Profesor Finlandia: Perhatikan Kualitas Pengajaran, Bukan Lamanya Belajar

Nograhany Widhi Koesmawardhani
DetikNews, 18 Okt 2016

Jakarta – Sistem pendidikan di Finlandia: sedikit pekerjaan rumah, sedikit waktu di dalam kelas, lebih banyak bermain, tak ada ujian nasional (UN) dan sebagainya. Namun, menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Bagaimana bisa?

Pada akhir pekan lalu, detikcom berkesempatan melakukan wawancara dengan Profesor Erno August Lehtinen, guru besar pendidikan dari Universitas Turku, Finlandia. Dia pun memaparkan jatuh bangun Finlandia membangun sistem pendidikan yang terkesan paradoks dengan sistem pendidikan di kebanyakan negara Asia.

“Ya, pendidikan dasar di Finlandia berbeda dengan negara lain. Kami sangat menghargai anak-anak bermain bebas dan melakukan hal-hal lain dari pada hanya duduk di kelas. Ini pada awal-awal tingkat sekolah,” kata Profesor Erno Lehtinen, guru besar pendidikan dari Universitas Turku Finlandia.

Pria yang sudah malang melintang di dunia pendidikan Finlandia dan dunia ini menjelaskan mengapa anak-anak usia sekolah dasar mesti lebih banyak bermain ketimbang belajar di kelas dan menggarap pekerjaan rumah (PR).

“Secara umum kalau sudah sekolah, waktunya tak terlalu lama. Kami harus memperhatikan kualitas pengajaran, bukan panjangnya jam belajar. Ada keseimbangan yang bagus adanya PR dan kegiatan anak muda dan pendidikan menengah atas, untuk menghasilkan tekanan dan stres yang lebih sedikit dan lebih kuat motivasi dan pengembangan belajarnya,” imbuhnya.

Berikut wawancara lengkap detikcom dengan Prof Erno August Lehtinen di Hotel Sahid Jaya, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan yang ditulis, Selasa (18/10/2016):

Bisa diceritakan garis besar sistem pendidikan di Finlandia, sehingga menjadi salah satu yang terbaik di dunia?

Pada awal abad setelah Perang Dunia II, Finlandia masih negara miskin. Tahun 1980 capaiannya masih di bawah rata-rata negara OECD (Organisation for Economic Co‑operation and Development-red), kami lantas membuat sekolah dasar komprehensif 9 tahun dengan penekanan yang kuat untuk kesempatan yang sama dalam pendidikan.

Kami juga meluncurkan model pendidikan guru yang baru, satu yang kami kenalkan, berbicara tentang reformasi pembangunan berkelanjutan, kemudian diikuti pembentukan kembali fungsi sistem pendidikan. Hasil saintifik yang kami dapat dari studi ini, memang ada ketegangan kecil dalam meningkatkan sistem pendidikan ini lebih tinggi.

Mengapa anak-anak di Finlandia, tak diizinkan sekolah sebelum berusia 7 tahun, jam pelajaran SD hanya 3-4 jam sehari, waktu istirahat mencapai 75 menit, jarang ada PR, tidak ada PR hingga tak ada UN sama sekali untuk 9 tahun pertama sekolah?

Ya, pendidikan dasar di Finlandia berbeda dengan negara lain. Kami sangat menghargai anak-anak bermain bebas dan melakukan hal-hal lain dari pada hanya duduk di kelas. Ini pada awal-awal tingkat sekolah.

Secara umum kalau sudah sekolah, waktunya tak terlalu lama. Kami harus memperhatikan kualitas pengajaran, bukan panjangnya jam belajar. Ada keseimbangan yang bagus adanya PR dan kegiatan anak muda dan pendidikan menengah atas, untuk menghasilkan tekanan dan stres yang lebih sedikit dan lebih kuat motivasi dan pengembangan belajarnya.

Jadi untuk anak usia dini atau pendidikan dasar, pembentukan karakter lebih penting ya?

Iya, kami mencoba pengembangan kepribadian siswa, bukan skill, bukan belajar konten kurikulum yang spesifik. Kami kembangkan kepribadian sepenuhnya, belajar mengetahui dunia, belajar mengenal perbedaan mata pelajaran, juga kehidupan sosial, kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, itu sangat penting untuk anak-anak muda.

Jadi pelajaran matematika, fisika, kimia ini tak diperkenalkan pada pendidikan dasar namun pendidikan lebih tinggi?

Matematika adalah subyek penting untuk tingkat pendidikan dini, kemudian, pelajaran sains untuk yang pertama sekali adalah lebih banyak praktik, kemudian kami mengkombinasikannya dengan suasana ilmiah. Di primary level (pendidikan dasar) ada pelajaran sains yang umum, dan pada lower secondary level (pendidikan menengah) menjurus ke spesifik kimia dan biologi.

Di Finlandia sistem kelasnya kelas inklusif, di mana siswa yang pintar dan kurang pintar dijadikan satu. Di negara lain, justru ada kelas akselerasi, mengumpulkan siswa yang pintar-pintar. Mengapa Finlandia menerapkan sistem kelas inklusif ini?

Salah satu yang penting di pendidikan 9 tahun, nilai utamanya adalah kesetaraan dan membawa semua siswa ke dalam level yang sama. Tentu ada beberapa siswa pintar yang bisa melangkah lebih jauh, tapi kami mempertahankan kebijakan ini untuk menjamin, bahwa siswa dari semua latar belakang keluarga dan kesulitan belajar juga punya kesempatan yang sama untuk belajar.

Kami punya sistem yang melacak kemampuan anak-anak itu saat pendidikan dasar 9 tahun itu. Tentu, anak-anak berkebutuhan khusus butuh diperhatikan secara khusus, ini butuh upaya yang sangat besar dari segi pendidik atau guru, dan untuk itulah mengapa kami sangat mendorong upaya pendidikan untuk guru.

Ada dua kunci, skill dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk mendidik siswa berkebutuhan khusus dalam ruang kelas, ada pengaturan khusus. Kadang tidak hanya 1 orang guru dalam ruang kelas, tapi ada orang dewasa lain yang membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar itu.

Siswa berkebutuhan khusus itu kadang memerlukan waktu pengajaran yang lebih banyak, atau di sekolah luar biasa, bisa dalam kelompok kecil dan dukungan intensif.

Jadi kelas inklusif itu mencampurkan satu murid pintar dan yang tidak begitu pintar dalam satu kelas, apakah ada bullying karena adanya perbedaan itu? Bagaimana mencegah terjadinya bullying?

Bullying terjadi di mana saja, orang-orang bersama, anak-anak, orang muda, orang tua, terjadi di mana saja, sangat menyedihkan. Itu juga terjadi di dalam kelas sekolah-sekolah di Finlandia. Dan itu juga menjadi pertanyaan dan sangat menjadi perhatian kami.

Dan di universitas ini kami melakukan riset sekitar 20 tahun, dan hasilnya membuat program khusus yang disebut Kiva koulu, untuk menghindari bullying. Program yang berorientasi sistem. Ada banyak komponen yang membantu sekolah untuk memperlambat bullying, dan program ini sudah dilakukan di banyak negara-negara di dunia.

(Dalam situs UNESCO, program anti-bullying Kiva di Finlandia ini dikembangkan di Universitas Turku Finlandia dan didanai Kementerian Pendidikan Finlandia dan diaplikasikan sejak 2009. Kiva melibatkan orangtua, guru dan murid dan berhasil mengurangi bullying sekolah pada siswa tingkat 4-6-red)

Jadi berarti harus ada lebih dari satu guru dalam kelas?

Ini bukan berarti ada beberapa guru di kelas. Bila kelas itu ada kesulitan, kadang di ruang kelas ada seorang dewasa yang tidak mengajar, biasanya anak-anak SMA yang sudah lulus atau mahasiswa yang menjadi asisten guru untuk mengawasi anak-anak di sekolah itu. Dan ini sangat membantu bagi guru, ada orang dewasa lain di kelas itu. Orang dewasa yang tidak mengajar tapi bisa membantu.

Untuk situasi normal ada satu (orang). Dan sering sekali terjadi kelas itu membutuhkan bantuan orang dewasa lain. Dan di situasi yang berbeda dan sangat khusus, ada guru kelas dan guru untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus bekerja sama.

Biasanya satu kelas di Finlandia itu maksimal 20 orang untuk tingkat pendidikan dasar, dan 20-30 orang untuk pendidikan menengah.

Tentang sekolah kejuruan, Finlandia sangat mendukung sekolah kejuruan. Bahkan nyaris 50 persen siswa pendidikan dasar masuk ke sekolah kejuruan. Bagaimana peran penting sekolah kejuruan ini di Finlandia?

Tentu pendidikan kejuruan sangat penting, banyak negara memberi perhatian yang sedikit pada pendidikan kejuruan ini, dan di Finlandia mungkin sekolah umum lebih advance daripada sekolah kejuruan. Dan kami punya banyak masalah pada sekolah kejuruan sekarang ini dan lebih butuh dikembangkan.

Dan kami sangat mempelajari masalah ini dengan seksama dalam pelatihan kejuruan kami, ingin menemukan bentuk baru, bagaimana meningkatkan teknologi, bagaimana mengembangkan pendidikan kejuruan ini, butuh lebih baik daripada dunia kerja. Dan itu tantangan besar karena dunia kerja berubah sangat cepat.

Mudah saja kalau satu profesinya tetap ilmunya. Tapi kan pendidikan kejuruan berubah dengan konstan, dan ini tantangan untuk sekolah kejuruan. Fokus utama dalam sistem pendidikan Finlandia, tentu saja secara keseluruhan sistem, kami ingin sekolah kejuruan bisa dilakukan sejak dini.

Jadi masalah utama sekolah kejuruan di Finlandia itu apa?

Masalah utama adalah perubahan sangat cepat di dunia kerja, dan masalah lain adalah motivasi. Sangat sulit memotivasi anak-anak muda di beberapa wilayah berkaitan dengan dunia kerja, sekolah kejuruan tidak begitu menarik buat mereka.

Di satu wilayah sangat menarik, sangat bersaing untuk masuknya, dan di beberapa area sangat sulit menarik siswa karena tak begitu populer.

Bagaimana keterkaitan sekolah kejuruan dengan industri kerja?

Tujuan sekolah kejuruan, orang langsung bisa kerja di industri bagian dari ekonomi dan sekarang situasi ekonomi tidak begitu bagus, dunia mengalami krisis ekonomi, banyak pengangguran di antara anak muda. Namun kini berangsur pulih, banyak anak muda bisa mengejarnya.

Bicara tentang pendidikan, otomatis bicara tentang guru. Finlandia memperlakukan guru dengan sangat bagus, jam kerja pendek plus waktu pengembangan diri, gaji tinggi, syarat minimal lulusan master, dan sebagainya. Mengapa demikian?

Guru sangat bernilai dalam budaya dan masyarakat kami. Semua mengerti bahwa guru adalah profesi paling penting karena harus mendidik generasi muda, sangat penting di masyarakat, profesi yang sangat populer di kalangan anak muda.

Lebih banyak pelamar yang mendaftar dalam program ilmu keguruan dan pendidikan daripada yang diterima. Hanya 10-15 persen lamaran yang diterima, kualitas tesnya rata-rata pendidikan menengah. Tingkat kepopulerannya dan kesulitan tesnya sama dengan fakultas kedokteran. Itu menjelaskan betapa populernya jurusan keguruan dan profesi guru itu di antara para anak muda.

Ini tentu sangat bagus karena kami bisa mendapatkan guru-guru yang termotivasi. Dibandingkan rata-rata negara di dunia, jam mengajarnya memang lebih pendek. Tapi tidak benar juga. Waktu yang berkaitan dengan murid memang lebih pendek, tapi karena persyaratan menjadi guru itu sangat sulit, mereka harus menganalisa proses belajar yang dilakukan di kelas, jadi jatuhnya jam kerja mereka sangat panjang untuk proses pengajaran itu. Kontak dengan siswa memang pendek.

Jadi di sana guru dipandang sama bergengsinya seperti dokter dan pengacara?

Iya, sangat sama dengan dokter dan pengacara. Itu karena guru sangat bekerja keras mempersiapkan materi ajar untuk proses belajar mengajar yang mereka lakukan di kelas, dan berpikir sangat hati-hati bila ada murid yang membutuhkan intervensi dan motivasi belajar. Jadi profesi ini adalah profesi yang mengutamakan kepakaran.

Betulkah di sana tak ada merit pay (gaji sesuai prestasi) untuk guru?

Ya ada, tapi tidak merupakan bagian penting dalam sistem gaji guru kami. Ada negosiasi di tingkat sekolah antara kepala sekolah dan guru tentang pengembangan profesional, kadang mereka dapat tambahan gaji tergantung prestasinya. Tapi tidak dominan di sekolah.

Benarkah di Finlandia, tidak ada Ujian Nasional (UN) pada tingkat pendidikan dasar?

Di pendidikan dasar tidak ada, UN ada di sekolah menengah, akhir dari pendidikan secondary education (sekolah menengah), ujian matrikulasi.

Apa yang kami punya adalah sample base test examination, badan yang menggelar test ini harus mengatur, mereka menguji sampel, beberapa siswa. Tes ini berkaitan dengan aspek pengajaran, motivasi siswa, kondisi kelas dan sebagainya.

Tidak ada rangking, tak digunakan langsung untuk kegiatan administrasi, kami tak punya sistem itu. Informasi ini sangat penting untuk penembangan sistem pendidikan, hasilnya tugas guru untuk menjamin semua siswa belajar dengan pantas.

Jenis national sample base test ini untuk guru, bukan dalam rangka membandingkan siswa mereka, menggunakan informasi bukan administrasi, atau untuk melihat peringkat sekolah atau kelas tertentu, kami menghindari sistem itu. Dari pengalaman internasuional, UN itu punya banyak konsekuensi negatif.

Jadi bagaimana cara mengukur outputnya?

Ada tes kuantitatif yang digunakan guru, tapi mereka juga menyiapkan bersama, banyak konfirmatif tes, proses pembelajaran pada siswa, bagaimana mereka bisa mengubah pembelajaran. Yang sangat penting adalah evaluasi, guru punya tanggung jawab tinggi dalam proses belajar ini.

Pendidikan di Finlandia gratis, dari TK-Universitas, bagaimana bisa?

Di Finlandia pendidikan gratis dari dasar sampai doktoral, ini untuk warga negara Finlandia dan warga negara Uni Eropa. Ada aturan ini di Uni Eropa, juga gratis dari luar Uni Eropa. Tapi mulai musim gugur depan ini, akan ada biaya untuk mahasiswa internasional non Uni Eropa.

Jadi dari mana dana untuk pendidikan gratis itu? Apakah warga bayar pajak sangat tinggi?

Kami punya Sistem Kesejahteraan Skandinavia. Di Finlandia, tingkat pajak penghasilannya relatif tinggi, tapi kemudian, warga banyak dapat pelayanan mulai dari kesehatan, pemeliharaan kesehatan yang sangat murah, pendidikan gratis, dan banyak pelayanan lainnya dari pemerintah. Itu model negara-negara Skandinavia.

Berapa persen pajaknya dari penghasilan setahun?

Kami punya sistem progresif berbasis jumlah pendapatan. Jika dapat gaji rendah, pajaknya juga rendah, pendapatan menengah dan tinggi makin besar persentasenya. Nyaris mendekati 50 persen (dari penghasilan setahun), itu untuk yang gajinya tinggi.

Anggaran pendidikan dari APBN Finlandia mendapat berapa persen?

Lebih sedikit dari yang dimiliki Indonesia, kurang dari 20 persen APBN. Indonesia punya 20 persen, tapi kami kurang dari 20 persen.

Berapa lama Finlandia mengembangkan sistem pendidikan ini? Berapa lama sampai sistemnya sampai stabil seperti ini?

Model pendidikan yang sekarang kami kembangkan ini mulai diciptakan tahun 1970-an, pendidikan dasar 9 tahun. Tapi model pendidikan universitas pada dasarnya sudah ada di akhir abad ke-18, sangat berkembang sekarang. Sistem sekolah kejuruan dari awal abad 20, tapi banyak pengembangan kualitas di antara tahun 1980-90-an.

