Tayangan TV yang Melenakan

M Abdul Rozak ; Direktur Walisongo TV IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 03 Juli 2014

Ketika Ramadan tiba, stasiun televisi sibuk menawarkan definisi lain tentang ibadah puasa. Definisi yang menjauh dari ihwal akidah, lepas dari syariat, dan mengaburkan konsep iman. Definisi itu lebih merapat pada kehendak hedonis, yang memandang segala sesuatu tak lebih dari perkara gaya hidup, persoalan jasmaniah.

Yang penting bukan lagi soal rohaniah, nilai sakral ibadah melainkan bagaimana melunasi kebutuhan jasmaniah, memanjakan selera belanja (konsumtif). Ini seperti mengamini atas patologi modernitas, penyakit yang ditumbuhkan kapitalisme. Muslim yang berjumlah ratusan juta di negeri ini, yang mestinya menjadikan puasa Ramadan itu sebagai ibadah momentum penting mendekatkan diri kepada Ilahi perlahan-lahan dan pasti mengamini definisi yang ditawarkan televisi.

Sebagian muslim beranggapan menjadi komsumtif atas barang dan jasa akan memajukan dunia industri. Budaya itu malah membuat perekonomian nasional tumbuh lebih baik. ”Kenapa saat puasa justru pengeluaran rumah tangga bertambah?” Ada nada kebingungan, tentu. Bukankah puasa seharusnya membuat umat Islam bisa berhemat? Kenyataannya justru terbalik, makin banyak membelanjakan uang.

Mungkin ini bukan berarti kaum kapitalisme sukses mendangkalkan makna ibadah puas melainkan lantaran sebagian umat Islam terlanjur meyakini nilai yang keliru tentang ibadah puasa. Keyakinan itu baru sebatas proses menahan lapar dan dahaga. Dalam konteks itu, mereka menganggap ada pengorbanan luar biasa, mengekang diri.

Mengingat merasa sudah berkorban banyak hal, mereka menuntut perlakuan lebih. Soal makan misalnya, orang berpuasa ingin makanan dan minuman yang lebih enak dari biasanya. Ada kemanjaan luar biasa. Lebih parah lagi, ada privilese. Orang yang berpuasa bukan saja minta dihormati secara istimewa melainkan juga terhadap orang lain yang tidak berpuasa, untuk bersedia berkorban untuk mereka. Inilah yang ditangkap pengelola stasiun televisi.

Mereka memanjakan orang yang berpuasa dengan sekian banyak kelebihan. Lewat aneka pesan tentang produk barang dan jasa dalam bentuk iklan, orang yang berpuasa dijanjikan memperoleh kepuasan lebih selama 30 hari. Ada diskon yang mencengangkan bagi mereka yang akan merayakan Lebaran. Semuanya melenakan, membuat tiap orang yang berpuasa merasa sebagai raja.

Kedekatan dalam tataran akidah, umat Islam harus selalu bertanggung jawab, baik secara individu maupun sosial (fardu kifayah). Dengan begitu puasa juga persoalan privatisasi. Dengan menahan lapar dan dahaga selama sekian jam, manusia diharapkan bisa menyelami makna lapar dan dahaga bukan semata sebagai akibat ketiadaan pangan dan air.

Tapi televisi kita menghendaki agar umat Islam menganggap kedekatan terhadap Sang Pencipta bukan tujuan pragmatis. Bisa menikmati ragam produk industri barang dan jasa, sembari mengamini apa yang dicitrakan kaum kapitalis bahwa barang dan jasa itu bernuansa Islami, merupakan satu-satunya yang harus diraih.

Pasar Potensial

Kaum kapitalisme memandang puasa Ramadan sebagai pasar potensial bagi keberlangsungan industri. Jutaan muslim di negeri ini digarap sebagai konsumen atas produk barang dan jasa berkait bulan suci itu. Nilai kesucian tak perlu terlalu melekat pada barang dan jasa tersebut, cukup hanya mengandung nuansa Islam.

Iklan barang dan jasa di layar televisi dirancang sedemikian rupa, menampilkan ikon bernuansa agama Islam. Inilah yang ”dikeluhkan” Ziauddin Sardar dalam buku Information and the Muslim World: AS trategy fot the Twenty-first Century (1988) sehingga ia menyebut abad informasi bukanlah rahmat bagi umat Islam.

