Smart People for Smart Nation

edisi Hari Merdeka Nusa dan Bangsa
Dr. Tauhid

“Science and Technology revolutionize our lives, but memory, tradition, and myth frame our response.” (Arthur Schlesinger ~ historian)

Berkah silaturahim, sepulang dari Pontianak dikirimi file word hasil riset BI perwakilan Kalbar soal penilaian terhadap Pontianak sebagai “Smart City”. Dalam resume termaktub 6 dimensi dan 15 aspek mulai dari Smart People dengan aspek antara lain akses terhadap pendidikan dasar, sampai ke dimensi Smart mobility dengan aspek antara lain ketersediaan jalur bersepeda. Untuk aspek yang terakhir itu kebetulan saya malah sudah mengujinya sendiri dan memperoleh pengalaman yg menyenangkan, terbukti antara lain dengan banyaknya foto2 aktivitas gowes di Pontianak saya posting di Instagram 😊. Sedangkan pada kuadran “importance” vs “performance” didapatkan data objektif berdasar persepsi warga bahwa akses terhadap pendidikan dasar, layanan kesehatan,respon terhadap asupan publik,dan layanan publik berbasis daring, serta transparansi tata kelola anggaran (APBD) dianggap penting dan ternyata berkinerja baik.

Terbang ke daerah lain yang dipisahkan laut Jawa,tepatnya di daerah yg dikenal sebagai tempat terbitnya matahari di Jawa dan memiliki api biru di salah satu gunungnya (Ijen), Banyuwangi, terdapat riset yang nyaris serupa tapi lebih berfokus pada subjek pariwisata. Berdasar indeks persepsi pada 250 responden yg turut dalam penelitian didapatkan bahwa skor tertinggi terkait dengan keberhasilan sektor pariwisata justru dinisbatkan pada aspek kepemimpinan daerah (Leadership). Sedangkan pada indeks daya saing pariwisata di tingkat Kabupaten dengan mengolah data statistik sekunder dari 505 kabupaten/kota berdasar 4 dimensi,14 pilar,dan 84 indikator diketahui bahwa justru bukan potensi natura wisata alam yg memiliki skor tertinggi, melainkan tata kelola pariwisata.

Kedua fenomena dari dua wilayah administratif yang terpisah rentang geografis dan berbeda pula subjek penelitiannya, menghantarkan kita pada satu titik temu,bahwa secara objektif dan subjektif tetaplah faktor manusia yg dianggap menjadi penentu dalam setiap proses cerdas. (2 b continued)

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa manusia itu entitas biologis yg sangat unik. Hasil riset terkini menunjukkan bahwa perjalanan evolutif telah membuktikan bahwa manusia dibanding spesies dengan kapasitas kognitif terdekat, bangsa primata, memiliki kelebihan yang maujud pada berkembangnya area korteks prefrontalis.

Salah satu kemampuan manusia yg menjadi konsekuensi dan anugerah prefrontalis adalah kemampuannya berencana yang berangkat dari ketrampilan untuk memetakan kebutuhan di masa depan yg termaktub di dalam visi dan misi sebagai perwujudan pengetahuan yg akan ditindaklanjuti sebagai bagian dari aksi yang akan dilakukan.

Jantsch (1972) mendeskripsikan kemampuan berencana manusia itu dalam satu frasa “human creative action.” Di mana sekurangnya ada 4 tahapan yang terlibat di dalamnya, forecasting, perancangan, pengambilan keputusan,dan aktualisasi. Keempat tahapan itu terelaborasi dalam lapis “legit” aksi,yaitu: lapis kebijakan, strategi, dan operasi (Yuliar S,2009).

Maka untuk mewujudkan cita2 mencerdaskan bangsa (Smart nation) teknologi seperti apa yang perlu kita kembangkan dan jadikan pengungkit ? Dalam ranah fungsional teknologi akan terdiversifikasi menjadi kelompok bricolage atau engineering. Bricoleur atau insinyur ? Pengintensifikator atau inventor ekstensifikator ? Prosesnya nanti akan mengerucut pada pola kultivasi (agrobisnis, perikanan, kehutanan, dll) dan konstruksi (menemukan, mengembangkan, dan memanfaatkan). Tentu perlu keselarasan yg terukur di antara keduanya. Adakah Grand design kita untuk menyelaraskan kultivasi dan konstruksi dalam ranah kebijakan teknologi nasional ? Mungkin sudah waktunya berpikir terintegrasi, holistik, dan mengedepankan kepentingan bangsa di masa kini dan masa depan.

Tak dapat dipungkiri ICT adalah sub sektor teknologi yang dapat menjadi penggerak hampir semua sektor lainnya. Keberadaan teknologi ICT menghadirkan jaminan konektivitas,efisiensi,dan juga transparansi (objektivitas). Bahkan perlahan tapi pasti telah terjadi pergeseran peradaban dengan hadirnya techno life world of the screen. Habitat digital telah menjadi ruang pikiran yang mengakomodasi hampir semua kebutuhan yang kita perlukan.

Internet of Things/IoT telah mengubah pola interaksi, komunikasi, bahkan transaksi kita. M2M communication akan lebih mendominasi pola komunikasi, dan dunia layar akan segera menjadi dunia kita. Evolving system dan self learning machine juga akan hadirkan kecerdasan baru berupa self reliant tools dengan konsep sibernetika yang melekat di dalamnya.

Kita akan memasuki abad dimana mesin akan berpikir untuk kita dan seolah juga dapat “mewakili” perasaan dan kebutuhan kita. Maka entitas biologis cerdas yang bernama manusia ini harus beranjak lebih cerdas dan membangun tata kelola yang akan menempatkan semua variabel dan aspek dalam lapis kecerdasan ini sesuai dengan fungsi yang proporsional.

Tata kelola ini pula lah yang harus maujud dalam bentuk kebijakan yang mampu mengakomodir perkembangan teknologi sebagai enabler yg konstruktif sekaligus kultivatif dan semata bertujuan untuk menyejahterakan jiwa raga manusia.

Maka ada baiknya kita renungkan kembali definisi tata kelola teknologi (technology governance) yang disitir Prof Bambang Bintoro sebagai berikut: “Technology governance is an approach and a set of policies undertaken by the public and private sector and society actors in a given space in time to develop a knowledge base, social cohesion, and competitiveness at the same time.” Maka tugas kita yang tersulit sesungguhnya menemukan teknologi yang tepat untuk “mengungkit” potensi dasar kemanusiaan agar mau dan mampu bergerak untuk mengonstruksi kesejahteraan dan kebahagiannya sendiri. Barangkali inilah definisi dari arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Setiap orang merdeka berhak untuk sejahtera dan bahagia. MERDEKA 💪🏿