Sistem pendidikan universitas mengalami restrukturisasi akhir-akhir ini, awal 2010, semua universitas menjadi entitas independen daripada sebelumnya, karena sebelumnya menjadi bagian dari negara, sekarang nggak lagi, independen.

Sistem pendidikan di Finlandia ini sudah sempurna, masih akan dikembangkan atau masih ada tantangan yang dihadapi?

Tidak sempurna, tapi standarnya tinggi, lebih sulit untuk diraih. Ini tantangan besar, kami meningkatkan kualitas pengajaran. Tentu ada banyak ketegangan di masyarakat tentang tantangan-tantangan ini, tentang aktifnya teknologi mobile, orang-orang muda menghabiskan banyak waktu dengan gadget, dan mereka lebih sedikit membaca dibanding generasi sebelumnya.

Apakah sistem hebat di Finlandia bisa dicontoh di Indonesia? Apa memungkinkan ditiru di Indonesia, mengingat Indonesia kompleks dari segi geografis, budaya, jumlah penduduk yang 240 juta dibandingkan dengan 6 juta di Finlandia?

Mungkin saja bisa dikopi tapi tak pernah sukses. Banyak yang mendeskripsikan beberapa pengalaman kami, bukan berarti kami merekomendasikan Indonesia melakukan hal yang sama dengan kami.

Saya percaya pengalaman kami mengembangkan sistem pendidikan saat kondisi negara kami saat itu, seperti Indonesia saat ini. Negara kami saat itu juga masih berpendapatan rendah, tingkat pendidikan warga kami juga banyak yang tidak tinggi, kami tertinggal di belakang negara yang pencapaiannya maju, itu sekitar tahun 1970-80-an.

Tapi kami punya satu kasus di mana kami mungkin melakukan hal substansi di bidang sistem pendidikan, utamanya kulitas guru dan pembelajaran, proses ini sangat membantu untuk Indonesia. Tapi kami tak menyarankan mencontoh persis modelnya karena faktor-faktor perbedaan budaya, struktur masyarakat dan sebagainya.

Jadi apa yang bisa ditransfer pada Indonesia?

Tak ada yang kami bisa transfer, negara Anda harus mentransformasi sendiri.

Anda sudah melihat sekilas sistem pendidikan Indonesia dan apa hal fundamental yang mesti diubah?

Ini kedatangan saya pertama kali, banyak diskusi dengan kolega saya di sini, dengan guru, dengan Kemendikbud,

Saya membaca berhati-hati, membaca rekam jejak dunia dari OECD yang mendeskripsikan sistem pendidikan Indonesia di tahun 2013 . Permulaan yang sangat baik dengan sistem pendidikan.

Kesimpulan saya, Indonesia telah membuat perkembangan bernilai dengan sisetm pendidikan di negara ini, semua orang diusahakan punya akses ke pendidikan, telah menjamin sertifikasi guru, semua dokumen dan pakar pendidikan teman saya berdiskusi mendorong pada fokus kualitas pembelajaran, pengajaran, guru dan sistem. Sistemnya sudah ada dan sekarang upayanya mengembangkan kualitas.

Advertisement

Pendidikan Tanpa Mendidik

Oleh: Yudi Latif
Kompas, 4 Agustus 2016

Dunia pendidikan kita sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan sesungguhnya. Menteri silih berganti, namun pusat perhatiannya sama: administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional dan sejenisnya).

Esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah “pengajaran” (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat muatan kognitif. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tercermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran, banyak orang tua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti bargai kursus dalam/luar sekolah.

Bias pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya mengabaikan tugas mendidik: memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Suhu pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa “pendidikan”(opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anakitu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-setingginya”.

Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh.

Darisitulah muncul istilah education (Latin: educare; ex-ducare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.

Apa yang harus diaktifkan adalah budi-pekerti. Budi mengandung arti “pikiran, perasaan dan kemauan”; pekerti artinya “tenaga”. Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat malahirkan penciptaan dan perbuatan yangbaik, benar dan indah.

Dengan pengembangan “budi-pekerti” anak didik diharapkan berdiri sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan yang harus ditumbuhkan dalam pendidikan mengandung tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan dapat mengatur diri sendiri. Itu sebabnya mengapa di banyak negara, orang tua dilarang mengantar anaknya ke sekolah.

Sampai di sini, tampak jelas betapa terbelakangnya dunia pendidikan kita. Keterbelakangan sesungguhnya bukanlah ketika dibandingkan dengan pencapaian bangsa-banga lain; karena setiap bangsa punya sejarah, tantangan dan ukuran nilainya masing-masing; melainkan keterbelakangan dari hakikat pendidikan yang dikehendaki.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Kedalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” dari alam. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi dirinya sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar.

Ahli-ahli pendidikan berhaluan merdeka, mulai dari Maria Montessori, Helen Parkhurst, Rabindranath Tagore, Ki Hadjar Dewantara hingga Paulo Freire mengingatkan fungsi pendidikan sebagai usaha mencerdaskan jiwa kanak-kanak menurut kodratnya masing-masing. Seturut dengan itu, kerja mendidik bukanlah mengajar, melainkan menuntun.

Karena potensi anak berbeda-beda, maka proses pendidikan jangan sampai menghilangkan kodrat individualitas seseorang karena terdidik bersama-sama yang lain. Harus lebih banyak ruang untuk menuntun anak secara individual, jangan hanya berbarengan secara klasikal.

Sedangkan keluar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Bibit unggul individualitas harus tumbuh di atas tanah sosialitas Pancasila yang subur. Maka dari itu, pengembangan “kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila bukan sekadar ornamen, melainkan substansi penting pembelajaran. Itu sebabnya, muatan ujian nasional yang dirumuskan kementerian semestinya (pun secara historis) lebih menekankan subjek-subjek yang dapat memperkuat integrasi nasional dan karakter bangsa, seperti sejarah, geografi, bahasa, dan ideologi bangsa. Adapun bahan uji bagi mata pelajaran lainnnya bisa dirumuskan oleh asosiasi-asosiasi pengajar dalam mata pelajaran yang sama.

Prioritaskan Pendidikan Dasar

Ibarat pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga halnya dalam proses tumbuh hidupnya manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, melainkan juga kemampuan afektif dan konatif.

Pertama-tama, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.

Budaya baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan pesan yang serba ringkas dan instan. Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru untuk memahami dan mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, sastra dan lain-lain). Padahal, pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.

Oleh karena itu, paling tidak satu hari dalam seminggu, harus disediakan wahana bagi anak-anak untuk membaca atas pilihannya sendiri. Sekolah hanya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sejalan dengan misi pendidikan budi-pekerti. Setelah membaca, anak-anak juga harus dilatih untuk menuturkan apa yang mereka tangkap dari bahan bacaan. Latihan menutur bukan sekadar membantu mengingat, tetapi juga melatih kepercayaan diri, serta pembiasaan saling mendengar dan saling mengapresiasi sesama peserta didik.

Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar. Pada tingkat ini, cukuplah diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagi dasar kecapakan hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Pelajaran matematika bolehlah mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.

Pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, melainkan subjek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti dan mencipta. Tak heran, saat Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi kurikulumnya justrume wajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994).

Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku), ayat-ayat kauniyah (alam semesta),ayat-aya tarikhiyah (sejarah), dan ayat-ayat nafsiyah (diri sendiri). Di situlah, anak terdidik agar kelebihan dirinya tidak menimbulkan kacau-kaos, melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.

Kedua, kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dansolidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan (nasionalisme) dan gotong-royong.

Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan, pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaandan kemanusiaan.

Ketiga, kurikulum pendidikan juga harus memberi wahana olah raga untuk mengembankan ketahanan, ketangkasan dan kesehatan jasmani, yang diperlukan sebagai sarana fisik untuk mengaktualisasikan segala pontensi budi-pekerti anak.

Tak kurang dari filsuf pendidikan seperti Socrates dan Plato jauh-jauh hari telah menekankan pentingnya pendidikan gimnastik (olah tubuh/fisik). Olah raga selain menawarkan kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat, juga dapat mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian mengambil risiko, semangat kerjasama dan jiwa patriotisme.

