Terkuburnya Pemikiran Ki Hadjar

Oleh : Ginanjar Hambali,
Guru SMAN 7 dan Pegiat Komunitas Nalar di Pandeglang
Kompas,2 Mei 2017

Siapa tak kenal Ki Hadjar Dewantara? Kita, terutama yang bergiat di bidang pendidikan, tentu mengenalnya. Sayangnya, kebanyakan di antara kita-termasuk guru-guru-mengenal Ki Hadjar sebatas nama atau slogan yang dikutip di mana-mana: “Tut Wuri Handayani”.

Pemikiran Ki Hadjar amat jarang didiskusikan dan dipelajari kembali. Hanya segelintir guru yang memiliki buku kumpulan tulisan Ki Hadjar. Bahkan, di ruang guru atau perpustakaan sekolah sangat jarang dijumpai buku kumpulan tulisan Ki Hadjar.
Meski tiap 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, yang juga hari kelahiran Ki Hadjar, pemikiran Ki Hadjar nyaris terkubur dan dilupakan. Praksis pendidikan kita makin menjauh dari pemikiran, praktik, dan pengajaran yang digagasnya.

Ki Hadjar meletakkan dasar-dasar pendidikan yang amat penting. Menurut Ki Hadjar, tujuan pendidikan tak lain supaya anak jadi manusia merdeka batin, pikiran, dan tenaganya. Ada tiga sifat dalam kemerdekaan, yakni mampu berdiri sendiri, tidak bergantung kepada orang lain, dan mampu mengatur diri sendiri.

Guru sekarang lebih banyak berbicara bagaimana mengajar yang baik dengan ukuran pencapaian target kurikulum. Jarang guru mempertanyakan mengapa dan apa manfaat suatu pelajaran diberikan ke murid. Apalagi mendiskusikan pemikiran-pemikiran pendidikan. Mereka merasa lebih aman menempatkan diri sebagai operator, menerima apa yang diperintahkan, termasuk dalam praktik dan pilihan metode pengajaran. Hasilnya mudah ditebak: proses pembelajaran terjebak pada pedagogik dogmatis, mencontoh yang terbaik, tetapi tak tahu apa falsafahnya.

Tugas seorang guru

Pendidikan memerdekakan, dalam gagasan Ki Hadjar, sangat erat dengan pemahaman bahwa anak membawa kodratnya masing-masing. Tugas pendidik pada hakikatnya sama dengan petani. Petani menanam padi, ia hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat memperbaiki tanah, memelihara tanaman, memberi rabuk dan air, memusnahkan hama-penyakit. Tapi, seorang petani tak dapat menjadikan padi tumbuh menjadi jagung. Demikian pula seorang anak.

Kenyataannya, anak-anak kita masih dipaksa belajar yang kadang tak sesuai kodratnya. Seorang anak yang bakat dan kesenangannya berolahraga, misalnya, dipaksa mengesampingkan bakat dan kesenangannya itu, demi belajar materi yang akan diujikan dalam ujian nasional.

Slogan “Tut Wuri Handayani” bukan saja berarti guru berdiri di belakang murid, juga berlaku dalam proses pembelajaran sehari-hari di kelas. Menurut Ki Hadjar, guru jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik saja, juga mendidik murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan. Pendekatan ini relevan dengan konteks sekarang, di tengah kemajuan zaman, dengan teknologi informasi memudahkan anak mengakses pengetahuan.

Guru sering menganggap dirinya sebagai paling tahu dan memandang anak sebagai tidak tahu. Ibarat bejana kosong yang harus diisi. Proses pembelajaran sistem ceramah membatasi potensi anak untuk bertanya, mencari dan mengembangkan pengetahuan sendiri. Pola pendidikan yang selama ini banyak terjadi, model pendidikan ala bank, yang dikritik Paulo Freire, yaitu guru sebagai subyek bercerita dan para murid sebagai obyek, dengan patuh mendengarkan. Guru mengajar murid belajar.

Seperti seorang tukang ukir harus mengetahui dalam dan luas hakikat dan keadaan kayu, kata Ki Hadjar, begitu pula seorang guru harus mengetahui pengetahuan yang diajarkan dan cara bagaimana mendidik. Ia mesti paham cara mendidik anak yang mempunyai kekurangan dan kelebihan, fisik maupun latar belakang sosial, serta perbedaan-perbedaan lain.