Maka, bagi negeri kita, dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, menerima kemajuan teknologi tak bisa dilakukan tanpa tindakan penuh pertimbangan. Bila tidak, perlahan-lahan namun pasti, kemajuan teknologi informasi malah mendangkalkan akidah seperti terjadi saat ini.

Rupiah

Rhenald Kasali; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

KORAN SINDO, 03 Juli 2014

Saya terkenang dengan pidato Wakil Presiden RI Mohammad Hatta pada 29 Oktober 1946. Pidato itu ia sampaikan melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta . Bunyinya begini, ”Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi Tanah Air kita. Rakyat kita menghadap penghidupan baru.” ”Besok mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh republik kita.”

Ketika itu kata uang masih ditulis dengan oeang . Itu sebabnya singkatan yang muncul adalah ORI, singkatan dari Oeang Republik Indonesia. Sejak itu uang Jepang dan uang Belanda, yang kala itu digunakan untuk bertransaksi oleh masyarakat Indonesia, menjadi tidak berlaku lagi. Saya membaca catatan yang menyebutkan, pasca-Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, keadaan ekonomi Indonesia memang sangat buruk.

Jumlah uang yang beredar tidak terkendali sehingga inflasi pun merajalela. Kala itu ada tiga mata uang, yakni uang Jepang, uang Hindia Belanda, dan uang De Javashe Bank. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Montagu Stopford yang memberlakukan penggunaan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang diduduki AFNEI. Peredaran uang NICA itu betul-betul di luar kendali Pemerintah RI. Maka penerbitan ORI bukan sekadar sebagai alat transaksi yang menggantikan peran uang-uang tersebut. Ada visi yang lebih besar di baliknya, yakni mematahkan dominasi uang terbitan Netherlands Indische Civil Administration atau NICA tadi, yang penggunaannya kian luas di negara kita.

Visi lainnya adalah untuk menunjukkan kedaulatan dan membesarkan hati bangsa Indonesia, yang baru menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Penerbitan ORI juga mempunyai visi ekonomi. Masa perang membuat masyarakat tak sempat berproduksi. Pasokan barang-barang pun terbatas, sementara permintaannya meningkat sehingga inflasi pun menggila. Maka ketika pemerintah menerbitkan ORI, nilai ORI terhadap mata uang Jepang pun dibuat menguat menjadi 1 : 50 untuk Jawa dan 1 : 100 untuk luar Jawa.

Uang Asing

Kalau membaca kisah seputar ORI tadi, saya merasakan betul adanya suasana yang heroik kala itu. Uang bukan sekadar alat untuk bertransaksi, tapi juga alat perjuangan. Lalu saya juga membaca kisah-kisah tentang betapa kerasnya perjuangan pemerintah ketika itu untuk mencetak ORI, sebelum akhirnya Wapres Mohammad Hatta mengumumkan berlakunya ORI. Kisah-kisah heroik tadi tentu membuat kita merasa bangga. Namun kebanggaan itu kini butuh ujian baru ketika globalisasi mengempaskan kita. Jangankan Indonesia, Belanda saja harus melepas mata uangnya (gulden), sama seperti Jerman, Italia, dan Prancis yang melebur dalam mata uang baru: euro.

Jadi bagaimana kalau kita membaca berita tentang masih digunakannya mata uang dolar AS dalam transaksi yang justru terjadi di lingkungan pelabuhan? Di sana mata uang dolar AS itu ternyata digunakan untuk membayar biaya container handling charge (CHC) dan terminal handling charge (THC) yang nilainya masing-masing USD83 dan USD93. Namun, uniknya, pembayaran itu kabarnya harus menggunakan uang dolar AS dengan nomor seri terbaru. Pembayaran dengan dolar AS seri lama, yang lusuh dan ada bekas lipatannya, tidak akan diterima. Ini mungkin tradisi dunia perbankan dan money changer kita saja.

Di luar negeri, sepengetahuan saya tak ada ketentuan seperti ini. Memang, UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jelas-jelas melarang transaksi di wilayah Indonesia dengan menggunakan mata uang asing kecuali untuk transaksi ekspor-impor. Tapi globalisasi telah mengubah banyak hal. Ada airline yang minta dibayar dengan mata uang asing, demikian juga dengan jasa-jasa lainnya. Namun terkadang begitulah nasib UU kita. Meski di dalamnya ada aturan tentang sanksi, mulai dari sanksi denda hingga kurungan, pelanggaran atas aturan itu bisa dengan mudah kita temukan di sana-sini.

Contohnya, selain di lingkungan pelabuhan, kalau Anda membeli berbagai produk elektronik entah laptop atau iPad di kawasan Glodok dan mau membayar dengan dolar AS, para penjual akan melayani dengan senang hati. Lalu tak jauh dari Jakarta, persisnya di Bandung, kita bisa menemukan transaksi dengan mata uang asing di kawasan Pasar Baru. Di sana para penjual produk-produk garmen dengan senang hati melayani pembelian yang menggunakan ringgit Malaysia. Itu karena kebanyakan pembeli adalah wisatawan Malaysia. Jika Anda pernah berkunjung ke kawasan resor Lagoi di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, di sana pun transaksi menggunakan mata uang dolar Singapura. Kemudian di beberapa wilayah perbatasan yang dekat negara tetangga, banyak masyarakat kita bertransaksi dengan menggunakan mata uang asing. Maksudnya, mata uang dari negara tetangga.

Go International

Bukan hanya itu cerita-cerita yang memicu kesan negatif tentang rupiah. Sebelumnya kita juga sudah dibombardir dengan berbagai ungkapan yang saya nilai kurang positif untuk rupiah. Contohnya, pada masa pemilu kali ini Anda pasti familier dengan ungkapan ”serangan fajar”. Buat Anda yang repot mengurus perizinan pasti juga akrab dengan istilah ”uang pelicin”, ”uang rokok”, ”uang semir” atau ”uang amplop”. Atau, kalau mau memakai bahasa asing, kita bisa pilih istilah undertable money . Kalangan legislatif kita lebih kreatif. Mereka mengganti kata uang dengan nama buah-buahan. Misalnya, ada istilah ”apel malang” dan ”apel washington”.

Kalau Anda sudah pusing dengan banyaknya urusan, baik urusan yang terkait dengan instansi pemerintah atau aparat hukum, Anda tentu kenal dengan jurus pemungkas ini: ”kasih uang, habis perkara”. Semua ungkapan tadi tentu berkonotasi negatif. Tapi, jangan khawatir, ada juga cerita tentang rupiah yang membuat kita bangga. Di Korea Selatan, kalau Anda dalam perjalanan ke arah Bandara Incheon, di sana ada gerai suvenir yang melayani transaksi dengan mata uang rupiah. Sayang, maaf, saya lupa nama gerainya. Lalu, di Thailand, ada wisata candi yang bernama Wat Arun. Di seputar lokasi itu ada beberapa gerai suvenir yang Anda bisa membelinya dengan mata uang rupiah.

Tapi, di Singapura, kalau membayar sesuatu, Anda bisa pakai mata uang Malaysia atau Brunei Darussalam. Anehnya, tak ada yang merasa terhina. Mungkin itulah keluwesan negeri pedagang. Yang penting untung. Jadi, siapa bilang rupiah tidak bisa go international. Ayo, sekarang kita pilih pemimpin yang bisa membuat rupiah lebih go international lagi sehingga kita bangga memegangnya. Lantas, kalau mau bepergian ke luar negeri, kita tak perlu repot-repot menukar mata uang kita dengan mata uang asing

Pendidikan dalam Visi-Misi Capres-Cawapres

Sukemi ; Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
KORAN SINDO, 03 Juli 2014

Mengikuti putaran keempat debat capres-cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU), Minggu, 29 Juni 2014, yang menghadirkan calon wakil presiden Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla, telah memberi harapan besar akan terus berlanjutnya program-program strategis yang ada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), siapa pun yang kelak akan memimpin negeri ini.

Ini penting dijadikan pegangan sekaligus sebagai bahan untuk menentukan pilihan. Meski tidak secara spesifik dan panjang lebar menyebut soal Kurikulum 2013–satu dari sekian banyak program di Kemendikbud– baik Hatta Rajasa maupun Jusuf Kalla, dalam bahasa lain telah bersepakat untuk tetap menomorsatukan bidang pendidikan dan menjalankan apa yang menjadi program strategis di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam kerangka pemberian akses dan kualitas pendidikan, termasuk di dalamnya peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang menjadi pokok bahasan dalam acara debat tersebut.

