Berjudi dengan (Pendidikan) Masa Depan

Ust. Harry Santosa

Orangtua kelahiran 80an-90an bahkan juga 70an, umumnya memang lebih percaya sekolah alternatif daripada sekolah negeri, namun sayangnya mereka tetap tidak memiliki wacana yang memadai tentang pendidikan yang hakiki dan misi sesungguhnya sebuah pendidikan, di sisi lain tak memahami perbedaan mendasar antara pendidikan dan persekolahan. Mereka “have no idea” tentang perbedaan Tarbiyah, Ta’dib, Ta’lim, Tadris dstnya, umumnya hanya mengikuti arus atau trend semata.

Sebagian ada yang fanatis dengan Sekolah Islam Terpadu, sebagian ada yang fanatis dengan Sekolah Alam, sebagian ada yang fanatis dengan memboarding school tahfidzkan anaknya bahkan sejak sekolah dasar, sebagian lagi ada yang fanatis dengan model sekolah adab dan kitab seperti Kutab, sebagian lagi lebih nyaman dengan Home Schooling walau galaunya tiap hari dsbnya.

Diduga para orangtua ini sebenarnya menyimpan obsesi pribadi untuk tidak mengulang kesalahan yang sama, obsesi itu bisa berupa rasa takut atau rasa panik atau rasa ingin mengulang cita cita masa lalunya yang tidak kesampaian, atau rasa malasnya mendidik anak sendiri atau bahkan rasa paling benar dalam memilih sekolah.

Lihatlah ketika melihat kekurangan Sekolah Islam Terpadu, sebagian anak anak nya “dicoba” di Sekolah Alam. Lalu ketika melihat kekurangan Sekolah Alam, sebagian anaknya “dipasang” di Boarding School baik yang tahfizh maupun yang bukan. Lalu ketika melihat kelemahan lagi, mereka “mencoba” pertaruhan anaknya di Kutab. Lalu ketika melihat kelemahan lagi, mereka memilih Home Sxhooling. Lalu ketika kecapean Home Schooling mereka masukkan lagi anaknya ke salah satu sekolah di atas.

Ada pula orangtua yang “berjudi” dengan masa depan, dengan “memasang” anak anaknya secara distributif ke sekolah sekolah tersebut. Anak anak mereka tersebar di beberapa model sekolah tersebut. Anak pertama di Sekolah Islam Terpadu, anak kedua di Sekolah Alam, anak ketiga di Kutab, anak keempat di Pondok, anak kelima di homeschooling dstnya. Jika ada 10 anak dan ada 10 model pendidikan, pasti akan dipetakan “one one onto”. Mereka mau mengkomparasi hasil pendidikan dari semua sekolah itu.

Lalu kemudian muncul pragmatisme atau kemalasan berfikir menemukan pendidikan sejati, dengan mengatakan semua sekolah baik, tergantung orangtuanya masing masing, tergantung cocok cocokan anak anaknya. Sebagian bersembunyi atau menyembunyikan obsesi mereka di balik anak anak mereka dengan mengatakan anak anaknya yang mau bersekolah di sekolah demikian.

Sayangnya kebingungan para orangtua ini tak segera menjadi concern para pendiri sekolah, mereka umumnya malah sibuk berkompetisi untuk mendapat pangsa pasar terbanyak. Para orangtua dijadikan obyek marketing.

Di sisi lain para konseptor masing masing sekolah itu, walau substansinya sama yaitu mengambil dari Kitabullah dan sejarah peradaban, namun sayangnya sulit bahkan tak pernah duduk bareng berkolaborasi merumuskan pendidikan terbaik bersama, saling melengkapi kekurangan masing masing, tidak merasa paling benar sendiri dstnya.

Sementara peradaban barat terus berbenah setiap hari, mereformasi dirinya tiada henti, maka kini sudah bukan waktunya lagi “Merasa Paling Benar Sendiri” , walau sumbernya jernih namun karena yang mengambil airnya adalah manusia, maka niscaya tidak steril dari cara pandang subyektif yang salah dan unsur hawa nafsu obsesif manusia. Dengan menurunkan ego serendahnya, tawadhu dalam membangun peradaban gemilang seharusnya kita bisa berkolaborasi.

Sesungguhnya ummat membutuhkan panduan yang ajeg, tentang perbedaan kedudukan antara pendidikan dan persekolahan, antara tarbiyah, ta’dib dan ta’lim. Orangtua membutuhkan pemahaman komprehensif tentang peran orangtua dalam mendidik dan peran sekolah, obyektif apa yang dididik oleh orangtua dan obyektif apa yang diajarkan oleh orangtua maupun sekolah.

Orangtua harus tahu kapan dan bagaimana tahapan fitrah dibangkitkan, dirawat dan ditumbuhkan. Juga kapan dan bagaimana adab dibentuk dan ditanamkan. Juga kapan dan bagaimana ilmu pengetahuan dan keterampilan diberikan dan diajarkan.

Dengan demikian tiada lagi orangtua yang berjudi dengan masa depan.

Salam Pendidikan Masa Depan

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

Advertisement

Pendidikan Kebencanaan

Hasanudin Abdurakhman

Kita semua tidak suka pada kenyataan ini. Tapi, suka atau tidak kita harus menerimanya sebagai kenyataan. Negeri kita ini rawan bencana. Karena itu, kita harus bersiap untuk menghadapinya. Ada bencana yang bisa diramalkan kedatangannya, ada yang tidak. Persiapan menghadapi bencana akan menentukan apakah kita akan selamat atau tidak. Dalam jangka panjang persiapan menghadapi bencana itu berupa pendidikan kebencanaan.

Perilaku orang saat terjadi bencana menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita tidak siap menghadapi bencana. Pemerintah tidak siap, rakyat juga tidak siap. Dari generasi ke generasi kita mengalami banyak jenis bencana, tapi kita tidak mendapat pendidikan yang layak soal kebencanaan.

Saat terjadi gempa ringan di gedung kantor tempat saya bekerja, misalnya, segera timbul kepanikan. Orang tidak bertindak mengikuti prosedur keselamatan. Saat diminta keluar dari gedung, masih sangat banyak yang turun dengan lift, padahal itu dilarang. Saat terjadi tsunami, masih banyak orang yang berdiri di dekat pantai, menonton dan mengambil gambar, bukan lari mencari tempat aman. Sikap-sikap semacam ini merupakan indikasi bahwa banyak orang yang tidak cukup terdidik dan terlatih dalam menghadapi bencana.

Kelalaian ini harus segera dihentikan. Pendidikan kebencanaan harus dimasukkan ke kurikulum pendidikan kita. Hal penting pertama yang harus jadi materi pendidikan adalah kesadaran atas kenyataan bahwa kita memang hidup di daerah rawan bencana. Harus ada penyadaran bahwa bencana terjadi karena kondisi daerah yang kita tempati memang rawan. Kita berada di Cincin Api, daerah yang selalu kena gempa, juga letusan gunung berapi. Secara geografis memang begitulah kenyataannya.

Kesadaran itu akan membangun sikap dasar, bahwa bencana itu terjadi karena kondisi alam, bukan faktor lain. Bukan, misalnya, sebagai akibat kemarahan Tuhan. Salah dalam cara berpikir soal bencana akan menyebabkan kita salah dalam membuat persiapan.

Setiap daerah menghadapi ancaman bencana yang berbeda. Selain pengetahuan yang bersifat umum, para pelajar perlu dididik untuk mengenali potensi bencana di daerah tempat mereka tinggal. Sepanjang garis pantai selatan Jawa dan Sumatera adalah daerah rawan gempa. Demikian pula wilayah Indonesia bagian timur. Dengan demikian gempa adalah bencana utama yang harus dikenali. Beberapa daerah berada di dekat gunung berapi. Pola bencana yang ditimbulkannya khas, berbeda dengan gempa bumi.

Ada pula daerah yang rawan banjir, tanah longsor, angin topan, dan sebagainya. Semua perlu dikenali dan disikapi dengan cara yang khas sesuai potensi ancamannya. Karena itu pelajar perlu dididik untuk mengenal potensi bencana khas daerah mereka masing-masing.

Itu kemudian diikuti dengan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan tentang bagaimana bersikap saat terjadi bencana. Sikap adalah keterampilan. Basisnya bukan pengetahuan yang diajarkan secara verbal di kelas. Keterampilan dihasilkan dari latihan berulang. Pelajar harus dilatih mencari tempat perlindungan saat serangan bencana terjadi. Mereka harus bertindak tepat agar selamat. Tanpa pengetahuan dan keterampilan, mereka akan bersikap keliru yang membahayakan diri.

Itulah yang terjadi selama ini. Pendidikan kita berpusat pada aktivitas mengajarkan pengetahuan, minim dalam pembentukan sikap. Selama ini banyak orang yang sudah tahu soal bencana yang ia hadapi, tapi tidak bersikap sesuai. Bahkan saat mendapat peringatan dalam kejadian bencana pun mereka tetap tidak mengubah sikap.

Yang tak kalah penting adalah persiapan dan sikap untuk menghadapi keadaan pascabencana. Ketika bencana terjadi, semua berubah total. Bahan makanan yang biasanya berlimpah ruah, jadi sirna dan sulit didapat. Jalur-jalur pemasokan barang terputus. Dalam keadaan tidak ada barang, berapa pun uang yang kita punya jadi tidak berguna. Apalagi uang yang tersimpan di rekening bank, yang otomatis terputus dari jangkauan kita.

Sikap apa yang penting untuk keadaan itu? Dalam standarnya, kita harus menyediakan bahan pangan untuk keperluan darurat. Tapi, adakah itu dipraktikkan di daerah-daerah rawan bencana? Tidak. Situasinya sama seperti saat terjadi bencana tadi. Orang tahu, tapi tidak mewujudkan pengetahuan itu dalam sikap.

Ancaman berikut setelah ancaman bencana utama adalah ketiadaan bahan dalam kondisi darurat, terutama bahan pangan. Korban bencana langsung berhadapan dengan ancaman kelaparan dan kekurangan air minum. Itu akibat tiadanya persiapan, yang merupakan akibat lanjutan dari tiadanya pendidikan kebencanaan.

Sadar bencana dan potensinya akan berpengaruh ke pola pikir yang efeknya tidak hanya pada pribadi. Saat kelak mereka belajar merancang bangunan, mereka akan terpikir soal aspek antisipasi bencana. Saat belajar membangun kota, hal itu ikut dipikirkan. Saat merumuskan kebijakan, hal itu menjadi bagian yang dipertimbangkan. Kita harus mendidik generasi yang berbeda dengan generasi kita, yang nyaris buta dan tuli terhadap ancaman dan kenyataan bencana.

State-Free Education

Adriano Rusfi

Berharap negara akan melapangkan jalan bagi anak bangsa untuk mengembangkan pendidikan yang memberadabkan, tampaknya semakin lama makin jauh panggang dari api. Bahkan semakin dapat dipastikan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah kementerian dengan tingkat kemudharatan paling tinggi bagi bangsa ini. Syahwat para petinggi bangsa ini, Presiden – DPR – Mendikbud, untuk MENGATUR PENDIDIKAN bukan MELAYANI PENDIDIKAN bangsa ini tak pernah menyurut dari dulu hingga kini. Secercah harapan sebenarnya sempat muncul lewat UU SISDIKNAS No 20/2003 yang dirancang dengan suasana batin deregulatif, namun waktu akhirnya bercerita bahwa itu semua adalah janji palsu negara kepada rakyatnya.

Tak bisa tidak, akhirnya kita, rakyat, harus merebut hak pendidikannya sendiri demi masa depan peradaban bangsa ini. Menyerahkan masa depan pendidikan pada kebijakan politik harus disadari sebagai sangat berbahaya. Harus diakui bahwa pendidikan dan persekolahan adalah hajat hidup sosial tertinggi manusia modern, sehingga menguasai politik pendidikan berarti menguasai hajat hidup terdalam masyarakat moderen, sehingga akan terus-menerus menjadi obyek kebijakan politik penguasa paling seksi. Dan kebutuhan ini semakin krusial, mengingat rejim kekuasaan saat ini memiliki ketakutan yang luar biasa terhadap keterdidikan rakyat, lewat tema-tema radikalisme, ujaran kebencian, hoax, kebhinnekaan, anti-NKRI, SARA dan sebagainya.

STATE-FREE EDUCATION, tampaknya ini yang harus segera direbut anak bangsa ini : Pendidikan Bebas Negara. Ya, segera… hari ini, bukan besok !!! Ini adalah sebuah gerakan pemberadaban bangsa yang harus melepaskan diri, setidaknya meminimalkan, dari peran dan keterlibatan kekuasaan negara dalam regulasi pendidikan anak bangsa, serta melepaskan diri dari jerat-jerat birokrasi dan formalisasi yang mengungkung, seperti : perijinan, pengawasan, akreditasi dan sertifikasi negara. Sangat saya sadari bahwa gagasan ini akan segera dibaca oleh negara sebagai sesuatu yang sangat berbahaya, karena kekuasaan sejak dulu kadung percaya bahwa : pendidikan yang tak dikontrol negara akan sangat berbahaya bagi masa depan negara itu sendiri.

STATE-FREE EDUCATION ini pada dasarnya akan terbagi pada dua pendekatan. Pertama, pendekatan informal yang sama sekali tak membutuhkan kelembagaan, perijinan dan predikat apapun. Pendidikan jenis ini berlaku untuk PAUD dan SD, sepenuhnya dilakukan di rumah dan komunitas, dalam rangka pembentukan karakter kedewasaan (aqil-baligh), dengan melibatkan agama, kehidupan, kebudayaan dan kearifan lokal sebagai kerangka dan muatan pembelajarannya. Kedua, pendekatan non-formal yang melibatkan kembaga pembelajaran kompetensi, para profesional atau para pakar (maestro). Pembelajaran jenis ini berlaku untuk SMP (mungkin juga SMA) dan Pendidikan Tinggi, dilakukan di kehidupan, training center dsb, dalam rangka pembentukan kompetensi berbasis bakat, dengan menghidupkan lagi model pembelajaran BERGURU dan MENUNTUT ILMU.

Harus diakui, STATE-FREE EDUCATION ini baru akan berjalan baik pada sebuah civil community yang berdaya. Karena ia ditegakkan oleh aset sosial-budaya dan dikontrol-diukur oleh Sociocultural-Based Evaluation. Tapi tunas-tunas itu sedang tumbuh melalui gerakan Homeschooling, Home Education, Parenting, Community-Based Education. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebenarnya dapat menjadi awal mula dari gerakan ini. Namun jika pada akhirnya PKBM dengan Kejar Paket A-B-C akan menjadi alat kekuasaan pula, maka lupakan !!! Rumah, masjid dan rumah ibadah lainnya harus menjadi sentra gerakannya. Meunasah, Surau, Mushalla dan langgar harus didigdayakan. Para penggiat pendidikan pecinta bangsa dan NKRI, mari bersatu dan memulai !!!

Paradoks Pendidikan dan Dunia Kerja

Didik J Rachbini ;
Guru Besar Ilmu Ekonomi UMB Jakarta; Ekonom Senior INDEF
DETIKNEWS, 10 Januari 2017

Kondisi sumberdaya manusia (SDM) Indonesia tergolong rendah kualitasnya sehingga dunia usaha dan industri menghadapi kesulitan untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu cepat. Investor baru dari luar atau dalam negeri yang membawa teknologi khusus menghadapi kesulitan yang serius mencari tenaga kerja yang baik di Indonesia karena ketersediaan tenaga kerja berketerampilan sangat terbatas.

Lulusan dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri. Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan ketrampilan masih sangat sedikit.

Jadi di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang. Pada level menengah dan atas terjadi labor shortage atau kekurangan ketrampilan dan keahlian tingkat menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah dan tinggi banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi pasokannya kurang.

Sementara itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya. Perhatikan jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan tenaga kerja tidak trampil sangat besar jumlahnya.

