dan pemikir bangsa Israel berkumpul di New York (bukan di Tel Aviv) untuk menghadiri sebuah perhelatan besar konferensi yang bertujuan membuat “grand design” arsitekur peradaban bangsa ini beberapa dekade ke depan.

New York dipilih mengingat inilah tempat bersejarah kedua yang menjadi titik awal kebangkitan bangsa Israel sebelum negara Israel raya berdiri dengan menjajah Palestina.

Barangkali jarang yang tahu bahwa nama pertama New York adalah New Yerusalem atau New Amsterdam. Ini kota kedua sebagai pusat kebangkitan Israel setelah berpindah dari Amsterdam yang dulu juga bernama New Yerusalem.

Konferensi bangsa Israel ini melahirkan berbagai keputusan penting dan protokoler bangsa Yahudi setebal beberapa ribu halaman. Namun intinya adalah bangsa Israel membuat misi peradaban bahwa harus ada seorang putera bangsa Israel yang menjadi pakar sekaligus pemimpin yang menjadi rujukan dunia pada setiap bidang dalam kehidupan.

Yang menarik adalah bahwa konferensi ini ditutup dengan pidato seorang sepuh bangsa Israel, yang di akhir pidatonya mengutip sebuah quote dari filsuf Israel yang hidup di abad 1 Masehi bernama Hilar, yaitu

If I am not for me, who will be me
If i am for me, who am i
If not now, when?

(Jika saya bukan untuk saya, siapa yang akan menjadi saya
Jika saya untuk saya, lalu siapa saya
Jika tidak sekarang, lalu kapan?)

Quote ini sederhana, namun menggambarkan keinginan dan keseriusan besar bangsa mereka untuk leading pada setiap bidang kehidupan dengan mendorong tiap orang Israel untuk menemukan takdir peran peradaban dirinya untuk menguasai dunia.

Keseriusan ini bahkan tergambar dalam bidang kehidupan yang paling sederhana sekalipun, sebagai contoh, pemeran film Wonder Woman, adalah seorang perempuan pelatih Kraf Maga (beladiri khas Israel) pada tentara Israel.

Bayangkan, dalam bidang beladiri saja mereka ingin leading dan ingin menjadi teladan. Kraf Maga ini banyak digunakan sebagai andalan para petarung MMA (Mix Martial Art) di ajang dunia tarung bebas.

Tulisan ini bukan bermaksud SARA atau anti semit atau membenci ras bangsa Israel, namun kita dapat belajar betapa seriusnya mereka untuk fokus pada potensi kekuatan mereka sendiri dengan mendorong bangsanya agar setiap dari mereka menemukan peran peradaban dan leading pada setiap bidang kehidupan tersebut sehingga menjadi rujukan dunia.

Refleksi

Kita bisa berefleksi kepada peradaban Islam sendiri, bagaimana peradaban kita hari ini? Apa yang bangsa Israel lakukan di atas sesungguhnya sedang membangun arsitektur peradabannya.

Mereka meniru konsep alQuran bahwa setiap muslim harus memiliki daurul hadhoriyah (peran peradaban) dan menjadi teladan pada bidangnya masing masing sekecil apapun.

Peran peradaban personal seorang muslim adalah bashiro wa nadziro yaitu banyak memberi kabar gembira (solution maker) dan peringatan (problem solving) lalu harus rahmatan lil alamin yaitu menebar manfaat besar bagi manusia.

Kemudian, secara kolektif, peran peran personal ini akan membawa Ummat kepada peran komunal yaitu khoiru ummah (the best model community) dan ummatan wasathon (the best collaborator) bagi ummat manusia.

Untuk sampai kepada mengantarkan generasi peradaban anak anak kita kepada peran peradaban terbaiknya pada setiap bidang kehidupan agar menjadi khoiru ummah dan ummatan wasathon, sebagaimana yang Allah kehendaki itu harus diawali dengan model pendidikan peradaban yang mampu melakukan hal demikian.

Namun sayangnya, benak kebanyakan ummat Islam tentang pendidikan adalah hanya mengantarkan generasi pada pandai akademis dan pandai agama, bukan peran peradaban. Mindset pandai akademis inilah sesungguhnya yang membuat peradaban Islam menjadi mandul peran peradaban.

Kita banyak menemukan lembaga lembaga pendidikan Muslim maupun Orangtua Muslim yang masih berorientasi agar anaknya bagus di akademis dan atau bagus di agama, misalnya hampir seragam ingin punya anak yang lulus UN dengan nilai tinggi dan hafal banyak juz alQuran, lalu ujungnya agar bisa diterima di perguruan tinggi bergengsi dan bekerja di tempat “basah”.

Nampaknya tiada yang salah ketika berobsesi anak pandai akademis dan pandai agama lalu sekolah setinggi tingginya di kampus bergengsi dan akhirnya bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar sehingga zakat dan infaqnya besar.

Sesungguhnya Islam tak melarang manusia untuk kaya, berkuasa, terkenal dstnya, namun Islam melarang menjadikan dunia sebagai orientasinya walau dikemas dalam kemasan agama “agar banyak infaqnya”. Itu namanya hubbuddunya dan menjadikan agama sebagai bungkus ambisi dunianya.

Bayangkan apa jadinya, andai semua Muslim menjadikan dunia sebagai orientasinya? Mengantarkan anak anak kita yang cerdas dan hafizh itu untuk menjadi kuli kuli peradaban, bukan peran peran peradaban terbaik pada setiap bidang kehidupan? Tentu menjadi khoiru ummah hanya isapan jempol dan mimpi di siang bolong.

Hari ini generasi muda muslim, kebanyakan ketika selesai sekolah dan kuliah, hadir di masyarakat, menjadi orang yang mati (meminjam istilah Buya Hamka), tanpa peran peradaban. Mereka melayang layamg menjajakan kepandaian akademis dan kepandaian agama untuk mencari nafkah dan menjadi kuli peradaban bangsa lain.

Indonesia konon punya 600 Doktor Tafsir, namun tak satupun berminat bikin tafsir. Sejak Indonesia merdeka, kita hanya punya 2 tafsir kontemporer, yaitu AlAzhar (Hamka) dan alMisbah (Quraish Shihab). Kita punya banyak hafizh namun sedikit yang berminat jadi guru Quran apalagi ahli Quran dsbnya. Lembaga pengembangan SDM Muslim yang merekrut banyak pemuda pandai untuk diberi bea siswa dengan dana ummat, namun ujungnya hampir semuanya diserap perusahaan konglomerat.

Ini terjadi karena orientasi pendidikan kita tak berorientasi peradaban dengan mengantarkan anak anak kita kepada peran peradaban terbaiknya dan menjadikan mereka sebagai rujukan dunia pada bidang itu.

Lima tahun lalu, seorang ibu yang jadi rujukan banyak orang, menulis status di sosmed sbb

“….alhamdulillah anak saya yang hafizh alQuran sekarang sudah tamat dari PTN,
…….mohon doanya agar segera diterima bekerja”

Bisa dibayangkan peradaban Islam 10-20 tahun ke depan jika mindset setiap ibu demikian.

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#fitrahbasedlife

Advertisement

Kepemimpinan yang Relevan di Masa Depan

Oleh : A Farid Aulia,
Deputi Direktur Bank Indonesia Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute
Media Indonesia, 21 November 2018

SEJUMLAH negara maju sudah melembagakan antisipasi mereka terhadap masa depan. Singapura membentuk Committee on The Future Economy dengan tugas ‘memindai horizon masa depan’. Swedia membangun kementerian baru, Minister of the Future, yang dijabat oleh Kristina Persson, yang pernah berkunjung ke Indonesia. Menteri Kristina mendapat misi khusus yang disebut Future Program, yakni mempersiapkan langkah-langkah strategis untuk menghadapi masa depan. Dengan nama yang berbeda Uni Emirat Arab, Malaysia, dan Thailand juga memiliki kelembagaan sama.

Dari lembaga itu, Swedia mengambil keputusan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil untuk otomotif pada 2025, yang kemudian diikuti oleh Norwegia. Belanda dan Jerman akhirnya juga masuk ke jalur yang sama, akan menggunakan mobil listrik di seluruh negeri pada 2035.

Pelembagaan antisipasi terhadap masa depan dilakukan mengingat sedemikian pesatnya percepatan perubahan saat ini, sebagaimana bisa dilihat dalam berbagai shifting yang terjadi. Dalam industri otomotif, misalnya, perubahan tidak hanya terjadi dalam hal bahan bakar, tetapi juga teknologi lainnya. Sekarang sudah muncul mobil dan truk tanpa pengemudi, taksi tanpa pengemudi, bahkan taksi terbang tanpa pengemudi, taksi yang lancar di jalan raya, terbang, dan menyusup dalam sistem kereta. Taksi terbang itu sudah diputuskan untuk beroperasi di Dubai tahun ini. Yang ‘mengganggu’ industri otomotif juga bukan lagi industri sejenis, melainkan Tesla, Google, Apple, Amazon, bahkan industri pesawat, Airbus.

Seluruh kejadian itu menunjukkan apa yang oleh Bob Johansen sebagai get there early mindset, yakni cara berpikir dan tekad untuk tiba (di masa depan) lebih cepat jika dibandingkan dengan siapa pun yang lain. Menurut Johansen, ini ialah soal kepemimpinan. Maka dari itu, agar satu bangsa atau organisasi bisa membangun tekad seperti itu, diperlukan pemimpin yang secara proaktif terus menyadari kemendesakan masa depan.

Relevan terhadap masa depan

Relevansi ialah kata kunci baik untuk organisasi, sebesar apa pun skalanya, dalam menghadapi masa depan. Center for the Effective Organization University of Southern California (USC) mengatakan bahwa tantangan bagi organisasi masa kini bukan lagi menjadi yang terbaik, melainkan menjadi yang terbaik dalam berubah.

Umur organisasi akan diprediksi dari kemampuannya mengikuti perubahan dan melakukan perubahan relevan, ketimbang sekadar menjadi yang terbaik di masa sekarang. Kita sudah melihat Kodak, Nokia, atau Blackberry, yang pernah menjadi yang terbaik di bidangnya, tetapi hancur karena gagal mengikuti perubahan.

Untuk itu, organisasi membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar melek, tetapi fasih masa depan. Lebih dari sekadar mampu membawa organisasi survive di masa depan, mereka harus mampu membawa organisasi lebih kompetitif di masa depan. Inilah tantangan kepemimpinan masa kini. Menjadi transformational leaders saja tidaklah cukup.

Clark G Gilbert, Mark W Johnson & Scott D Anthony mengatakan organisasi dan lembaga membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan transformasi ganda (dual transformation), yakni dengan melakukan reposisi dan mengeksploitasi opportunity baru di masa sekarang, sekaligus menciptakan positioning yang tepat untuk menjadi relevan di masa depan.

Ada beberapa tantangan yang harus diatasi kepemimpinan yang berorientasi masa depan. Pertama ialah tantangan kapabilitas. Donald Rumsfeld mengatakan ada tiga jenis tantangan, yakni yang kita tahu bahwa kita tahu (known-known), lalu kita tahu bahwa kita tidak tahu (known-unknown), dan kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown-unknown).

Masa depan akan dipenuhi dengan tantangan di area unknown-unknown. Jika pemimpin hanya sibuk menjawab tantangan yang known-known, dia akan berkutat seperti mesin. Jika sibuk menangani yang kedua, dia akan sibuk menjadi problem solver. Aktif menangani ketiga berarti selalu mencoba menganalisis masa depan agar bisa melakukan berbagai antisipasi sehingga terhindar dari kejutan yang merugikan. Itu tidak bisa dilakukan dengan ‘ilmu’ known-known atau known-unknown.

Edward Hess dalam bukunya Learn or Die mengingatkan, apa yang diketahui organisasi tidak relevan dalam menghadapi the unknown-unknown. Organisasi harus bisa mencari tahu lebih cepat dan lebih hebat dari kompetitornya. Kemampuan mencari tahu dan berkolaborasi dengan yang paling tahu ialah kunci menghadapi the unknown-unknown.

Tantangan yang kedua ialah belum ada tradisi melembagakan antisipasi terhadap masa depan. Vijay Govindarajan dalam bukunya The Three Box Solution mengingatkan urgensi bagi organisasi untuk melembagakan kegiatan mengantisipasi masa depan agar dapat melahirkan inovasi yang relevan di masa depan.

Ia mengatakan tiap organisasi perlu memiliki kegiatan yang berorientasi pada kotak: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kegiatan di kotak ketiga harus berfokus pada antisipasi masa depan. Ini mengingatkan bahwa transformasi institusi dari A ke B tidak lagi cukup sebab yang dibutuhkan ialah melembagakan kemampuan bertransformasi.

Yang ketiga ialah tantangan untuk keluar dari perangkap ekstrapolasi atau asumsi bahwa masa depan akan sama, tidak jauh berbeda dan hanya berupa perpanjangan masa sekarang. Kecenderungan seperti itu bisa dilihat dalam berbagai rapat kerja, perencanaan tahunan, atau perencanaan lima tahunan. Yang selalu mengasumsikan bahwa situasi, tantangan, dan persoalannya sama dengan hari ini.

Bob Johansen mengingatkan perlunya proses foresight agar bisa mendapatkan insight yang tepat untuk perencanaan strategis. Tantangan yang keempat ialah batasan waktu bagi para pemimpin publik (di Indonesia dibatasi maksimal dua kali lima tahun). Batasan itu, sadar atau tidak, membuat pemimpin berorientasi jangka pendek dan menengah, dan abai pada visi jangka panjang.

Dalam situasi seperti ini minimal seorang pemimpin perlu menetapkan arah kebijakan strategis jangka panjang, yang akan tetap relevan bagi pemimpin berikutnya. Kita sudah melihat betapa besarnya biaya jika kita tidak berorientasi pada masa depan. Segala permasalahan kita hari ini sebagian besar akibat kesalahan pengambilan keputusan di masa lalu, atau ketidaksiapan kita di masa lalu dalam mengantisipasi berbagai perubahan.

Jika di masa sekarang para pemimpin tidak berorientasi masa depan, di masa depan kita harus membayar mahal kesalahan masa sekarang ini. Ada pepatah yang mengatakan, “Waktu terbaik menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Waktu terbaik kedua adalah sekarang.”

Pemimpin Harus Berbasiskan Fakta, Bukan Ilusi

Rhenald Kasali
Rumah Perubahan

Setiap memberi kuliah kepemimpinan, saya selalu membukanya dengan leadership diamond yang digagas Peter Koestenbaum (2002), The Inner Side of Greatness. Sengaja memilih buku ini karena tujuan pengajarannya bukan melahirkan pemimpin biasa, melainkan pemimpin besar (great leader with greatness).

Maka ketika Indonesia dilanda hoax yang bisa memicu kebencian dan kebengisan beberapa hari ini, dan ketika hoax-maker-nya mengakui bohong (3/10/2018), murid-murid saya pun tersontak.

Mereka kembali membahas leadership diamond: seseorang hanya bisa menjadi besar kalau selalu bekerja dengan fakta. Bukan ilusi. Ya, fakta.

Percuma bergelar tinggi kalau mengendus fakta saja tidak bisa. Pemimpin tidak bisa memajukan bangsanya dengan ilusi. Maka dalam science pun, ilmuwan dibekali validity dan reliability check.

Di abad 21, Profesor Yuval Noah Harari mengingatkan bencana disillusionment akibat teknologi dan disrupsi. Baginya, “Clarity is Power.”

Dalam kepungan banyak berita yang kurang relevan, mendapatkan gambaran besar yang sebenarnya adalah sebuah kemewahan. Apalagi, “humans think in stories rather than in facts,” ujarnya.

Tukang Mancing Lebih Pandai?

Saya membaca penyesalan para elit yang mengaku telah dikibuli seorang hoax-maker minggu ini sambil senyum-senyum. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka masih genit di hadapan wartawan dengan meyakinkan publik bahwa hoax itu benar. Sebaliknya anak-anak muda sudah lebih awal mengatakan, itu hoax.

Jejak digitalnya di lokasi sekitar kejadian sama sekali tidak ada. Akal sehat kita pun sebenarnya dengan mudah bisa menangkap “bahwa seseorang tengah merangkai sebuah ilusi.”

Apalagi bagi pemimpin yang sudah makan asam garam. Seharusnya mereka sudah dibekali validity check dan intuisi yang kuat. Tanpa kemampuan mendeteksi fakta, seorang ekonom tak akan mungkin bisa menjadi menteri keuangan yang baik. Juga tanpa itu seorang panglima perang tak bisa membentengi bangsanya dalam peperangan.

Melihat kerumunan banyak saja mereka bisa bilang itu PKI. Atau saat kurs menembus Rp15.000 mereka langsung bilang krisis.

Kalau Anda ingin tahu bagaimana masyarakat bergulat dalam serangan hoax dan mendeteksi kebohongan, maka bukalah video-video di YouTube dengan kata kunci “penipuan.’

Anda akan terkejut. Sebab jumlahnya ribuan. Menggambarkan pengalaman rakyat jelata berhadapan dengan penipu. Salah satu favorit saya adalah tentang Tukang Mancing yang menghadapi seorang penyebar hoax sampai penipunya menyerah.

Setelah menyaksikan video itu, saya yakin Anda pasti memiliki persepsi yang sama dengan saya: masyarakat kita telah menjadi sangat cerdas.

Mereka bukan cuma mengerti berita yang mereka terima hoax atau bukan, melainkan juga mengerjai penipunya. Mereka kuras pulsanya, membuat mereka marah karena gagal mendulang keuntungan. Ya, tentu penebar hoax mencari keuntungan dari kesusahan orang lain.

Sekali lagi ada ribuan video serupa itu, bukan satu-dua. Dan perlu saya ingatkan agar Anda berhenti. Masalahnya Anda akan ketagihan. Sebab, video-video itu genuine dan membuat Anda bahagia. Bukan karena lucu, tetapi puas telah bersatu dengan pemberantas hoax.

Nah, kalau masyarakat sudah begitu cerdas, renungkanlah, mengapa orang-orang hebat yang kemarin membenarkan dan turut mengamplifikasi hoax mengaku “telah menjadi korban berita tidak benar” alias tertipu? Ada yang berargumen empati telah mengalahkan nalar mereka. Tetapi benarkah demikian? Apakah empati disampajkan dengan pedas?

Saya menduga mereka telah sengaja membuat diri larut dalam ilusi yang mereka inginkan sendiri sehingga semakin menjauh dari fakta. Pemimpin yang demikian tentu bisa merepotkan masa depan diri dan bangsanya. Ya bagi saya mereka terlalu asik dengan khayalan “kebenaran” yang mereka inginkan. Ilusi itu bisa menjadi senjata untuk membenarkan pendapatnya tentang dunia yang “tidak adil”.

Tentu ada beragam interpretasi meaning dari kata “tidak adil”. Tetapi pada akhirnya seseorang bisa merasa tidak adil karena “kalah.” Apakah itu berasal dari ambisi yang tak terdamaikan, lawan yang jauh lebih unggul, atau sebuah peristiwa traumatik yang menuntut semacam kompensasi. Entahlah.

Uji Kebenaran

Leadership diamond Koestenbaum memang bukan melulu soal uji kebenaran. Selain reality check, ada etika, visi dan keberanian mengeksekusi yang perlu dimiliki seorang great leader. Tetapi di antara keempat elemen itu dalam era disrupsi, bekerja dengan reality adalah yang terpenting.

Mengapa? Ini tentu karena dunia telah berubah dengan begitu cepat dan segala kehidupan telah dilengkapi dengan sensor-sensor pendeteksi. Jadi di zaman ini sudah tidak sulit lagi untuk mengecek suatu kebohongan atau sebuah ilusi yang dibuat oleh siapa saja, termasuk oleh para politisi, petinggi-petinggi partai, koruptor, pencuri handphone di bandara, atau pembuat isu apa saja.

Kalau Anda kurang yakin, ikuti saja fakta-fakta persidangan KPK. Seseorang boleh berpura-pura menjadi ahli filsafat, dosen, ahli hukum, pejabat tinggi, atau apa saja, tetapi begitu dia “acting”,pasti cepat terdeteksi.

Seperti kata Seth Stephens-Davidowitz, semua orang (yang) berbohong selalu akan meninggalkan digital footprint yang bisa dilacak. Digital footprint itu bisa berupa rekaman suara, tangkapan kamera CCTV, presensi digital, transfer uang, rekaman GPS, pemantauan jalan, sampai statement-statement di media sosial.

Maka Anda boleh saja pura-pura bersandiwara, namun jejak-jejak digital yang Anda tinggalkan akan mudah terbuka. Jejak-jejak itu kini menjadi mainan yang mengasyikkan bagi generasi millenial, untuk menertawakan aktor-aktor yang berbohong.

Oh iya, dalam jejak-jejak itu juga bisa terbaca, siapa saja penyedia panggungnya, dan siapa pemandu soraknya.

Dan di zaman ini, tiba-tiba kita bisa menemukan orang-orang yang mengalami dislokasi sosial. Yang kesulitan membedakan mana peran sandiwara dan mana yang betulan (namun menerima bayaran atas peran riil-nya). Atau bisa kesulitan menempatkan diri sebagai pengamat ataupun pelaku.

Orangtua yang tak mau anak-anaknya mengalami dislokasi sosial di kemudian hari, maka jangan buru-buru menjadikan balita kesayanganya pemain sandiwara sebelum mereka tahu betul beda sandiwara dengan dunia riil.

Dan bagi calon-calon Presiden, pecat saja para pembuat dan penyebar hoax yang sudah dikontrak. Jejak-jejak digital mereka kini sudah ada di tangan publik dan sebentar lagi satu persatu ulah mereka akan terbuka.

Jadi, wahai pemimpin kembalilah pada realitas, bukan ilusi.

Ketika Kedaulatan milik Allah

Adriano Rusfi
07 Aug 2018

Orang bisa saja bilang betapa kedaulatan itu ada di tangan rakyat, sehingga demokrasi mereka agung-agungkan, dan seorang kandidat politik pun dipilih dari mereka yang punya elektabilitas tinggi di mata rakyat. Tapi tidak !!! Kedaulatan itu ada di tangan Allah, dan Dia bisa buktikan dalam sistem politik manapun. Terkadang demokrasi memenangkan Si Fulan, tapi Allah jadikan people power yang justru berkuasa… Terkadang diktatorisme mendaulat Si B, namun lewat kedigdayaan alam Allah jadikan dia nelangsa… Terkadang monarki mendudukkan Si C, tapi Allah jadikan konstitusi membuatnya tak berdaya.

Maka Allah hadirkan Ahok : manusia dengan elektabilitas sosial yang tinggi, bahkan mulut kotornya pun mempesona !!! Tak pelak lagi, survey demi survey sangat mengunggulkannya… 73 % rakyat Jakarta puas akan kinerjanya… Dan iapun hadirkan kemajuan demi kemajuan… Sungguh, andai Allah tidak “unjuk gigi” bahwa kekuasaan itu adalah milikNya semata, Ahok seharusnya menang Pilgub DKI Jakarta. Mungkin para pemuja nalar akan mengatakan bahwa kedigdayaan elektoral Ahok hanyalah pembohongan publik lembaga-lembaga survey bayaran. Padahal, itu adalah fakta daulat rakyat.

Dan Allah pun unjuk daulat. Ia giring Ahok dan pemujanya untuk ciptakan kesalahan demi kesalahan. Ia jadikan mulut kotor Ahok sebagai harimau yang menerkam pemiliknya… Setiap klaim keberhasilan, Allah balikkan menjadi alat pemukul… Mulut makin sering salah ucap… Pemuja di sekitarnya malah makin memperburuk keadaan, sehingga kemarahanpun menggumpal. Bersamaan dengan itu Allah turunkan malaikatNya… Ia kokohnya hati orang-orang yang beriman… Ia himpun ketaqwaan di Monas, bagai janjiNya di Perang Badar : Ku utus malaikatKu untuk kalian, Ku urus musuh kalian langsung dengan tanganKu (QS 8 : 12). Allah menangkan hati rakyat, tapi kita mengira daulat rakyatlah yang kalahkan Ahok. Astaghfirullah…

Tapi Allah tak pernah berhenti mencinta. Isyarat itu kembali Ia hadirkan lewat pentas Pilgub Jawa Barat. Sudradjat – Syaikhu tak berkuasa di daulat rakyat. Rakyat telah bicara padanya lewat survey : dukungan kami tak sampai 10 %. Berdustakah para surveyor ? Tidak !!! Terlalu naif untuk berkata bahwa mereka telah dusta berjama’ah. Merekapun tak ingin kehilangan reputasi, karena reputasi adalah asset bisnis mereka. Toh saat Quick Count mereka mereka sampaikan fakta : suara Asyik jauh melonjak. Memang tak mudah untuk beriman bahwa sebenarnya Allah sedang tunjukkan daulatNya.

Sudradjat – Syaikhu memang kalah. Bukan karena daulat Allah kalah dengan daulat rakyat. Allah telah tunjukkan bukti berulang kali : Dia berikan kekuasaan kekuasaan kepada yang Dia kehendaki, dan Dia cabut kekuasaan dari yang Dia kehendaki (QS 3 : 26). Di Jawa Barat Allah sedang unjuk kuasa tentang dua hal sekaligus : Hanya Dia yang bisa mengubah pilihan rakyat secepat kilat… Dan hanya Dia yang mampu menghukum hamba-hambaNya yang masih saya mempertuhankan kalkulasi siasat dan transaksi kepentingan antar partai. Ya, di Jawa Barat Allah mendukung dan menghukum sekaligus. Ini adalah dua pelajaran teramat mahal… “Sayangnya mereka berpaling dari isyarat-isyaratNya” (QS 12 : 105)

Pilpres 2019 makin dekat. Pendaftaran Capres-Cawapres tinggal 3 hari lagi. Dari ArasyNya Allah sedang menyaksikan : siapa diantara hamba-hambaNya yang percaya bahwa kedaulatan ada di tanganNya, siapa diantara hamba-hambaNya yang beriman pada kedaulatan rakyat, dan siapa diantara hamba-hambaNya yang zigzag hidup di dua alam bagai katak dan kecebong. Dan untuk itu Dia menyediakan tiga pilihan : menolong sepenuhnya… menolong sambil menghukum… atau menghukum sepenuhnya.

Kisah Hudhaibiyyah telah mengajarkan kita, bahwa kemenangan yang nyata (fathun mubin) hanya Allah berikan pada mereka yang telah ditunjuki jalan amal jama’ie bersama “orang-orang yang telah Allah beri nikmat atas mereka” (shirathal mustaqim), sedangkan orang munafik Allah telah satukan dengan orang-orang musyrik. Lalu Allah turunkan tentaraNya dari langit dan bumi (QS 48 : 1 – 7). Jika Allah berkehendak menolong hamba-hambaNya, cukuplah Dia jadikan musuhNya melalukan blunder waktu demi waktu.

Kepemimpinan Kemerdekaan

Oleh : Yudi Latif, Pengurus Aliansi Kebangsaan
Kompas, 16 Agustus 2018

Indonesia merdeka tampil dengan jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyak- an mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demo- krasi identik dengan kebajikan dan kesento- saan masyarakat masa depan (Feith, 1962).

Kepercayaan diri yang tinggi itu tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”.

Etos kemenangan dan kepeloporan itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya Indonesia menjadi inisiator gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan dunia baru yang tepercaya. Menjelang Konferensi Asia Afrika di Bandung, sebanyak 14 sarjana humanis terkemuka dari Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara mereka terdapat nama-nama: Miss Emily G Back, seorang ekonom dan sosiolog, peraih hadiah Nobel untuk Perdamaian; penulis wanita Pearl Buck, peraih hadiah Nobel, dan juga peraih hadiah Pulitzer; SR Marlow, mahaguru agama; Lewis Munford, ahli filsafat dan sejarah, dan lain-lain.

Surat itu berisi pengharapan pada Indonesia: “Banyak penduduk dunia hidup dalam kemelaratan, banyak yang hidup dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk blok-blok. Di tengah- tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami membuat surat ini…. Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan. Besar harapan kami kepada Tuan, mudah- mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka; untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru…. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan”.

Dari mana ketinggian muruah Indonesia itu bermula? Kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran harkat bangsanya. Sejarawan HG Wells kerap kali mengingatkan. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Tekad sebagai sikap mental(state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.

Oleh karena itu, Bung Karno berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa. “Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar daripada Stalin adalah jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelt adalah jiwa Roosevelt… lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya.”

Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa, terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, “untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.

Masa depan bangsa

Harapan dan peringatan kedua Bapak Bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan umum kelima di era Reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, dan keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.

Berdiri di awal milenium baru, dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam perkembangan kawasan? Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita mewarisi sisa-sisa modal sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk bangkit dari keterpurukan. Yang diperlukan adalah menyatukan segala elemen kekuatan nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang lebih produktif.

Kepemimpinan politik harus mampu mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan, bukan untuk terus- terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics). Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.

Seturut dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui perwujudan keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan, politik-kesejahteraan, birokrasi kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.

