Fitrah Bakat vs Fitrah Seksualitas

Harry Santosa
March 7, 2018

Menjadi Ayah atau menjadi Ibu itu bukan berangkat dari fitrah bakat, itu adalah fitrah gender atau fitrah seksualitas. Karenanya jangan berdalih bahwa sifat bakat kita tidak mencerminkan sifat sifat perempuan, lalu kita mengatakan tidak berbakat menjadi Ibu, atau sebaliknya jika bakat kita tidak mewakili sifat sifat seorang lelaki, lalu kita mengatakan tidak berbakat menjadi ayah.

Bakat atau fitrah bakat adalah sifat sifat manusia terkait keunikan atau keistimewaan dalam berinteraksi dengan peran di masyarakat pada peran profesi atau pekerjaan professional. Sementara fitrah seksualitas adalah sifat sifat manusia terkait keunikan atau keistimewaan dalam berinteraksi dengan peran di masyarakat pada peran keayahan dan keibuan.

Ketahuilah bahwa andai fitrah bakat kita tidak mencerminkan sifat sifat seksualitas kita bukan berarti boleh menolak menjadi diri kita sesuai seksualitasnya. Misalnya jika anda seorang perempuan, punya sifat bakat seperti suka banget memerintah, sementara suka empati nya lemah, suka pedulinya lemah, suka merawat juga lemah dsbnya bukan berarti anda boleh mengatakan bahwa saya tidak berbakat menjadi seorang ibu.

Jadi jangan benturkan antara fitrah bakat dan fitrah seksualitas. Kalau ada fitrah bakat yg tak mendukung fitrah seksualitas femininitas atau peran keibuan kita lalu jangan katakan saya tak berbakat jadi ibu, tetapi kuatkan fitrah keibuan kita dan gunakan fitrah bakat hanya pd profesi semata. Begitupula untuk para ayah.

Lalu jangan pula mengatakan bahwa peran menjadi ibu atau menjadi ayah itu untuk memenuhi akhlak, bukan demikian karena akhlak terkait fitrah peran (bakat atau seksualitas) justru buah dari fitrah atau sifat alami yang tumbuh paripurna bukan nilai nilai yang ditanamkan kemudian.

Menolak berperan menjadi Ibu itu terjadi karena fitrah seksualitasnya tidak tumbuh paripurna, sehingga tidak menjadi adab atau akhlak bagi anak dan suaminya. Begitupula menolak atau keberatan menjadi ayah, itu kaitannya bukan karena ada sifat sifat terkait bakat yang tidak mencerminkan kelelakian, tetapi karena fitrah kelelakiannya tak tumbuh paripurna.

Maka pendidikan harus dipahami sebagai upaya menumbuhkan semua aspek fitrah, bukan hanya fitrah bakat, juga fitrah seksualitas, juga fitrah fitrah lainnya.

Salam Pendidikan Peradaban

#pendidikanberbasisfitrah
#fitrahbasededucation

Prinsip dan Tahapan Mendidik Fitrah Seksualitas

Harry Santosa
23 Dec 2017

Mendidik Fitrah Seksualitas adalah merawat, membangkitkan dan menumbuhkan fitrah sesuai gendernya, yaitu bagaimana seorang lelaki berfikir, bersikap, bertindak, merasa sebagaimana lelaki Juga bagaimana seorang perempuan berfikir, bersikap, bertindak, merasa sebagai seorang perempuan.

Prinsip 1 : Fitrah Seksualitas memerlukan kehadiran, kedekatan, kelekatan Ayah dan Ibu secara utuh dan seimbang sejak anak lahir sampai usia aqilbaligh (15 tahun)

Prinsip 2 : Ayah berperan memberikan Suplai Maskulinitas dan Ibu berperan memberikan Suplai Femininitas secara seimbang. Anak lelaki memerlukan 75% suplai maskulinitas dan 25% suplai feminitas. Anak perempuan memerlukan suplai femininitas 75% dan suplai maskulinitas 25%.

Prinsip 3 : Mendidik Fitrah seksualitas sehingga tumbuh indah paripurna akan berujung kepada tercapainya Peran Keayahan Sejati bagi anak lelaki dan Peran Keibuan sejati bagi anak perempuan. Buahnya berupa adab mulia kepada pasangan dan anak keturunan.