Mengapa terjadi labor shortage di level atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga kerja yang berketrampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan laboratorium yang rumit. Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan dan ketrampilannya.

Dan yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat pembangunan secara umum (mismatch).

Dunia industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi.

Kondisi inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China, kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi. Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.

Kekuatan ekonomi nasional hanya bertumpu pada produksi bahan mentah dan bahan setengah jadi, yang hanya mengeksploitasi sumberdaya alam. Penerimaan devisa juga berasal dari ekspor bahan mentah tersebut. Ini terjadi karena SDM di Indonesia secara umum masih kurang memadai.

Pada level bawah terjadi apa yang disebut labor surplus atau kelebihan tenaga kerja tidak terampil. Hampir separuh dari SDM pekerja secara nasional sangat tidak berketerampilan karena golongan ini cuma lulusan SD ke bawah. Apa yang bisa diperbuat oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah seperti ini? Tentu dengan pendidikan seperti ini kualitasnya sangat rendah dan jauh dari memadai sehingga tidak bisa mendukung industrialisasi secara masif.

Bahkan banyak investasi asing yang akan masuk masuk sektor industri merasa tidak layak karena dukungan kualitas tenaga kerjanya yang rendah. Industrialisasi menghadapi tantangan pada keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, selain pada aspek kebijakan industri itu sendiri.

Inilah tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan ketrampilan kurang memadai (labor surplus). Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana permintaan tenaga berkerampilan di level atas kurang pasokannya.

Sistem pendidikan kita selama 3-4 dekade masih belum berhasil mengentaskan golongan bawah sampai ke jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bahkan sampai hampir dua dekade anggaran pendidikan ditingkatkan ekstrem sampai 20 persen, tetap saja saja banyak golongan bawah yang berhenti sampai tingkat sekolah dasar saja. Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di bidangnya.

Baru-baru ini pendidikan vokasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian presiden. Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat lulusannya dengan ketrampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja, khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.

Presiden sudah mengajak dunia usaha dan BUMN untuk mengembangkan dan membangun pendidikan vokasi agar pasokan tenaga kerja berketrampilan semakin banyak. Tetapi dalam pandangan saya kebijakan ini masih bersifat wacana karena rencana kebijakan seperti ini belum diikuti oleh suatu gerakan yang bersifat kolektif bersama dunia usaha, BUMN dan pemerintah daerah. Sebagai tidak lanjut arahan dan anjuran presiden juga belum terlihat mobilisasi dana, sumberdaya kebijakan, sumberdaya birokrasi, teknologi dan lainnya. Juga tidak terlihat ada kebijakan komprehensif dan birokrasi mana yang bertanggung jawab untuk hal ini.

Sebagai perbandingan, lihat dan pelajari kebijakan pangan di masa lalu. Sumberdaya kebijakannya jelas. Yang bertanggung jawab pasokan pupuk adalah Departemen Perindustrian yang harus membangun pabrik-pabrik pupuk melalui BUMN (Pusri, Pupuk Kaltim, Petro Kimia Gresik, dll). Jaringan irigasi dibuat oleh Departemen PU, benih dan penyuluh dikerjakan oleh Departemen Pertanian.

Anatomi sistem kebijakan seperti contoh di atas jelas. Tetapi kebijakan pendidikan vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik. Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut.

Menimbang Pendidikan Indonesia

Oleh : Komaruddin Hidayat ;
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 03 Oktober 2014

Pekan lalu Anindiya, alumnus SMU Madania Parung, Bogor, yang sudah dua tahun berkuliah di Ritsumeikan APU, Jepang, sengaja datang ke kantor saya di sela-sela liburannya ke Jakarta.

Dia datang untuk berbagi kegelisahan mengenai pendidikan Indonesia yang menurutnya tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Sebagai aktivis, Anin banyak bergaul dan diskusi dengan sesama mahasiswa Asia. Yang membuatnya gelisah, mahasiswa lain lebih siap menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Di Thailand misalnya sejak SMU anak-anak sudah mulai belajar bahasa dan peta bumi Indonesia.

Mereka mulai dipersiapkan mengenal potensi ekonomi dan lapangan kerja di Indonesia ketika nanti dibuka pasar bebas ASEAN yang memungkinkan tenaga kerja asing bekerja dan bersaing dengan putra-putra di negara kita. Anin sangat khawatir sarjana-sarjana Indonesia sulit bersaing dengan sarjana Jepang, Korea, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura dan kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan serius dan segera.

Di Indonesia terdapat sekitar 3.500 perguruan tinggi negeri dan swasta, lulusannya akan bersaing ketat memperebutkan lapangan kerja dengan lulusan perguruan tinggi di ASEAN. Ini sebuah tantangan dan sekaligus mimpi buruk mengingat sebagian perguruan tinggi kita sekadar memberikan ijazah, namun miskin kompetensi. Sekarang ini diperkirakan setiap tahun terdapat satu juta sarjana baru.

Dibanding Malaysia dan Singapura, angkatan kerja mereka terbanyak diisi sarjana dan tamatan sekolah menengah kejuruan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak 118,17 juta orang. Sungguh fantastis, suatu bonus demografi yang tidak dimiliki bangsa Jepang, Korea, dan negara-negara tetangga. Namun, itu semua akan berbalik menjadi beban jika ternyata miskin kompetensi dan kalah bersaing dalam panggung MEA nanti.

Diberitakan, sedikitnya 600.000 lulusan perguruan tinggi menganggur yang sekarang tengah berjuang mendapatkan lapangan kerja. Terdapat lima fungsi utama yang mesti diperhatikan oleh lembaga pendidikan pada setiap jenjang. Pertama, sebagai tempat pembentukan karakter. Lewat pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan lingkungan dan keteladanan yang baik agar tumbuh menjadi pribadi yang terpuji. Makanya sekolah disebut almamater, bagaikan sosok ibu kandung yang membesarkan dan mendidik kita semua agar jadi anak yang mandiri dan berkepribadian baik.

Kedua, lembaga pendidikan adalah tempat transfer ilmu pengetahuan dari para guru pada anak didiknya. Jika guru atau dosen tidak menguasai dan menambah ilmu, lalu apa yang hendak ditransfer? Tidak sebatas transfer, tetapi para guru dan dosen itu juga mengajari bagaimana berburu ilmu pengetahuan atau riset (re-search), sebuah usaha tanpahenti, mencari dan kembali mencari, untuk selalu memperluas cakrawala pengetahuan sehingga dunianya semakin luas dan kaya. Menguasai metode menggali ilmu tidak kalah pentingnya dari sekadar menerima ilmu. Seseorang yang kaya ilmu pasti akan banyak referensi dan komparasi ketika membuat sebuah keputusan dalam hidupnya.

Ketiga, lembaga pendidikan adalah juga tempat untuk melatih peserta didik mengembangkan keterampilan sosialnya. Keterampilan dan keluwesan berkomunikasi dan bersosialisasi sangat penting bagi kehidupan seseorang. Profesi apa pun, terlebih di zaman yang serbaterbuka dan kompetitif ini, keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Tidak lagi zamannya berpikir ”diam itu emas”.

Keempat, lembaga pendidikan juga berperan memberikan skill pada seseorang sehingga dengan keahlian yang dimiliki diharapkan akan bisa hidup produktif dan mandiri agar hidupnya tidak menjadi beban orang lain. Syukur-syukur bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Kelima, lembaga pendidikan hendaknya secara sadar membantu mengantarkan agar seseorang tumbuh menjadi seorang pemimpin. Sikap kepemimpinan (leadership) akan diperlukan oleh siapa pun, minimal sekali kepemimpinan dalam rumah tangga. Lebih dari itu, setiap posisi atau karier seseorang sesungguhnya memerlukan kualitas kepemimpinan. Karena itu, menjadi sangat penting pelajaran dan latihan kepemimpinan di sekolah dan perguruan tinggi.

Salah satu ciri seorang pemimpin adalah memiliki inisiatif, memiliki kepekaan sosial, peduli pada nasib orang lain, memiliki rasa tanggung jawab, dan berani ambil risiko atas keputusan yang diambilnya. Pelatihan kepemimpinan ini semakin kurang memperoleh perhatian di sekolah.

Keenam, tidak kalah pentingnya dari semua itu, peran lembaga pendidikan adalah juga mendidik anak agar tumbuh menjadi pejuang kehidupan, agar memiliki climber mentality. Pendaki dan penakluk gunung kehidupan yang tak mudah menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan. Banyak anak-anak yang bermental quitter, mudah takluk ketika dihadapkan problem.

Demikianlah, sebagai orang tua kita pasti memiliki harapan pada anak-anak kita agar tumbuh menjadi pribadi seperti yang saya kemukakan di atas. Kewajiban pendidik itu sebagian diserahkan pada lembaga pendidikan. Orang tua dan guru merupakan mitra coeducator bagi anak didik.

Dulu ada ungkapan: al-ummu madrasatul ula. Sosok ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sekarang tidak bisa lagi diandalkan karena banyak ibu yang juga aktif bekerja di luar, lalu peran pendidik diambil guru di sekolah, oleh pembantu rumah tangga, dan TV.

 

Pemerataan Pendidikan Bermutu

Oleh : Elin Driana ; Dosen Program Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta
KOMPAS, 10 Januari 2017

Keunggulan (excellence) dan pemerataan (equity) kerap dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, tetapi tidak mustahil untuk diraih secara bersamaan. Laporan-laporan siklus tiga tahunan Programme in International Student Assessment atau PISA secara konsisten menegaskan bahwa sistem pendidikan di dunia dengan capaian terbaik adalah yang dapat memberikan kesempatan yang adil bagi semua siswa tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang keluarga, ataupun status sosial ekonomi untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi.

Laporan PISA 2015 bertema “Excellence and Equity in Education” yang telah dirilis pada 6 Desember 2016 menunjukkan bahwa keunggulan dan pemerataan dapat diperjuangkan secara bersamaan seperti dicontohkan oleh Denmark, Kanada, Estonia, Hongkong, dan Makao. Hasil PISA 2015 memang menggambarkan peningkatan capaian siswa Indonesia usia 15 tahun yang cukup berarti dalam sains dan matematika dibandingkan tahun 2012. Skor rata-rata siswa Indonesia pada PISA 2015 untuk sains, membaca, dan matematika berturut-turut adalah 403, 397, dan 386.

Adapun skor rata-rata untuk sains, membaca, dan matematika pada 2012 berturut-turut adalah 382, 396, dan 375. Meskipun demikian, skor rata-rata tersebut masih di bawah negara-negara ASEAN yang berpartisipasi dalam PISA, yaitu Singapura, Vietnam, dan Thailand, serta masih berada di kelompok terbawah.

Kesenjangan berdasarkan faktor sosial ekonomi

Meskipun capaian siswa Indonesia dalam sains dan matematika berdasarkan hasil PISA 2015 menunjukkan peningkatan dibandingkan PISA 2012, ternyata faktor sosial ekonomi masih menjadi salah satu penghambat siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka, bahkan cenderung menguat.

Sebagai contoh, untuk sains, skor rata-rata siswa yang berasal dari kuartil status sosial ekonomi terendah hingga tertinggi berturut-turut 378, 393, 403, dan 438. Perbedaan antara skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai 60 poin. Meskipun terdapat perkecualian-perkecualian, secara umum, skor rata-rata siswa dari keluarga yang lebih berada cenderung lebih tinggi dibandingkan skor rata-rata siswa dari keluarga yang kurang beruntung.

Adapun siswa yang tidak mencapai Level 2 berdasarkan status sosial ekonomi terendah hingga tertinggi berturut-turut 71,1 persen, 61,9 persen, 54,4 persen, dan 36,2 persen. Persentase siswa dari kelompok status sosial ekonomi terendah yang tidak mencapai Level 2 dua kali lipat dibandingkan siswa dari kelompok status sosial ekonomi tertinggi.

Level 2 ini dipandang sebagai kemampuan dasar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki siswa usia 15 tahun dalam sains, membaca, ataupun matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah keseharian. Dengan demikian, semakin rendah status sosial ekonomi, semakin tinggi peluang siswa tak mencapai level kecakapan dasar tersebut.

Temuan PISA 2015 ternyata sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan Anindito Aditomo dan Ide Bagus Siaputra (2016), peneliti dari Universitas Surabaya, terhadap hasil ujian nasional (UN) siswa SMA dan SMK tahun 2016 yang mengonfirmasi keterkaitan antara capaian siswa dan status sosial ekonomi siswa yang diwakili oleh tingkat pendidikan orangtua dan jenis pekerjaan orangtua.

Secara umum, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua, rata-rata nilai UN yang diperoleh siswa cenderung semakin tinggi. Perbedaan nilai rata-rata UN berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua tampak semakin lebar pada mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Sebagai contoh, perbedaan nilai Matematika siswa yang ibunya tidak bersekolah/tidak tamat SD dan yang ibunya lulus sarjana atau pascasarjana mencapai 17 poin.

Para peneliti di bidang pendidikan telah mengemukakan beragam teori untuk menjelaskan kesenjangan capaian siswa yang terkait dengan status sosial ekonomi mereka. Linda Darling-Hammond (2010), misalnya, menyatakan bahwa kesenjangan capaian akademis terkait dengan kesenjangan kesempatan (opportunity gap) yang kerap menghambat anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk memaksimalkan potensi mereka.

Siswa dari keluarga kurang mampu biasanya tak seberuntung siswa dari keluarga yang lebih berada dalam perolehan pengalaman-pengalaman belajar yang lebih kaya sejak usia dini, termasuk melalui beragam fasilitas pendidikan yang dimiliki dan dalam mengakses faktor-faktor pendukung lain, seperti pemenuhan gizi yang lebih baik sejak dalam kandungan. Sementara, T Anthony Walker (2016) mengungkapkan, kesenjangan capaian akademis berakar dari hal yang lebih mendasar, yaitu kesenjangan harapan (expectation gap). Kesenjangan harapan didefinisikan sebagai kesenjangan antara apa yang dibutuhkan individu atau kelompok demi tercapainya tujuan suatu kebijakan dan realisasi upaya-upaya memfasilitasi perubahan struktural yang dibutuhkan guna melakukan perbaikan-perbaikan.

Akuntabilitas pendidikan berdasarkan hasil-hasil tes dilandasasi oleh asumsi bahwa dengan menetapkan standar tertentu yang capaiannya diukur melalui tes terstandar akan memicu para pelaku di bidang pendidikan untuk meningkatkan kinerja mereka. Akan tetapi, kajian-kajian empiris menunjukkan bahwa pemenuhan unsur-unsur yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja tersebut berjalan sangat lambat dibandingkan rutinitas pengukuran pendidikan.

Di Indonesia, ketertinggalan capaian siswa dari keluarga kurang mampu dibandingkan rekan mereka dari keluarga lebih mampu, baik dari hasil penilaian internasional, seperti PISA, maupun UN, mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mengatasi hambatan-hambatan terkait status sosial ekonomi siswa yang berpengaruh terhadap capaian siswa masih belum memadai. Satuan pendidikan sebenarnya berpotensi mengatasi hambatan-hambatan terkait latar belakang keluarga siswa.

Akan tetapi, mutu satuan pendidikan, termasuk mutu guru, mutu pembelajaran, dan berbagai fasilitas penunjang pembelajaran pun masih sangat beragam sehingga siswa dari keluarga yang kurang mampu ini belum tentu mendapatkan akses pendidikan yang bermutu.

Tindak lanjut

Sekurang-kurangnya, ada tiga hal mendasar yang sepatutnya segera dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk pemerataan mutu pendidikan di Tanah Air. Pertama, mengevaluasi efektivitas kebijakan-kebijakan yang ditujukan pada kelompok masyarakat dan satuan pendidikan yang lebih membutuhkan agar kondisi sosial ekonomi siswa dan satuan pendidikan tidak lagi menjadi faktor dominan yang menghalangi peluang anak-anak dari kelompok ekonomi tersebut untuk memaksimalkan potensi mereka. Bantuan finansial yang diberikan pada satuan pendidikan selayaknya mempertimbangkan juga kondisi satuan pendidikan tersebut.

