Ust. Harry Santosa
Orangtua kelahiran 80an-90an bahkan juga 70an, umumnya memang lebih percaya sekolah alternatif daripada sekolah negeri, namun sayangnya mereka tetap tidak memiliki wacana yang memadai tentang pendidikan yang hakiki dan misi sesungguhnya sebuah pendidikan, di sisi lain tak memahami perbedaan mendasar antara pendidikan dan persekolahan. Mereka “have no idea” tentang perbedaan Tarbiyah, Ta’dib, Ta’lim, Tadris dstnya, umumnya hanya mengikuti arus atau trend semata.
Sebagian ada yang fanatis dengan Sekolah Islam Terpadu, sebagian ada yang fanatis dengan Sekolah Alam, sebagian ada yang fanatis dengan memboarding school tahfidzkan anaknya bahkan sejak sekolah dasar, sebagian lagi ada yang fanatis dengan model sekolah adab dan kitab seperti Kutab, sebagian lagi lebih nyaman dengan Home Schooling walau galaunya tiap hari dsbnya.
Diduga para orangtua ini sebenarnya menyimpan obsesi pribadi untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, obsesi itu bisa berupa rasa takut atau rasa panik atau rasa ingin mengulang cita cita masa lalunya yang tidak kesampaian, atau rasa malasnya mendidik anak sendiri atau bahkan rasa paling benar dalam memilih sekolah.
Lihatlah ketika melihat kekurangan Sekolah Islam Terpadu, sebagian anak anak nya “dicoba” di Sekolah Alam. Lalu ketika melihat kekurangan Sekolah Alam, sebagian anaknya “dipasang” di Boarding School baik yang tahfizh maupun yang bukan. Lalu ketika melihat kelemahan lagi, mereka “mencoba” pertaruhan anaknya di Kutab. Lalu ketika melihat kelemahan lagi, mereka memilih Home Sxhooling. Lalu ketika kecapean Home Schooling mereka masukkan lagi anaknya ke salah satu sekolah di atas.
Ada pula orangtua yang “berjudi” dengan masa depan, dengan “memasang” anak anaknya secara distributif ke sekolah sekolah tersebut. Anak anak mereka tersebar di beberapa model sekolah tersebut. Anak pertama di Sekolah Islam Terpadu, anak kedua di Sekolah Alam, anak ketiga di Kutab, anak keempat di Pondok, anak kelima di homeschooling dstnya. Jika ada 10 anak dan ada 10 model pendidikan, pasti akan dipetakan “one one onto”. Mereka mau mengkomparasi hasil pendidikan dari semua sekolah itu.
Lalu kemudian muncul pragmatisme atau kemalasan berfikir menemukan pendidikan sejati, dengan mengatakan semua sekolah baik, tergantung orangtuanya masing masing, tergantung cocok cocokan anak anaknya. Sebagian bersembunyi atau menyembunyikan obsesi mereka di balik anak anak mereka dengan mengatakan anak anaknya yang mau bersekolah di sekolah demikian.
Sayangnya kebingungan para orangtua ini tak segera menjadi concern para pendiri sekolah, mereka umumnya malah sibuk berkompetisi untuk mendapat pangsa pasar terbanyak. Para orangtua dijadikan obyek marketing.
Di sisi lain para konseptor masing masing sekolah itu, walau substansinya sama yaitu mengambil dari Kitabullah dan sejarah peradaban, namun sayangnya sulit bahkan tak pernah duduk bareng berkolaborasi merumuskan pendidikan terbaik bersama, saling melengkapi kekurangan masing masing, tidak merasa paling benar sendiri dstnya.
Sementara peradaban barat terus berbenah setiap hari, mereformasi dirinya tiada henti, maka kini sudah bukan waktunya lagi “Merasa Paling Benar Sendiri” , walau sumbernya jernih namun karena yang mengambil airnya adalah manusia, maka niscaya tidak steril dari cara pandang subyektif yang salah dan unsur hawa nafsu obsesif manusia. Dengan menurunkan ego serendahnya, tawadhu dalam membangun peradaban gemilang seharusnya kita bisa berkolaborasi.
Sesungguhnya ummat membutuhkan panduan yang ajeg, tentang perbedaan kedudukan antara pendidikan dan persekolahan, antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Orangtua membutuhkan pemahaman komprehensif tentang peran orangtua dalam mendidik dan peran sekolah, obyektif apa yang dididik oleh orangtua dan obyektif apa yang diajarkan oleh orangtua maupun sekolah.
Orangtua harus tahu kapan dan bagaimana tahapan fitrah dibangkitkan, dirawat dan ditumbuhkan. Juga kapan dan bagaimana adab dibentuk dan ditanamkan. Juga kapan dan bagaimana ilmu pengetahuan dan keterampilan diberikan dan diajarkan.
Dengan demikian tiada lagi orangtua yang berjudi dengan masa depan.
Salam Pendidikan Masa Depan
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah