Harry Santosa
July 7, 2018
Seorang pemudi usia 15 tahun, sebut saja namanya Putri, tidak mau balik ke pondok pesantren aliyahnya setelah masa libur ini, alasannya ia tak bisa mengembangkan dirinya di pondok tersebut. Seperti umumnya pondok pesantren modern, kurikulum utamanya adalah akademis umum dan akademis agama plus kurikulum pesantren, juga ekskul berupa kegiatan organisatoris.
Putri merasa banyak bakatnya yang tak berkembang dan tak sesuai. Kepada orangtuanya ia memberi contoh seorang temannya yang fokus mengembangkan bakat hafizh nya tanpa harus ke pondok atau sekolah, sekarang sudah punya peran dan manfaat dengan hafizhnya itu, diundang kemana mana untuk mengajar. Walau dalam hal ini Putri sekedar memberi contoh, karena memang punya bakat berbeda dengan temannya.
Awalnya orangtuanya menduga Putri membanding bandingkan dirinya dan ingin menjadi seperti temannya, ternyata tidak. Putri nampak cukup bijak dan paham betul kalau ia tak sedang berobsesi meniru temannya, ia hanya memberi contoh.
Kedua orangtuanya sebenarnya punya mindset bahwa anak memang harus berkembang sesuai bakatnya, mereka tak ragu dengan itu. Namun justru yang mereka ragu dengan anaknya. Kedua orangtuanya galau dan risau, mereka khawatir bahwa Putri hanya melarikan diri dari masalah atau beban di pondok lalu cari cari alasan dan obsesi ingin menjadi seperti orang lain.
Bagaimana tidak, pemudinya ini kalau pulang dari pondok, selama liburan maunya main dengan teman temannya seharian, berpindah setiap hari dari teman yang satu ke teman yang lain. Secara karakter, ibunya melihat anaknya ini tipikal ingin enak dan gampangnya saja, tak mau menempuh proses.
Anaknya ini, Putri, kalau sudah mau dan sepanjang itu hal yang disukai maka akan dikerjakan sampai tuntas, tetapi kalau bukan sesuatu yang ia mau maka ia malas melakukannya. Ini bikin galau menurut orangtuanya, mereka menduga Putri tak suka pada proses yang tak menyenangkan, selalu mencari jalan mudah. Saya hibur mereka dengan mengatakan bahwa itu ciri khas GenZ, mereka hidup dalam dunia serba mudah, tetapi percayalah bahwa GenZ itu pejuang hebat untuk hal yang memang menjadi minatnya.
Kegalauan orangtuanya bertambah, karena sejak dikirim ke pondok, kedekatan dengan ibunya berkurang, tidak ada rasa kangen pada ibunya kalau pulang dan….. sibuk pegang hape dan memuaskan waktunya bertemu teman teman.
So, kalau tidak mau balik ke pondok, terus dengan karakter begitu, mau ngapain? “Bunda setuju kamu tidak balik ke pondok untuk mengembangkan bakatmu, tapi selama ini kamu tidak menunjukkan kinerja dan attitude yang baik”
Putri tidak terima. Ia bilang, “selama ini saya begitu karena saya tidak tahu sebenarnya bakat saya apa. Bunda mengizinkan saya tidak balik ke pondok, tetapi saya tidak dibantu untuk harus bagaimana. Bunda setuju tapi sinis, tidak percayaan, tidak mendukung dstnya”
___________
Sampai disini, silahkan menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi, lalu apa yang harus dilakukan? Memberi kepercayaan sang pemudi dan membiarkannya tidak kembali ke pondok untuk mengembangkan bakatnya padahal belum jelas juga bakatnya atau mengharuskannya kembali ke pondok dan mensyaratkan dulu untuk menunjukkan kinerja dan attitude nya baru memberinya kepercayaan.
Berikut langkah langkah yang saya lakukan sebelum mengambil keputusan Putri kembali ke Pondok atau Berhenti dan Fokus di Bakat
1. Mengkonfirmasi Mindset Orangtua dan Anak
Selama sesi diskusi, pertama saya mencoba menggali mindset orangtua tentang bakat anak dan masa depan, ternyata mereka memang orangtua yang berfikiran maju, meyakini bahwa anak harus tumbuh sesuai fitrahnya atau dalam hal ini bakatnya.
Hanya saja kendala terbesar mereka justru di tataran prakteknya. Mereka tak tahu bagaimana memetakan dan menggali potensi fitrah atau bakat anaknya. Yang mereka tahu adalah bakat sebagai keterampilan atau skill yang disukai seperti main piano, fotografi dll.
Saya katakan kepada mereka bahwa bakat itu diawali dengan mengenal sifat unik dan fisik unik, baru kemudian berlanjut kepada mengenali aktifitas produktif yang menyenangkan dan keren (enjoy, easy, excellent, earn) baginya tetapi tidak selalu dalam bentuk skill, misalnya suka berkumpul bersama teman, suka berkomunikasi, suka memotivasi, dstnya.
Jadi saya melihat kegalauan orangtua sesungguhnya muncul dari ketidak percayaan diri mereka untuk mengizinkan anaknya tak bersekolah atau tak kembali ke pondok. Pertanyaan yang membuat mimpi buruk mereka adalah “Kalau tak sekolah mau ngapain”. Ujung ujungnya anaknyalah yang dikejar kejar atau dicari cari kelemahannya. Saya sarankan daripada sibuk mencari kelemahan anak, mari kita sibuk mencari kekuatannya. Fokus pada cahaya, bukan kegelapan.
Kemudian setelah mengkonfirmasi mindset Orangtua dan mindset Putri, langkah berikutnya saya coba menggali bakat Putri. Ia saya minta mengisi questioner di http://www.temubakat.com. Setelah selesai, saya mengajak bersama sama untuk melihat hasilnya sambil mengkonfirmasi kebenarannya.
2. Melakukan Pemetaan Bakat
Ternyata Putri punya potensi dominan sebagai motivator, communicator, interpreter, caretaker, server, visionary. Ini jelas lebih banyak otak kanan dan interpersonal sejajar. Sepintas melihat hasilnya pemetaan bakat, strength cluster Putri memang tidak menunjukkan Putri berbakat di akademis dan juga di enjineering, walaupun memang diakui cerdas. Jadi hebat di akademis belum tentu bakat.
Dalam diskusi Putri memang setuju kalau ia suka berimajinasi alias mengkhayal. Kekuatannya memang visionary, bagian dari kelompok orang yang suka aktifitas melahirkan idea. Ketika saya tanya, “Putri suka film horor ya?” , Ia konfirm. Umumnya anak yang punya idea banyak apalagi imajinawinya lewat visual, apabila tak dituangkan menjadi karya baik tulisan, movie, game dll cenderung suka film horor.
Putri juga suka bersosial, walau menurut orangtuanya di rumah nampak individual dan kasar sama adiknya. Saya katakan bedakan antara potensi bakat dan jeritan hati. Putri memang nampak jenuh pada rutinitas, hal yang wajar terjadi pada anak yang dominan pada imajinasi atau banyak idea.
Mengejutkan juga bahwa ternyata Putri suka menasehati teman, suka membantu, suka menyajikan hal hal sulit menjadi mudah, dstnya. Saya katakan kepada orangtuanya bahwa ini baru potensi belum jadi peran atau profesi, jadi harus dicoba coba profesi yang relevan dengan potensinya itu.
Saya sarankan untuk mencoba mendalami profesi kepenulisan atau movie maker, profesi sukarelawan, profesi motivator, profesi public speaker atau presenter dsbnya dalam beberapa bulan ke depan.
3. Memberi Kepercayaan
Langkah berikutnya saya meminta Orangtua untuk memberi kepercayaan dan fokus ke masa depan Putri. Selama ini Putri belum dibantu digali bakatmya dan diprogram untuk melakukan “Tour de Talents” untuk memastikan aktifitas atau profesi yang relevan dengan bakatnya.
Saya ingatkan bahwa ini memerlukan waktu beberapa bulan untuk mengekplorasi profesi apa yang sesuai dengan potensinya. Jadi saya meminta mereka untuk bersama sama merancang kegiatan untuk Putri selama enam bulan atau setahun ke depan.
Karena sang Bunda masih nampak belum percaya penuh, saya meminta Ibunya Putri untuk melist semua kerisauanmya dan mencari jalan keluarnya untuk membuatnya tenang dan mau mendukung. Misalnya jika risaunya karena khawatir Putri jika tidak sekolah akan banyak main, maka buatlah program atau proyek atau kegiatan produktif yang disukai Putri dan menyibukkan Putri. Jika risaunya karena khawatir Putri tidak bertambah hafalannya, ikutkan saja program tahfizh non reguler tanpa harus mondok. Jika risaunya karena khawatir ijasah, ikutkan saja paket kesetaraan, dsbnya.
Seperti biasa, saya menasehati dengan prinsip prinsip pendidikan berbasis fitrah
“Fokuslah pada cahaya ananda, kelak cahayanya akan bersinar indah menerangi semesta. Jangan sibuk dengan kegelapan, karena kegelapan hanya ada ketika tiada cahaya. Semua kebaikan akan mengalir jika sibuk dengan kebaikan”
“Yakinlah bahwa mustahil Allah ciptakan anak kita tanpa peran istimewa di masa depan yang ditunggu tunggu dunia”
4. Membuat Draft Program
Di akhir sesi diskusi, saya menyarankan untuk membuat draft aktifitas secara umum untuk semua kelompok fitrah. Bakat hanya satu aspek saja, ada aspek lain yang perlu direncanakan untuk dikembangkan, meliputi fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah seksualitas, fitrah individualitas dan sosialitas, fitrah estetika dan bahasa, fitrah jasmani, dan fitrah perkembangan.
Saya menyarankan, apapun keputusannya, baik bersekolah atau tidak, program pengembangan personal atau personalized curriculum untuk tiap anak wajib dibantu pembuatannya oleh orangtua dan dikawal pelaksanaannya. Awali dengan pemetaan semua aspek fitrah bukan hanya bakat.
5. Merencanakan Sesi Berikutnya untuk Workshop Merancang Personalized Curriculum atau Program Personal Pengembangan fitrah
Semoga bermanfaat
Salam Pendidikan Masa Depan
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah