Memproduksi Barang Dengan Tangan Sendiri : Tradisi Indonesia yg Hilang ?

Jusman Syafii Djamal
April 8, 2017

Jepang, Taiwan dan Italia adalah Negara yang industri besar nya tumbuh diatas kerajinan tangan, prakarya rumah tangga dan mata rantai pasokan industri kecil menengah.

Kelompok Industri berskala 10-500 pekerja merupakan tulang punggung. Di Industri ini teknologi maju di Budi dayakan sebagai wahana transformasi value chain.

Alexander Kojeve seorang Filosof dalam bukunya :”Introduction to the Reading of Hegel (Cornell University Press 1989) menulis kurang lebih begini :’Bekerja secara manual atau kerajinan tangan (craft) adalah cermin dari pribadi suatu Bangsa.

Produk yang dihasilkan melalui keterampilan handicraft yang berjalan bergandengan tangan dengan karyacipta melalui ruang imajinatip dalam kepala adalah wujut eksistensi kemanusiaan.

Melalui buah karyanya apakah itu berbentuk furnitur, pakaian yang dijahitnya sendiri, sulaman, tenun ikat, batik atau juga rumah, jembatan, diagram wire listrik sebuah mobil, mobil tua atau kereta api tua yang dimodifikasi , para “tinker” atau “craftman” merasa menemukan jati dirinya dalam produk yang diciptakannya.

Mereka mengenali dirinya sendiri dalam karyanya sendiri. Dalam produk yang diciptakan mereka menemukan dan menciptakan realitas objektif dari dirinya sendiri”.

Kepuasan dalam mengungkapkan diri sendiri secara nyata melalui kemapuan manual ini dulu dikenali sebagai wahanan menentramkan batin yang sedang gelisah.

Karena itu orang tua kita tidak pernah kelihatan diam tangannya. ada baju robek ditambalnya, ada daun jatuh di halaman disapunya. ada genteng bocor digantinya, ada mobil mogok dibongkarnya.

Bahkan tak jarang orang tua kita membuat kursi tamu dan meja makannya sendiri. Karenanya mereka tak sempat ikut tawuran antar kampung. Produktivitas melahirkan harmoni.

Banyak orang enggan menyebut kata pakar pada montir listrik atau dukun mesin mobil tua. Kata montir bahkan kini secara perlahan mulai menghilang dari kosakata sehari hari.

Anak saya tak kenal istilah montir. Sebab kalau ada barang yang rusak, lebih baik beli yang baru ketimbang diperbaiki. Keahlian otak oatik dan reparasi secara perlahan menghilang.

Teknologi kini menjadi “faktor eksternal”, yang dengan mudah dapat dibeli. Semua pakar ekonomi mengatakan mengapa mesti ribut buat mobil nasional, sudah mahal investasinya belum tentu ada pembelnya.

Lagipula Apa susahnya memiliki mobil , kenapa repot repot mesti membangun industri mobil. Perbaiki saja aturan perdagangan bebas, semua jenis mobil akan tersedia dan kita tinggal Beli saja.

Kepuasan dalam mengungkapkan dirisecara nyata liwat keahlian memproduksi barang telah berganti dengan kepuasan analisa dan atur mengatur.

Kini kita menemukan kebenaran dari ungkapan Jim Aschwanden Direktur Asosiasi Guru Pertanian di California yang menyatakan :”Kita mempunyai generasi pelajar yang mampu menjawab senua pertanyaan dalam ujian yang baku.

Mereka mengetahui segala jenis fakta, tetapi sayangnya kita kehilangan orang yang mampu membuat barang dan produk dengan tangannya sendiri.

Mereka mudah membeli tak bisa menanam padi, bawang dan durian dengan tangannya sendiri. Mereka terasing dengan pephonan dan buah buahan serta sayur sayuran dari kebonnya sendiri.

Itu kata Direktur Asosiasi Guru Pertanian di Amerika, mudah mudahan tidak berlaku di Indonesia.

Ketika dulu tahun 1990 an sy memiliki mobil tua VW kodok tahun 74 an, dan suatu hari tidak mau distarter. Senior saya seorang insinyur listrik dengan cepat mengatakan bahwa ini semua mudah dipelajari Ia berteori tentang Hukum Ohm, dimana Voltase sama dengan hasil perkaliann dari arus (ampere) dan hambatan (R).

Kalau tida mau nyala ini pasti karena tak ada arus atau hambatan nya besar. Tapi ketika saya tanya mana arus mana hambatan didalam mesin VW it, pusing tujuh keliling kita tak ketemu.

Sampai kemudian seorang montir dipanggil. Dengan segera ia membersihkan karat dan kotoran dari busi, mengencangkan kabel dan mengeringkan karburator dan mesin menyala dengan mudah.

Ketika sya bertanya apakah ia tau hukum Ohm dia bilang tau karena itu pelajaran dari STM, apakah ia bekerja dengan hukum OHM, dia bilang saya bekerja atas dasar pengalaman membongkar mobil seratus buah, dengan tanggannya sendiri.

Bahkan ia bilang saking cintanya ia pada pekerjaan montir, rambut hitamnya yang lebat juga tumbuh karena ia olesi dengan oli mobil.

Mungkin perlu juga kita renungkan kemali apakah tidak mungkin ketika kita sibuk berupaya memuka keran impor bawang , cabai, beras , garam, gula untuk turunkan harga, kita juga mulai investasikan kembali waktu dan tenaga merekontruksikan kembali Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) . Dahulu tahun 60-70 an diandalkan untuk mengisi teanaga Asisten diperkubunan karet dan kelapa sawit di Sumatera serta tempat pembibitan padi dan hortikultura , dimana di SPMA ini anak didik dikenali dengan segala jenis benih dan riwayat tanah diajarkan dalam teori dan praktek.

Sehingga mereka jadi teknisi mumpuni dalam bidang pertanian, yang mampu menemukan terobosan dengan menanam sendiri pepohonan yang dicintainya.

Begitu juga sekola Teknik Menengah Atas yang mendidik orang menjadi montir dan teknisi. Sebab melalui pendidikan kejuruan itu, paling tidak akan ada 30 % ahli madya yang bekerja dilapangan memproduksi barang dengan kemampuan tangannya sendiri.

Secara perlahan tetapi pasti keahlian tradisional kita membuat meubel di jepara, empu material penempa pisau cibatu, keris dijawa, pemintal pembuatan jala dan lain sebagai nya yg pernah punya kejayaan memudar. Kini kita sibuk buat banyak aturan ini dilarang itu tidak boleh.

Padahal yg diperlukan sebuah ekosistem agar kita produktip. Ahli dalam membuat barang. Make Create and Innovate harus jadi motto.

Sebab Melalui produk yang dikembangkan diatas kemampuan fikiran dan tangan sendiri, eksistensi kita terjaga begitu kata Alexander Kojeve.

Apa benar begitu ? Salam

Leave a comment