Wicak Amadeo
Ki Hajar adalah wujud keterbukaan pada perubahan
Ki Hadjar Dewantara mengubah namanya sebagai wujud manisfestasi perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Nama Hadjar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Para pamong hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa.
Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, Pamong atau Sang Hadjar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Latar Belakang
Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang terbuai dengan teknologi yang canggih. Karena sempitnya pemahaman arti perkembangan Teknologi dan Informasi, orang cenderung melupakan aspek-aspek lain dalam kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang berhasil dibuatnya, dan lain-lain.
Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi bebas menumbuh-kembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya.
Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya).
Dalam pendidikan perlu ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hadjar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”
Perkembangan Peradaban Teknologi dan Informasi pada Era Digital 3.0
Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek sosialitas dirinya.
Menurut Ketua Kelompok Keahlian Teknologi Informasi ITB Dr. Armein Z.R. Langi, Model Edukasi di mana guru menjadi sumber ilmu dan murid menjadi penerima ilmu disebut Edukasi 1.0 sedangkan Model Edukasi dimana guru dan murid bermitra belajar disebut Edukasi 2.0. Sementara pada versi Edukasi 3.0, murid secara kolektif menjadi sumber ilmu bagi individu, di mana guru menjadi fasilitator dan narasumber pendukung proses belajar, yaitu pendidikan yang memberi kesempatan belajar menjadi milik mereka yang memiliki selera yang tinggi akan pengetahuan serta kapasitas “metabolisme pengetahuan yang tinggi pula.
Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuh-kembangkan pada diri peserta didik.
Kekeliruan menafsirkan konsepsi Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang “metode Among” dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani) sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri tentang rekonstruksi pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan di Tamansiswa
Menurut Ki Hadjar Dewantara, mendidik adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), meningkatkan manusia ke taraf insani. Meski ia membedakan “Pengajaran” dan “Pendidikan”, keduanya harus saling bersinergi. Pengajaran memerdekakan manusia dari aspek lahiriah : kemiskinan dan kebodohan, sedangkan pendidikan memerdekakan manusia dari aspek batiniah : otonomi berpikir, mengangkat martabat dan mentalitas demokratik.
Dalam Mendidik, Metode yang digunakan oleh Tamansiswa adalah sistem among, yaitu pendidikan yang berdasarkan asih, asah dan asuh, pada teknik pengajaran meliputi “kepala, hati dan tangan” (educate the head, the heart, and the hand).
Pada masa lalu, kemampuan manusia dalam mengolah cipta, rasa, karsa kekuatan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan telah menghasilkan peradaban menakjubkan, melahirkan peradaban besar di masa lalu. Itulah sebabnya, orang-orang tua dahulu sering mengatakan bahwa apabila kita bisa menyelaraskan 3 komponen kata di atas, maka kita akan bisa merasakan nikmatnya kehidupan (kemakmuran dan kebahagiaan).
Sistem Among
Ki Hadjar Dewantara menggambarkan dalam sebuah sistem pendidikan (Among Systems) yang terdiri dari “Cipta (the Head) atau Pola Pikir – Rasa (the Heart) atau Pola Emosi – Karsa (the hand) atau Pola Sikap.” Tiga komponen kata tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan (tritunggal atau tridaya), yang mendasari kekuasaan yang tertinggi.
Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa Kemampuan/kompetensi Lulusan suatu jenjang pendidikan mencakup 3 (tiga) ranah, yaitu :
1. Kemampuan Berpikir,
2. Ketrampilan Melakukan Pekerjaan,
3. Prilaku.
Setiap peserta didik memiliki potensi pada ketiga ranah tersebut, namun tingkatnya satu sama lain berbeda. Ini menunjukkan keadilan Tuhan YME, setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat. Untuk itu, para Pendidik/Pamong Pengajar dalam menilai siswa, wajib memperhatikan ketiga faktor tersebut sebagai acuan/indikator penilaian.
Kemampuan Berpikir merupakan ranah Kognitif, meliputi kemampuan menghafal, memahami, menerapkan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.
Kemampuan psikomotorik yaitu ketrampilan yang berkaitan dengan gerak, menggunakan otot seperti lari, melompat, menari, melukis, berbicara, membongkar, dan memasang peralatan, dan sebagainya.
Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri.
Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan pembelajaran di sekolah.
Implementasi Sistem Among Dalam menjawab Peradaban
Menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia melalui olah-cipta (kognitif), olah-rasa (afektif) dan olah-karsa (konatif). Lalu dimanakah ranah psikomotorik-nya (olah-karya) untuk melengkapi Taksonomi Bloom (1956) sebagai arus utama yang melandasi penyelenggaraan pendidikan? Dalam tiga ranah itu terkandung totalitas potensi subyek didik yang perlu dikembangkan secara terintegrasi, bukan parsial (tritunggal atau tridaya).
Dengan mencermati kembali metode among, yang secara teknik pengajaran meliputi “kepala, hati dan tangan”, maka konsep Ki Hadjar Dewantara tersebut sesungguhnya secara implisit telah terkandung aspek psikomotorik, menyangkut ketrampilan fisik dalam mengerjakan sesuatu. Dalam Ajaran Ki Hadjar Dewantara hal ini disebut dengan Pendidikan berdasarkan kodrat Alam, dimana pendidikan berdasarkan ‘kodrat Sang Anak’ melalui ketiga indikatornya “Cipta (the Head) atau Pola Pikir –Rasa (the Heart) atau Pola Emosi – Karsa (the hand) atau Pola Sikap,” atau menempelkan anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan sepenuh-penuhnya untuk berkembang.
Pembelajaran pada Anak Digital 3.0 adalah pencerdasan mesin pengetahuan secara ‘kodrat’ dan ‘simultan’ yaitu manusia yang terdiri sebagai makhluk Karbon dan Silikon (Cipta- Rasa dan Karsa). Ada pembagian tugas antara manusia makhluk Karbon dan Silikon. Apa yang secara efektif disimpan Silikon seperti website, internet tidak perlu disimpan oleh Karbon. Teknologi digital elektromagnetika membuat koneksi antara pikiran seseorang dengan pikiran orang lain menjadi lebih lancar. Mesin Silikon membangun organisme Silikon besar (cloud computing), individu Karbon saat ini bisa membangun organisme yang besar yang disebut knowledge society. “Masyarakat terdidiklah yang menyelenggarakan Edukasi versi 3.0 sebagai pihak yang paling berkepentingan dengan pembangunan organisme bernama knowledge society,” (Pakar Pendidikan TIK, Dr. Armein Z.R. Langi)
Referensi :
http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/…/hukum-keterta…
http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/…/menggagas-ren…
http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/…/pemikiran-ki-…
http://pendidikan-tepat-guna.blogspot.co.id/
http://www.pikiran-rakyat.com/…/pendidikan-abad-21-dibangun…