Keempat, kurikulum pendidikan harus menumbuhkan olah karsa yang dapat mendorong kemauan peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.

Orientasi pada pemuliaan ragam inteligensia menuntut perubahan sistempembelajaran dari “sekolah berorientasi kelas” menuju ”sekolah berorientasi individu”. Kurikulum inti dibuat lebih terbatas untuk memberi keleluasaan bagi siswa untuk mengambil subjek pilihan sesuai dengan minat dan bakatnya.

Konsekuennya fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai penuntununtuk memantau potensi dan kecenderungan masing-masing siswa; berperan sebagai broker kurikulum yang membantu siswa mengembangkan potensi dan preferensinya; sekaligus menjadi broker yang menghubungkan siswa dengan
komunitas yang lebih luas.

Minat dan bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai cerlang budaya dan pusat teladan di lingkungan negara, pasar dan masyarakat. Untuk itu, kerangka insentif perlu diberikan oleh pemerintah danmasyarakat kepada orang/institusi yang menyediakan kesempatan belajar luar sekolah.

Alhasil, sekolah di masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan danotonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif untuk mentransformasikan pribadi unggul menjadi kolektivitas unggul, dengan menempatkan kreativitas dan karakter di jantung kurikulum.

Pembenahan Guru

Untuk dapat mengemban tugas pendidikan seperti itu, guru juga harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalamproses pengajaran. Dalam kaitan ini, pengembangan kurikulum yang dikembangkan pemerintah tidak perlu terlalu kaku dan mendetil. Harus dihindari kecenderungan ganti menteri ganti kurikulum.

Sejalan dengan pasal 38 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, yang dilakukan pemerintah cukuplah menggarikan “kerangka dasar dan struktur kurikulum”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada guru untuk berimprovisasi. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tidak bisa dicapai, bila gurunya sendiri terbelenggu.

Pada titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakekat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Sungguh ironis, rekrutmen tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek-aspek formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi didaktik-metodiknya.

Sudah saatnya pesan Undang-Undang Sisdiknas mengenai perlunya sekolah guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecapakan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.

Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.

(Yudi Latif, Penghayat Ajaran Ki Hadjar Dewantara)

Jalan Guru

Oleh: Iwan Pranoto
Kompas Cetak, 1 Agustus 2016

Bagi negara dengan mutu pengajaran di sekolah masih rendah, tak menguntungkan menceraikan perguruan tinggi dari pendidikan dasar dan menengah. Di zaman ini, perjalanan karier seorang guru — dari sebelum mengajar sampai saat mengajar — senantiasa berhubungan dengan perguruan tinggi.

Tersebutlah seorang profesor kimia yang tak senang saat mengetahui bagaimana cara anak kandungnya diajar kimia di sekolah. Maka, kemudian sang profesor minta bertemu dengan guru kimia anaknya tersebut untuk menegur dan hendak ”mengajari” bagaimana seharusnya mengajarkan kimia. Saat bertemu, sang profesor kaget karena ternyata guru kimia itu bekas mahasiswanya sendiri. Kejadian ini dikutip di laporan ”Educating Teachers of Science, Mathematics, and Technology” keluaran National Research Council, 2001.

Kisah ini, pertama, mengingatkan para dosen dan perguruan tinggi bahwa mahasiswanya ada yang akan menapaki jalan guru. Perlu disadari, tak semua mahasiswa di perguruan tinggi akan menjadi peneliti, rekayasawan, arkeolog, apoteker, pengacara, sejarawan, manajer, atau politisi. Sebagian insan menetapkan hati untuk menelusuri jalan guru saat ia studi di perguruan tinggi. Maka, semua perguruan tinggi, tanpa kecuali, bertanggung jawab dan berperan dalam merawat jalan guru. Terlebih karena saat ini institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) juga sudah tak ada lagi.

Kedua, pengajar perguruan tinggi berperan dan amat berdaya dalam menginspirasi mahasiswa untuk menjadi guru. Momen kegiatan akademik sarat perdebatan pemikiran mendalam serta argumen mencerahkan, semacam yang digambarkan di film Dead Poets Society, mengilustrasikan keindahan dan kenikmatan mengajar. Pengalaman intelektual macam ini kerap mengukir sukma mahasiswa dengan hasrat diri menapaki jalan guru.

Walau demikian, harus diakui bahwa banyak yang memilih jalan guru berdasar motivasi lebih rasional, seperti ekonomi. Akan tetapi, ada pula insan menapaki jalan guru karena alasan yang dianggap emosional dan romantis seperti di atas.

Ketiga, kejadian di atas mengingatkan para dosen untuk selalu memperbaiki pengajarannya. Gaya dosen mengajar akan dijadikan rujukan, model, dan dipertontonkan kembali secara berulang-ulang dalam pengajaran di sekolah. Oleh karena itu, khususnya para dosen pengampu mata kuliah di tahun pertama perlu memberi perhatian saksama tidak saja pada konsep apa yang dibelajarkan, tetapi juga pada bagaimana membelajarkannya.

Dengan kenyataan di atas, selain merancang kebijakan perekrutan guru, perguruan tinggi juga perlu memikirkan program studi lanjut bagi guru. Khususnya karena hari ini semua perguruan tinggi di dunia sedang ditantang membuat terobosan inovasi studi lanjut bagi guru.

Studi lanjut

Amatlah tak bijak anggapan bahwa perguruan tinggi tertentu tak perlu memedulikan pendidikan pra-universitas. Perlu dicatat, pengajaran yang bermakna di sekolah akan menjamin suburnya tunas ilmuwan, rekayasawan, sejarawan, dan lain sebagainya, di masa depan dan tentunya meneguhkan keberlanjutan ilmu pengetahuan dan peradaban.

Perguruan tinggi papan atas dalam riset di AS, seperti Stanford, UCLA, Harvard, Rice, Illinois Urbana, dan UC Berkeley, juga mengelola program studi lanjut bagi guru. Oleh karena itu, menyedihkan jika hari ini masih saja ada yang mengedepankan dikotomi antara perguruan tinggi keguruan dan non-keguruan. Indonesia butuh banyak guru yang cakap, tak mungkin kebutuhan ini dipenuhi hanya oleh sebagian perguruan tinggi.

Hari ini sudah tersedia ragam program studi lanjut bagi guru yang ditawarkan perguruan tinggi, termasuk di Indonesia. Ada yang menekankan pada keilmuan serta pengajarannya secara mikro. Ada pula yang menekankan pada pengkajian isu pendidikan secara makro.

Pada program studi S-2 matematika bagi guru di ITB, misalnya, mahasiswa guru (mahasiswa yang merupakan guru) menelaah konsep matematika sekolah, tetapi menggunakan sudut pandang matematika lanjut. Para mahasiswa guru ini mendalami berbagai gagasan keilmuan di sekolah yang mungkin sebelumnya dianggap sepele, dengan sudut pandang yang canggih.

Mahasiswa guru akan menghargai kedahsyatan dan kegeniusan gagasan yang mereka belajarkan di kelas. Pendekatan seperti ini amat mungkin disalin dan diterapkan pada disiplin lain, seperti kewarganegaraan dan sejarah.

Demikian pula tugas atau proyek akhir di program seperti ini fokus pada analisis konten keilmuan secara spesifik dan mikro. Mahasiswa meneliti, antara lain, bagaimana murid sebagai individu mempelajari pemahaman spesifik tertentu.

Ada pula studi lanjut yang menekankan pada keterampilan meneliti isu pendidikan secara makro, seperti kurikulum, metode pengajaran tertentu, dan sebagainya. Bentuk tugas akhir di program studi seperti ini fokus pada penelitian kebijakan pendidikan. Di sini, mahasiswa guru belajar menjadi peneliti.

Ada pula sebuah inovasi program studi lanjut yang secara sistematis merangkaikan pemahaman konsep serta kemahiran mengajar. Setiap topik (bahan pengajaran sekolah) diajarkan dua kali, pada dua semester secara berurutan.

