“Coach Me, Boss”

Eileen Rachman
KOMPAS, 14 Mei 2016

SEBAGAI atasan, pernahkah Anda mendengar permintaan di atas dari anak buah? Bilamana jawabannya adalah pernah, bahkan sering, Anda selayaknya berbangga hati karena perusahaan anda sudah tergolong “learning organization”.

Di banyak perusahaan, ungkapan ini jarang terdengar. Ada perusahaan yang memiliki kebiasaan turun temurun mem-bully anak buah untuk menjaga standar kinerja. Ada pula perusahaan yang para manajernya tidak merasa bahwa tugas pengembangan ada di tangannya sehingga mereka kerap menuntut divisi pengembangan Sumber Daya Manusia menyediakan program-program pengembangan anak buahnya, yang mereka bisa mengirim anak buah-nya dan mengharapkan mereka kembali ke tempat kerja menjadi manusia baru yang lebih terampil dan siap ber-kontribusi. Bahkan, banyak atasan yang mencerca divisi rekrutmen karena menyetor “bibit” yang salah dalam timnya.

Banyak atasan yang menunggu pekerjaan anak buah, tetapi malas memperbaiki atau memberi komentar, dan terkadang bahkan mengakui kreativitas anak buah sebagai idenya sendiri. Kita tidak mengatakan bahwa di organisasi seperti ini disiplin tidak ditegakkan. Bisa saja organisasi teratur dan berdisiplin. Namun, proses belajarnya tidak dilakukan dengan cara yang efektif.

Ada beberapa konsekuensi yang sudah sering kita kenal, seperti gejala “Peter principle”, yaitu individu terus dipromosikan karena prestasi teknisnya. Namun, di posisi tertentu, tiba-tiba melempem karena ia tidak dipersiapkan untuk menjadi pemimpin. Bagaimana jadinya bila hal ini dibiarkan dan organisasi tetap berkembang dengan tambahan manusianya? Penelitian terhadap 6.000 pemimpin menghasilkan fakta bahwa pemimpin yang bersikap sebagai coach ternyata lebih diingat, bahkan melegenda, sampai bisa melahirkan coach-coach baru di bawah asuhannya.

Artinya, perilaku dan kebiasaan meng-coach bisa juga menular. Bila kemudian hal ini menjadi turun-menurun, organisasi pasti menikmati suasana learning organization yang sesungguhnya. Sebaliknya, perusahaan yang pengembangan manusianya berjalan apa adanya akan mengalami kerugian karena tidak bisa mengambil keuntungan dari keinginan belajar karyawan atau anggota timnya. Dalam perkembangan teknologi yang serba cepat, virtual, digital ini, mungkinkah kita tetap ingat untuk meluangkan waktu mengembangkan anak buah?
Mengembangkan kebiasaan “coaching”

Kita tahu bahwa manusia memang belajar seumur hidup. Kita tahu bahwa individu juga mempunyai tanggung jawab untuk belajar sendiri. Namun, kita juga perlu tahu, kualitas setiap organisasi bisa kita tingkatkan yang pada akhirnya mendorong bisnis atau kinerja menjadi lebih baik daripada proses belajar yang berjalan secara autopilot. Banyak orang hanya bisa menonton perkembangan individu atau lebih canggih lagi melakukan penilaian, seperti halnya para pecandu sepakbola atau basket.

Kebiasaan coaching memang dimulai dari minat besar si atasan untuk mengembangkan dan menjadikan anak buahnya lebih baik. Atasan perlu menemukan perilaku apa yang akan membuat bawahan lebih sukses. Itulah sebabnya, si atasan memang harus mempunyai jiwa riset, minat yang kuat pada perkembangan bawahan, sekuat minatnya dalam mengembangkan anaknya sendiri. Untuk bisa mengerti kekurangan bawahan, atasan tidak cukup mengobservasi hasil kerjanya saja. Ia perlu mendalami prosesnya, mendengar apa yang diterangkan bawahan, dan bersama bawahan menemukan celah pengembangannya.

Hal yang juga penting tetapi sering dihindari atasan maupun bawahan adalah umpan balik. Atasan dan bawahan sering menganggap bahwa umpan balik adalah adalah situasi penjagalan yang menyakitkan hati. Selama kita mempunyai anggapan seperti ini, proses coaching tidak akan berjalan mulus. Kita perlu menanamkan pada seluruh anggota tim bahwa belajar memang membutuhkan pengorbanan dan kerja keras, tetapi tak ada jalan lain untuk berkembang kecuali belajar.

Maju terus dengan “coaching “

Coaching memang membutuhkan investasi, baik waktu, biaya maupun tenaga yang tidak sedikit. Belum lagi tekanan emosional bilamana hasilnya tidak seperti yang kita harapkan ketika melakukannya mengingat bahwa yang sedang kita garap adalah seorang manusia dengan segala kompleksitasnya yang tidak selalu berkembang sesuai dengan rumusan teori yang ada. Namun, adakah budaya yang bisa membuat semangat pembelajaran ini tidak pernah padam?

Kita bisa belajar dari semangat kewirausahaan bisnis startup yang sedang menjamur dan diminati para anak muda. Hal yang sangat lazim di sini adalah kekuatan menerima pendapat seluruh anggota tim, lepas dari hirarki yang ada. Organisasi besar justru harus menjaga, keseimbangan antara konformasi terhadap prosedur yang sudah ada, dengan pertanyaan-pertanyaan; mengapa dan mengapa tidak? Selain itu, respek terhadap para atasan dan para coach sebagai individu yang lebih berpengalaman perlu dikembangkan. Proses bisnis memang harus berjalan, tetapi budaya belajar 360 derajat tetap perlu ada. Oleh karena itu, dalam bahasa sehari-hari, kata-kata ”coach me, boss” justru harus membudaya.