Tahap Usia 0-2 tahun : Anak lelaki maupun anak perempuan lebih didekatkan kepada Ibu karena masa menyusui. Menyusui adalah tahap awal penguatan semua konsepsi fitrah termasuk fitrah keimanan dan fitrah seksualitas.

Tahap Usia 3-6 tahun : ini Tahap Penguatan Konsepsi Gender dengan Imaji imaji positif tentang gendernya masing masing. Anak lelaki maupun anak perempuan harus didekatkan kepada Ayahnya dan kepada Ibunya. Ayah dan Ibu harus hadir pada fase ini. Indikator tumbuhnya fitrah seksualitas di tahap ini adalah anak dengan jelas dan bangga menyebut gendernya di usia 3 tahun.

Tahap Usia 7-10 tahun : Ini tahap Penyadaran Potensi Gender dengan beragam aktifitas yang relevan dengan gendernya. Anak lelaki yang telah ajeg konsep kelelakiannya pada usia 0-6 tahun, maka kini disadarkan potensi kelelakiannya langsung dari Ayah. Anak lelaki lebih didekatkan ke Ayah. Ayah mengajak anak lelakinya pada peran dan aktifitas kelelakian pada kehidupan dan sosialnya, termasuk menjelaskan mimpi basah, fungsi sperma dan mandi wajib. Begitupula anak perempuan lebih didekatkan ke Ibu untuk disadarkan peran keperempuanannya dalam kehidupan sosialnya. Indikator di tahap ini adalah anak lelaki kagum dan ingin seperti ayahnya, anak perempuan kagum dan ingin seperti ibunya.

Tahap 11-14 tahun : Ini tahap Pengujian Eksistensi melalui ujian dalam kehidupan nyata. Anak lelaki yang telah sadar potensi kelelakiannya kini harus diuji dengan memahami mendalam lawan jenisnya langsung dari ibunya. Maka anak lelaki di tahap ini lebih didekatkan kepada ibunya agar memahami cara pandang perempuan dari kacamata perempuan (dalam hal ini ibunya). Anak perempuan juga sebaliknya, lebih didekatkan ke ayahnya agar memahami mendalam bagaimana cara pandang lelaki dari kacamata lelaki (dalam hal ini ayahnya). Indikator di tahap ini adalah persiapan dan keinginan bertanggungjawab menjadi ayah bagi anak lelaki. Bagi anak perempuan adalah persiapan dan keinginan bertanggungjawab menjadi ibu

Tahap => 15 tahun : Ini tahap penyempurnaan fitrah seksualitas sehingga menjadi peran keayahbundaan. Ini adalah masa AqilBaligh atau anak bukan lagi anak anak, tetapi mitra bagi orangtuanya. Secara syariah mereka telah Mukalaf atau mampu memikul beban syariah, termasuk kemampuan untuk menikah atau menjadi ayah sejati atau menjadi ibu sejati. Semua ulama sepakat bahwa anak pada tahap ini sudah tidak wajib lagi dinafkahi, jikapun masih dinafkahi itu karena statusnya fakir miskin. Maka kewajiban orangtualah untuk mengantarkan anak anak mereka untuk aqilbaligh sempurna dan mencapai peran peradaban bukan hanya dalam profesi namun juga untuk berperan menjadi ayah sejati dan ibu sejati.

Catatan 1:
Anak anak yang kehilangan salah satu sosok orangtua baik karena meninggal atau karena perceraian, maka wajib segera diberikan sosok pengganti sampai mencapai aqilbaligh baik dari keluarga besar maupun komunitas/jamaah kaum Muslimin.

Catatan 2:
Fitrah Seksualitas ini tidak tumbuh berdiri sendiri harus pula diiringi tumbuhnya fitrah lainnya seperti fitrah keimanan, fitrah individualitas dan fitrah sosialitas sehingga agar juga tidak mudah ditularkan penyimpangan seksual oleh lingkungan.

Catatan 3:
LGBT jelas adalah penyimpangan fitrah seksualitas, bukan genetik tetapi karena salah pengasuhan atau tidak diagendakan dalam pendidikan atau penularan perilaku lingkungan.

Mendidik Fitrah Seksualitas

Harry Santosa with Dede Rohayati Saf.
March 30, 2017 ·

#fitrahseksualitas

Seksualitas adalah bagaimana seseorang bersikap, berfikir, bertindak sesuai dengan gendernya.

Fitrah seksualitas keperempuanan adalah bagaimana seseorang perempuan itu berfikir, bertindak, bersikap, berpakaian dll sebagai seorang perempuan. Fitrah seksualitas kelelakian adalah bagaimana seseorang lelaki itu berfikir, bertindak, bersikap, berpakaian dll sebagai seorang lelaki.

Secara fitrah seksualitas seseorang hanya dilahirkan sebagai lelaki atau sebagai perempuan, tidak ada jenis kelamin lainnya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa homo atau lesbian atau lainnya adalah bawaan lahir, itu sesungguhnya ia telah menyimpang fitrahnya.

Penyimpangan fitrah seksualitas sangat beragam, kasusnya tidak hanya terjadi di kalangan manusia liberal namun juga manusia relijius, karena setiap aspek fitrah adalah keniscyaan bagi manusia yang perlu mendapat saluran dan mendapat perhatian untuk dididik.

Mereka yang berlebihan dalam menyalurkan dorongan seksualitasnya dengan mengumbar syahwatnya maupun berkekurangan atau berlebihan dalam membatasi dorongan seksualitasnya dengan pola hidup tidak menikah seperti menjadi rahib atau pendeta juga mengalami penyimpangan fitrah seksualitasnya.

Begitupula anak lelaki yang suplai “feminitas” dari ibu berlebihan sementara suplai maskulinitas dari ayah berkurangan, akan mengalami penyimpangan fitrah seksualitasnya yaitu menjadi “melambai” atau cenderung “homo” atau setidakmya kurang kejantanannya

Anak perempuan yang berkekurangan suplai “feminitas”dari ibu, sementara berkelebihan dalam suplai “maskulinitas” dari ayah, akan mengalami penyimpangan fitrah seksualitas yaitu menjadi tomboy atau cenderung lesbi atau setidaknya kurang kelembutan seorang perempuan.

Setidaknya, kurangnya suplai ayah dan suplai ibu secara seimbang sesuai gendernya di masa anak sejak usia 0-14 tahun, akan berdampak buruk pada fitrah seksualitasnya ketika dewasa.

Dalam penelusuran Siroh Nabi SAW, ternyata memang sosok ayah dan ibu tidak boleh hilang sepanjang masa anak, sejak lahir sampai aqilbaligh di usia 15 tahun.
Lalu bagaimana mendidik fitrah seksualitas?

Inti mendidik fitrah seksualitas adalah terbangunnya attachment (kelekatan) serta suplai ke ayahan dan suplai keibuan.

Usia 0-2 tahun – merawat kelekatan (attachment) awal

Anak lelaki atau anak perempuan didekatkan kepada ibunya karena ada masa menyusui. Ini tahap membangun kelekatan dan cinta.

Usia 3-6 tahun – menguatkan konsep diri berupa identitas gender

Anak lelaki dan anak perempuan di dekatkan kepada ayah dan ibunya secara bersama.
Usia 3 tahun, anak harus dengan jelas mengatakan identitas gendernya. Misalnya anak perempuan harus berkata “bunda, aku perempuan”, sebaliknya juga anak lelaki.

Jika sampai usia 3 tahun masih “bingung” identitas gendernya, ada kemungkinan sosok ayah atau sosok ibu tidak hadir. Inilah tahap penguatan konsep identitas gender pada diri anak

Pada tahap ini praktek “toileting”, dapat dijadikan juga sarana menumbuhkan fitrah seksualitas berupa penguatan konsep diri atau identitas gendernya

Usia 7-10 tahun – menumbuhkan dan menyadarkan potensi gendernya

Ini tahap menumbuhkan identitas menjadi potensi. Dari konsepsi identitas gender menjadi potensi gender. Dari keyakinan konsep diri sebagai lelaki dan sebagai perempuan, menjadi aktualisasi potensi diri sebagai lelaki atau potensi diri sebagai perempuan pada sosialnya.

Karenanya di tahap ini, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayah, agar mendapat suplai “kelelakian” atau maskulintas, melalui interaksi aktifitas dengan peran peran sosial kelelakian, misalnya diajak ke masjid, diajak naik gunung, diajak olahraga yang macho, dll.

Para ayah sebaiknya mulai berusaha menjadi idola anak lelakinya, dengan beragam kegiatan maskulin bersama, sampai anak lelakinya berkata aku ingin menjadi seperti “ayah”.

Lisan dan telinga ayah harus nampak sakti bagi ana lelakinya. Ayah harus menjadi penutur hebat bagi anak lelakinya dengan narasi narasi besar sejarah dan peradaban serta peran keluarganya dalam menyelesaikan masalah ummat atau menghidupkan potensi ummat dalam pentas peradaban.

Ayah juga yang harus menjelaskan tentang “mimpi basah” dan fiqh kelelakian, seperti mandi wajib, peran lelaki dalam masyarakat, konsep tanggungjawab aqilbaligh, pokok aqidah dstnya ketika anak lelakinya menjelang usia 10 tahun

Anak lelaki yang tidak dekat dengan ayahnya atau kekurangan suplai maskulinitas akan mengalami permasalah peran kelelakian ketika dewasa.

Sejalan dengan di atas, pada tahap ini, anak perempuan lebih didekatkan kepada ibunya, agar mendapat suplai “keibuan” atau suplai feminitas, melalui interaksi aktifitas dengan peran peran sejati sosial keperempuanan, misalnya merawat keluarga, memasak, menjahit, menata rumah, menata keuangan dstnya.

Para Bunda, disarankan berhenti “catering” dan “menjahit sendiri”, tunjukan pada anak perempuan bahwa tangan dan kaki bunda “sakti”. Jadikan “mukena” pertamanya adalah jahitan tangan ibunya sendiri.

Sederhana bukan?

Para Bunda sebaiknya mulai berusaha menjadi idola bagi anak perempuannya, sampai ia berkata. “Aku ingin seperti bunda, keren banget”.
Bunda juga yang harus menjelaskan tentang “haidh” dan fiqh perempuan, seperti mandi wajib, peran wanita dalam masyarakat, konsep tanggungjawab aqilbaligh, pokok aqidah dstnya ketika anak perempuannya menjelang usia 10 tahun

Anak perempuan yang tidak dekat dengan Ibunya atau kekurangan suplai “feminitas” pada tahap ini, diragukan akan menjadi perempuan sejati atau ibu yang baik kelak.

Usia 11-14 Tahun – Mengokohkan Fitrah Seksualitas
Setelah fitrah seksualitas kelelakian dari anak lelaki dianggap tuntas bersama ayahnya, kini saatnya anak lelaki lebih didekatkan kepada ibunya, agar dapat memahami perempuan dari cara pandang seorang perempuan atau ibunya.

Anak lelaki harus memahami “bahasa cinta” perempuan lebih dalam, karena kelak dia akan menjadi suami dari seorang perempuan yang juga menjadi ibu bagi anak anaknya.

Anak lelaki yang tidak lekat dengan ibunya pada tahap ini, berpotensi untuk menjadi “playboy”, dan kelak menjadi suami yang berpotensi kasar, kurang empati dstnya

Begitupula sebaliknya, setelah fitrah seksualitas keperempuanan dari anak perempuan dianggap tuntas bersama ibunya, kini saatnya anak perempuan lebih didekatkan kepada ayahnya, agar dapat memahami lelaki dari cara pandang seorang lelaki.

Anak perempuan harus memahami “bahasa seorang lelaki” secara mendalam, karena kelak dia akan menjadi istri dari seorang lelaki yang juga menjadi ayah dan imam bagi keluarganya.

Anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya di tahap ini, kelak menurut riset berpeluang 6 kali menyerahkan tubuhnya kepada lelaki yang dianggap sosok ayahnya.

Anak perempuan yang dekat dengan ayahnya, secara alamiah memiliki mekanisme bertahan untuk mampu membedakan mata lelaki baik dan mana lelaki buruk dalam kehidupan sosialnya.

Catatan: Kasus anak yang dipisahkan dari ayah Ibunya terlalu cepat sebelum aqilbaligh (usia 15 tahun), baik karena peperangan, bencana, perceraian maupun karena dikirim ke boarding school, menurut banyak riset akan mengalami penyimpangan seksualitas. Kasus LGBT juga banyak terjadi di Pondok Pesantren dengan korban anak anak yang belum aqilbaligh.