Pada semester pertama, mahasiswa mempelajari sebuah topik sebaik-baiknya dan berperan sebagai murid. Mahasiswa harus merasakan bagaimana belajar sampai memahami sebuah konsep sebagai murid. Kemudian, di semester selanjutnya, mahasiswa akan mempelajari konsep yang sama lagi, tetapi sekarang mereka akan mempelajarinya sebagai seorang guru. Mereka harus menelaah bagaimana mereka cipta pembelajaran agar murid berhasil mengalami proses belajar yang efektif dan belajar secara bermakna seperti yang dialaminya pada semester sebelumnya.

Inovasi dalam studi lanjut bagi guru menelurkan keberagaman pilihan pendidikan bagi guru. Seperti yang disampaikan dalam laporan Science Teachers Learning dari National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (2015: 215), studi lanjut mana yang lebih cocok bergantung pada tiap individu guru. Namun, yang jelas, berbagai inovasi studi lanjut bagi guru perlu terus didorong.

Rekomendasi

Bagi perguruan tinggi, dosen dapat secara sukarela sesekali menjadi guru tamu di sekolah sekitar perguruan tingginya. Ini tentu memberi pencerahan bagi murid, menjadi model pengajaran yang baik bagi guru, serta menambah pemahaman dosen pada permasalahan pengajaran di sekolah. Yang juga tak kalah penting, kegiatan seperti ini akan meningkatkan relevansi perguruan tinggi terhadap masyarakat di lingkungannya.

Bagi mahasiswa, perlu diresapi pernyataan Paus Fransiskus dalam siaran radionya pada 14 Maret 2015, yakni ”Mengajar itu profesi yang indah.” Jika memang diberkahi bakat mengajar, mengapa pula menolak jalan guru?

IWAN PRANOTO, GURU BESAR ITB SERTA ATASE PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DI KBRI NEW DELHI, INDIA

Jangan Latih Anak-anak Dijemput KBRI…!

Rhenald Kasali – Rumah Perubahan

Mungkin kita semua sepakat, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar dalam kehidupan.

Sayangnya banyak orang tua yang masih berpikir, kalau anaknya juara kelas, pintar di sekolah, pasti akan pintar menjalani hidup.

Untuk itulah sering kita lihat orang tua yang amat protektif, membuat anak merasa sudah belajar walau itu hanya di sekolah. Sedangkan perjalanannya menuju sekolah, pergaulannnya, kebiasaannya mengambil keputusan dalam keadaan sulit, selalu disterilisasi orangtua.

Apalagi bila orang tua punya kuasa, banyak koneksi, punya uang, maka semua itu akan distrerilisasi lebih luas lagi. Padahal yang membentuk orang tuanya hari ini sukses sudah jelas: orangtua mereka tak seprotektif mereka.

Kalau sudah begitu, apa hasilnya?

Anda lihat sendiri, banyak anak-anak pandai di sekolah tak berdaya saat di-bully kawan-kawannya, kurang bergaul, dan bila dikejar anjing di kampung, ia tidak bisa melompat, larinya tercekat.

Dan di usia dewasa, ia bisa menjadi sosok yang sulit bagi teman-teman, pasangan dan kolega-koleganya. Ia akan merasa terus pandai, seakan-akan kecerdasaannya tetap, tak berubah.

Ke Luar Negeri, Bagus

Pepatah mengatakan, dunia ini ibarat sebuah buku. Mereka yang tak melakukan perjalanan (hanya kuliah saja), hanya membaca satu halaman.

Terilhami oleh Susi Pudjiastuti, saya pun menugaskan mahasiswa ke mancanegara. Tidak main-main. Satu orang satu negara.

Menteri Kelautan dan Perikanan ini, sejak remaja sudah menyewa truk dari kampungnya di Pangandaran, hanya bersama seorang sopir, ia pergi membeli ikan ke Cirebon atau Indramayu, lalu berjualan ke Pasar Ikan di Jakarta.

Bila dulu saya menugaskan tiga orang satu negara, sejak kehadiran Ibu Susi di kelas itu, saya mengubahnya menjadi satu negara-satu orang.

Syaratnya, tidak boleh di antar, dan tak boleh ada yang menjemput. Itupun harus pergi ke negara yang tak berbahasa Melayu.

Anda tahu siapa musuh program ini?

Para mahasiswa melaporkan, ada dua pihak. Pertama adalah orang tua yang selalu beranggapan anaknya bak princess. Orangtua bahkan merespon dengan negatif, takut anaknya kesasar. Padahal doktrin kelas itu sejak awal sangat jelas, “Berpikir karena kesasar.”

Setiap kali orangtua protes, saya selalu bilang, “Memang kalau tersasar, mengapa?”

Dari situ, sebagian tiba-tiba tersentak dan tertegun sendiri karena hampir semua orangtua pasti pernah kesasar, dan toh akhirnya pulang juga dengan selamat. Malah menjadi semakin pandai, lebih percaya diri.

Sebagian lagi, responsnya begitulah, memindahkan anaknya ke kelas lain. Mereka mengambil keputusan untuk anaknya yang sudah dewasa dengan menghentikan sebuah proses belajar yang penting untuk membangun hidup mereka.

Orangtua juga mengatur banyak hal. Tiket pesawat, rute tujuan, menginap di mana, siapa yang jemput, makan apa, pakaian dan perlengkapan, sampai SIM Card dan obat-obatan.

Padahal anaknya gaul, sehat, senang berpetualang. Dan kalau diatur, ia malah menjadi merasa tak dipecaya, bahkan malu dengan kawan-kawannya.

Bagi saya, ini semua bisa membuat anak kurang terlatih menghadapi kesulitan. Sebab setiap kali menghadapi persoalan kecil saja, mereka bisa menghindar dan cepat-cepat minta bantuan.

Dan musuh kedua adalah, para dosen sendiri. Ya, para akademisi percaya anak pintar itu tak boleh banyak bermain. Baca, baca, baca, buat tugas. Padahal anak-anak pintar itu terlalu serius, terlalu steril dan kurang bermain.

Anda tahu apa yang dilakukan orangtua agar anak-anaknya diterima di perguruan tinggi yang bagus?

Mungkin Anda bisa lihat bagaimana treatment orangtua sejak anaknya masih kecil. Jangankan untuk menuju perguruan tinggi, untuk diterima di SMP yang bagus saja, sejak kelas 5 SD anak-anak itu sudah dilatih pulang sore/malam hari, ikut les ini dan itu. Katanya untuk diterima di SMP A harus ikut bimbel di B.

Kalau sudah begitu, anak-anak yang pandai ini menjadi kurang bergaul dan menjadi kurang asyik di mata teman-temannya. Mereka dicetak dalam alam berpikir bahwa pandai dalam kehidupan itu ada di ruang kelas, melalui program tertulis. Padahal pandai itu adalah mampu mengambil keputusan yang tepat.

Bayangkan, bila sejak kecil sampai dewasa anak-anak itu tak pernah berlatih mengambil keputusan dalam keadaan sulit. Bahkan untuk naik taksi saja ia tak berani.

Pergi ke luar negeri seorang diri, bagi seorang anak ia akan belajar banyak hal. Bagaimana kalau ketinggalan pesawat, kehilangan bagasi, kesasar, diganggu orang, mengunjungi situs-situs penting, mengatur waktu, makan, dan seterusnya.

Mengapa harus dijemput?

Kisah anak-anak pejabat yang orang tuanya begitu bernafsu mengatur dan mengawal anak-anaknya agar tak kesasar di luar negeri, saat ini sudah amat keterlaluan. Orang tua telah mengambil hak-hak penting si anak untuk menjadi rajawali.

Anak diasumsikan sebagai sosok yang tak mampu bergerak sendiri, dan seakan-akan alam tak memberi ruang bagi anak untuk belajar. Padahal, anak SLB sekalipun punya kemampuan belajar yang luar biasa kalau diberi kesempatan, dan sebaliknya kalau dianggap bodoh.

Mungkin anda sudah menerima catatan seorang dosen di Surabaya yang viral dua hari ini. Sayang, saya tak menemukan sumbernya setelah beredar dari satu WA ke WA lainnya. Tapi saya kira apa yang dilakukan untuk merekam momen yang ia lihat dan catat harus kita hargai. Ini sebuah catatan yang istimewa bagi para orangtua dan pendidik.

Ia mencatat kejadian saat menemukan seorang siswa SLB penderita tunagrahita yang begitu bahagia saat menemukan alamat yang dicari. Siswa itu kabarnya diberangkatkan dari Jogja untuk mencari alamat di Surabaya.