Untuk itu, demokrasi yang dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal perlu dibumikan dalam kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Eric Weiner (2016) menengarai bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak pernah memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warganya untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat, dengan semangat kewargaan yang menghormati nalar dan moral publik.

Di sini, budaya literasi kuat. Talenta, toleransi, dan teknologi berkembang. Semangat mencintai tanah air (amore patria)menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun; warga menjadi garda republik. Dalam menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan memainkan peran sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung (secara teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat. “Tugas terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, presiden ke-36 Amerika Serikat, “bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.

Komitmen kepemimpinan negara berlandaskan konstitusi adalah berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif. Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial.

Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selama era Reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik.

Namun, capaian-capaian ini sering kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangan Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan umum di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonominya.

Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara. Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic nationalism, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama dari segala keragaman.

Kesinambungan perjuangan

Dalam meruyaknya tarikan ke arah populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapa pun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sebagai pemimpin nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas landasan republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan politik jangka pendek.

Suasana memasuki peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang sangat krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Persinggungan antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat, bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional adalah kesinambungan perjuangan mencapai cita- cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kemerdekaan dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu besar, baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh para pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas wilayah Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang selalu bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa diambil dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.

Jiwa besar yang memiliki cipta besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar. Seperti diingatkan Bung Hatta, “Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”

Pemimpin Hedonistik

Oleh : Indra Tranggono, Pemerhati kebudayaan dan Sastrawan
Kompas edisi Sabtu, 31 Maret 2018

Berbagai teks yang bersumber dari agama dan budaya (filsafat nilai) selalu meletakkan pemimpin sebagai sosok yang dituntut memiliki kapasitas kemampuan, integritas dan komitmen di atas rata-rata. Ada beban tugas profetik yang diemban. Pasti, pemimpin bukan orang kebanyakan.

Namun kini yang terjadi kebanyakan pemimpin tidak terlalu berbeda dengan orang kebanyakan dalam soal kapasitas kepribadian dan kemampuan. Bedanya mungkin hanya dalam soal kekayaan uang, dekat dengan kekuasaan, gelar akademik dan seringnya tampil di media massa atau media sosial. Begitu kita menelisik sisi-sisi kedalamannya, ternyata mereka cenderung rapuh layaknya benda pecah belah: berkilau tapi ringkih. Keringkihan paling menonjol adalah pada sikap menolak untuk korupsi. KPK pun harus kerja keras untuk menangkap dan memproses banyak penyelenggara negara yang terindikasi korupsi. Sebagian akhirnya mengaku, setelah dibeberkan saksi dan bukti. Sebagian yang lain berlindung di balik kekuasaan politik, tokoh-tokoh kharismatik, sambil mengumbar jurus-jurus kilah.

Setiap hari kita bisa menyaksikan festival pembelaan diri para tokoh elite. Asas praduga tak bersalah sering digunakan sebagai gembok perkara. Tentu hal itu dibarengi pelbagai penyelesaian di luar hukum. Pelajaran yang diserap masyarakat adalah: di republik ini orang kuat tidak bisa salah atau diperkarakan. Hukum ditentukan oleh selera dan kepentingan mereka yang berkuasa. Negara seperti menjadi koloni pribadi dengan pengelolaan berbasis kesepakatan-kesepakatan personal para tokoh elite.

Sering pula para tokoh elite politik membela diri dengan mengumbar narasi-narasi politik demi menggeser perkara dari kasus hukum ke kasus politik. Mereka pun mencitrakan dirinya sebagai orang suci yang dizalimi lawan politik. Rakyat bertanya, jika memang suci dan bersih dari korupsi kenapa tidak berani menempuh proses hukum?

Korupsi abadi

Penyair Sapardi Djoko Damono punya larik lirik yang sangat bagus dalam puisi “Perahu Kertas”: yang fana adalah waktu, kita abadi. Larik lirik itu mengisyaratkan makna: manusia dengan seluruh cinta yang dimilikinya tak bisa digerogoti waktu.

Menjadi pemimpin bangsa, mengacu pada larik puisi Sapardi, adalah upaya untuk menjadi manusia abadi, dengan bekal cinta, pengorbanan, prestasi dan reputasi. Keabadian manusia ada di dalam martabatnya yang tinggi baik secara personal, sosial maupun kultural. Manusia jenis ini termasuk manusia yang telah menyejarah, (menjadi sejarah) sekaligus ikon kemuliaan yang memberi ilham bangsanya, seperti para pendiri republik ini.

Namun, tampaknya cita-cita menjadi manusia abadi kurang dimiliki oleh para pemimpin sekarang. Mereka memahami bahwa kekuasaan merupakan tambang emas kejayaan yang harus dieksploitasi demi penumpukan kekayaan pribadi, apa pun caranya, termasuk korupsi uang atau korupsi politik.
Bagi mereka prinsip nilai yang berlaku adalah: “yang perkasa adalah kekuasaan dan uang, dan korupsi itu abadi.”

Dua puluh tahun reformasi bergulir ternyata belum menghasilkan para pemimpin yang memiliki kapasitas kenegarawanan dan keteladanan. Rakyat selalu kecelik. Para pemimpin yang semula berkilau dan berpotensi menetaskan harapan perubahan yang berpihak pada rakyat, ternyata berubah mandul dan suram. Pusaran kepentingan yang melibatkan uang telah menggerus integritas mereka.

Akhirnya mereka tak lebih dari para pemimpin hedonistik. Naluri mereka untuk memiliki materi, uang dan kekuasaan serta citra ternyata jauh lebih besar daripada cita-cita menjadi negarawan.

Pemimpin hedonistik adalah para penyembah kenikmatan, baik secara biologis/fisik maupun psikologis. Kenikmatan biologis bersumber dari segala hal yang bersifat material dan mampu memenuhi kebutuhan hasrat (nafsu) badaniah. Adapun kenikmatan psikologis berbasis pada pemenuhan nafsu imaterial/kejiwaan berupa kesenangan. Bukan kebahagiaan, karena kebahagiaan bersifat spiritual.

Karena orientasinya kenikmatan material-duniawai, sulit kita berharap para pemimpin hedonistik memproduksi nilai-nilai kebudayaan dan peradaban. Yang menjadi dasar berpikir dan berperilaku adalah pragmatisme sempit: apa pun ditinjau dari segi guna dan manfaat jangka pendek. Segalanya harus cepat jadi uang dan cepat untuk dinikmati. Bukan idealisme profetik layaknya nilai yang digenggam para agen perubahan sosial-kultural.

Demokrasi uang atau demokrasi transaksional yang berbasis pada kuasa modal telah memberi andil besar bagi lahirnya pemimpin-pemimpin hedonistik. Politik pasar hanya akan melahirkan politisi bermental pedagang yang ideologinya keuntungan semata.

Wahana kebudayaan

Kecuali mereka yang mendapatkan cipratan uang, sesungguhnya rakyat sejatinya sedih setiap musim pilkada tiba. Dengan berbagai cara, rakyat dimobilisasi untuk memberikan suaranya. Sementara rakyat tahu, umumnya para calon pemimpin yang dipilih itu tidak mencintai mereka. Terbukti setelah jadi penguasa, banyak pemimpin menutup diri atas aspirasi dan kepentingan publik, bahkan ada yang tega menggasak hak-hak publik dengan penuh gairah.

Penyelenggara negara idealis perlu menghentikan demokrasi berbasis uang jika tidak ingin bangsa dan negara ini hancur. Demokrasi harus dikembalikan pada marwah/martabatnya sebagai wahana politik-kebudayaan yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan kepentingan kaum pemodal dan juragan-juragan politik. Kata kunci demokrasi bukan uang tapi kompetensi, kapabilitas, integritas, komitmen dan dedikasi.

Demokrasi harus memberi hak orang-orang berkualitas dan terpilih yang sanggup dan mampu menjalankan tugas-tugas profetik. Yakni, mengangkat eksistensi sekaligus membebaskan rakyat dari berbagai kegelapan.

Kita sangat membutuhkan pemimpin asketis, idealis, humanis dan nasionalis. Para pemimpin atau penguasa layak merenung: yang fana adalah kekuasaan, kebaikan itu abadi.

Falsafah Kepemimpinan “Global View dan Act Locally” : Food for Thought

JUSMAN SYAFII DJAMAL·
SUNDAY, FEBRUARY 25, 2018

Jack Welch CEO General Electric , diakui sebagai salah satu pemimpin , legenda leadershift perusahaan besar dunia modern. Banyak manajer dan pemimpin ingin belajar darinya. Sejumlah buku telah ditulis mengenai Jack Welch. Menguraikan “Jack Welch Way of Doing Business”. Fokus dalam gaya kepemimpinan dan manajemen organisasi.

Begitu tulis Steven Segal dalam bukunya :”Business Feel: From the Science of Management to the Philosophy of Leadership” terbitan Palgrave MacMillan 2005, yang saya baca pagi ini untuk diringkas dan dishare dalam facebook saya.
Welch Leadership Style tidak dapat dikurangi menjadi serangkaian teknik atau formula. Bisnis dan Leadershift bukanlah Rocket Science. Meski Tidak rumit untuk dipelajari, tetapi sangat sukar dipraktekkan.Fondasi Leadership sangat tergantung pada apa yg disebut sebagai “guts” atau keberanian mengambil resiko. Guts tidak identik dengan kenekatan atau madness.

Kesuksesan yang muncul dari “nuansa bisnis” atau “guts and business feel” seperti dimiliki Welch yang luar biasa juga dapat ditemukan pada Andrew Grove CEO Intel industri microprocessor yang terkenal dengan jargon :”Intel inside”.
Grove mendefiniskan “business feel” dengan cara berbeda. Bagi Grove, Paranoid, rasa Khawatir yang terus menerus telah menjadi credo yang mendasari keahlian teknis di sejumlah area pengambilan keputusan. Begitu juga George Soros seorang businessman pasar saham legendaris yang dianggap sebagai pencipta krisis Asia karena menggoreng nilai tukar dollar. Soros mengalami kesuksesan bisnis karena ia selalu didorong oleh kecemasan untuk menemukan jalan meningkatkan keunggulan. Kecemasan takut hancur lebur di pasar spekulasi, yang selalu hadir setiap pagi, dalam gaya manajemennya.

Begitu juga Anita Roddick yang sukses karena selalu didorong oleh gairah obsesif. Ricardo Semler yang hidup bergairah melalui stress atau kegelisahan tak kunjung reda dalam mengubah tata kelola organisasi. Serta Mort Meyerson yang memanfaatkan peranan ketidakpastian dan keputusasaan dalam menuntunnya untuk memikirkan kembali pola kepemimpinan. Dan Lou Gerstner di IBM yang selalu mengedepankan emphaty peran emosi dalam kepemimpinan.

Banyak Sekolah Kepemimipinan dan Sekolah Bisnis Management dengan pelbagai kurikulum dan metode telah muncul di Indonesia.

Akan tetapi sekolah itu belum mampu membangkitkan apa yang disebut spirit entrepreneurship dan “nuansa bisnis”. Sebuah kepekaan dan perasaan akan perubahan situasi, yang melahirkan opportunities, kesempatan luar biasa.

Kurikulum yang disusun tidak dapat melengkapi keahlian untuk menghadirkan penilaian naluriah atau intuitif dalam diri kita untuk mengelola setiap gejala perubahan.

Sebuah naluri yang dibimbing oleh assessment pribadi di mana kita merasa bahwa yang kita lakukan itu benar tanpa harus bisa menjelaskan secara abstraksi, mengapa yang kita fikir itu benar . Disini muncul paradox, jika kita mencoba mengikuti prinsip “nuansa bisnis” dengan cara yang terlalu sadar dan rasional, kita kehilangan nuansa yang bisnis yang dimaksud. Yang merupakan elemen bisnis yang paling penting.

Jack Welch menyebut kesuksesannya sebagai manajer dan pemimpin terletak pada keberhasilannya untuk selalu konsisten mengembangkan filosofi kerja dalam setiap persoalan yang ditemuinya. Ia selalu mengembangkan “frame berikir”, bingkai fikiran yang menempatkan persoalan dalam ruang persfektip yang berbeda beda.

Dalam buku yang bercerita tentang pengalamannya sebagai CEO GE selama lebih 15 tahun, Dia bercerita tentang apa yang keluar dari pengalamannya tidak diperoleh dari buku panduan manajemen. “Ada filosofi yang keluar dari perjalanan hidup saya.” Begitu kata Welch.Melalui filosofi kerja yang ia gariskan, Welch menemukan ground rules dan guidelines serta rule of engagement dalam menghadapi segala jenis ketidakpastian.

Bagi Welch, Keahlian berFilsafat menemukan “frame of mind” nya didasarkan pada kemampuan untuk mentoleransi dan merangkul ketidakpastian. Melalui pelbagai keraguan dan pertanyaan kritis yang diajukan dalam cara berfilsafat kita tidak akan mampu menarik diri dan lari dari persoalan yang dihadapi. Kita tidak menjadi lumpuh dan menyerah dalam menghadapi ketidakpastian. Bagi Jack Welch, Filsafat kepemimpinan adalah kemauan untuk mengubah ketidakpastian itu menjadi energi dinamis dalam mempertanyakan dan menemukan arah baru.

Jika merujuk pada pengalaman Welch, Tidak cukup baik, bagi seorang manajer untuk hanya memiliki dan bersandar pada manual atau teknik dan checklist Do and Don’t Do ketika bekerja. Kepemimpinan memerlukan rasa hormat dan respect. Tak mungkin respect muncul pada mereka yang tiap hari berteriak teriak mengatakan si A ngaco, si B keliru, si C geblek.

Pemimpin dan Manajer harus memiliki filosofi untuk membangun persfektip tentang masa depan.Karena filosofi memberi fleksibilitas pemikiran dan visi untuk dapat merespons secara proaktif terhadap perubahan konvensi atau cara melakukan sesuatu yang sering tak terduga.

Sebagai pemimpin dan manajer, Kita tidak bisa terus menerus ber fungsi seperti mandor kawat walung wesi yg hanya mengandalkan perintah, pecutan dan rasa marah. Kita harus selalu memprediksi perubahan apa yang akan terjadi. Sebab Kita tidak bisa selalu memiliki “rencana” untuk menghadapi perubahan. Untuk itu kita perlu memiliki fleksibilitas pikiran yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan.
Fleksibilitas berasal dari aktivitas filosofis. Begitu cerita Jack Welch dalam pelbagai wawancara nya.

Menurut hemat saya, jika pengalaman Jack Welch ini dijadikan rujukan, maka penekanan pendidikan manajemen yang ada harus dimodifikasi dan direvitalisasi.
Merubah kurikulum dari ketergantungan eksklusif pada teknik dan formula ke konsep yang mengambil disiplin filsafat secara serius. Dulu ketika 45 tahun lalu menjadi mahasiswa ITB, di Tahun Pertama Bersama yang selalu diajarkan adalah Konsep Teknologi dan Filsafat Teknologi, bukan sekedar rangkaian formula dan metode.

Welch mengembangkan school of leadership dan praktik kepemimpinan di GE. Ia mentransformasikan Kampus Crotonville yang didirikan pada tahun 1956. Melalui kampus ini GE ingin menjadikan dirinya sebagai “perusahaan terbaik” di dunia. Di era “Man made World” ini, manajer GE dimasukkan dalam “camp lesson learned” berlangsung selama 12 minggu. Di Crotonville ini, melalui metode dan kurikulum yang baik , masa depan yang tak pernah terbayangkan pada hari ini dibahas dan diprediksi.

Crotonville telah menjadi pusar rekayasa ulang filosofi manajemen dan leadership yang lengkap untuk membangkitkan “guts” dan business feels. Misi modernnya adalah menginspirasi, menghubungkan dan mengembangkan pemimpin di hari kini untuk esok hari yang jauh lebih baik.

Melalui metode dialog dan case study, kurikulum nya dirancang untuk berpikir dalam menghadapi gangguan dan disrupsi. Gaya pendidikannya didasarkan pada kemampuan untuk mengubah apa yang dia sebut pengalaman pribadi menghadapi guncangan dan krisis atau “Vortex Experiences” menjadi peluang belajar.

Pengalaman “Vortex” adalah pengalaman di mana seorang manajer, karena krisis dalam praktik yang dialami berkali kali, mulai meragukan gaya manajemen mereka. Mereka kehilangan kepercayaan dalam cara mereka melakukan sesuatu. Dari kumpulan pengalaman pahit getir mengalami kegagalan, dirancang apa yang disebutnya “Lesson Learned”.

Jadi mirip seperti penyelidikan KNKT yang menjejaki kotak hitam untuk menemukan sebab sebab dan akar kecelakaan, tujuannya bukan untuk menentukan siapa yang salah dan harus dihukum, melainkan untuk memetic pelajaran agar kekeliruan proses pengambilan keputusan disaat krisis, tidak melahirkan tragedy dimasa depan.

Pengalaman pahit getir yang dijadikan “cermin berfikir” dan lesson learned ini berasal dari perspektif Welch. Ia memberi kesempatan kepada para manajernya, untuk merefleksikan dan menantang cara kebiasaan lamanya yang sudah berurat berakar. Welch tidak ingin manajernya memiliki cara berfikir kacamata kuda. Pokoke ngene, pokoknya begini aku nggak mau tau. Gaya kepemimpinan yang telah tertutup ego merasa diri paling hebat dan paling benar dalam melakukan sesuatu.
Konsepsi ngono yo ngono jen ojo ngono, begitu ya begitu tetapi belum tentu begitu selalu harus jadi cermin seorang pemimpin. Konsepsi jawa yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana mengembangkan kemungkinan baru dalam praktik manajemen.

CEO korporat yang juga memiliki leadership style seperti Jack Welch dan mempelajari seni tanya jawab filosofis dalam gangguan yang menyakitkan adalah Andrew Grove dari Intel. Adagiumnya berbunyi begini :” Success breeds complacency. Complacency breeds failure. Only the paranoid survive”.

Kesuksesan menghasilkan kepuasan dan kesombongan. Kesuburan, kemakmuran melahirkan kemalasan berfikir yang terwujud menjadi kegagalan. Hanya mereka yang paranoid yang selalu takut gagal, yang selalu bertahan hidup “.

