Sekolah Alam yang Mendidik Hati

Wicak Amadeo

Nun di sebuah gedung megah berpintu rapat, sekumpulan anak berusia 5 – 7 tahun dikumpulkan. Mereka adalah murid-murid SD Anu, buah dari seleksi inteligensi yang teramat ketat. Wajar, karena di sekolah tersebut ada begitu banyak pelajaran yang hanya bisa dicerna oleh intelektualitas kelas tinggi. Dibutuhkan logika yang tajam dan penalaran kelas master untuk dapat mencerna paparan dan argumentasi atas tiap hal yang diajarkan.

Ya karena SD itu terlanjur yakin bahwa pendidikan itu adalah upaya membangun otak yang sehat, karena otaklah yang mengendalikan perilaku. Mereka yakin, bersama otak yang cerdas akan mudah mendidik keyakinan dan kebiasaan baik, seperti shalat, puasa, membaca AlQur’an, menutup aurat, berakhlaq mulia dan sebagainya.

Tapi segalanya belakangan berubah menjadi tangis, karena ternyata otak, pikiran dan penalaran tak mengenal kata kebaikan dan kebenaran. Ternyata otak hanya mengenal pengalaman dan data… Pikiran hanya mengenal argumentasi…. Sedangkan penalaran hanya mengenal kata logis. Kini anak-anak cerdas itu telah mampu melawan otak dengan otak, argumentasi dibalas dengan kontra-argumen, sedangkan tesis dihadapi dengan anti-tesis. Apa-apa yang telah tertanam dalam, ternyata tak tumbuh. Sedangkan kebiasaan baik hilang dengan sekejap, seakan usaha penuh disiplin dalam waktu lama, kini hilang tanpa bekas.

Dan tak jauh dari sana, ada sebuah sekolah alam. Di sana hadir berkumpul siapapun yang punya hati. Murid-muridnya tak pernah diseleksi, karena yang diseleksi adalah para ayahbunda mereka : ayahbunda yang punya peduli. Mereka “hanya” punya alam, dan itulah sebabnya kenapa yang dibutuhkan adalah hati. Karena alam hanya bisa dinikmati dengan hati, dan alam berdialog kepada hati.

Ya, alam itu feminin. Ia berbicara setiap hari pada manusia dalam bahasa hati, karena hanya bahasa itulah yang telah Allah ajarkan kepada alam untuk berbicara pada manusia (QS Al-Zalzalah : 4-5). Kalaulah kita tak kunjung mengerti cerita alam, itu karena kita telah terlalu lama berlogika.

Lalu kenapa harus hati ? Tentu, karena kesadaran itu bermula dari hati. Sedangkan niat itu adalah produk dari hati, lalu ia perintahkan otak untuk menggerakkan tubuh. Mungkin kita telah lama lupa, bahwa kesadaran bukan lahir dari pikiran dan niat tidak lahir dari otak. Otak hanya melahirkan ide, bukan gairah. Pikiran hanya melahirkan konsep, bukan niat. Sedangkan logika hanya melahirkan metode, bukan kesadaran. Nah, amal adalah buah dari gairah, kesadaran dan niat. Sementara ide, konsep dan metode hanyalah perangkat-perangkat untuk beramal. Dan sekolah alam sepenuhnya menyadari bahwa keshalehan lahir dari hati yang membuahkan gairah, niat dan kesadaran, sedangkan otak, logika dan argumentasi hanyalah instrumen keshalehan.

Maka para guru sekolah alam pun mungkin bukan orang-orang sangat cerdas, tapi kumpulan orang-orang yang punya hati, cinta, ketulusan dan keikhlasan. Mereka sadar, intelektualitas bisa dibentuk dengan ilmu, profesionalitas bisa dibentuk dengan kompetensi, namun spiritualitas hanya bisa ditularkan oleh cinta dan ketulusan. Jadi, di sekolah alam tak akan banyak kita saksikan debat argumentatif, tapi kaya dengan kisah-kisah menyentuh. Di sekolah alam tak akan banyak kita dengarkan alasan-alasan “kenapa begini dan begitu ?”, tapi yang ada adalah peran-peran yang dimainkan dan dihayati. Di sekolah alam senyum dan airmata lebih banyak berbicara daripada logika dan kata-kata, karena senyum dan airmata mampu melembutkan jiwa.