Program Afirmasi

Dalam konteks visi-misi dua pasangan capres-cawapres, jelas tergambar bahwa terkait dengan pemenuhan hak terhadap pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas, semua sepakat harus terus dilakukan. Memang capaian angka partisipasi kasar (APK) di jenjang SD dan SMP (baca:pendidikan dasar), rata-rata nasional telah tercapai, tapi jika ditelusuri lebih jauh di tingkat kabupaten/kota, masih ada sekitar 25 kabupaten/ kota yang APK-nya masih di bawah 75%. Apa maknanya? Meski ketercapaian APK dalam wajib belajar sembilan tahun, sudah tercapai secara nasional,

tapi tetap dibutuhkan program afirmasi pada kabupaten-kabupaten yang APK-nya masih di bawah rata-rata nasional, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terpencil) dengan tidak hanya memikirkan pada capaian semata, tapi juga pada upaya peningkatan kualitas, dengan berpedoman pada pemenuhan standar pelayanan umum secara bertahap. Penyediaan bantuan terutama bagi peserta didik kurang mampu, agar tidak putus sekolahdanpembangunanunitsekolah baru (USB), pembangunan ruang kelas baru (RKB), serta program rehabilitasi sekolah, menjadi titik perhatian, di samping upaya membangun budaya dan pola pikir di sebagian masyarakat yang masih menganggap sekolah hanya sekadar menghabiskan biaya, tanpa jaminan memperoleh lapangan kerja.

Kini beberapa program afirmasi memang sudah dijalankan, mulai dari pemberian beasiswa (BSM dan Bidikmisi), pengiriman guru ke daerah 3T (SM3T), afirmasi pendidikan menengah (Adem) 3T, afirmasi pendidikan tinggi (Adik), dan lainnya. Hasilnya cukup signifikan, jumlah anak-anak putus sekolah di tiap jenjang dapat dikurangi, sementara mereka yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi, terus bertambah. Sejalan dengan itu pulalah, maka dapat dilihat, visi-misi kedua pasangan capres-cawapres bersepakat untuk meningkatkan wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun dengan biaya negara– istilah yang digunakan pasangan Prabowo-Hatta, atau wajib belajar 12 tahun bebas pungutan–bahasa pasangan Jokowi-JK.

Dalam kebijakan yang kini berjalan program wajib belajar 12 tahun, dikenal sebagai pendidikan menengah universal (PMU), di mana peserta didik jenjang SMA/SMK mendapatkan bantuan operasional sekolah (BOS). Kita optimistis, ke depan siapa pun yang nanti terpilih, program wajib belajar 12 tahun (baca: PMU) tetap akan dijalankan, sesuai visi-misi yang diusung kedua pasangan Capres-Cawapres, dan ini terkait pula dengan upaya untuk meningkatkan kualitas SDM, sekaligus mengubah struktur ketenagakerjaan yang ada saat masih terbilang belum kompetitif.

Tentu ini semua dilakukan dalam upaya mengejar ketertinggalan sebuah bangsa dalam hal meningkatkan daya saing bangsa (baca: Global Comvetitivenes Index—GCI). Laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010-2011, menyajikan data, bahwa lama sekolah (baca:makin tinggi mengenyam pendidikan) berkorelasi positif terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI).

Mutu Lulusan

Lalu bagaimana visi-misi dua pasangan capres-cawapres berkait dengan kualitas? Keduanya sepakat untuk menitikberatkannya pada peningkatan kualitas pembelajaran, di mana di dalamnya terdapat kurikulum dan upaya peningkatan kesejahteraan guru. Pasangan Prabowo-Hatta menggunakan istilah merevisi kurikulum nasional dengan memantapkan pengembangan budaya lokal bangsa yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Sementara Jokowi-JK, memakai istilah memperjuangkan pembentukan kurikulum yang menjaga keseimbangan aspek muatan lokal dan aspek nasional. Berbicara kurikulum memang tidak hanya sebatas pada mata pelajaran (standar isi),
karena di dalam kurikulum itu ada empat aspek dari delapan standar pendidikan, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan, yaitu standar kompetensi lulusan; standar isi, standar proses pembelajaran; dan proses penilaian. Kini Kurikulum 2013 sudah disiapkan dengan mempertimbangkan keempat standar itu, yang memasukkan unsur sikap (sosial dan spiritual), pengetahuan, dan keterampilan secara seimbang dan utuh, serta tidak berdiri sendiri, tetapi ada dalam tiap tema atau topik bahasan pelajaran. Sehingga tiap guru dan tiap mata pelajaran punya kontribusi yang sama dalam membekali peserta didik terkait sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Pengembangan Guru

Tentu berbicara kurikulum belumlah lengkap ketika tidak menyentuh pada persoalan guru. Karena kurikulum yang baik, jika tidak disampaikan dengan baik oleh guru yang memiliki pengetahuan memadai maka kurikulum tinggallah kurikulum. Sebaliknya guru yang baik dengan tingkat pengetahuan memadai, jika tidak disiapkan dengan rancangan kurikulum yang baik, juga akan sia-sia. Itulah sebabnya keduanya harus dijalankan secara bersama-sama, seiring sejalan, karena memang keduanya–kurikulum dan guru–tidak bisa dipisahkan.

Pada titik ini pulalah, hal penting berkait dengan implementasi Kurikulum 2013 adalah guru. Pemerintah sekarang telah merintis upaya untuk pengembangan guru secara komprehensif dan terpadu melalui model ”segitiga sama sisi”. Di mana alasnya adalah peningkatan kapasitas dan profesionalitas guru, sedang dua sisi lainnya masing-masing berkait dengan pengukuran dan peningkatan kinerja; dan peningkatan karier dan kesejahteraan. Sebagai sebuah bentuk segitiga yang kukuh, tidak ada pilihan lain untuk dijalankan dalam satu kesatuan utuh yang satu sama lain saling berhubungan.

Nasib UN

Hal penting lain yang menjadi titik perhatian publik terkait dengan visi-misi bidang pendidikan capres-cawapres adalah pelaksanaan ujian nasional (UN). Bagaimana nasib UN pada pemerintahan ke depan? Dalam pandangan kedua pasangan capres-cawapres, UN diposisikan sebagai bagian utuh dalam proses pembelajaran, yang di dalamnya selalu ada evaluasi atau proses penilaian, sebagaimana ada dalam satu kesatuan kurikulum. Karena itu, UN ke depan sudah dapat dipastikan akan mengalami perubahan (baca: bukan dihapuskan). Hal ini tentu sejalan dengan penerapan penilaian pada Kurikulum 2013, yang tidak hanya menekankan pada aspek kognitif semata, tapi juga aspek psikomotorik dan afektif peserta didik.

Jelas, melihat visi-misi kedua pasangan capres-cawapres yang tergambar baik dalam pernyataan-pernyataan saat kampanye, maupun dalam acara debat, pendidikan tetap menjadi hal utama untuk menjadikan bangsa ini lebih baik lagi. Kata kuncinya kedua pasangan sama-sama menekankan pentingnya pengawasan, akuntabilitas, transparansi dalam pemanfaatan anggaran pendidikan, sehingga bisa lebih efektif dan tepat sasaran serta penggunaan.

Tentu tulisan ini tidak hendak menggiring dan mengarahkan pembaca untuk memilih satu di antara kedua pasangan capres-cawapres, tapi lebih pada mengingatkan kepada kedua pasangan, agar mengetahui bahwa sesungguhnya apa yang ada dalam visi-misi mereka, sebagian sudah dijalankan pada pemerintahan saat ini. Tinggal melanjutkan apa yang baik dan membuang apa yang kurang baik, sekaligus menambah apaapa yang dianggap belum dilakukan. Acuannya tentu sebagaimana yang ada dalam tahapan pembangunan, yaitu rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Semoga!

Pimpinan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Jawa Pos, 3 July, 2014

Dunia bisnis beruntung kalau berhasil mendapatkan CEO yang hebat. CEO-CEO itu mampu membalikkan kerugian menjadi keuntungan dan keharuman. Dari tidak jelas arahnya menjadi fokus, efisien, dan kaya inisiatif.

Saya ajak Anda untuk mengenal beberapa. IBM, misalnya, sempat terpuruk pada 1990-an, saat dipukul DEC dan pembuat komputer mini. Harga sahamnya melorot dari USD 43 (1987) menjadi USD 13 (1993) karena pasar tak percaya terhadap masa depan big computers. IBM beruntung karena berhasil mendapatkan Lou Gerstner (1993). Kini porsi hardware dan financing IBM tinggal di bawah 20 persen, sedangkan bisnis software-nya mendekati 50 persen.

Nissan lain lagi. Pada akhir 1999 mereka nyaris bangkrut. Utangnya mencapai Rp 200 triliun. Lalu, masuklah Renault yang membeli 37 persen saham Nissan dan ngotot agar diberi opsi memilih CEO. Renault menunjuk Carlos Ghosn. Itu jelas tidak lazim bagi perusahaan Jepang, tabu dipimpin seorang gaijin, orang asing.

Maka, Nissan ngotot menolak. Sebaliknya, Renault bersikeras. Akhirnya Renault yang menang. Bagaimanapun, perusahaan yang tengah sekarat melemahkan daya tawar. Begitulah, akhirnya Goshn pun memimpin Nissan.

Menepis Status Quo

Apa yang dilakukan Goshn mirip CEO kita kala memimpin perusahaan yang tengah bermasalah. Intinya, membawa perusahaan keluar dari perangkap status quo, menemukan masalah utamanya, dan menyusun strategi penyembuhan.

Hampir semuanya memulai dengan membangun sense of urgency.

Itu jugalah yang dilakukan Emirsyah Satar di Garuda Indonesia. Kalau Goshn membuat Nissan Recovery Plan dengan strategi revitalisasi produk dan efisiensi habis-habisan, termasuk menutup pabrik yang tidak produktif, Emirsyah Satar mengarahkan revitalisasi internal menuju perusahaan publik yang transparan.

Selanjutnya Goshn membentuk tim inti untuk memastikan semua rencana pemulihan tersebut tereksekusi. Di Garuda Indonesia semua eksekusi dipantau dan dipimpin langsung oleh Emirsyah Satar.

Hasilnya, kedua perusahaan itu mampu keluar dari krisis dan berubah menjadi perusahaan bereputasi tinggi. Garuda Indonesia kini dikenal sebagai premium airline dengan pengakuan awak kabin terbaik. Saya dengar gadis-gadis muda di Jepang (termasuk salah seorang Miss Japan) dan Korea berebut ingin menjadi stewardess Garuda.

Di Pelindo (IPC) kita mempunyai putra Rote, R.J. Lino, yang punya pengalaman sebagai eksekutif pada pelabuhan internasional di luar negeri. Lino membongkar kebiasaan lama, memperbarui pelabuhan (New Tanjung Priok) dengan investasi-investasi baru, dan meremajakan manajemen perusahaan. Hasilnya, profitabilitas perusahaan dan produktivitas meningkat. Kelak Indonesia akan memiliki pelabuhan yang minimal sejajar dengan negeri tetangga.

CEO yang tak kalah fenomenal adalah Ignasius Jonan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sejak Februari 2009 perusahaan itu merugi. Berbeda dengan CEO Barat yang menggunting birokrasi dan mengurangi gaji, Jonan justru memulainya dengan menaikkan remunerasi tiga kali lipat.

Bagaimana perusahaan yang merugi bisa menaikkan remunerasi? Saya pun bingung, tapi faktanya bisa karena terlalu banyak inefisiensi yang bisa diselamatkan dengan bekerja keras. Mereka juga berubah dari product oriented ke customer oriented.

Anda tahu apa kunci sukses CEO-CEO itu? Sederhana: buat rencana, kerjakan, dan awasi pelaksanaannya. Kalau mau ditambahkan lagi, selain leadership yang kuat, mereka punya entrepreneurship. Maka, kesalahan perguruan tinggi kita dewasa ini sederhana saja, menyamakan entrepreneurship sebagai entrepreneur. Padahal, entrepreneurship dibutuhkan bukan semata-mata untuk menjadi entrepreneur.

Dari beberapa cerita tadi, semua masalah bisa selesai kalau kita mampu memilih pemimpin yang tepat. Di buku Cracking Zone saya menyebut pembaru itu sebagai the cracker, bukan sekadar leader.

Kini kita pun tengah mencari pemimpin negara. Maka, penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang tepat. Anda sudah punya pilihan? Saya sudah karena saya pegang track record-nya, maaf, bukan janji-janjinya

Menjual Kreativitas

Agus Dermawan T; Pengamat Budaya dan Seni

KORAN TEMPO, 03 Juli 2014

Dalam debat calon presiden edisi 15 Juni, juga dalam dialog ekonomi dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia pada 20 Juni lalu, Prabowo Subianto dan Joko Widodo bersepakat bahwa sektor ekonomi kreatif harus dikembangkan. Tekad pengembangan ini diyakini karena hitung-hitungan betapa sektor ini menjanjikan buah ekonomi yang amat besar.