“Syaratnya boleh bertanya, namun tidak boleh diantar, tidak boleh naik kendaraan yang bersifat mengantar seperti taxi dan becak. Tidak boleh meminta – minta. Dan masih banyak aturan lain Bahkan dia mencari tempat sampah untuk membuang sampahnya.” Catat orang berjasa ini.

Tapi yang membuat saya tercengang adalah catatannya yang ini: “Dia berkata bahwa dia dilarang bersedih. “Kata pak Guru aku ngga boleh sedih, kalau sedih nanti bodoh lagi”, ucapnya polos.”

Sekarang tinggallah kita memeriksa apa yang telah kita lakukan pada anak-anak kita. Apakah benar kita telah melatih anak-anak kita untuk menjadi pemimpin yang hebat, rajawali yang matanya tajam dan mampu terbang tinggi, atau menjafikan mereka burung dara yang indah, yang sayap-sayapnya terjahit.

Anak-anak yang dijemput dengan fasilitas yang dimiliki orantua akan kehilangan banyak momen yang bisa membuat ia kelak lebih pandai dalam hidup.

Kisah anak-anak saya di Fakultas Ekonomi yang pergi ke luar negeri sudah dibukukan oleh mereka sendiri dalam buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor. Edisi terbaru juga telah disiapkan anak-anak itu dalam episode Duta Perdamaian.

Ketika mendengarkan presentasi mereka, saya selalu belajar bahwa anak-anak hebat ini kelak akan menjadi lebih hebat lagi. Dengan metode sharing economy, mereka kini bisa menyebar ke mancanegara dengan biaya minimal.

Tak terbayangkan bagaimana mahasiswi saya yang dompetnya hilang di London bisa tetap menyelesaikan misinya hingga ke Scotlandia, menembus dua negara selama 10 hari dengan sehat.

Tak terbayangkan bagaimana mereka mengajarkan dua perempuan Jepang memakai hijab. Tak terpikirkan pula bagaimana mereka berkenalan dengan anak-anak konglomerat dan dijadikan narasumber di berbagai kampus yang mereka kunjungi.

Anak-anak yang steril tak punya cerita menurut versi mereka sendiri. Dan anak-anak itu bisa jadi pembual yang hebat. Tetapi anak-anak yang tak dijemput KBRI kalau ke luar negri, yang berani menghadapi hidup ini dalam perhitungan yang dilatih sendiri, kelak akan mempunyai story versi mereka sendiri.

Personal story adalah modal dasar seorang pemimpin. Ia akan merasa hidupnya berarti, dan sadar bahwa di luar sekolah ada banyak pelajaran yang bisa melatih kepemimpian, empati sosial dan pemgambilan keputusan.

Jadi, sudahlah. Hentikan dagelan ini, orangtua!

Pengajaran Sejarah

Siswono Yudo Husodo ;
Ketua Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila

KOMPAS, 23 April 2015

John W Gardner dalam bukunya Can We Be Equal and Excellent Too menyatakan ”Tidak ada negara bangsa yang dapat menjadi besar kalau tidak meyakini sesuatu dan kalau sesuatu yang diyakininya itu tidak memiliki ajaran moral untuk membawa kemajuan peradabannya”.

Sekolah adalah tempat utama membentuk wawasan mengenai bangsa. Tugas sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang moralitas yang baik, meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga mendidik dan membentuk kepribadian siswa sebagai orang Indonesia. Di Amerika Serikat, kalau ada fenomena negatif merebak di masyarakat, pertanyaan diarahkan pada institusi sekolah, ”What’s wrong with American class room?”.

Beberapa waktu lalu, 16 warga negara Indonesia pergi ke Turki untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Jajak pendapat Kompas, 25-27 Maret 2015, mengungkap aspirasi publik yang menggambarkan keresahan masyarakat, antara lain, tiga dari empat responden mengkhawatirkan pengaruh radikalisme terhadap keluarga mereka. Sembilan dari 10 responden menilai paham NIIS tidak sesuai kepribadian bangsa Indonesia. Secara umum, gerakan radikal bernuansa agama dipandang publik mengganggu harmoni dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Guna mencegah berkembangnya paham radikal keagamaan di Indonesia, 17,2 persen responden melihat diperlukannya penanaman kepribadian bangsa secara lebih kuat dan 51 persen memandang pendidikan keagamaan yang sesuai kepribadian bangsa diperlukan.

Mengincar kaum muda

Mereka yang bergabung dengan NIIS adalah kalangan muda. Di samping itu, politisi koruptor juga tak sedikit dari generasi muda. Ada muatan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa melenggangmasuk buku sekolah. Buku Kurikulum 2013 mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk kelas X dan XI terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditarik Mendikbud Anies Baswedan dari peredaran karena memuat ajaran radikal. Di buku kelas Xdimuat narasi mengenai konflik Rohingya di Myanmar dengan sudut pandang menyerang umat agama tertentu. Di buku kelas XI, ada kalimat bahwa orang tertentu boleh dibunuh. Berbeda sekali dengan pelajaran agama di masa saya sekolah dulu yang menekankan kedamaian dan moral individu. Sebaiknya semua buku pelajaran sekolah yang terkait pendidikan kepribadian dan karakter siswa yang tengah beredar di Tanah Air diperiksa ulang.

Liberalisasi pendidikan, berupa beroperasinya sekolah internasional/asing yang menerima warga Indonesia sebagai siswa dengan kurikulum internasional, menjadikan kesempatan membangun kepribadian sebagai orang Indonesia menjadi terbatas. Berbagai dinamika dari given condition Indonesia sebagai bangsa majemuk, negara yang kaya sumber daya alam, tetapi sumber daya manusianya tertinggal yang selalu mendapat tarikan-tarikan kepentingan global, sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang besar dan beragam, perlu dihadapi dengan kepribadian yang kuat dari setiap individu warga bangsa, agar tidak ada lagi bentrokan berlatar suku, agama, dan ras, berkembangnya etnosentrisme dan primordialisme sempit serta meningkatnya fanatisme golongan yang memerosotkan sikap pluralisme yang inklusif dan toleransi serta agar meningkat kemampuan masyarakat menyelesaikan berbagai friksi yang ada secara santun.

Seperti John W Gardner dan para pemimpin kita terdahulu, saya pun meyakini diperlukan cara yang efektif untuk membangun integritas dan kepribadian bangsa. Pada Orde Lama diupayakan melalui indoktrinasi dengan materi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi) yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Manifesto Politik, dan Kebudayaan Indonesia.Pendekatan ini tidak efektif mewarnai perikehidupan rakyat sehari-hari karena sifatnya yang indoktrinatif. Di era Orde Baru melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Juga kurang efektif membentuk kepribadian bangsa karena menjadi syarat kenaikan pangkat/jabatan dan akhirnya menjadi hafalan dengan 36 butir pengamalan Pancasila.

Amerika Serikat mengandalkan pengajaran sejarah di sekolah sampai perguruan tinggi untuk menyosialisasikan nilai-nilai utama negara itu yang disebutkan dalam Declaration of Independence, liberalisme, freedom of thought (kebebasan berpikir), demokrasi, serta perjalanan sosial, politik, budaya, ekonomi, hankam negara bangsanya. Ketokohan orang-orang besar, George Washington, Thomas Jefferson, Abraham Lincoln, Franklin Delano Roosevelt, dan Dwight D Eisenhower, disampaikan dalam pelajaran sejarah tentang sikap-sikap luhurnya dan karya-karya besarnya yang menjadi legacy ketika memimpin bangsanya. Bahkan hal yang tampak sederhana, disampaikan menjadi sesuatu yang ideologis, seperti pada tengah malam 18 April 1778, Paul Revere menunggang kuda keliling pelosok New England, mengabarkan bahwa pasukan Inggris mulai menyerang dan perang kemerdekaan Amerika dimulai. Peristiwa itu dicatat di kesadaran rakyat Amerika sebagai kemenangan pertama perang melawan kolonialisme dalam sejarah dunia.

Inggris, Perancis, Jerman, Italia, Rusia, Tiongkok, dan Jepang, negara-negara yang maju itu, juga menerapkan pola serupa melalui pelajaran sejarah di sekolah untuk menanamkan nilai-nilai utama masyarakat mereka masing-masing, bahkan di Jerman sejak taman kanak-kanak berupa dongeng sampai pendalaman di pascasarjana. Penyajiannya tak menekankan siswa untuk menghafal peristiwa, tanggal, dan tempat kejadian. Tetapi, substansi dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa dan penonjolan nilai-nilai luhurnya.

Uraian sejarah itu juga membela tindakan politik dan menghargai tokoh-tokoh masa lalu yang bagi orang di luar negara itu dianggap kontroversial. Perancis menggambarkan Napoleon Bonaparte sebagai pahlawan pembangun semangat kebangsaan Perancis, walaupun dicerca oleh bangsa-bangsa Eropa sebagai ekspansionis. Bahkan Hitler yang dicaci maki dunia, walau diuraikan sisi negatifnya yang sauvinisme, tetap dihargai dalam buku pelajaran sejarah siswa sekolah dasar sampai pascasarjana Jerman sebagai Fuhrer yang paling banyak membangun jalan raya di Jerman, dengan ucapannya ”ekonomi mengikuti jalan raya”. Konrad Adenauer adalah Kanselir Jerman yang dikenang karena upayanya yang luar biasa menghijaukan kota di seluruh Jerman dengan membangun hutan-hutan kecil.

Pelajaran sejarah itu mengandung dimensi pendidikan ideologi, politik, moral, dan etika. Hal itu efektif, karena ideologi adalah endapan dari nilai-nilai utama sejarah yang kemudian mengkristal mewujud menjadi jalan hidup suatu bangsa.

Pelajaran sejarah memang amat efektif membentuk karakter suatu bangsa. Sejarah adalah sumber sah mewujudnya ideologi suatu negara dan bangsa. Kita telah memilikinya, yaitu sejarah panjang negara besar ini, melewati kurun waktu sangat lama dengan peristiwa besar, kaya dengan tokoh yang memiliki kandungan pelajaran akan teladan serta nilai-nilai luhur, yang akan memperkuat kepribadian kita sebagai bangsa, guna membekali bangsa ini bertransformasi menjadi negara bangsa yang besar, maju, modern yang tetap berciri Indonesia. Selama ini, kita hanya kurang piawai mengekspos sejarah besar Indonesia untuk bisa menginspirasi jalannya bangsa ini. Pelajaran sejarah memang tak boleh kering dan dingin. Materinya harus menarik dan mengangkat nilai-nilai luhur yang akan menjadi nilai-nilai utama kehidupan bangsa ini. Bangsa yang tak mampu menghayati dan memetik pelajaran dari sejarah masa lalunya, akan dihukum di perjalanan sejarah berikutnya dengan mengalami kembali kepahitan masa lalunya.

Revitalisasi pendidikan

Pelajaran sejarah untuk siswa-siswa kita lebih merupakan hafalan tanggal dan tahun serta lokasi suatu peristiwa. Siswa SD hafal bahwa di abad ke-8 dan 9 dinasti Syailendra dengan arsiteknya Gunadharma membangun Candi Borobudur. Tetapi, tidak diberi tahu bahwa bangunan megah itu dibangun dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat maju untuk masanya serta relief-relief berisi filsafat Buddha yang dikembangkan ke kondisi lokal,ketika Eropa masih terbelakang. Siswa SMP hafal bahwa Fatahillah menyerbu Sunda Kelapatahun 1526; Sultan Hasanuddin menyerang benteng Belanda di Makassar tahun 1667, dan Perang Diponegoro 1825-1830. Tetapi, tak ada ucapan atau inti pikiran mereka yang bisa diingat para siswa,sementara siswa high school di AS hafal ucapan John F Kennedy: ”Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country”, suatu ungkapan yang membangunkan kesediaan pemuda-pemuda AS berkorban untuk negaranya.

Siswa SD tahu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sepatutnyalah mereka juga tahu bahwa Indonesia adalah negara pertama di dunia yang merdeka setelah berakhirnya Perang Dunia II dan 10 November 1945 di Surabaya adalah perang mempertahankan kemerdekaan; dan kita menang menghadapi Belanda yang akan kembali menjajah kita yang didukung oleh Sekutu yang baru saja memenangi Perang Dunia II. Peristiwa itu telah memberi inspirasi pada perjuangan kemerdekaan banyak negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, untuk membebaskan dirinya dari penjajahan.

Siswa SMA tahu Deklarasi Juanda 13 Desember 1957, tetapi tidak mengaitkannya dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, bahwa tekad satu nusa adalah daratan dan lautan di antara pulau-pulau kita. Banyak buku sejarah menyebut tahun penumpasan pemberontakan PRRI, Permesta, RMS, G30S/PKI, DI/TII dan lain-lain yang didukung oleh negara adidaya, tetapi tidak mengingatkan bagaimana kepentingan asing selalu mengintai kita. Banyak orang ingat bahwa negara kita mengalami periode Demokrasi Terpimpin dan periode Orde Baru, tetapi buku sejarah tak meninjaunya sebagai suatu kontinuitas dalam mengembangkan konsepsi Negara Kesatuan RI.

Siswa SMA tahu bahwaKonferensi Asia Afrika diselenggarakan pada 19-24 April 1955. Mereka juga perlu tahu tentang Dasasila Bandung yang semangatnya adalah prinsip-prinsip dari konstitusi kita bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di muka bumi harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan; yang menggambarkan konsisten dan persistennya Indonesia. KAA juga diselenggarakan ketika Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memerintah kurang dari 2,5 tahun dengan pemerintahan yang jatuh bangun rata-rata setiap 1,5 tahun akibat intrik-intrik politik, namun Indonesia tetap menjadi pemimpin dunia baru karena yang diintrik dan yang mengintrik sama-sama idealis untuk memajukan negara, tetapi dengan konsep berbeda, bukan intrik untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi.

Revitalisasi pendidikan kepribadian bangsa melalui pendidikan politik kebangsaan yang komprehensif perlu segera dilakukan melalui pelajaran sejarah di sekolah dari SD sampai perguruan tinggi, termasuk untuk siswa warga Indonesia di sekolah internasional. Sebaiknya, para ahli komunikasi dilibatkan dalam membuat buku pelajaran sejarah, membantu para sejarawan menajamkan ulasan/mengekspos makna yang lebih dalam dari suatu peristiwa sejarah, mengangkat bentuk-bentuk kearifan, moral, integritas, way of thinking, way of life, berbagai legacy tokoh-tokoh yang ada dan nilai-nilai luhur kehidupan para tokoh sejarah bangsa kita. Hal-hal itulah yang akan mewarnai kepribadian, cara berpikir, dan ideologi kita sebagai suatu bangsa.

Semoga.

Apakah Sekolah Kita Sudah “Beradab”?

By: Irfan Amalee, Oct 2014

Setahun terakhir ini saya terlibat membantu program Teaching Respect for All UNESCO. Saya juga membantu sejumlah sekolah agar menjadi sekolah welas asih (compassionate school). Dua hal di atas membawa saya bertemu dengan sejumlah sekolah, pendidik, hingga aktivis revolusioner dalam menciptakan pendidikan alternatif. Di benak saya ada satu pertanyaan: sudah se-compassionate apa sekolah kita? Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap respect pada siswa dan guru, serta semua unsur di lingkungan sekolah? Karena compassion (welas asih) dan respect (sikap hormat dan emphaty) adalah bagian dari adab (akhlak) maka pertanyaannya bisa sedikit diubah dan terdengar kasar: “Sudah seber-adab apakah sekolah kita?”

Rekan saya melakukan sebuah experimen yang menarik. Dia berkunjung ke Sekolah Ciputra, sekolah milik pengusaha Ciputra yang menekankan pada karakter, leadership dan entrepreneurship serta memberi pengharagaan pada keragaman agama dan budaya. Pada kunjungan pertama rekan saya itu datang dengan baju necis menggunakan mobil pribadi. Di depan gerbang Pak Satpam langsung menyambut hangat, “Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?” Rekan saya menjawab bahwa dia ingin bertemu dengan kepala sekolah, tetapi dia belum buat janji. Dengan sopan Pak Satpam berkata, “Baik, saya akan telepon Bapak Kepala Sekolah untuk memastikan apakah bisa ditemui, bapak silakan duduk, mau minum kopi atau teh?” Pelayanan yang begitu mengesankan!