Kedua, meninjau sistem pendidikan nasional secara menyeluruh sebagaimana perintah yang tercantum pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan 58 warga negara terkait UN yang telah dikuatkan oleh penolakan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan pemerintah. Hasil penilaian internasional yang telah diikuti siswa-siswa Indonesia dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa ini secara umum menunjukkan bahwa siswa-siswa Indonesia masih lemah dalam penguasaan kecakapan berpikir tingkat tinggi yang amat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

Ketiga, dalam jangka pendek, pemerintah selayaknya melakukan moratorium UN untuk memberikan kesempatan pada upaya-upaya untuk membenahi masalah-masalah pendidikan yang sesungguhnya telah teridentifikasi melalui berbagai instrumen. Data yang diperoleh dari berbagai penilaian, seperti PISA dan UN, yang telah dikumpulkan dalam waktu lebih dari satu dasawarsa, sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia. Meskipun tidak ada UN, pemetaan mutu pendidikan tetap dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen lain, seperti Indonesian National Assessment Program (INAP).

Kini saatnya menagih komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban mereka untuk “memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi” sebagaimana diamanahkan Pasal 11 Ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003.

 

Paradoks Pendidikan dan Dunia Kerja

Didik J Rachbini;
Guru Besar Ilmu Ekonomi UMB Jakarta; Ekonom Senior INDEF
DETIKNEWS, 10 Januari 2017

Kondisi sumberdaya manusia (SDM) Indonesia tergolong rendah kualitasnya sehingga dunia usaha dan industri menghadapi kesulitan untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu cepat. Investor baru dari luar atau dalam negeri yang membawa teknologi khusus menghadapi kesulitan yang serius mencari tenaga kerja yang baik di Indonesia karena ketersediaan tenaga kerja berketerampilan sangat terbatas.

Lulusan dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak membawa keterampilan yang memadai di bidang teknologi dan industri. Kebanyakan sarjana yang lulus berasal dari bidang humaniora, yang kurang sesuai untuk masuk pasar kerja di bidang ini. Pasokan sarjana sudah atau bahkan terlalu banyak, tetapi pasokan ketrampilan masih sangat sedikit.

Jadi di level bawah dan atas dari piramida sistem SDM kita terjadi paradoks atau bahkan disebut anomali, yang merugikan atau sangat tidak menguntungkan pembangunan nasional di masa sekarang dan mendatang. Pada level menengah dan atas terjadi labor shortage atau kekurangan ketrampilan dan keahlian tingkat menengah dan tinggi. Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah dan tinggi banyak diperlukan sejalan dengan modernisasi ekonomi Indonesia tetapi pasokannya kurang.

Sementara itu, di level bawah terjadi labor surplus atau pasokan tenaga kerja tidak terdidik dan tidak berketerampilan yang banyak sekali jumlahnya. Perhatikan jika suatu lembaga pemerintah atau perusahaan swasta membuka lowongan secara terbuka untuk beberapa ratus tenaga kerja kelas bawah, maka pelamar yang datang bisa puluhan ribu dan membludak banyak sekali. Itu pertanda pasokan tenaga kerja tidak trampil sangat besar jumlahnya.

Mengapa terjadi labor shortage di level atas? Jawabnya karena perguruan tinggi di Indonesia tidak menghasilkan tenaga kerja yang berketrampilan sesuai kebutuhan dunia industri. Kebanyakan perguruan tinggi yang ada hanya mengambil jalan mudah dengan membuat fakultas dan jurusan humaniora, yang tidak memerlukan biaya mahal dan tidak memerlukan laboratorium yang rumit. Pada saat yang sama, golongan muda di Indonesia juga tidak menyukai pendidikan keteknikan karena tidak mudah mengejar kemampuan dan ketrampilannya.

Dan yang menyedihkan kebijakan untuk menyambung sistem pendidikan dengan dunia industri tidak pernah benar-benar dijalankan. Kebanyakan pendidikan dan pendidikan tinggi sejak lama mengambil jalannya sendiri, kacamata kuda dan tidak mau tahu kebutuhan dunia di luarnya. Akhirnya lulusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan kebutuhan masyarakat pembangunan secara umum (mismatch).

Dunia industri tidak bisa dengan mudah mendapatkan pasokan tenaga kerja berketerampilan dari pasar tenaga kerja Indonesia. Yang ada adalah pasokan tenaga kerja tidak berketerampilan, baik dari yang hanya berpendidikan rendah maupun yang berpendidikan tinggi.

Kondisi inilah yang menghambat dunia industri untuk maju dan naik level dari foot loose industry ke tingkat yang lebih tinggi menjadi industri yang padat teknologi. Dua dekade yang lalu industri tersebut diambil alih China, kemudian dilepas karena China masuk ke level industri yang lebih tinggi. Sekarang industri tersebut diambil alih oleh Vietnam dan Kamboja, yang berhasil mengangkat kedua negara tersebut lebih besar sektor industrinya.

Kekuatan ekonomi nasional hanya bertumpu pada produksi bahan mentah dan bahan setengah jadi, yang hanya mengeksploitasi sumberdaya alam. Penerimaan devisa juga berasal dari ekspor bahan mentah tersebut. Ini terjadi karena SDM di Indonesia secara umum masih kurang memadai.

Pada level bawah terjadi apa yang disebut labor surplus atau kelebihan tenaga kerja tidak terampil. Hampir separuh dari SDM pekerja secara nasional sangat tidak berketerampilan karena golongan ini cuma lulusan SD ke bawah. Apa yang bisa diperbuat oleh tenaga kerja dengan pendidikan rendah seperti ini? Tentu dengan pendidikan seperti ini kualitasnya sangat rendah dan jauh dari memadai sehingga tidak bisa mendukung industrialisasi secara masif.

Bahkan banyak investasi asing yang akan masuk masuk sektor industri merasa tidak layak karena dukungan kualitas tenaga kerjanya yang rendah. Industrialisasi menghadapi tantangan pada keterbatasan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, selain pada aspek kebijakan industri itu sendiri.

Inilah tantangan sesungguhnya bagi Indonesia jika hendak masuk ke level ekonomi yang modern melalui jalur industri yang kuat. Selama lebih satu dekade telah terjadi kemerosotan industri karena peranannya terus merosot dalam perekonomian. Kendalanya tidak lain adalah kualitas SDM yang rendah, yang banyak masuk pasar kerja dengan pendidikan rendah dan ketrampilan kurang memadai (labor surplus). Pada sisi lain terjadi labor shortage di mana permintaan tenaga berkerampilan di level atas kurang pasokannya.

Sistem pendidikan kita selama 3-4 dekade masih belum berhasil mengentaskan golongan bawah sampai ke jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bahkan sampai hampir dua dekade anggaran pendidikan ditingkatkan ekstrem sampai 20 persen, tetap saja saja banyak golongan bawah yang berhenti sampai tingkat sekolah dasar saja.

Pada sisi lain lulusan perguruan tinggi masih tidak siap pakai sehingga mahal bagi dunia usaha dan industri untuk merekrut lulusan perguruan tinggi hanya dengan modal pengetahuan yang bersifat umum saja di bidangnya.

Baru-baru ini pendidikan vokasi untuk mengatasi kekurangan keterampilan pada lulusan pendidikan menengah dan pendidikan tinggi mulai mendapat perhatian presiden. Ini merupakan kesadaran bahwa sistem pendidikan perlu untuk memperkuat lulusannya dengan ketrampilan tertentu, yang diperlukan dunia kerja, khususnya sektor industri, yang merosot kinerjanya pada saat ini.