Kesepakatan di atas panggung itu tentulah diharapkan terwujud dalam realitas sosial, siapa pun presiden yang akan terpilih nanti. Dan perwujudan itu dimulai dari kebijakan politik yang secara resmi digariskan, sehingga menjadi agenda politik-ekonomi yang tak pernah putus.

Hasrat mengembangkan sektor ekonomi kreatif pastilah membesarkan hati, walau niat ini sesungguhnya amat terlambat sehingga Kementerian Ekonomi Kreatif baru didirikan beberapa tahun lalu. Itu pun digabungkan dengan bidang pariwisata.

Belum pernah ada data statistik yang menghitung jumlah pelaku ekonomi kreatif di Indonesia. Namun sejumlah pengamat mengakumulasi bahwa Indonesia saat ini memiliki tak kurang dari 80 ribu pelaku ekonomi kreatif profesional (perajin ukir sampai batik, desainer, penari, pemain sandiwara, pemusik, perupa, sastrawan, penata panggung, arsitek, fotografer, hingga animator). Para pelaku ini didukung oleh ratusan ribu pekerja yang sibuk di belakangnya. Namun, selama puluhan tahun hidup di Indonesia merdeka, para kreator itu bekerja mandiri. Berkarya dalam sepi, berpentas sendiri, membuat pameran sendiri, berpromosi sendiri, hingga mencari pembeli dan penonton sendiri. Ironisnya, beriringan dengan itu, negara tiba-tiba masuk: untuk menyensor atau memungut pajak!

Ke depan, bersama Presiden yang baru, Indonesia harus memberdayakan potensi ekonomi-kreatif lewat berbagai dorongan. Model upaya pemberdayaan sejumlah negara berikut ini mungkin bisa jadi stimulan. Belanda, sejak 1936, membuat ketetapan bahwa Kementerian Perumahan dan Perencanaan Fisik serta Kementerian Pengajaran dan Ilmu Pengetahuan harus menyisihkan 1-1,5 persen anggaran untuk pembelian karya kreatif. Perhatian ini mendorong masyarakat domestik dan internasional untuk memandang karya kreatif Belanda sebagai komoditas penting. Kebijakan yang sejalan juga dilakukan oleh Prancis, Jerman, Kanada, Jepang, apalagi Korea Selatan.

Di Amerika, penyediaan anggaran untuk karya kreatif menunjukkan angka spektakuler pada dekade terakhir. Anggaran itu untuk menghidupkan sekitar 600 sekolah seni serta lebih dari 700 rumah karya kreatif (museum, gedung teater, konservatori, dan lain-lain). Hal itu juga untuk memberi rangsangan bagi lebih dari sejuta seniman amatir. Kebijakan politik ini mengarahkan minat masyarakat, sehingga rumah karya kreatif, yang diekonomisasi lewat tiket, dijejali lebih dari 100 juta penonton setiap tahun.

Sejak memasuki era kapitalisme-sosialis pada 1990-an, jagad ekonomi kreatif Cina sungguh mengguncangkan. Pemerintah membina sektor industri budaya sampai ke tingkat kota, distrik, dan desa. Jutaan kreator bekerja giat. Ratusan ahli seni dari luar negeri didatangkan untuk mengajarkan teknologi panggung sampai teknik berseni visual yang baru. Ujung dari itu adalah usaha pemerintah dalam membuka pasar. Hasilnya, kini Cina menjadi maharaja ekonomi-kreatif tiada tara!

Indonesia adalah lumbung besar pelaku ekonomi kreatif. Namun, apabila komitmen para capres cuma retorika, lumbung itu akan menjadi dongeng sebelum tidur belaka.

Pimpinan

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Jawa Pos, 3 July 2014

Dunia bisnis beruntung kalau berhasil mendapatkan CEO yang hebat. CEO-CEO itu mampu membalikkan kerugian menjadi keuntungan dan keharuman. Dari tidak jelas arahnya menjadi fokus, efisien, dan kaya inisiatif.

Saya ajak Anda untuk mengenal beberapa. IBM, misalnya, sempat terpuruk pada 1990-an, saat dipukul DEC dan pembuat komputer mini. Harga sahamnya melorot dari USD 43 (1987) menjadi USD 13 (1993) karena pasar tak percaya terhadap masa depan big computers. IBM beruntung karena berhasil mendapatkan Lou Gerstner (1993). Kini porsi hardware dan financing IBM tinggal di bawah 20 persen, sedangkan bisnis software-nya mendekati 50 persen.

Nissan lain lagi. Pada akhir 1999 mereka nyaris bangkrut. Utangnya mencapai Rp 200 triliun. Lalu, masuklah Renault yang membeli 37 persen saham Nissan dan ngotot agar diberi opsi memilih CEO. Renault menunjuk Carlos Ghosn. Itu jelas tidak lazim bagi perusahaan Jepang, tabu dipimpin seorang gaijin, orang asing.

Maka, Nissan ngotot menolak. Sebaliknya, Renault bersikeras. Akhirnya Renault yang menang. Bagaimanapun, perusahaan yang tengah sekarat melemahkan daya tawar. Begitulah, akhirnya Goshn pun memimpin Nissan.

Menepis Status Quo

Apa yang dilakukan Goshn mirip CEO kita kala memimpin perusahaan yang tengah bermasalah. Intinya, membawa perusahaan keluar dari perangkap status quo, menemukan masalah utamanya, dan menyusun strategi penyembuhan.

Hampir semuanya memulai dengan membangun sense of urgency.

Itu jugalah yang dilakukan Emirsyah Satar di Garuda Indonesia. Kalau Goshn membuat Nissan Recovery Plan dengan strategi revitalisasi produk dan efisiensi habis-habisan, termasuk menutup pabrik yang tidak produktif, Emirsyah Satar mengarahkan revitalisasi internal menuju perusahaan publik yang transparan.

Selanjutnya Goshn membentuk tim inti untuk memastikan semua rencana pemulihan tersebut tereksekusi. Di Garuda Indonesia semua eksekusi dipantau dan dipimpin langsung oleh Emirsyah Satar.

Hasilnya, kedua perusahaan itu mampu keluar dari krisis dan berubah menjadi perusahaan bereputasi tinggi. Garuda Indonesia kini dikenal sebagai premium airline dengan pengakuan awak kabin terbaik. Saya dengar gadis-gadis muda di Jepang (termasuk salah seorang Miss Japan) dan Korea berebut ingin menjadi stewardess Garuda.

Di Pelindo (IPC) kita mempunyai putra Rote, R.J. Lino, yang punya pengalaman sebagai eksekutif pada pelabuhan internasional di luar negeri. Lino membongkar kebiasaan lama, memperbarui pelabuhan (New Tanjung Priok) dengan investasi-investasi baru, dan meremajakan manajemen perusahaan. Hasilnya, profitabilitas perusahaan dan produktivitas meningkat. Kelak Indonesia akan memiliki pelabuhan yang minimal sejajar dengan negeri tetangga.

CEO yang tak kalah fenomenal adalah Ignasius Jonan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI). Sejak Februari 2009 perusahaan itu merugi. Berbeda dengan CEO Barat yang menggunting birokrasi dan mengurangi gaji, Jonan justru memulainya dengan menaikkan remunerasi tiga kali lipat.

Bagaimana perusahaan yang merugi bisa menaikkan remunerasi? Saya pun bingung, tapi faktanya bisa karena terlalu banyak inefisiensi yang bisa diselamatkan dengan bekerja keras. Mereka juga berubah dari product oriented ke customer oriented.

Anda tahu apa kunci sukses CEO-CEO itu? Sederhana: buat rencana, kerjakan, dan awasi pelaksanaannya. Kalau mau ditambahkan lagi, selain leadership yang kuat, mereka punya entrepreneurship. Maka, kesalahan perguruan tinggi kita dewasa ini sederhana saja, menyamakan entrepreneurship sebagai entrepreneur. Padahal, entrepreneurship dibutuhkan bukan semata-mata untuk menjadi entrepreneur.

Dari beberapa cerita tadi, semua masalah bisa selesai kalau kita mampu memilih pemimpin yang tepat. Di buku Cracking Zone saya menyebut pembaru itu sebagai the cracker, bukan sekadar leader.

Kini kita pun tengah mencari pemimpin negara. Maka, penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang tepat. Anda sudah punya pilihan? Saya sudah karena saya pegang track record-nya, maaf, bukan janji-janjinya