Khairil Azhar
Kepala Divisi Pelatihan Yayasan Sukma Jakarta
Media Indonesia, 20 November 2017
PEMBELAJARAN, bagi Vygotsky, pada 1930, adalah soal mengelola perkembangan untuk menghapus jarak.
Ini setidaknya seperti yang ditulisnya dalam Mind in society: the Development of Higher Psychological Processes.
Jarak itu, kata psikolog prolifik Rusia yang mati muda ini, ada di antara perkembangan aktual dan potensial murid.
Pembelajaran, kata Vygotsky, hanya akan berhasil sejauh tingkat kerumitan isinya berada dalam jangkauan murid.
Pelajaran yang terlampau sulit, banyak, atau terlalu jauh berpeluang menyebabkan demotivasi atau bahkan kegagalan, seperti munculnya kebosanan dan melemahnya kepercayaan diri murid.
Inilah yang disebut sebagai pembelajaran yang mesti merentang dalam wilayah perkembangan maksimal murid, atau zone of proximal development (ZPD).
Berbeda dari Piaget, Vygotsky menekankan pentingnya kehadiran ‘orang lain’, seperti guru, orangtua, atau teman.
Itu tidak saja dalam proses pembelajaran, tetapi juga dalam percepatan perkembangan kecerdasan.
Namun, ini tentu tidak sesederhana bayangan umum tentang pola relasi vertikal antara seorang murid dan ‘orang yang lebih tahu’ (the more knowledgeable others).
Pembelajaran, bagi para Vygotskian, adalah proses dialog atau dialektika dalam sebuah konteks relasional. Di dalamnya ada proses afirmasi atau negasi, penambahan atau reduksi, atau pertarungan tesis dan antitesis.
Belajar adalah proses pergumulan yang dinamis, dalam diri murid maupun secara interpersonal. Kehadiran guru atau orang tua bukan untuk mendominasi, tetapi sebagai mitra dialog supaya jarak antara ketidakmampuan dan kemampuan murid terhapus.
Lalu bagaimana guru tahu tentang jarak di antara kedua perkembangan tersebut? Vygotsky, dalam buku yang baru terbit dalam bahasa Inggris pada 1978 itu, secara tegas bicara tentang kemampuan memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan sebuah persoalan secara mandiri.
Ini yang disebutnya sebagai indikasi telah terjadinya perkembangan aktual.
Perkembangan potensial atau potensi perkembangan, selanjutnya, diketahui dengan mencermati tingkat ketergantungan. Seorang guru, mengikuti Vygotsky, mesti mampu melihat “…Sejauhmana ketergantungan muridnya pada bimbingan orang dewasa atau teman belajar yang lebih kapabel dalam memecahkan masalah atau mengatasi persoalan.” Belajar dikatakan terjadi ketika ketergantungan berkurang dan hapus.
Salah satu indikasi umum yang menunjukkan telah terjadinya perkembangan aktual ialah ketika murid mampu menghasilkan sebuah ‘produk’ secara mandiri.
Dalam bentuk paling sederhana, seperti di tingkat TK umpamanya, ini bisa dilihat dari keberhasilan murid menyusun puzzle atau lego.
Secara sosial, perkembangan aktual tecermin dari keberhasilan murid mengelola konflik dan terterima dalam satu komunitas.
Demikian juga, ini bisa dilihat ketika murid mampu merespons suatu fenomena secara kritis dan menghadirkan solusi yang kreatif.
Ban zhuren
Praktik kewalikelasan sejatinya ialah salah satu bentuk penerapan ZPD dalam konteks sistem pendidikan massal, yakni kehadiran the more knowledgeable others.
Wali kelas merupakan penanggung jawab supaya terjadi perkembangan aktual sesuai dengan potensi perkembangan murid-murid di kelasnya.
Wali kelas dalam sistem pendidikan Tiongkok disebut ban zhuren atau sutradara kelas.
Sebagai kunci keberhasilan pendidikan, Liu dan Barnhart, dalam The Educational Forum edisi 63, 1999, menulis “… Wali kelas mengorkestrakan keberhasilan murid dengan membangun suatu komunitas belajar.”
Komunitas belajar itu sendiri dikelola dengan konsep ‘homeroom’ dan ‘home setting’.
Sederhananya, tempat belajar, yang tidak melulu dalam arti ruangan, adalah rumah dan ditata secara rumahan.