Presiden sudah mengajak dunia usaha dan BUMN untuk mengembangkan dan membangun pendidikan vokasi agar pasokan tenaga kerja berketrampilan semakin banyak. Tetapi dalam pandangan saya kebijakan ini masih bersifat wacana karena rencana kebijakan seperti ini belum diikuti oleh suatu gerakan yang bersifat kolektif bersama dunia usaha, BUMN dan pemerintah daerah. Sebagai tidak lanjut arahan dan anjuran presiden juga belum terlihat mobilisasi dana, sumberdaya kebijakan, sumberdaya birokrasi, teknologi dan lainnya. Juga tidak terlihat ada kebijakan komprehensif dan birokrasi mana yang bertanggung jawab untuk hal ini.

Sebagai perbandingan, lihat dan pelajari kebijakan pangan di masa lalu. Sumberdaya kebijakannya jelas. Yang bertanggung jawab pasokan pupuk adalah Departemen Perindustrian yang harus membangun pabrik-pabrik pupuk melalui BUMN (Pusri, Pupuk Kaltim, Petro Kimia Gresik, dll). Jaringan irigasi dibuat oleh Departemen PU, benih dan penyuluh dikerjakan oleh Departemen Pertanian.

Anatomi sistem kebijakan seperti contoh di atas jelas. Tetapi kebijakan pendidikan vokasi dan banyak kebijakan lainnya tidak jelas atau hanya wacana publik. Jadi level kebijakan ini baru tahap sosialisasi seperti makalah, tulisan atau opini publik yang masuk ke ruang publik. Ramai sebagai wacana tetapi belum masuk ke dalam implementasi dan belum ada sumberdaya seperti apa, yang akan dikerahkan untuk mendukung kebijakan pendidikan vokasi tersebut.

Pendidikan dan Fitrah

Hamid Fahmy Zarkasyi
March 20, 2016

Pendidikan dalam Islam dapat diartikan pengasuhan, pendidikan (tarbiyah), pengajaran ilmu (ta’lim), atau penanaman ilmu dan adab dengan mendidik dan mengajar (ta’dib). Konsep pendidikan Islam selama ini hanya dipahami dengan makna pengasuhan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) ia rawan untuk dirasuki pandangan hidup Barat.

Sehingga umat Islam berpikir berdasarkan pada nilai-nilai dualisme, sekulerisme, dan humanisme. Dengan nilai dualisme pengajaran dipisahkan dari pengasuhan, dengan sekulerisme ilmu yang diajarkan dibagi menjadi umum dan agama, dengan nilai humanisme pendidikan dan pengajaran diarahkan untuk kepentingan manusia yang tidak ada kaitannya dengan Tuhannya. Ilmu akhirnya tidak lagi untuk ibadah tapi untuk kemakmuran manusia.

Jika pandangan hidup Barat masuk kedalam pendidikan Islam, maka nilai-nilai adab menjadi semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah.

Kekaburan makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kezaliman (zulm), kebodohan (jahl), dan kegilaan (junun). Artinya karena kurang adab maka seseorang akan meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (zalim), melakukan cara yang salah untuk mencapai hasil tujuan tertentu (jahl) dan berjuang berdasarkan kepada tujuan dan maksud yang salah (junun).

Oleh sebab itu pendidikan Islam yang tepat adalah pendidikan yang menanamkan adab kedalam individu peserta didik, yaitu mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya.

Fitrah: Pendidikan dalam Islam merupakan sarana mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Fitrah dalam konteks ini adalah fitrah kemanusiaan dalam kaitannya dengan Rabubiyyah Allah, tuhannya. Ini merujuk kepada perjanjian manusia di alam ruh dengan Tuhannya yang tertuang dalam surah al-A’raf: 172 yang berbunyi:
Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku in Tuhanmu? Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami) kami bersaksi. (Kami lakukan demikian itu) agar di hari kiamat kami tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (wujud Allah).

Jadi hakekatnya sebelum manusia lahir, di alam ruh ia telah mengenal Tuhannya. Ruh yang telah mengenal Tuhannya itu ketika lahir ke dunia dalam keadaan fitrah. Seperti yang terungkap dalam hadis Nabi: “Sesungguhnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi. (al-Hadis).

Jadi, lahir dalam keadaan fitrah maksudnya dalam keadaan yang cenderung mengenal rububiyyah Allah. Bukan kosong seperti teori tabula rasa. Sebab dalam perjanjian itu ruh manusia telah bersaksi (bala syahidna) bahwa Engkau adalah Tuhanku.

Fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa sejarah umat manusia selalu dipenuhi dengan usaha pencarian Tuhan. Allah selalu mengutus Nabi-nabi ke seluruh penjuru dunia untuk mengingatkan manusia akan mithaq antara manusia dan Tuhannya.

Jadi karena Allah sudah memasukkan suatu kesadaran akan wujud Tuhan dalam diri manusia, maka pengingkaran terhadap wujud Tuhan itu sebenarnya bertentangan dengan fitrah-nya. Orang-orang ingkar terhadap perintah Tuhan, sebenarnya adalah ingkar pada nuraninya sendiri. Namun, karena besarnya dosa dan maksiat maka nuraninya tertutup oleh dosanya.

Akan tetapi fitrah mengenal Tuhan saja tidak cukup bagi manusia untuk beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu Allah mengutus Nabi dan menurunkan kitab suci. Kitab suci al-Qur’an itu menurut Ibn Taymiyyah adalah fitrah munazzalah (yaitu fitrah yang diturunkan).

Oleh sebab itu, semua yang ada dalam al-Qur’an itu tidak akan pernah bertentangan dengan fitrah manusia. Diatas fitrah ini jugalah Allah menurunkan agama (din) yang lurus (al-din al-qayyim) (al-Rum: 30)

Berdasarkan pada landasan Qurani diatas maka pendidikan dalam Islam sejatinya adalah menyadarkan kembali manusia-manusia Muslim akan fitrah-nya. Kemudian menyempurnakan fitrah-nya itu dengan fitrah munazzalah, yaitu mengajarkan kandungan al-Qur’an dan hikmah didalamnya yang merupakan asas bagi pandangan hidup manusia Muslim.

Kebebasan: Jika pendidikan itu berdasarkan pemahaman yang betul tentang fitrah manusia, maka pendidikan itu akan menghasilkan kebebasan. Bebas disini artinya bebas memilih antara dua alternatif, baik dan buruk, salah dan benar. Sebab memilih yang baik dari yang buruk, benar dari yang salah adalah fitrah manusia.

Orang yang merasa bebas memilih suatu pilihan termasuk jalan hidup, tapi bertentangan dengan fitrah atau nuraninya, maka hal itu sejatinya bukan bebas, tapi justru terpaksa. Ia tidak bebas sebab nurani fitri-nya ditekan atau dipaksa oleh nafsunya.

Kebebasan dalam Islam berdasarkan kepada ilmu pengetahuan. Orang tidak akan bisa bebas memilih mana yang baik dan buruk kecuali dengan ilmu. Orang yang bebas memilih sesuka hati dan nafsunya jelas tanpa ilmu pengetahuan baik-buruk. Jika demikian halnya maka memilih tanpa ilmu bagaikan berjalan di kegelapan tanpa cahaya, sebab ilmu dalam Islam adalah cahaya dan petunjuk dari Allah.

Dalam hidup ini manusia dihadapkan kepada berbagai pilihan. Allah telah mengajarkan kepada manusia bagaimana menentukan pilihan. Doa yang diajarkan Nabi dalam shalat istikharah: Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika artinya Ya Allah aku mohon ditunjukkan pilihan yang baik dengan ilmum.

Memilih dengan ilmu Allah adalah memilih sesuai dengan kriteria yang diajarkan di dalam al-Qur’an. Sebab manusia tidak tahu baik buruk kecuali dari ilmu agama.

Oleh sebab itu pendidikan dalam Islam adalah pendidikan untuk memahamkan ilmu tentang yang baik dari yang buruk, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil) kepada anak didik.

Keadilan: Jika proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya (level-nya). Untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya memerlukan ilmu tentang segala sesuatu dan tempatnya.

Manusia mempunyai aspek material dan spiritual. Jika pendidikan mengarahkan atau mengorientasikan anak didiknya untuk bersikap materialistis dan hedonistis maka pendidikan itu telah berlaku tidak adil pada anak didiknya.

Demikian pula jika pendidikan hanya menekankan pada aspek kognitif dan meninggalkan aspek afektif, atau menekankan ilmu dan mengabaikan amal, menekankan amal tanpa menghargai ilmu, jelas telah bertentangan dengan fitrah.

Corak pendidikan yang tidak sejalan dengan fitrah secara sosial akan mengakibatkan kepincangan. Kekayaan dan harta diperlakukan secara materialistis tanpa memedulikan aspek spiritualnya. Materi menjadi ukuran kaya dan miskin. Ilmu hanya dipahami sebagai akumulasi informasi dan bukan sebagai kekuatan petunjuk untuk menentukan pilihan. Pendidikan hanya menekankan pengajaran ilmu atau sains, tapi tidak memedulikan akhlaq dan sikap taqarrub kepada Allah. Akhirnya cendekiawan betapapun luas ilmunya tidak selamanya layak disebut alim dan saleh.

Demikianlah seterusnya, contoh-contoh itu bisa diperpanjang. Allah telah memberi petunjuk kepada manusia tentang yang haqq dan yang batil, dan keduanya tidak bisa disamakan apalagi dicampur.

Ketika datang yang haqq maka hilanglah yang batil (ja’a-l-haqq wa zahaqa al-batil). Orang yang mencampur sesuatu yang berlawanan itu dalam al-Qur’an malah dianggap zalim. Firman Allah: La talbisu imanakum bi zulmin artinya jangan engkau campur keimananmu dengan kezaliman, maksudnya syirik. Jadi orang mukmin yang melakukan perbuatan syirik maka ia telah berlaku zalim kepada dirinya yang fitri.

Bahkan berzina, mencuri atau korupsi dihukumi sebagai dosa karena semua itu hakekatnya adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, atau meletakkan hak milik orang lain di tempat dirinya.

Begitulah pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrah adalah pendidikan yang menanamkan sikap adil dalam segala sesuatu, yaitu dengan membekali ilmu pengetahuan kepada peserta didik agar dapat meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Itulah sikap beradab.

Kebebasan dan Masa Depan Pendidikan Kita

Oleh : Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 02 Januari 2017

“AKU bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis, bukan Buddha, bukan Protestan, bukan Westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan human. Aku semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim.”
(Ahmad Wahib, 1942-1973).

PENGGALAN kalimat Ahmad Wahib itu tentu tak mewakili pola pikir umat Islam Indonesia secara umum. Namun, jika dilihat dari semangatnya, bisa jadi penanda seorang muslim bagi Ahmad Wahib ialah orang yang berani bersandar pada keyakinan tentang adanya perbedaan yang harus diterima lahir dan batin. Semangat menerima perbedaan ialah sandaran masa depan Indonesia yang sesungguhnya, yaitu sepanjang 2016 terus diuji kejahatan politik, hukum, sosial, dan budaya masyarakat yang semakin terlihat bodoh dan mudah diperbodoh.

Kesimpulan itu menambah panjang hipotesis saya sejak lama, bahwa Indonesia hari ini ialah produk sistem pendidikan yang salah dan sama sekali tak menghargai kemanusiaan dalam 45 tahun terakhir. Dan akan terus bertambah runyam jika presiden dan jajarannya tak memiliki konsep ketahanan pendidikan yang baik.

Ketahanan pendidikan hanya bisa diperoleh jika struktur anggaran pendidikan disusun, direncanakan, dan diimplementasikan berdasarkan satuan unit analisis yang jelas dan bisa diukur, yaitu dengan menempatkan sekolah sebagai cost figure pengembangan pendidikan di tiap-tiap wilayah.

Mengapa hal ini masih sangat sulit terjadi karena sekolah tak pernah melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada di sekitarnya untuk diajak menyusun RAPBS. Itulah mengapa ketahanan pendidikan kita tak pernah kuat mengakar ke masyarakat karena sekolah bukan merupakan milik masyarakat. Hal itu menyebabkan masyarakat apatis dan tidak peduli dengan sekolah. Karena itu, bisa jadi peran sekolah yang laksana pabrik akan terus bertahan dalam memproduksi robot-robot yang tak punya hati.

Masalah moral

Kebebasan dalam pendidikan sebenarnya sebuah konsep yang absurd jika tak didukung bukti empiris tentang keterlibatan berbagai aspek. Kebebasan menjadi hilang manakala pendidikan ditarik menjadi komoditas politik, hukum dan budaya tertentu tanpa pernah menyadari bahwa sebenarnya persoalan pendidikan adalah masalah moral semata. Jika kita percaya bahwa pendidikan masalah moral, pertanyaannya ialah, mengapa kita tetap bermain-main dengan persoalan pendidikan bahkan menarik-narik pendidikan ke dalam ranah politik dan hukum?

Itulah kebijakan yang tidak disadari para pengelola negara karena menjadikan persoalan pendidikan sebagai ajang untuk pertarungan politik, pembuktian hukum, dan pembelaan terhadap kesenjangan sosial-budaya. Padahal, sejatinya pendidikan harus diyakini sebagai persoalan moral, yaitu prosesnya harus dijaga kesungguhan hati nurani, bukan kepura-puraan politik dan hukum. Ini terlihat dari cara birokrasi pendidikan kita membuat dan merekayasa program pendidikan dalam balutan kebijakan yang sangat politis dan tak berpihak pada aspek moral.

Kajian-kajian terbaru tentang filsafat pendidikan membuktikan masyarakat melihat tujuan pendidikan tidak lagi untuk mendidik manusia sebagai manusia, tetapi untuk penciptaan makhluk yang berpusat pada kepentingan ekonomi. Beberapa ahli bahkan berpendapat arti sebenarnya dari pendidikan bagi umat manusia di era globalisasi telah kehilangan entitas yang sebenarnya, yaitu moral hazard, dan lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Efek buruk dari cara pandang seperti ini dapat dilihat dari cara proses belajar-mengajar di sekolah yang tidak jarang antirealitas karena yang ada di otak mereka tujuan akhir pendidikan ialah hasil, dan itu berarti harus ada kelulusan dan ijazah.

Bagi saya, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus secara sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial yang berlangsung di sekitar mereka. Belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianya pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan birokrasi, guru, dan pendidik yang selalu mencoba membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya, dan terbenam ke dalam kebudayaan bisu (submerged in the culture of silence).

Proses pendidikan yang benar, di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya-cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga memiliki kemampuan untuk mengasah daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat mereka bertempat tinggal. Karena itu, sangat penting dalam proses belajar-mengajar guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.

Dalam bahasa yang gamblang bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa) dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar merupakan subjek yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia ialah objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya adalah, apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika ini? Kita berani mengatakan tidak. Karena hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka. Pengulangan demi pengulangan seringkali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.

Dalam konteks inilah Paula Allman dalam Critical Education Against Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education (2010), dengan gamblang menjelaskan kegagalan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi kepada pasar dan dunia industri. Ada dua alasan mengapa Allman sangat pesimistis, yaitu (1) dunia saat ini tidak bisa menghindari kapitalisme dalam segala bentuknya. Dan (2) hampir dapat dipastikan bahwa seluruh proses belajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas saat ini justru cenderung antirealitas sehingga antara das sein dan das solen dalam dunia pendidikan tak pernah nyambung.

Kebebasan dalam pendidikan harus terus hidup dan itu harus dimulai dari pengelolaan sistem pendidikan yang benar dan pro pada keterlibatan masyarakat secara penuh, agar anggaran pendidikan dapat dikelola dengan transparan dan akuntabel. Serta menjadikan sekolah sebagai unit cost analysis meskipun Lant Pritchett dalam The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning (2013) menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat. Karena pilihan soal desentralisasi tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial-budaya tempat sekolah itu berada, kita bisa melihat ada banyak sekolah yang mulai berani keluar dari zona nyaman birokrasi dan mau bekerja bersama masyarakat membesarkan sekolah mereka. Selamat datang kebebasan pada 2017!

 

Utopia Pendidikan Ramah Anak

Oleh : Nanang Martono
Dosen Sosiologi Pendidikan Universitas Jenderal Soedirman;
Doktor Sosiologi Pendidikan Universite de Lyon 2, Prancis

MEDIA INDONESIA, 10 Januari 2017

MASALAH anak sampai saat ini masih menjadi pusat perhatian masyarakat dunia. Dalam upaya pemenuhan hak anak akan pendidikan layak, mereka masih mengalami diskriminasi dan marginalisasi. Posisi anak dalam praktik pendidikan di masyarakat lebih sering diposisikan sebagai objek daripada subjek pendidikan yang aktif. Mereka masih sering menjadi korban.

Ada banyak hal yang menjadi perhatian dunia terkait dengan masalah anak. Kehidupan sosial di masyarakat seolah belum menjadi tempat yang ramah bagi mereka. Bahkan, keluarga sebagai lingkungan pertama bagi mereka juga berpotensi menjadikan anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga. Faktor ekonomi sering dituding sebagai biang keladi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Anak ialah pihak yang sangat lemah sehingga mereka rentan diposisikan sebagai korban amarah orangtua.

Sekolah sebagai benteng

Sekolah sebagai lingkungan sekunder dalam proses sosialisasi anak diharapkan mampu menjadi tempat yang memberikan kebahagiaan dan kenyamanan bagi mereka. Sekolah seharusnya menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan yang ramah anak. Di sekolah, anak harus bebas dari tindakan kekerasan, dan mampu menjadikan mereka sebagai individu yang otonom dan mandiri.

Pada awal 2015, Mendikbud Anies Baswedan pernah mencanangkan program Sahabat Kemendikbud. Dengan meluncurkan program ini, Mendikbud ingin mengurangi berbagai risiko kecelakaan yang dihadapi setiap pelajar ketika menuntut ilmu, dengan mengajak warga masyarakat memberikan laporan ketika menemui hal-hal yang membahayakan. Untuk memfasilitasi ini, Kemendikbud pun membuka situs pelaporan bernama http://sahabat.kemdikbud.go.id./.

Beberapa waktu kemudian, bertepatan dengan Hari Ibu 2015, Kemendikbud di bawah kendali Anies Baswedan meluncurkan laman Sahabat Keluarga, dengan alamat http://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id./. Laman tersebut berisi dongeng, lagu wajib, lagu daerah, profil keluarga hebat, dan profil sekolah-sekolah inspiratif. Selain itu, laman tersebut juga menyediakan forum diskusi bagi masyarakat untuk berdiskusi mengenai problem pendidikan anak dalam keluarga.

Kemudian pada akhir Januari 2016, Kemendikbud kembali membuat gebrakan positif dengan meluncurkan Program Sekolah Aman. Program ini diikuti dengan peluncuran laman http://sekolahaman.kemdikbud.go.id./. Melalui program sekolah aman, Mendikbud berusaha mewujudkan suasana sekolah yang aman, bebas dari tindak kekerasan, pelecehan, perpeloncoan, atau berbagai bentuk kekerasan lain yang terjadi di sekolah.

Kebijakan Mendikbud Anies Baswedan cenderung memaknai pencegahan kekerasan terhadap anak secara fisik semata. Padahal, kita tidak dapat menghindarkan diri dari fakta bahwa dalam kenyataannya anak juga menjadi korban ‘keke­rasan nonfisik’. Contoh sederhana, anak bodoh dipandang sebagai aib. Alih-alih menjadikan si anak menjadi anak genius, banyak orangtua memaksanya mengikuti les ini dan itu setiap hari tanpa memedulikan kebutuhan, keinginan, serta kapasitas anak. Ini ialah bentuk keegoisan orangtua (Martono, 2015).

‘Pemaksaan’ ini tidak hanya dilakukan keluarga. Secara tidak langsung, negara juga melakukan hal yang sama. Negara menggunakan kurikulum sekolah untuk mewujudkan ambisinya terhadap anak. Kurikulum tidak dirancang dengan memperhatikan kemampuan, keberagaman kondisi sosial, dan kebutuhan anak.

Anak usia SD kelas 1 dipaksa mempelajari banyak mata pelajaran. Jumlah mata pelajaran berbanding lurus dengan beban buku pelajaran yang harus mereka bawa dan baca. Akibatnya, hampir setiap hari mereka harus ‘memanggul’ tas sekolah yang penuh dengan buku-buku pelajaran.

Objektivikasi anak dalam relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan juga dapat ditemukan dalam muatan atau substansi mata pelajaran. Banyak buku pelajaran disusun dengan tidak memperhatikan kemampuan anak: menggunakan bahasa dan kata-kata yang sulit dipahami anak atau tidak sesuai dengan daya nalar anak, yakni memaparkan materi yang sangat padat, serta menggunakan tulisan yang sangat kecil.

Secara tidak langsung, sistem pendidikan di sekolah ini juga telah merampas waktu bermain anak. Bermain, sejatinya ialah sarana mereka melakukan sosialisasi secara intensif dengan teman sebaya. Akan tetapi, sekolah justru memaksa anak berlama-lama fokus pada pelajaran yang melelahkan.

Pendidikan kapitalistik

Inilah sebuah cermin bahwa praktik pendidikan yang terjadi di sekolah ialah praktik pendidikan yang kapitalistik. Marx (Anyon, 2011), sosiolog Jerman, menyebutkan bahwa pendidikan di sekolah sebenarnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis. Kondisi sekolah-sekolah tidak ramah anak sebenarnya ialah imbas pendidikan yang kapitalistik. Anak harus me­nguasai banyak pengetahuan yang dibutuhkan dunia kerja.

Nilai-nilai yang dianut kapitalis juga disosialisasikan di lingkungan sekolah. Sebut saja nilai ‘kompetisi’ yang selalu menjadi jargon di banyak sekolah. Ideologi liberal menggunakan kompetisi sebagai mekanisme yang mampu memotivasi setiap sekolah untuk maju menjadi sekolah berkualitas. Alhasil, semua sekolah berusaha memenangi kompetisi dengan menggunakan anak atau siswa sebagai alat utamanya.

Keberhasilan anak diklaim sebagai keberhasilan sekolah yang mampu menaikkan pamor atau kredibilitasnya. Sementara, semua siswa dipaksa saling berkompetisi, yakni mereka dituntut memiliki kemampuan yang sama tanpa memedulikan kondisi sosial ekonomi siswa yang beragam. Prestasi siswa ‘dijual’ sebagai alat promosi sekolah. Kita dapat menebak siapa yang mampu memenangi kompetisi tersebut. Bourdieu & Passeron (1977) meyakini bahwa hanya siswa kelas atas yang mampu memenanginya, sedangkan siswa kelas bawah sulit mewujudkan impian mereka memenangi kompetisi tersebut. Ini disebabkan anak kelas atas memiliki banyak modal ekonomi, budaya, serta sosial, yang sulit dimiliki anak dari kelas bawah.

Anak kehilangan otonominya sehingga tidak dapat berkembang sesuai dengan potensi atau kemampuannya. Mereka harus ‘bermain peran’ sesuai skenario sekolah dan negara. Keunikan yang dimiliki anak pun tercerabut. Sekolah tidak lagi menjadi lembaga yang mengakomodasi keunikan dan keberagaman potensi setiap individu. Anak pun menjadi objek kekuasaan orangtua dan sekolah.

Praktik pendidikan yang mengedepankan ideologi kapitalisme cenderung merugikan kelompok tertentu yang tidak memiliki ‘modal’ dan lemah. Mereka terus menjadi objek kekuasaan yang menghapus otonominya sebagai individu. Itulah beberapa hal yang perlu menjadi perhatian ketika pemerintah ingin mewujudkan pendidikan ramah anak. Anak bukan hanya korban kekerasan fisik. Mereka juga menjadi korban kekerasan simbolis (meminjam istilah Bourdieu) yang dilakukan secara tidak sadar, dan mereka ‘secara sukarela’ memosisikan diri sebagai korban. Mereka tidak menyadari bahwa dirinya ialah korban sistem sosial yang tidak berpihak pada mereka.