Saatnya anak-anak kita hidup di sekolah alam, jika yang kita inginkan adalah pembentukan generasi bertaqwa. Karena taqwa itu ada di dalam dada (AlHadits)

Adriano Rusfi
Konsultan Senior, Psikolog, Pelaku Pendidikan
Dewan Pakar Masjid Salman ITB

Apakah Anda adalah AyahBunda yang

1. Selalu mempertanyakan status “legal” dan “tidak legal” dari sekolah alam?
2. Selalu mempertanyakan apakah siswa sekolah alam bisa achieve “nilai akademis”?
3. Selalu mempertanyakan fasilitas dan hal-hal non teknis lain seperti jalan masuk, bangunan, dan sebagainya?
4. Selalu mempertanyakan “kurikulum diknas”?
5. Selalu berniat melanjutkan sekolah anaknya ke sekolah negeri selepas jenjang sekolah dasar?
6. Selalu beranggapan bahwa sekolah alam semacam penitipan anak-anak “liar” atau anak-anak “bermasalah” yang dikeluarkan dari sekolah lain?
7. Selalu menganggap sekolah alam adalah sekolah unggul?

Jika AyahBunda adalah yang demikian, maka jangan teruskan membaca tulisan ini karena akan mengganggu “kebahagiaan” anak-anaknya kelak dan segera lupakan sekolah alam. Bisa jadi, Anda memang salah pilih sekolah.

Tetapi, jika Anda adalah AyahBunda yang

1. Merindukan “sekolah impian” dengan segala eksperimen dan inovasi tentang implementasi sekolah yang membebaskan dan membahagiakan,

2. Selalu curious atau ingin tahu dengan perkembangan potensi bakat anak serta akhlak atau karakter dibanding capaian nilai akademis,

3. Selalu berpikir “lebih baik mencoba sesuatu yang belum tentu gagal, daripada melanjutkan sesuatu yang sudah pasti gagal”,

maka sekolah alam atau sekolah berbasis potensi dan akhlak bersama komunitas bisa menjadi pilihan yang tiada lagi pilihan lain.

Anak-anak di sekolah alam memang sering kalah dalam lomba cepat tepat, sering kalah dalam olimpiade sains, sering kalah dalam berbagai macam kompetisi.

Tetapi, anak-anak sekolah alam sangat hebat dalam lomba merancang dan mendesign serta mengimplementasikan proyek bersama. Lihatlah bagaimana mereka menyiapkan Sale Day, Market Day dan Bazaar di sekolah. Lihatlah bagaimana mereka menyiapkan penelitian untuk Science Fair di sekolah. Lihatlah bagaimana mereka berkolaborasi dengan teman-teman dan fasilitator menyiapkan karya pustaka bersama untuk Pekan Literasi. Mereka hebat dalam karya, bukan sekadar nilai angka dalam raport semata.

Anak-anak sekolah alam tidak perlu belajar serius hanya untuk mengejar nilai akademik. Yang dibutuhkan dan diajarkan di sekolah alam adalah tentang curiosity atau rasa ingin tahu, tentang tradisi belajar dengan logika berpikir ilmiah sehingga tanpa sadar membawanya pada fast learning dan high order of thinking.

Sebelum belajar, mereka berdoa bersama, melantunkan ayat-ayat suci dari kitab suci, bahkan menunaikan ibadah pagi.

Lalu mereka belajar dan bermain dengan kambing, belajar dan bermain dengan kelinci, belajar dan bermain dengan ayam di kandang, belajar dan bermain dengan ikan di kolam.

Mereka tampak bahagia menyusuri jejak jalanan setapak sambil menghirup udara pagi yang segar serta menikmati indahnya alam serta flora dan fauna ciptaan Sang Maha Pencipta, mencari harta karun barang bekas, memanjat atap sekolah, memancing ikan, mengerjakan tugas di pinggir danau atau di dahan pepohonan, melatih keberanian dan kepercayaan diri dengan meniti two-line bridge atau bamboo bridge bahkan meluncur dengan flying fox.

Mereka belajar tidak dengan buku tulis dan bukan hanya dengan buku cetak. Mereka juga berselancar di internet dan perpustakaan.

Mereka kerap menggunakan kertas setengah pakai dari perpustakaan serta terlibat diskusi yang mengasyikkan.

Mereka tampak bahagia walaupun ada yang menghina kelas mereka sama sederhananya dengan “kandang kambing”. Mereka bisa merasakan langsung hembusan angin dan menyaksikan dahan dan daun pepohonan melambai-lambai tertiup angin.

Tas sekolah mereka besar-besar. Isinya bukan buku, tetapi baju ayah untuk berkebun di Green Lab, jas hujan, baju ganti, termos minuman dan kotak makanan, serta sepatu boots.

Mereka berlibur tidak dengan bis mewah dan menginap di hotel mewah. Mereka berlibur dengan menjelajahi hutan, mengenali tanaman dan tumbuhan yang bisa dimakan, mempraktikkan memasak bersama di hutan dengan bahan-bahan alam yang ada di sekitar hutan (jungle cooking).

Mereka berlibur dengan menyusuri pantai, mendatangi mercu suar, menyelam di sekitar pantai (snorkeling), dan menangkap ikan untuk disantap sebagai ikan bakar. Lihatlah wajah bahagia mereka saat merasakan pengalaman ekspedisi ke kawasan konservasi, mencari jejak badak, biawak, ular, babi hutan dan fauna dilindungi lainnya. Lihatlah mata mereka yang berbinar saat menyusuri sungai dengan berkano diiringi kicauan burung serta suara kodok dan jangkrik serta alunan lagu hutan para satwa. Lihatlah ekspresi wajah mereka saat kaki mereka ditempeli lintah dengan baju basah saat menginap di hutan dan tidur di dalam tenda.

Mereka berlibur dengan mendaki bukit dan gunung, menyusuri jejak para petualang di pegunungan, menikmati udara dan angin di ketinggian pegunungan, menikmati waktu dan merenungi langkah-langkah yang dituju, memercikkan air danau dan mensyukuri kesegarannya anugerah Sang Pencipta.

Mereka berlibur dengan tinggal bersama penduduk di kawasan dengan pesona kesederhanaan dalam kehidupannya. Mereka dengan wajah ceria turun ke sawah, memandikan kambing, memerah sapi, menebarkan pakan ayam dan bebek, meniti jembatan kayu sempit agar lebih dekat dengan ikan saat menebar pakan ikan, menyimpan sepatu dan meniti pematang mengangkut hasil bumi, menikmati hiruk pikuk pasar tradisional sambil membantu menjualkan hasil bumi. Pesona kesederhahaan ini membuat mereka merasakan lebih dekat dengan Sang Sumber Kehidupan Yang Maha Menghidupi. Menguatkan keyakinan bahwa sebagai manusia selalu dicurahi Kasih dan Sayang-Nya tak terhingga.

Wahai AyahBunda,

Anak-anak itu bahagia. Jika AyahBunda justru “miris” dengan segudang pengalaman mereka di sekolah alam, cobalah buka hati dan pikiran lebih lebar, bukan hanya mudah buka dompet untuk mereka. InsyaAllah, dari sekolah alam inilah, akan lahir pemimpin yang tidak elitis, yang sejak kecil terbiasa menghargai alam, menghargai sekolahnya bukan karena kemewahan gedungnya dan bukan karena licinnya seragam, tetapi pesona kebersamaan dan pesona miniatur kehidupannya. Memuliakan teman-teman sesama karena kebaikan akhlaknya bukan karena rankingnya. Mereka terbiasa mencintai sekolahnya, bahkan hingga sampai suatu masa kemudian, bersama teman-temannya, mengenang masa-masa indah di sekolah alam yang membuat mereka merasa “benar-benar diterima” sebagai manusia seutuhnya.

(Harry Santosa – Wicak Amadeo)

Sekolah Alam adalah sebuah konsep pendidikan yang digagas oleh Lendo Novo berdasarkan keprihatinannya akan biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Ide membangun sekolah alam adalah agar bisa membuat sekolah dengan kualitas sangat tinggi tapi murah. Itu dilakukan karena sebagian besar rakyat Indonesia miskin.

Paradigma umum dalam dunia pendidikan adalah sekolah berkualitas selalu mahal. Yang menjadikan sekolah itu mahal karena infrastrukturnya, seperti bangunannya, kolam renang, lapangan olahraga, dan lain-lain. Sedangkan yang membuat sekolah itu berkualitas bukan infrastruktur. Kontribusi infrastruktur terhadap kualitas pendidikan tidak lebih dari 10%. Sedangkan 90% kontribusi kualitas pendidikan berasal dari kualitas guru, metode belajar yang tepat, dan buku sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Ketiga variabel yang menjadi kualitas pendidikan ini sebetulnya sangat murah, asalkan ada guru yang mempunyai idealisme tinggi. Dari situ Lendo mencoba mengembangkan konsep-konsep sekolah alam.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Sekolah_Alam

Apakah Sekolahalam itu sekolah untuk anak-anak nakal, yang tak bisa dididik di sekolah lain?

Berbahagialah anak-anak yang dilabeli nakal oleh para guru yang putus harapan akan rahmat Allah. Artinya, semakin banyak Sekolahalam harus segera ditingkatkan kapasitas dan daya tampungnya. Sekolah biasa yang ringan memberi label “anak nakal” yang ditinggalkan anak memang harus dikurangi kapasitasnya, bahkan ditutup jika banyak yang terbukti bahagia di Sekolahalam.

Anak yang dilabeli nakal adalah anak yang potensinya belum terlihat buahnya atau yang jeritan jiwanya sedang mencari jalan keluar terbaiknya. Alangkah berbahagianya apabila orangtua dan orang dewasa, apalagi pendidik, di sekitar kehidupannya dapat bersabar dan telaten sampai terlihat buahnya dan ditemukan jalan terbaiknya.

Anak yang “cerewet” berpotensi menjadi orator atau story teller. Anak yang “keras kepala” berpotensi menjadi pemimpin dan penegak keadilan. Anak yang “cengeng” berpotensi menjadi sastrawan. Anak yang sering “curiga” dan “perhitungan” mungkin calon manajer keuangan atau financial planner. Anak yang “tak bisa duduk tenang” mungkin calon penari dan koreografer, atau olahragawan hebat. Anak yang “suka melamun” mungkin calon dosen dan peneliti. Anak yang suka “mengutak-atik benda dan membongkar-pasang benda hingga berantakan” mungkin calon engineer atau insinyur. Begitu seterusnya.

Apakah di Sekolahalam itu ada belajarnya? Tampaknya, anak-anaknya di Sekolahalam hanya bermain sepanjang hari.

Ruang Belajar siswa sekolah biasa hanya sebatas dinding sekolah dan jam sekolah. Ruang Belajar siswa Sekolahalam luasnya seluas Alam Semesta. Sumber belajarnya tiada habisnya bagaikan mata air yang berlimpah. Fasilitasnya tersedia melimpah di alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Waktunya sepanjang hayat. Gurunya, selain para fasilitator yang baik hati, juga para Mentor Ahli yang ikhlas dan para Maestro yang karya dan akhlaknya diakui masyarakat, serta para Guru Kehidupan yang dapat ditemukan dimana saja sepanjang hayat.

Dalam teori Psikologi Pendidikan anak, khususnya tentang Perkembangan Sosial anak, sesungguhnya usia sebelum 7 tahun (Pra-Sekolah) bukanlah usia sosialisasi, tapi usia INDIVIDUASI. Pada usia inilah anak belajar tentang KONSEP DIRI, MEMBANGUN EGO, Menegakkan HAK-HAK INDIVIDUALITAS, BERANI TAMPIL BEDA dan sebagainya.

Makanya, pada USIA DINI bahkan bermainpun masih bersifat “PARALEL PLAY” : BERMAIN SAMA-SAMA, bukan bermain bersama. Mereka baru mengenal PLAY, bukan game. Itu karena para anak masih berkembang keyakinan Onomatopeia : Alam semesta berputar mengelilingi diriku. Dalam teori perkembangan moral, ini adalah usia pre-moral (Piaget, Kohlberg)

Barulah pada usia 7 tahun (mulai jenjang SD) anak belajar melakukan SOSIALISASI. Di usia ini diperkenalkan Konsep KESAMAAN, KEBERSAMAAN dan KERJASAMA. Anak pada usia ini diharapkan mulai memandang ke luar dirinya, bukan lagi ke dalam. Maka, pada usia ini mulai ditegakkan ATURAN dan DISIPLIN SOSIAL. Anakpun telah mengenal GAME dengan segala RULE of the GAME-nya

Mempercepat sosialisasi terhadap anak usia dini akan memberikan sejumlah dampak negatif : LEMAHNYA EGO, TAK MENGENAL DIRI, KURANG MANDIRI, TAK BERANI TAMPIL BEDA, KURANG MENGENAL HAK-HAK INDIVIDUAL, Mudah Terbawa ARUS LINGKUNGAN, Kurang Memiliki KEUNIKAN dan sebagainya. Biasanya, gejala ini mulai tampak saat anak memasuki usia remaja (pra-aqil).

Apakah siswa di Sekolahalam dapat melanjutkan ke sekolah lain ke jenjang yang lebih tinggi?

Siswa Sekolah Alam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi hingga perguruan tinggi, jika hanya bermodal sandal gunung.

Siswa Sekolahalam yang memiliki NISN (Nomor Induk Siswa Nasional) dapat melanjutkan ke sekolah manapun, diterima di perguruan tinggi di manca negara, bahkan tanpa ijazah SMA. Contohnya banyak sekali. Mereka belajar hingga ke manca negara dan berkiprah dalam skala global.

Bagaimana dengan biaya pendidikan di Sekolahalam?

Biaya sekolah yang disediakan negara terbatas. Tidak ada Pendidikan yang Gratis. Anggaran Pendidikan Putra Putri AyahBunda adalah Cerminan Besar Kecilnya Kasih Sayang pada mereka dan keyakinan akan Ke-Maha-Kuasa-an Allah.

Di Sekolahalam, ada kegiatan Market Day, Sale Day, Bazar, atau apapun namanya. Inti kegiatan ini adalah mengasah kemandirian dengan belajar mendapatkan uang secara halal melalui kegiatan berniaga. Anak-anak banyak yang bersemangat mengikuti kegiatan ini sejak usia 7 tahun di jenjang Sekolah Dasar.

Untuk urusan berniaga ini, anak-anak terbukti terlatih untuk disiplin dan teliti saat berurusan dengan uang dan barang niaganya.

Bertahun-tahun mereka berlatih “mendapatkan uang dengan cara halal”. Bahkan, dengan kegiatan-kegiatan seperti itu, mereka dapat berkali-kali “mendapatkan uang dengan cara halal” sebagai bentuk apresiasi atas karya dan kreativitas mereka. Sebagian uang dapat dinikmati, sebagian lagi dapat disimpan dalam tabungannya di bank, sebagian yang lain dapat dikumpulkan untuk membantu sesama warga yang sedang kurang beruntung.

Dalam level belajar selanjutnya, di jenjang Sekolah Menengah, mereka dapat melakukannya secara lebih terstruktur. Mereka terlebih dahulu merancang produknya, memaparkan rencananya, membuat contoh produknya, memproduksinya dalam jumlah tertentu, menentukan metode dan lokasi berniaga, mengajukan permohonan izin kepada pengelola lokasi jika diperlukan, menjalankan kegiatan berniaga, serta mengevaluasi kegiatan berniaganya.

Bahkan, mereka dapat melanjutkan ke tahap inisiasi untuk mengembangkan platform berniaga berbasis teknologi informasi, yang kini menjadi tren sesuai perkembangan zaman.

Pertanyaannya, mengapa anak-anak tak boleh belajar mencari nafkah?

Mungkin banyak yang beralasan :

“Agar anak-anak kita cukup waktu untuk belajar dan bersekolah !!!”

Pertanyaan selanjutnya : Apakah berlatih mencari nafkah bukan merupakan bagian dari pembelajaran? Bukankah dengan berlatih mencari nafkah sejak kecil, anak-anak akan belajar tentang kehidupan, perjuangan, entrepreneurship, menghargai jerih payah dan sebagainya?

Memang banyak masyarakat yang tak paham bahwa berlatih mencari nafkah adalah cara paling efektif untuk membangun generasi yang aqil – dewasa mental. Dengan mencari nafkah, anak terlatih untuk membangun mentalitas yang tangguh. Mereka belajar untuk mempengaruhi orang lain, bukan memaksakan kehendak. Seorang anak yang sadar bahwa mencari nafkah bukanlah hal yang mudah, akan bersyukur terhadap uang yang diberikan orangtuanya.

Dengan Kurikulum Bisnis yang diterapkan sejak jenjang SD, terbukti siswa Sekolahalam terbangun kemandiriannya melalui kegiatan berniaga. Untuk kegiatan Student Scout di Sekolahalam, terbuka bagi siswa untuk memberikan kontribusi biaya dari hasil berniaga sejak jenjang SD, dengan porsi yang makin besar di jenjang Sekolah Menengah. Biaya Ekspedisi ke Taman Nasional yang mencapai Rp 5 juta dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan dana tambahan dengan manajemen gotong royong dalam berniaga selama jangka waktu tertentu.

Indonesia hari ini adalah negara karyawan karena perolehan pajak penghasilan lebih ditopang oleh pajak karyawan-pekerja ketimbang pajak para pemilik perusahaan dan manajer perusahaan. Ini merupakan keanehan yang tidak baik (outliers). Profil pajak negara-negara menengah dan negara maju menunjukkan bahwa komposisi pajak terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi termasuk pemilik perusahaan dan manajer perusahaan disusul pajak perusahaan (pajak badan), dan selanjutnya pajak pembelian barang (PPn).

Bagaimana dengan anggapan bahwa siswa Sekolahalam itu liar dan kotor?

Perguruan Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara itu dicap sebagai Sekolah Liar oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Artinya, siswa Perguruan Taman Siswa juga dianggap Siswa Liar. Lalu apa bedanya Bapak Ibu dengan Pemerintah Kolonial jika menganggap siswa Sekolahalam sebagai Siswa Liar? Mereka terdaftar dengan NISN dan tercatat di Badan Pusat Statistik diantara lebih dari 45,2 juta siswa di Indonesia dari jenjang SD, SMP, SMA/SMK.

The promise is the school will set them free. The reality is the school prepares them for nothing but being in poverty. Where does the laughter go?

Katanya sekolah akan membebaskan mereka dari keterbelakangan. Tetapi sekolah telah mengubah anak-anak merdeka yang bahagia hidupnya menjadi masyarakat yang tergerus dalam kemiskinan.

Pendidikan yang dibutuhkan bangsa ini adalah pendidikan untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan yang selaras dengan kehidupan dan keadaban, serta agar tetap dapat menjalankan peran kontributif bagi semesta. Sekolah yang hanya menjejalkan pengetahuan yang tak relevan dengan kehidupan dan keadaban tentu saja hanya akan menjadi racun bagi kelangsungan peradaban yang selaras dan lestari bersama alam.

Pahlawan itu Manusia yang Berani Ambil Resiko. Salah satu Resiko siswa di Sekolahalam adalah bajunya kotor. Artinya, mereka memupuk semangat seperti Pahlawan. Apakah AyahBunda tak bahagia jika putra putrinya bermental Pahlawan, yang semangatnya diperingati setiap 10 November, bahkan di banyak peristiwa heroik lainnya?

(Wicak Amadeo)

.

Leave a comment