Mengapa Saudagar atau Eksekutif yang Cerdas Gagal ? : Catatan Minggu pagi

Jusman Syafii Djamal
March 12, 2017

Why Smart Executives Fail, and What You can Learn from their mistakes ? Judul catatan kali ini sy kutip dari judul buku yang ditulis oleh Sydney Finkelstein tahun 2004.

Meski sudah hampir tiga belas tahun buku ini diterbitkan, hasil riset selama enam tahun yang dilakukan oleh Tuck School of Business at Dartmouth ini, patut dikemukakan untuk dishare, sebab beberapa hal masih cukup relevan dijadikan “food for thought”.

Sebab yang paling utama dan pertama adalah “blinded by Zombie Business”.

Para Eksekutif yang cerdas seringkali terjebak pada rasa nyaman ceruk bisnis masa lalu. Terbutakan oleh portofolio bisnis yang terus menerus menghasilkan Revenu yg lumayan bagus meski sudah berada pada titik jenuh.

Terjebak janji untuk fanatik dan percaya pada model bisnis masa lalu. Keberhasilan dan tradisi sukses masa lalu membius para eksekutip untuk merasa nyaman pada keadaan masa kini. Abai pada proses revitalization untuk beradaptasi dengan perubahan selera dan tingkah laku customer. Seolah semua take it for granted dijamin langgeng. Pelanggan pasti setia dan tak mau pindah letempat lain. Semua Hal seolah sudah terkuasai.

Padahal Kemajuan teknologi telah merubah landskap bisnis. Model dan platform bisnis yang digunakan sudah mendekati uzur dan berada dititik jenuh menurus kadaluarsa.

Akibatnya Eksekutif yang terbuai pada sukses masa lalu merasa tidak penting proses inovasi. Atau jika ada hanya fokus pada proses inovasi yang bersifat “incremental inovation”, hanya mengalokasikan sumber daya pada jalur tujuan untuk memperpanjang usia teknologi yang digunakan.

Tidak ada alokasi anggaran dan sumber daya untuk keluar dari ruang maneuver yg eksis saja. Tidak berfikir out of the box dan lahirkan gerak loncatan kuantum untuk pindah kurva teknologi. Padahal semua kompetitor sudah beralih ke teknologi digital, zombie business masih saja percaya bahwa teknologi analog yang digunakan adalah lahan subur yang tak mungkin kering dari panen.

Mengapa “zombie business” ini masih saja membius dan “smart executive” tak menyadari perubahan “terrain or business landscape” yang terjadi ?

Banyak sebab dapat digali.

Diantaranya amat percaya dan terlalu sombong untuk berubah. Merasa memiliki dan menguasai potensi keunggulan manusia bersumber daya iptek yang dimiliki. Tidak memberdayakan potensi itu menjadi inovasi proses dan inovasi produk. Terlalu percaya pada ketangguhan ekosistem yang berkembang di perusahaan itu yang telah teruji selama lebih dari puluhan tahun.

Sementara para ahli dan manusia bersumber daya iptek yang bekerja diperisahaan zombie business sudah syuur sendiri. Merasa hidup dibawah suatu kingdom keahlian tak tergoyahkan . Mereka seperti katak dibawah tempurung. terjebak rutinitas dan malas belajar hal yang baru.

Merasa pasti memiliki kemampuan atasi masalah dari pelbagai spektrum baik problema peniti hingga nuklir. Anggar jago kata anak Medan .

Mungkin juga perusahaan itu sudah terlalu besar menggurita, seperti kapal induk atau super tanker yang kalau mlakukan “maneuver” membutuhkan samudera yang luas tanpa kendala dan dalam tanpa kemungkinan karam.

Apa tidak mungkin penyakit “zombie business” mengidap perusahaan “small medium enterprises” ??

Bisa saja ia lahir karena perusahaan ini merupakan warisan turun temurun milik keluarga yang kalau mau ganti arah dan ganti produk takut kualat dengan leluhur.

Sehingga membiarkan usaha bisnis berdiri diatas fondasi ceruk pasar yang labil dan tergerus erosi perubahan tingkah laku pelanggan setia yang tak disadarinya. Ketika longsor bukit revenue nya baru kaget dan bisnis sudah hilang ditelan perubahan jaman.

Tanda tanda Zombie Business ini dapat dilacak dari tingkah laku para manager dan pimpinan puncak perusahaan ini.

Secara individu semuanya “smart executive”, memiliki kepercayaan diri yang amat menonjol, IQ tinggi, lincah dalam berbicara dan bertindak.

Akan tetapi ada kebandelan dan sikap keras kepala untuk tidak mau melakukan perubahan yang diperlukan.

Jika ada rekomendasi “turn around” atau melakukan upaya membalik keadaan menjadi lebih baik dengan Restukturisasi Organisasi atau Business Portfolio dan Revenu Stream yang mengandung konsekwensi banyak tindakan perubahan , pasti semua eksekutip dan manager secara serentak mengatakan hal berikut ini :

(a). Watch Us and See How Its Done. Memang kami punya masalah, Revenu terus menurun selama tiga tahun terakhir ini. Biaya terus meningkat, profit hilang berganti “lossess”. Tapi ini sementara, Lihat aja bagaimana kami atasi keadaan. Pasti semuanya akan beres dan Perusahaan tumbuh kembali.

(b). Trust us — We Know What we are doing. Percayalah pada ahli ahli kami. Mereka semua sudah teruji dan punya jam terbang. Tak mungkin mereka keliru. Lagi pula perusahaan ini punya tradisi dan kultur yang baik.

Kami disini bekerja sudah seperti keluarga. Kami mengetahui dengan tepat apa yang kami kerjakan dengan kemampuan yang dimiliki. Jadi jangan hawatir. Pasti beres.

C. We Do not Need Customer Telling Us How to Run Our Business. Wah kami ngga memerlukan opini pelanggan. Apa perlunya mendengar keluhan mereka. Semua pasti suka mengeluh, itu biasa. Tiap tahun banyak pelanggan complain tapi produk kami tetap dibeli. Ngga usah mengajari ikan berenang.

(d). We Have Positive attitude here. Semua karyawan kami memiliki discipline kerja dan sikap mental yang sempurna. Tak ada yang keliru. Mereka jam lima pagi sudah ngantre absensi, tak pernah telat. Mejanya bersih, pekerjaan selesai, pulang tepat waktu, apalagi yang kurang ?

Kalau produknya belum laku saat ini, itu bukan salah mereka. Yang keliru palanggan yang mau aja dibohongi beli produk orang lain.

(e). We are better than you are. Wah pastilah kami jauh lebih baik dari competitor. Orang lain belum buat ini produk, kami sudah jungkir balk disini. Lihat aja produk mereka barang digital, tak punya seni. Kami analog presisi dan antik Dan kami lebih hebat.

(f). No Negative feedback, please. Mbok kami diberi feedback yang positip. Bukankah produk kami ini sudah unggul puluhan tahun dan kami mash punya pelanggan setia ? Kok repot.

(g). Whatever happen is not my fault. Kalau bisnis lagi lesu, dan sekarang kami rugi terus itu bukan salah kami. Semua bisnis kan sekarang lagi lesu. Ini tak lama. Badai pasti berlalu.

Begitu kurang lebih Buku tersebut. Saya percaya di Indonesia tak ada “zombie business”.

Meski begitu buku ini patut dijadikan “food for thought”. Lebih baik sedia payung, sebelum hujan.

Kurang lebihnya dalam membuat ringkasan mohon dimaafkan.

Salam

Leave a comment