Usia > 15 tahun
Ini masa dimana fitrah seksualitas kelelakian matang menjadi fitrah peran keayahan sejati, dan fitrah seksualitas keperempuanan matang menjadi peran keibuan sejati.
Wujudnya adalah kesiapan untuk memikul beban rumahtangga melalui pernikahan, membangun keluarga, menjalani peran dalam keluarga yang beradab pada pasangan dan keturunannya.

Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak

Predator Anak dan Fitrah Seksualitas

Harry Santosa
19 Maret 2017

Pada 1993, Pengadilan Negeri Otero menjatuhkan hukuman 275 tahun penjara kepada Pastor David Holley. Dia terbukti bersalah atas tujuh kasus sodomi dan satu kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak. Menurut pengakuan Pastor David, masih ada puluhan korbannya yang lain yang tak mau bersuara di luar sana.

David Holley telah meninggal tujuh tahun lalu dalam penjara, tapi luka yang ditinggalkan pada korban-korbannya tak pernah benar-benar sembuh.

Gara-gara perbuatan Pastor David, Phil, salah seorang korban, kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan dan gereja. Setelah menjalin hubungan dengan sesama korban, Phil memutuskan mendirikan jaringan korban dan penyintas kekerasan seksual oleh pastor atau Survivors Network of those Abused by Priests (SNAP) di New England.

Phil adalah salah satu narasumber utama penelusuran Spotlight, tim investigasi harian Boston Globe, soal kelakuan tak pantas pastor-pastor di lingkungan gereja Diosis Boston. Tim Spotlight menemukan, lebih dari 70 pastor di Diosis Boston pernah terlibat dalam penganiayaan atau kekerasan seksual terhadap anak-anak.

Film Spotlight, yang diangkat dari kisah investigasi Boston Globe, terpilih menjadi film terbaik Oscar. Beberapa hari sebelum Spotlight mendapat Oscar, Mitchell Garabedian menerima telepon dari salah satu korban yang selama ini membisu. Mitchell menjadi pengacara bagi para korban kekerasan seksual para pemimpin agama itu.

Kasus pastor pedofilia di atas terjadi hampir di seluruh Amerika, bahkan Gereja harus mengganti rugi sekitar 2 Miliar Dollar kepada para korban pedofilia. Pelecehan seksual terhadap anak di kalangan rohaniawan Gereja ini bahkan seolah menjadi wabah di seluruh dunia.

Bahkan Paus Fransiskus, mengatakan bahwa tingkat Pedofilia di Gereja mencapai 2% dari sekitar 414.000 pastor di seluruh dunia pada tahun 2012. Sejak 2004 smpai tahun 2013, tercatat telah terjadi 3400 kasus, sebanyak 2.572 pastor telah diberi sanksi berupa larangan bertemu atau berkomunikasi dengan anak anak. Paus Benedictus XVI telah memecat 884 Pastor dalam dua tahun terakhir.
_________
Tulisan di atas adalah sepenggal kisah tentang penyimpangan fitrah seksualitas di kalangan para agamawan. Mereka adalah orang yang sesungguhnya ingin hidup sepenuhnya melayani Tuhan pada awalnya, namun karena menyalahi fitrahnya maka kasus Pedofilia marak di kalangan rohaniawan ini.

Penyimpangan fitrah seksualitas diakibatkan karena fitrah ini tidak mendapat saluran yang benar. Pola hidup yang mengharamkan menikah atau sebaliknya pola hidup yang mengumbar seks, sama sama melahirkan penyimpangan seksual, diantaranya adalah pedofili, atau pelecehan seksual pada anak. Mengapa anak? Korban penyimpangan seksual yang paling rentan dan mudah tentu makhluk yang paling lemah dan mudah diperdaya yaitu anak anak.

Mohon maaf, bukan hanya di Gereja saja, kasus penyimpangan seksualitas berupa pelecehan seksual atau sodomi juga terjadi di boarding school, atau sekolah berasrama atau pesantren.

Anak anak yang dikirim ke asrama sebelum aqil baligh atau dikirim terlalu cepat sebelum fitrah seksualitasnya tumbuh paripurna, sangat rentan mengalami penyimpangan seksualitas. Perilaku penyimpangan fitrah seksualitas ini, nampak dari para senior yang baru memiliki “kekuasaan” untuk memaksa para junior nya yang menjadi tanggungjawabnya.

Kasus Sodomi para senior kepada junior terjadi di Pesantren dengan istilah Mairil, namun memang kasusnya disimpan ke bawah karpet rapat rapat, karena nama baik. Para Junior yang menjadi korban jelas tidak berani melapor.

Di sisi lain, para Junior memiliki masalah pada fitrah individualitasnya yang juga belum tumbuh, sehingga mereka rentan dibully dan tidak berdaya dipaksa.

Lalu bagaimana agar anak anak kita terhindar dari kasus penyimpangan fitrah seksualitas ini baik sebagai pelaku maupun sebagai korban?
Tentu saja fittah seksualitas dan fitrah individualitas mereka harus dididik dan ditumbuhkan dengan sebaik baiknya melalui kelekatan yang mendalam bersama para orangtuanya sejak tahapan usia 0- Aqilbaligh di usia 15 tahun.

Kelekatan yang baik dari ayah dan ibu inilah yang kelak menumbuhkan fitrah seksualitasnya dengan paripurna dan berjalan sebagaimana perannya yaitu menjadi lelaki dan ayah sejati bagi anak lelaki, serta menjadi perempuan sejati dan ibu sejati bagi anak perempuan. Fitrah seksualitas yang tumbuh baik sesuai tahapannya dipandu agama yang fitri akan membuat mereka kelak beradab pada pasangan dan keturunannya.

Kepercayaan orangtua dengan memberi ruang bagi ego anaknya ketika anak anak, juga peran strategis ayah yang penting memberikan suplai “ego” kelak akan menumbuhkan fitrah individualitasnya dan fitrah sosialitasnya, yang memberikan kemampuan yang baik dalam kepercayaan diri dan bersosial di masyarakatnya untuk tidak mudah menjadi korban bully maupun pelecehan seksual.

Jika fitrah ananda tumbuh paripurna, maka mereka kelak seperti ikan hidup di laut. Lihatlah, selama bertahun tahun asinnya air laut tak mampu mengasinkan ikan hidup, karena mereka hidup. Namun ikan mati akan segera menjadi ikan asin dalam rendaman air garam dalam beberapa saat.

Tentu saja pada akhirnya kita serahkan semuanya kepada Allah SWT, sebagaimana kita yakin untuk menumbuhkan karunia Allah berupa fitrah ananda.

Yuk tetap rileks dan optimis menumbuhkan fitrah anak anak kita.

Salam Pendidikan Peradaban
#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#fitrahbasededucation

‪Fitrah Seksualitas‬ & ‎Fitrah Estetika Anak‬

Harry Santosa – Millenial Learning Center

#‎fitrahseksualitas‬ ‪#‎fitrahestetika

Seorang ibu berusia sekitar 26 tahun, berbusana muslimah sangat rapih, sudah memiliki seorang putra usia 5 tahun, dengan sedih mengatakan bahwa dia tidak pernah bisa menjadikan suaminya sebagai sosok pria yang dicintainya.

Padahal menurutnya tiada yang kurang dari suaminya, dia tampan, gagah, bertanggungjawab, mencintai dirinya (istrinya), sangat sayang pada anaknya. Juga tidak ada lelaki lain di luar sana yang dicintai ibu itu, na’udzubillah.

Ibu muda itu, sambil mencoba nampak tegar, mengatakan bahwa dia sudah berusaha keras mencintai suaminya dan sering berdoa meminta agar Allah menjadikan hatinya condong kepada suaminya, namun belum bisa. Di awal pernikahan memang ada rasa tertarik atau suka, namun perasaan itu tidak pernah bertambah, ya begitu begitu saja.

Tadinya dia fikir ketika menikah maka rasa sukanya akan bertambah dan menjadi cinta, layaknya pasangan yang lain. Karena pernikahan seharusnya begitu bukan? Diawali rasa tenang, kemudian sayang lalu rasa cinta. Nyatanya tidak. Dia bahkan merasa tidak nyaman berada di dekat suaminya.

Ibu muda itu amat gundah, bahkan dia bercerita beberapa kali nyaris melakukan hubungan sejenis dengan perempuan lain atau lesbi, alhamdulillah belum pernah kejadian. Tetapi jika begini terus, cepat atau lambat hal ini bisa saja terjadi katanya.

Usut punya usut, ternyata ketika berusia 12 tahun, ayahanda dari ibu ini melakukan poligami, namun dengan cara yang tidak baik. Jarang pulang ke rumah dan sangat kasar. Dia mengaku sering ditampar dan dipukul ayahnya. Padahal di usia segitu, dia sedang membutuhkan kedekatan dengan seorang ayah.

Inilah rupanya penyebabnya. Dalam kajian pendidikan berbasis fitrah, ditemukan bahwa anak perempuan yang tidak dekat dengan ayah atau tidak memiliki sosok ayah pada usia 11-14 tahun akan menyebabkan berbagai penyimpangan fitrah seksualitas.

Gejala penyimpangan fitrah seksualitas yang paling umum adalah selalu haus akan sosok kasih sayang ayah atau cinta ayah. Mereka akan selalu mencari lelaki yang dapat memuaskan dirinya akan sosok ayah.

Mereka bisa menjadi petualang cinta, (maaf) dari ranjang ke ranjang menukar tubuhnya dengan segenggam “rasa cinta ayah” yang hilang atau tidak pernah hadir dalam hidupnya. Ini fitrah seksualitas dan cinta yang menyimpang karena tidak terpenuhi pada tahapan masa pendidikan fitrahnya.

Kehausan akan rasa cinta itu bagai fatamorgana yang tidak pernah terpuaskan. Konon sebuah riset mengungkapkan bahwa anak perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya di usia 11-14 tahun, ternyata 6 kali berpeluang menyerahkan tubuhnya pada lelaki yang dianggap dapat menjadi pengganti sosok ayahnya.

Jika sudah menghantam masuk ke alam bawah sadar seperti ini maka harus ditangani serius agar sembuh.

Akibat yang kedua, jika anak perempuan tidak dekat dengan ayahnya pada usia 11-14 tahun, maka fitrah seksualitasnya akan menyimpang dalam bentuk membenci sosok ayah atau sosok lelaki, dia bahkan tidak mampu mencintai suaminya sendiri bahkan cenderung menjadi lesbian. Sosok ayah sama sekali tidak indah di hatinya.

Lalu bagaimana dengan anak lelaki? Hampir serupa. Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya atau tidak memiliki sosok ibu, terutama pada usia 11-14 tahun, akan mudah melecehkan perempuan, suka berpacaran atau playboy.

Bahkan dalam kasus tertentu apabila anak lelaki membenci ibunya dengan amat sangat maka dia bisa menjadi gay.

Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya, biasanya kelak menjadi suami yang kasar terhadap istri karena tidak pernah memahami perempuan dari cara pandang perempuan terhadap perempuan. Ini diperoleh secara alamiah apabila dia dekat dengan ibunya atau sosok yang bisa menjadi sosok ibu baginya.

Maka para orangtua terutama ayah kembalilah ke rumah, kewajiban utama adalah mendidik anak bukan mencari nafkah. Ketika anak anak beranjak remaja umumnya para ayah mulai menanjak karirnya, mulai menempati posisi penting dengan segala kesibukkannya.

Pada fase ini beberapa ayah mulai kaya dan nampak mulai ingin menikah lagi atau menjadi genit kembali dsbnya sehingga mengabaikan pendidikan fitrah anak anaknya.

Biasanya memboarding schoolkan anak yang belum aqilbaligh, usia 11-14 menjadi pilihan keluarga sibuk dengan beragam alasan, padahal fitrah seksualitas belum tumbuh benar.

Ingat bahwa fitrah seksualitas harus tumbuh paripurna bersama kehadiran penuh ayahibunya melalui kelekatan yang intens sejak dalam kandungan sampai aqil baligh.

Banyak kasus LGBT terjadi di Boarding School di seluruh dunia. Itu karena memang semua fitrah manusia ini sejatinya harus terpenuhi dan berkembang termasuk fitrah seksualitas, jika tidak maka penyimpangan fitrahlah akibatnya.

Lihatlah Siroh atau perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, beliau tidak pernah kehilangan sosok ayah dan sosok ibu sepanjang kehidupannya sejak dalam kandungan sampai aqil baligh.

Maka fitrah seksualitas beliau tumbuh indah paripurna menjadi peran lelaki sejati dan peran ayah sejati dengan cinta sejati.

Salam Pendidikan Peradaban
‪#‎pendidikanberbasisfitrah‬ dan akhlak
‪#‎fitrahbasededucation