Bagi Grove dengan kata “paranoid survive” itu, ia mengembangkan proses “tanya jawab filosofis” menjadi bagian dari “toolkit” kepemimpinan atau pendekatannya pada setiap persoalan yang dihadapi. Ketika dihadapkan pada situasi krisis, ia terlempar dalam kebiasaan untuk merubah krisis menjadi banyak pertanyaan dalam kepala.
Dia seperti bermain catur dalam kepala dalam menghadapi krisis tersebut. Dan ia tidak merasa terbebani atau terangsang. Ia mengubah pengalaman ini menjadi peluang untuk melihat sesuatu dengan cara baru. Mengubahnya menjadi permainan “what if scenario”. Kalau saya gerakkan yang ini bagaimana, jika yang itu saya selesaikan duluan kemana hasilnya. Begitu seterusnya. Berolah fikir seperti seorang pemain catur.
Di sini kita melihat bagaimana Grove mampu mengubah pengalaman dan “shock”, terkejut karena krisis dan kegagalan, menjadi kesempatan untuk mempertanyakan asumsi-asumsi yang selama ini ia gunakan. Melalui keraguan pada asumsi-asumsi, ia dapat melihat sesuatu dengan cara baru.
Ia mulai melihat secara keseluruhan cara baru sebagai teknologi yang mengubah strategi. Ini adalah metode filsafat. Filsafat adalah aktivitas mempertanyakan asumsi.
Mempertanyakan asumsi bukanlah proses mudah. Asumsi seringkali dibuat tanpa sadar ketika kita mengambil keputusan. Asumsi bersembunyi dalam fakta dan informasi yang kita terima dari bawahan serta staff yang bekerja siang malam. Asumsi tidak menunjukkan diri secara sadar dalam kesimpulan yang dibuat. Karenanya asumsi perlu di hadirkan untuk diinterogasi. Kita biasanya buta terhadap asumsi yang kita buat sendiri. Karena kita buta terhadap mereka, kita tidak bisa mempertanyakan asumsi kita. Kita yang buta berada di luar lingkup dari apa yang dapat kita lihat. Karenanya ketika ingin mempertanyakan asumsi, Kita tidak tahu harus mulai dari mana.
Socrates dikenal sebagai Bapak Filsafat. Baginya pemeriksaan pengalaman memerlukan apa yang kemudian dikenal sebagai “kerendahan hati Sokrates.” Kerendahan hati untuk memperhatikan apa yang dianggap biasa dalam pendapat dan perspektif kita sendiri.
Kerendahan hati untuk memperlakukan perspektif dan keputusan yang kita ambil sebagai opini yang mungkin keliru. Sebuah pandangan terbuka terhadap keraguan dan bukan sebagai pengetahuan yang tidak diragukan lagi.
Hal ini memungkinkan kita untuk tidak hanya memeriksa perspektif orang lain tapi juga untuk memeriksa perspektif kita sendiri. Dasar kerendahan hati Sokrates adalah ketidak tahuan Sokrates atau pandangan Socrates bahwa dia tidak tahu apa-apa. Karena dia yakin dia tidak tahu apa-apa, dia menganggapnya kurang sehingga bisa melihat dan memeriksa lebih banyak lagi kelemahan. Critical Thinking.
Karenanya sebuah organisasi perlu sering melakukan restropeksi. Mebuat evaluasi dirinya sendiri. Memeriksa asumsi manajerial yang selama ini dikelola. Mengambil langkah mundur sejenak. Agar kerja olah fikir tidak terperangkap dalam rutinitas sehari-hari.
Carl Carlzon,, CEO SAS Airline menyebut “helicopter thinking”, pemikiran seseorang yang berada diatas helicopter yang mampu melihat hutan belantara secara lebih utuh , tidak hanya terfokus pada pohon yang rubuh.
Kata Carl “Saya adalah presiden sebuah maskapai penerbangan besar, tapi saya tidak dapat menjadi pilot dan terbang. Saya tidak mampu memperbaiki pesawat jadi teknisi otak atik komponen. Dan tidak ada seorang pun di SAS yang mengharapkan saya untuk melakukannya.
Yang dibutuhkan dari saya sebagai CEO kata Calrl adalah pemikiran strategis atau ‘pemikiran helikopter’. Sebuah bakat kepemimpinan untuk naik di atas rincian masalah , melihat letak tanah dalam persfektip geografi wilayah yang melingkupinya.
Dengan demikian, pemimpin adalah pendengar, komunikator, dan pendidik – orang yang ekspresif dan inspiratif secara emosional yang dapat menciptakan suasana yang tepat daripada sibuk membuat semua keputusan sendiri, tanpa orang lain ” begitu ujar Carl Carlzon dalam otobiography nya tahun 1987
Mohon Maaf jika ada yang keliru. Salam

In Harmonia Progressio dan Fokus pada Pelanggan : Mantra Kepemimpinan

JUSMAN SYAFII DJAMAL·
FRIDAY, FEBRUARY 23, 2018

‘Jeff’ Bezos pengusaha teknologi Amerika telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan e-commerce sebagai pendiri dan CEO Amazon dot com. Ia menjadi pelopor pedagang buku online. Di bawah kepemimpinannya, Amazon dot com jadi peritel terbesar World Wide Web.

Pada tahun 2012, Amazon mencapai “miles stone” menarik. Raksasa ritel yang awalnya dikenal dengan took buku dan produk media , kini memiliki puluhan juta jenis produk yang tersedia. Sebagian besar produk ini adalah barang non media. Amazon telah secara resmi diubah dari pengecer buku online menjadi pedagang variasi produk di seluruh dunia yang dapat memenuhi kebutuhan beragam jenis populasi.

Jeff Bezos kini jadi salah satu orang terkaya di dunia dengan kekayaan bersih sekitar 72,8 miliar dollar begitu kata Forbes 2017. Ia memimpin dengan mantera berbeda. Jika pemimpin lain waktunya habis untuk melayani keinginan para pekerja yang terus menerus ingin ikut campur dalam pelbagai urusan perusahaan, Fokus Jeff Bezos adalah pada pelanggan. Mantra keberhasilannya adalah ‘The customer is always right’. Pelanggan aalah Raja. Mantera tua yang sangat terkenal di Indonesia, tetapi sering dilupakan.”Bezos has proven the potency of another leadership model; ‘coddling his 164 million customers, not his 56,000 employees’ begitu kata Forbes di tahun 2012.”

Para Manajer dan karyawan sangat mengagumi nya. Dia dapat julukan si ‘kursi kosong’ atau Empty Chair bukan “Chairman” . Sebab selama rapat Bezos secara berkala selalu meninggalkan satu kursi kosong di meja konferensi dan memberitahu stafnya untuk mengasumsikan bahwa seorang pelanggan menempati kursi itu dan merupakan orang yang paling penting di ruangan itu. Jika terjadi perdebatan ia selalu minta pendapat “kursi kosong” dalam ruangan, yang kemudian menjawabnya dengan pelbagai keluhan dan deretan permintaan perbaikan layanan, sebagai hasil survey mereka sendiri.

Hal ini tampaknya lucu tapi Bezos menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Melalui kursi kosong dalam ruangan ia mendefinisikan kembali semua hal yang pelanggan tidak inginkan. Ada banyak fokus untuk mengurangi cacat dan penundaan delivery karena kehabisan stok.Semua orang mengenalnya memiliki obsesi terhadap pelanggan. Tiga gagasan besar Amazon adalah pemikiran jangka panjang, obsesi pelanggan dan kemauan untuk mencipta jalan baru begitu kata majalah Fortune di tahun 2012

Dalam buku Kotter, J. P. terbit tahun 1990 berjudul A force for change: How leadership differs from management, New York: Free Press. Disebutkan tugas utama pemimpin untuk mengatasi perubahan dan menghadapi kompleksitas zaman yang selalu berubah. Bagi Kotter, para pemimpin mengembangkan visi dan strategi untuk mewujudkan visi. Leadership adalah tata kelola visi. Pemimpin bukan mandor dan manajer penyelia. Manajer terlibat dalam perencanaan dan penganggaran. Pemimpin dan manajer sangat berbeda dalam sikap mereka terhadap tujuan dan konsepsi kerja begitu kata Zaleznik tahun 1977.

Henry Fayol tahun 1916 pertama kali mengidentifikasi fungsi manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, penempatan pegawai dan pengendalian. Fungsi ini telah didukung dan dimodifikasi oleh ilmuwan lain seperti Kotter tahun 1990 untuk memasukkan unsur tupoksi penganggaran dan pemecahan masalah. Melalui tupoksi seperti ini damat dikembangkan perbedaan hirarki leadershift dan management

Mintzberg tahun 1973 mengusulkan sepuluh peran manajerial dari studinya tentang eksekutif yakni sebagai Decision-Making Roles dengan fungsi sebagai Disturbance handler,

Entrepreneur, Negotiator dan Resource allocator.

Pemimpin juga perlu memainkan Peran sebagai Pusat Pengolahan Informasi yang menjadi Diseminator informasi, memantau lalulintas dan dampak informasi pada tujuan serta bertindak sebagai Juru Bicara. Karenanya Pemimpin tidak boleh diam membisu, harus banyak bicara.

Tugas utama para pemimpin adalah berperan sebagai key drivers dan menjalin harmonisasi hubungan Interpersonal diantara pelbagai kelompok kepentingan. Ia harts mampu menempatkan diri untuk berdiri diatas segala Jenie kepentingan golongan sebagai Simbol figurehead, Pemimpin perubahan dan juga perajut kebhinekaan pandangan yang tercipta ditengah perubahan yang terjadi di lingkungan strategis.

Sampai batas tertentu, karakteristik, keterampilan, fokus dan gaya yang berbeda
diperlukan oleh tiap pemimpin. Tetapi style berbeda itu juga mempersyaratkan agar Pemimpin memiliki lapisan Manajer yang memiliki profesionalisma dan knowhow tentang bagaimana merencanakan, membuat anggaran , mengatur staf serta mengendalikan dan memecahkan masalah dengan cara yang efektif dan efisien.

Fokus manajer adalah pada tatakelola sumber daya fisik yang biasanya menyangkut inter relasi antara Materials, Machinery, Money and Man behind the gun seperti yang dikatakan oleh pakar manajemen Bennis dan Nanus tahun 1985.

Fokus Leadershift adalah memilih “the right man on the right place” agar Tata kelola pada hirarki manajerial level dapat membangun sinergi untuk bersama sama ‘do things right’, ‘melakukan sesuatu dengan benar dan baik’.

Menjaga agar Tiap manager bergerak dalam orbit tupoksi nya masing masing, tida saling sllang. Dalam ilmu aeronautika, diketahui bahwa sistim tatasurya Tiap benda langit selalu bergerak dalam keteraturan. Sebab Tiap benda langit memiliki orbitnya masing masing. Jika keluar orbit ia tidak lagi disebut sebagai benda langit, melainkan meteor yang jatuh kabumi.

Tugas pemimpin, adalah menentukan arah dan memastikan keahlian, sumber daya dan motivasi yang dibutuhkan hadir ditengah perubahan selalu bergerak dalam orbitnya secara harmonis. In harmonia progressio begitu kata motto Institut Teknologi Bandung. Kemajuan tercipta jika lahir dan melahirkan harmoni dari pelbagai profesi berbeda.

Fokus mereka adalah pada tata kelola sumber daya secara visionary, membangun ikatan emosional untuk mencapai tujuan bersama. Oleh Jeff Bezos disimbolkan dgn “empty chair” kursi yg kosong. Seperti kue donat kata Charles Handy menjadi menarik karena ada lubang bundar ditengahnya. Roda sepeda dengan jeruji yg memiliki ruang kosong di sela sela antar jeruji penguat. Empty Chair pengikat batin untuk ber sinergi memberi layanan terbaik pada pelanggan. Sebab Pelanggan adalah raja yang membuat “revenue stream” mengalir dalam cash flow.

Pemimpin harus menunjukkan empati, membangun kepercayaan, rasa hormat dan antusiasme dari mereka yang dipimpinnya untuk menggerakkan perubahan yang ia inginkan.

Mengacu pada teori Bennis dan Nanus Fokus para pemimpin adalah ‘melakukan hal yang benar’, they ‘do the right things’. Menempatkan setiap locomotive pada relnya. Agar Tiap gerak lokomotip yang membawa garbing dari satu tempat awal ketujuan yang berbeda Berjalan diatas rel yang tepat.

Pemimpin memerlukan “Rocket” yg baik dan benar berupa Style of Leadershift, Shared Values, Structure and organizations, systems and mechanism , Strategy , Skills and Staff atau 7S nya Tom Peters dan Robert Waterman dari Mc Kinsey tahun 80 an. Untuk menempatkan “satellite” imajiner berupa visi dan missi pada orbit yg tepat.

Dan Jef Bezos kini jadi salah satu contoh baik bagi para pengusaha yang ingin mengasah berlian sifat sifat kepemimpinan yang tersembunyi dalam diri para manajernya

Salam

WOW (Way of Working ) Baru di Era Baru

Eileen Rachman & Billy Latuputty
EXPERD CHARACTER BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
KOMPAS, 23 DESEMBER 2017.

BARU-baru saja, sebuah perusahaan jasa keuangan yang cukup besar dan mapan ingin bekerjasama dengan Experd. Jumlah karyawan yang puluhan ribu mereka merasa bagaikan dinosaurus yang tidak bisa bergerak mengikuti arus digitalisasi.

Karyawan-karyawannya yang memang loyal dan sudah berbakti puluhan tahun pada dasarnya tidak bisa keluar dari lembah kekunoan. Perusahaan ini kemudian tak bisa bergerak dan sulit sekali berubah. Ini adalah salah satu fakta yang seringkali kita temui.

Pada kesempatan lain, perusahaan telekomunikasi berbasis kabel yang kemudian sudah memajukan dirinya dari memberi layanan transfer suara ke data, sekarang perlu bertransformasi menjadi mitra bagi pelanggan dalam kehidupan digital.

Situasi baru ini menuntut perubahan signifikan dalam kapabilitas dan budaya perusahaan. Digitalisasi ternyata bukan sekedar automasi, cara untuk mengurangi ongkos ataupun meningkatkan produktivitas, tetapi juga berarti berubahnya pengalaman, interaksi, dalam semua channel maupun kegiatan transaksi.

Kemajuan teknologi seperti mobilitas, cloud, media sosial dan kekuatan analisa sudah mentransformasi tempat kerja tradisional menjadi tempat kerja yang mobile.

Teknologi digital bukan saja memberi kemudahan untuk pengguna, tetapi sudah menyatu dengan aktivitas dan perilaku kita. Situasi ini dengan sendirinya mengubah cara kerja, komunikasi, dan berkolaborasi, demikian pula merubah cara membeli dan mengkonsumsi informasi.

Yang jelas, transformasi terjadi pada bagaimana kita menganalisa informasi dan menyusunnya menjadi pengetahuan. Kita diharuskan menjadi aktor sosial dan menyatakan opini tentang bagaimana mengembangkan produk, mengimplementasikannya menjadi bisnis, berinovasi, memecahkan masalah, meningkatkan produktivitas, membuat keputusan dan memajukan perusahaan. Dengan demikian, kita tetap mempunyai daya saing di pasar.

Kompetensi Baru

Banyak sekali perusahaan, yang karena sulitnya mentransformasi perusahaan, terutama sumber daya manusianya, kemudian membuat divisi tersendiri, atau merekrut tenaga-tenaga yang segar dan memberikan proyek terpisah dari praktik-praktik yang lama. Namun, pertanyaannya, apa yang akan dilakukan terhadap SDM yang sebelumnya sudah ada?

Kita justru perlu berupaya melakukan up-skilling karyawan untuk memasuki era digital ini, dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan memonitor pekerjaan secara digital. Pemimpinlah yang perlu melek digital terlebih dahulu, karena ia harus membawa perusahaan berisikan orang-orang yang tidak berhenti meraih kesempatan di tengah lautan informasi.

Para profesional yang senantiasa menjalankan proses unlearn, learn dan relearn, tanpa lelah. Perusahaan harus ditransformasi agar berisi orang-orang yang tak kenal lelah mencari ide baru, mencari solusi, mengimprovisasi dan berinovasi.

Semua orang perlu cermat menggunakan media sosial karena interaksi dan umpan balik secara mayoritas bisa didapat melaluinya. Setiap individu perlu sadar bahwa ia terlihat, dikenal secara sosial dan menjadi duta perusahaan. Analisa Big Data juga sangat diperlukan. Mempunyai data besar tak akan ada gunanya, kecuali bila kita bisa melakukan analisa mendalam dan berarti.

Jadi, diperlukannya kompetensi baru itu memang riil. Kita tidak bisa terlena dan merasa nyaman dengan keahlian-keahlian kita terdahulu. Kompetensi yang dibutuhkan secara mendesak ini sebenarnya tidaklah baru, tetapi, selama ini kita tidak menganggapnya sebagai prioritas utama. Hal yang paling utama adalah sikap ilmiah yang harus mendarah daging dalam diri setiap karyawan. Artinya, setiap orang harus mau belajar dari umpan balik dan apa yang dikatakan orang lain.

Mungkin kompetensi ini memang sudah lama ada, tetapi pembiasaan dan sikap mental untuk menggarap masukan dan informasi sebagai sebuah data penting adalah sesuatu yang baru. Karenanya kita bisa mengatakan bahwa kompetensi ini merupakan campuran dari kemampuan tradisonal dan digital. Apakah mungkin dilakukan?

Sebuah perusahaan telekomunikasi berpusat di Norwegia yang juga beroperasi di India, secara serius merancang perusahaan yang digitally ready dalam proses pekerjaan dan interaksi manusianya. Fokus utama perusahaan ini ada pada inovasi dan teknologi. Lantas apa yang dilakukannya? Melakukan inovasi, bukan sekali-sekali, tetapi setiap saat. Selain itu, pada saat rekrutmen, perusahaan berusaha memastikan bahwa setiap kandidat benar-benar memiliki kapasitas mental digital.

Tak hanya itu, mereka juga mengupayakan praktik kerja digital. Misalnya, dalam pengaturan makan siang, pemberitahuan menu, maupun kehadiran individu di kantinnya. Semua kemudahan ini diimbangi dengan pembentukan mindset dan penguasaan ketrampilan digital. Transisi teknologi ini perlu dirancang dan dipaksakan implementasinya.

Bagaimana dengan Pemimpinnya?

Tentunya karakteristik pemimpin yang umum tetap berlaku, hanya saja, perkembangan teknologi secara sosial dan digital ini menyebabkan visi pemimpin perlu berubah. Pemimpin perlu mempertanyakan dirinya sendiri: apakah ia sendiri melek digital? Ia perlu mengembangkan dirinya bukan saja untuk menjadi digital immigrant yang hanya tahu tetapi tidak menceburkan diri ke dunia digital, tetapi untuk menjadi seorang digital native dimana Ia benar benar fasih berfikir digital.

Setiap orang bisa menjadi digitally sophisticated, tanpa melihat usia, dan ini adalah sebuah pilihan. Hanya dengan cara ini kita bisa masuk dalam era penuh disrupsi ini, khususnya apabila kita bergerak dalam bisnis media, buku, retail dan musik. Passion si pemimpin perlu mendalam, baik di level konseptual maupun taktis. Ia tidak perlu merasa menjadi ‘orang lain’ dan enggan bernafas digital. Jika mau, ia pasti bisa menguasai kemampuan-kemampuan baru ini.

Belajar “Game of Leadership” dari Seorang Maniak Golf

JUSMAN SYAFII DJAMAL·
JANUARY 24, 2018

Pagi tadi Selasa 23 Januari 2018, tanpa sengaja saya minum kopi bareng bersama teman satu alumni ITB, kebetulannya usia lebih muda 5 tahun dari saya. Namanya Amrie Noor jurusan Arsitektur angkatan 77. Amrie ini saya kenal sangat gemar bermain golf, Mungkin dari sejak 20 tahun lalu. Teman temannya bilang ia termasuk kategori maniak. Kata yang Mungkin terlalu berlebihan sebagai julukan tapi sangat tepat diberikan padanya. Di Persatuan Golf Ganesha , tempat berkumpulnya alumni ITB hobby golf kita mungkin mudah bertemu orang seperti Amrie, Ultra, Jozua, dan banyak lagi yang lain yang Tiap hari rajin berlatih.

Saya minta izin untuk menulis dialog saya dengannya dalam laman facebook saya. Sebab mungkin ada hal menarik untuk dicermati. Terutama oleh generasi Anak Anak saya yang sedang termotivasi untuk belajar tentang “science of leadership”, Ilmu kepemimpinan di zaman now. Dia bilang :”apa yang mau ditulis bang”, ini kan cuma omong kosong saja. Saya bilang itulah kau, ada “Ilmu hidup” yang dikuasai tak mau dibagi. Dia ketawa, apa pula itu Ilmu hidup. Saya bilang Ilmu yang bikin kau bisa survive disepanjang masa. Man for all season kata saya.

Dia terkekeh dan bilang :”ah bang Jusman ini tak habis ku mengerti, apa Saja hendak ditulisnya. Terserahlah. Tapi sebetulnya aku sudah menulis buku Golf bang, tambahnya. Tapi tidak berkaitan dengan soal teknis, melainkan yang bersifat filosofis. “Ah inilah kau “:kata saya. Mentang mentang beranjak usia 55 an sudah mau bicara filosofis pulak. Ha ha dia ketawa. Kami pun berpisah sambil tergelak.

Ketika ngobrol dengannya, seolah tidak ada keraguan terbersit pada saya, bahwa golf jauh lebih sulit daripada ekonomi. Ia berceloteh tentang bagaimana pegolf papan atas berpenghasilan jauh lebih besar dari para ekonom top; Sehingga kini generasi muda Korea dan Jepang serta Tiongkok mulai menggunakan keahlian bermain golf sebagai sumber penghidupannya.

Kata Amrie,:”jangan lupa bang Pendapatan pegolf lebih tinggi dari Insinyur profesional juga”. Sebab Supply lebih tinggi dari Demand. Keahlian bermain golf pada puncaknya merupakan “barang langka”. Scarcity of Resources menentukan behaviour dari penawaran dan permintaan.

Memang, saya amati permintaan untuk menyaksikan pertandingan legenda golf seperti Tiger Woods jauh lebih tinggi daripada untuk mendengarkan ceramah seorang ekonom pemenang Hadiah Nobel seperti Milton Friedman. Seolah Tiger Woods mampu menciptakan lebih banyak nilai tambah atau lebih banyak kenikmatan untuk “penonton setianya” daripada murid Friedman, yang mendengarkan kuliah ekonominya.

Demikian juga, dari segi Ilmu ekonomi yang bertitik tolak dari tingkah laku permintaan dan penawaran atau supply and demand dalam menemukan harga sebuah komoditi, maka harga lebih tinggi biasanya diberikan kepada para pegolf profesional terbaik didunia, dibanding penghargaan kepada ekonom profesional terbaik. Seolah di sisi penawaran, sulit untuk mengembangkan keterampilan pegolf profesional daripada keterampilan seorang ekonom profesional, jadi pasokan pegolf lebih rendah. Padahal dalam realita melahirkan ekonom mumpuni jauh lebih sukar dimasa sekarang.

Ketika saya tanya tentang mengapa orang lebih mau membayar pegolf profesional lebih tinggi dibanding ekonom profesional, Amri bunya jawaban menarik. Dia bilang Pegolf memiliki terlalu banyak hal untuk dipelajari: secara teknis mereka harus berlatih 8 jam sehari, hanya untuk melatih posisi kepala agar selalu tetap menatap bola ketika bahu diputar kekanan kekiri dalam gerakan swing.

Begitu juga untuk membiasakan agar tekanan tangan yang menggenggam stick selalu bertegangan ringan. Latihan memukul dua ribu bola hanya untuk menjaga agar lengan kiri tetap lurus tak Bangkok kesana kemari ketika memukul bola, dan mempertahankan ritme bagaimana stick berhenti di atas , memindahkan berat badan dengan tepat sambil memutar stick segera dalam satu bidang. Amrie bercerita sambil matanya bersinar karena berkoyok (kata orang medan) tentang sesuatu yang disenanginya.

Tapi yang lebih utama saya dapat menganalogikan cerita Amrie tentang main Golf ini seperti seorang dosen teman saya yang menceramahi saya tentang pentingnya “power point”. Menemukan elemen substantif dalam sebuah presentasi.

Agar permainan lebih tepat sasaran Golf mengenal dua kata yang penting dijadikan Dakar paradigms nya yakni konsepsi tentang kata”Power and Direction”. Dalam presentasi ilmiah kita juga mengenal istilah yang terdiri dari dua kata kunci yakni Power and Point. Ada orang fokus pada Power tetapi lupa pada Direction atau abai pada “Point” utama yang jadi pock bahasan. Ada orang yang selalu berkonsentrasi pada “Point utama” atau direction arah menusu sasaran tetapi tidak memiliki “Power” atar kekuatan untuk menggerakkan badan dan fikiran kearah yang dituju. Sehingga dalam bermain golf ada tiga kemungkinan prilaku yang dapat diejawantahkan oleh para pemain.

Yang pertama pemain pemula yang semata mata mengandalkan pada kekuatan otot dan tenaga mereka masuk kategori Have power no direction. Ada pemain lama yang mulai memudar kekuatannya. Mereka masuk kategori Have direction and no power. Yang ketiga ini yang diimpikan oleh semua pemain golf, yakni memiliki kesampataan sekaligus kesasmitaan untuk menjalani setiap game dalam setiap etape hole secara crema, presisi dan tepat sasaran. Mereka termasuk kategori profesional dan maniac golf, Have Power and Have Direction. Punya arah dan Tenaga yang terukur. Dan yang keempat masuk kategori gawat darurat have both no power and no direction. Alias tak mampu bermain golf

Saya jadi ingat pada “science of leadership”, ilmu kepemimpinan, dan juga “science of decision making”, dimana interaksi diantara spektrum Power yang dimiliki atau kekuatan pengaruh yang dipunyai oleh seorang pemimpin pada masyarakatnya harus diimbangi oleh spektrum substansi atau Point and direction, arah kebijakan yang akan diambil. Atau yang dikenal dengen istilah visi dan misi.

Interaksi diantara Power and Direction ini yang melahirkan makna strategi, menemukan jalan terobosan menuju sasaran puncak . Sebuah kombinasi pemanfaatan “power” yang terukur menuju arah masa depan dan agenda implementasinya.
Sebuah Interplay antara Power and Direction of Strategy pada gilirannya akan merubah peta dan landskap papan catur masalah yg dihadapi setiap pemimpin. Leadership yg selalu berusaha membangkitkan potensi jalan terobosan baru . Selalu berupaya menemukan blue print tentang masa depan seperti apa yang hendak kita wariskan pada generasi muda kita.

Perbincangan dengan rekan yang lebih muda memang mampu membuat saya terkesima pada variasi pilihan hidup yang diambil oleh mereka.

Sebetulnya fenomena yang diamati oleh Amrie dalam “permainan Golf” juga saya temui pada profesi lain. Ini yang sering bikin risau saya. Saya melihat kecenderungan yang makin kuat betapa kita di Indonesia terus mengabaikan penghargaan pada ilmuwan Matematika, Fisika, Kimia dan mereka yang menggeluti dunia Keinsinyuran. Jika kecendrungan ini masih terus berlanjut, maka jangan heran jika dimasa depan tidak ada lagi generasi muda yang mau menekuni bidang keahlian sebagai ilmuwan eksakta Matematika, Fisika dan Kimia, serta profesi Insinyur. Dan daya saing kita hancur. Sehingga kehawatiran Bung Karno dan Bung Hatta dimana kita sebagai menjadi kuli diantara bangsa lain terjadi. Saya berdoa tidak.

Mungkin tanda tandanya kelihatan, ketika “girder yang ada dalam konstruksi beton LRT”, jatuh saat dipasang, saya tidak menemukan tulisan ahli ilmu bangungan Sipil yang menulis tentang sebab sebab teknisnya. Semua langsung setuju dengan pendapat pewarta yang berkesimpulan bahwa semua ini karena kerja terburu buru dikejar target. Padahal mungkin saja ada masalah lain yang bersifat teknis engineering dibalik peristiwa itu.

Karenanya kini ada banyak peristiwa yang membuat saya perlu untuk tidak cepat cepat mengambil kesimpulan. Paling tidak dari waktu berbincang tentang kegiatan olah raga golf dengan Amri, saya punya persepsi berbeda. Golf ternyata bukan seperti yang saya duga selama puluhan tahun, sebuah permainan yang hanya buang buang waktu dan bikin habis gaji ditelan ongkos yang membuat daya beli turun. Melahirkan kesenjangan.

Ternyata seperti kata orang tua di zaman old yang mengatakan bahwa “dibalik badan yang Sehat tersembunyi jiwa yang Sehat”. Kisah Berjalan Pagi, berjemur dibawah sinar Matahari, mengejar bola besanna kemari, bercengkrama setelahnya seperti yang saya temui Pagi ini dalam dialog sambil minum kopi Gayo di satu tempat pinggiran kota Jakarta, membuat saya terjaga.

Dan kini saya mencoba mulai mengerti mengapa generasi muda Tiongkok, Jepang, Korea kini berlatih ribuan jam dalam arena olah raga seperti Tenis untuk menjadi juara Wimbledon, Golf untuk menjadi juara PGA seperti Tiger Woods, Matsuyama, Oosthuizen, Fowler.

Saya share cerita omong kosong Pagi tadi, disini agar para sahabat fb saya mau meluangkan waktu untuk terus bersilaturahmi dan bercengkrama dalam dialog dengan sahabat pelbagai profesi , mendengarkan kisah cerita mereça yang mencintai apa yang dikerjakan saat ini, sebagai pengisi jiwa. Belajar dari pengalaman orang lain.

Agar kehidupan “online” yang menyita waktu tak menjauhkan diri kita dari pergaulan dunia nyata yang tetap menyenangkan. Dunia maya ada baiknya selalu terkoneksi dengan dunia nyata. Online business sangatlah perlu selalu memiliki sumber mata air pada kekuatan produksi di industri sektor riel. Agar keahlian produksi yang dikuasai Bangsa Indonesia tidak lenyap ditelan zaman.

Akhirnya apapun yg dilakukan Kita perlu belajar memahami pesan juara Golf PGA tahun 1997 Davis Love Jr yang bilang begini ;” Let your attitude determine your game. Don’t let your game determine your attitude.”

Mohon Maaf jika Keliru,
Salam