Di waktu lain, rekan saya datang lagi, dengan penampilan yang berbeda. Baju kumal, dengan berjalan kaki. Satpam yang bertugas memberikan sambutan yang tidak berbeda dengan sebelumnya, dipersilahkan duduk dan diberi minuman. Saat berjalan menuju ruang kepala sekolah, satpam mengantarkan sambil terus bercerita menjelaskan tentang sekolah, bangunan, serta cerita lain seolah dia adalah seorang “tour guide” yang betul-betul menguasai medan. Bertemu dengan kepala sekolah tak ada birokrasi rumit dan penuh suasana kehangatan. Padahal rekan saya itu bukan siapa-siapa, dan datang tanpa janjian sebelumnya.

Melatih satpam menjadi sigap dan waspada adalah hal biasa. Tetapi menciptakan satpam dengan perangai mengesankan pastilah bukan kerja semalaman. Pastilah sekolah ini punya komitmen besar untuk menerapkan karakter luhur bukan hanya di buku teks dan di kelas. Tapi semua wilayah sekolah, sehingga saat kita masuk ke gerbangnya, kita bisa merasakannya. Itulah hidden curricullum, CULTURE.

Di kesempatan lain, saya bersama rekan saya itu berkunjung ke sebuah sekolah Islam yang lumayan elit di sebuah kota besar (saya tidak akan sebut namanya). Di halaman sekolah terpampang baliho besar bertuliskan, “The most innovative and creative elementary school” sebuah penghargaan dari media-media nasional. Dinding-dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang menjuarai berbagai lomba. Ada dua lemari penuh dengan piala-piala. Pastilah sekolah ini sekolah luar biasa, gumam saya.Kami berjalan menuju gerbang sekolah menemui satpam yang bertugas. Setelah kami mengutarakan tujuan kami ketemu kepala sekolah, satpam itu dengan posisi tetap duduk menunjuk posisi gerbang dengan hanya mengatakan satu kalimat, “lewat sana”.

Kami masuk ke sekolah tersebut. Di tangga menuju ruangan kepala sekolah, ada seorang ibu yang bertugas menjadi front office menghadang kami dengan pertanyaan, “mau kemana?” dengan wajah tanpa senyum. Saat tiba di ruangan kepala sekolah, kebetulan saat itu mereka sedang rapat. Sehingga kami harus menunggu sekitar 45 menit. Selama kami duduk, berseliweran guru datang dan pergi tanpa ada yang menghampiri dan bertanya, “ada yang bisa saya bantu?”

Akhirnya kepala sekolah mempersilakan kami unutk masuk ke ruangannya. Baru ngobrol sebentar, tiba-tiba seseorang di luar membuka pintu dan memasukkan kepalanya menanyakan sesuatu kepada kepala sekolah yang tengah mengobrol dengan kami. Tak lama dari itu tiba-tiba seorang guru masuk lagi langsung minta tanda tangan tanpa peduli bahwa kami sedang mengobrol. Karena kesal, akhirnya kepala sekolah itu mengunci pintu agar tak ada orang masuk. Dalam obrolan, saya sempat bertanya, apa kelebihan sekolah ini? Kepala sekolah terlihat berpikir keras selama beberapa menit sampai akhirnya menjawab, “Ini seperti toko serba ada, semua ada”. Dari jawaban itu saya baru faham, pantas saja satpam sekolah ini tak punya sense of excellent service, kepala sekolahnya saja tak bisa menjelaskan apa value preposition sekolahnya.

Kemegahan bangunan, serta berbagai prestasi yang telah diraih, rasanya menjadi tak ada apa-apanya. Karena bukan itu yang membaut kita terkesan, melainkan atmosfir sekolah, hidden curricullum, CULTURE.

Perjalanan kami lanjutkan ke sekolah Islam di tengah kampung. Bangunannya kecil sederhana. Pendiri sekolah ini seorang lulusan STM, tetapi mengabdikan separuh hidupnya untuk merumuskan dan menerapkan konsep sekolah kreatif yang dapat memanusiakan manusia. Saat ditanya tentang sekolahnya, dengan lancar dia menjelaskan konsep sekolah kreatif yang memberikan perhatian besar pada kreativitas anak dan guru. Ruang kelas dibuat tanpa daun pintu. Hanya lubang-lubang besar berbentuk kotak, lingkaran, bulan sabit, bintang. Sehingga ketika guru tidak menarik, siswa boleh keluar kapan saja. Tak ada seragam sekolah dan buku pelajaran.

Kami duduk di pelataran sekolah sambil menyaksikan keceriaan anak-anak yang tengah bermain. Selama kami duduk, ada tiga orang guru dalam waktu yang berbeda menghampiri menyambut kami dan bertanya, “ada yang bisa saya bantu?”. Saya menangkap semangat melayani para guru tersebut. Mereka ingin memastikan tak ada tamu yang tak dilayani dengan baik.Saat mengamati anak-anak bermain, saya melihat ada seorang anak yang jatuh dan menangis. Saya menebak bahwa guru akan segera membantu. Tetapi tebakan saya salah, ternyata dua teman sekelasnya datang menghibur dan membantunya untuk berdiri dan memapahnya ke kelas. Saya cukup terkesan.

Di sekolah yang sederhana ini saya menangkap aura kebahagiaan dari siswa dan guru-gurunya. Saya tak perlu tahu kurikulum dan sistemnya, saya sudah bisa merasakannya. Konsep dan visi pendirinya, ternyata bukan hanya di kertas. Saya bisa melihat dalam praktik. Itulah hidden curricullum, CULTURE.

Pada kesempatan lain rekan saya pernah juga terkesan oleh siswa sekolah internasional yang kebanyakan siswanya berkebangsaan Jepang. Saat itu rekan saya akan mengisi acara di depan siswa pukul 10 pagi. Setengah sepuluh aula masih kosong. Tak ada orang tak ada kursi. Lima belas menit sebelum acara para siswa datang, mengambil kursi lipat dan meletakkannya dalam posisi barisan yang rapi. Seusai acara, setiap siswa kembali melipat kursi dan meletakkannya di tempat penyimpanan, hingga ruangan kembali kosong dan bersih seperti semula. Itulah CULTURE.

Dari cerita di atas, saya semakin tidak tertarik pada prestasi apa yang diraih sekolah, semegah apa sebuah sekolah. Saya lebih tertarik bagaimana budaya sekolah dibangun dan diterapkan? Banyak sekolah yang menginvestasikan begitu banyak waktu dan pikiran untuk menyabet berbagai penghargaan. Tapi tak banyak yang serius membuat sekolah menjadi berharga dengan karakter dan budi pekerti. Banyak guru dan pelatih didatangkan untuk memberikan pembinaan tambahan pada siswa agar dapat menang lomba. Tapi sedikit sekali pelatihan service excellence untuk satpam dan karyawan. Dinding sekolah dipenuhi foto-foto siswa yang juara ini juara itu, tapi jarang sekali foto sesorang siswa dipajang karena dia melakukan sebuah kebaikan. Kehebatan lebih dihargai daripada kebaikan. Prestasi lebih berharga dari budi pekerti.

Kita harus segera mengubah sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada ta’lim (mengajarkan) menjadi ta’dib (penanaman adab). Dalam konsep compassionate school, ta’dib harus diterapkan secara menyeluruh (wholse school approach) meliputi tiga area, pertama SDM yaitu guru, karyawan, orangtua, hingga satpam, kedua kurikulum, dan yang ketiga iklim atau hidden curricullum.

Sebuah sekolah bukanlah pabrik yang melahirkan siswa-siswa pintar. Tapi sebuah lingkungan yang membuat semua unsur di dalamnya menjadi lebih ber-adab. Untuk mengukur apakah sebuah sekolah sudah menjadi compassionate school tak serumit standar ISO. Cobalah berinteraksi dengan satpam sekolah, amatilah bagaimana guru berinteraksi, siswa bersikap. Rasakan atmosfirnya…..