Rumah ini merepresentasikan adanya sebuah keluarga belajar yang bertumpu pada kesalingpercayaan mutual trust.
Guru disyaratkan percaya pada potensi perkembangan murid sebagai cermin bagi murid supaya juga percaya pada gurunya.
Dalam tata-kelola rumahan ini, sebagai sutradara, wali kelas berpeluang besar membangun ikatan emosional yang kuat, tidak saja dalam hubungan guru-murid, tetapi juga murid dengan murid.
Keterikatan ini kemudian memungkinkan terciptanya komunikasi yang efektif dan membesarnya peluang untuk bekerja sama.
Bagi guru, proses pembelajaran tentu menjadi lebih mudah.
Ketika komunikasi berjalan efektif, guru bisa secara lebih tepat mendiagnosis perkembangan aktual murid sekaligus memprediksi perkembangan potensialnya.
Bagi murid, selain rasa aman dan nyaman dalam bereksplorasi dan berkreasi, komunikasi efektif dengan guru dengan sendirinya memperbesar peluang melejitnya perkembangan potensial mereka.
Kemandirian murid
Sebuah potret pendidikan di Jepang memberi tahu kita lebih jauh tentang bagaimana guru memfasilitasi berkembangnya kemampuan mengelola diri murid-murid sejak masa prasekolah. Para murid di Jepang, sebagaimana ditulis Catherine C Lewis dalam New Direction for Child Development, edisi 73, 1996, sedapat mungkin diperlakukan seperti orang dewasa. Konsep ini bertumpu pada upaya-upaya untuk memfasilitasi perkembangan kematangan murid.
Dalam risetnya, Lewis terutama menunjukkan bagaimana murid-murid KB, TK, dan SD di Jepang difasilitasi pertama-tama supaya mampu secara reflektif memahami dan memaknai persoalan sosio-relasional mereka.
Berdasarkan pemahaman reflektif ini, mereka selanjutnya tidak saja digiring untuk mampu menemukan resolusi, tetapi juga lebih jauh bertindak secara bersama-sama untuk membangun, merawat, dan mengembangkan kolektivitas.
Salah satu contoh yang menarik ialah bagaimana seorang wali kelas ‘membiarkan’ dua murid yang berkelahi dengan disaksikan teman-temannya, dan dia hanya melihat dari jauh.
Dalam perspektif Vygotskian, tindakan ‘membiarkan’ ini bukanlah tindakan tak terukur.
Sebagai sutradara, sang guru berupaya mengondisikan supaya inisiatif dan upaya menuju gencatan, perdamaian, dan terbangunnya relasi bermula dari murid-murid yang ‘menonton’ perkelahian.
Sebagaimana dicatat Lewis, terjadi perdamaian di antara kedua murid TK yang berkelahi tersebut.
Dimulai dengan adanya inisiasi yang dicetuskan seorang murid, teman-teman mereka yang ‘menonton’ secara bersama-sama membangun resolusi.
Perlu dicatat lebih lanjut, basis perdamaian dalam kasus tersebut bukanlah doktrin klise hasil indoktrinasi atau karena rasa takut.
Lewis mendefinisikan kompetensi (atau agensi) sebagai kemampuan untuk memulai dan menjalankan tindakan dalam berbagai konteks karena pertimbangan kebernilaian (worthwhileness).
Artinya, murid-murid TK tersebut mampu mencerna fenomena secara kognitif dan memutuskan tindakan secara mandiri.
Wali kelas kita
Idealnya, tentu saja, wali kelas di Indonesia mampu mempraktikkan ZPD menjadi ban zhuren seperti di Tiongkok atau memfasilitasi perkembangan kemandirian murid seperti di Jepang, atau bahkan lebih dari itu.
Sayangnya, tak terbantahkan praktik pendidikan kita masih bertumpu pada berbagai bentuk ‘penghakiman’ terhadap akuntabilitas belajar murid.
Di kelas-kelas ada berbagai bentuk tugas, kuis, ujian harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian nasional, dan sebagainya. Murid-murid di sekolah kita born free but tested to death.
Dalam praktik pendidikan semacam itu, tugas utama wali kelas masih melulu untuk memastikan semua muridnya lulus ujian, naik kelas dan tamat sekolah.
Wali kelas lebih banyak bergumul dengan borang, laporan, administrasi, rapat, dan tindakan-tindakan intimidatif supaya murid-muridnya belajar.