Sekolah diibaratkan tanah tempat bercocok tanam sehingga guru harus mengusahakan sekolah jadi lingkungan yang menyenangkan, menjaga, dan melindungi anak dari pengaruh-pengaruh jahat. Hanya dengan itu karakter anak tumbuh dengan baik, yang tadinya malas menjadi semangat, jangan kebalikannya.

Penutup
Guru memang tidak bisa disalahkan jika tidak mengenal lebih dalam pemikiran Ki Hadjar. Selama penulis menempuh pendidikan di sekolah guru, termasuk di tingkat pascasarjana, karya dan pemikiran Ki Hadjar tak banyak dibahas dan didiskusikan.
Sudah saatnya pemikiran Ki Hadjar kembali disebarluaskan. Tulisan-tulisan Ki Hadjar Dewantara harus menjadi bahan bacaan wajib bagi guru-guru dan tersedia di sekolah.
Tanpa usaha-usaha menghidupkan kembali pemikiran Ki Hadjar, guru-guru hanya akan mengenal Ki Hadjar sebatas nama dan slogan belaka. Membaca, mendiskusikan, dan mengaktualkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara juga akan menghindarkan guru menjadi penganut pedagogik dogmatis, mengikuti praktik pendidikan tanpa disertai usaha berpikir kritis.

Advertisement

Meragui

Iwan Pranoto
MARCH 5, 2016

meragui, maka aku memikir, maka aku ada.
~ René Descartes

Melalui penelitian LIPI ke kampus-kampus, Anas Saidi dkk menemukan bahwa mahasiswa bidang IPA di pendidikan umum (non-keagamaan) lebih rentan terindoktrinasi (CNN Indonesia, 18 Feb 2016). Senada dengan temuan itu, sebelumnya M Zaid Wahyudi menyatakan bahwa anak-anak yang terbujuk radikalisme keliru ini umumnya dari sekolah atau perguruan tinggi favorit dan dari program eksakta (Kompas Siang, 13 April 2015).
Bagaimana menjelaskan fenomena menentang-intuisi ini? Bukankah sejatinya pembelajaran IPA justru menyuburkan rasionalitas? Tak mungkinkah ada yang keliru dalam praktik pendidikan IPA di Tanah Air?

Meragui

Keadaan seseorang yang mudah terbujuk dan mempercayai sesuatu, walau sesungguhnya meragukan, diistilahkan sebagai credulous. Keadaan credulous ini memiliki penangkal alami, yakni habits of mind atau kebiasaan berakal, antara lain perangai skeptis atau meragui.

Dalam beberapa model pendidikan, meragui sudah dicanangkan secara eksplisit dan terstruktur sebagai salah satu sasaran. Misalnya, pada dokumen Benchmark Online yang disusun American Association for Advancement of Science, dirumuskan secara khusus perangai meragui ini sampai tahapan operasional membelajarkannya. Sebagai ilustrasi, di kelas 8, pelajar diharapkan sudah cekatan “meragui klaim penelitian yang didasarkan pada populasi sampel terlalui kecil” atau “meragui pernyataan yang didasarkan pada analogi semata.”

Kebiasaan meragui juga semakin relevan di kehidupan sekarang, karena hari ini manusia bukan kekurangan informasi, tetapi justru kebanjiran informasi. Menghadapi situasi ini, membuka pikiran pada suatu informasi perlu dibarengi dengan mensyaki informasi tersebut, karena informasi belum tentu benar. Harus siap menerima suatu pendapat jika nanti benar, tetapi juga harus tetap meragui karena mungkin berdasar argumen yang lemah. Pasangan dua kutub ini merupakan komponen penting dalam critical-response skill atau keterampilan menanggapi-secara-kritis yang sejatinya bertumbuh subur melalui pembelajaran IPA, khususnya.

Matematikawan-cum-filsuf René Descartes menggagas pijakan kebersahajaan ilmiah total berupa pengakuan bahwa setiap pendapat kita berpeluang salah. Rangkaian argumen yang mendasari pendapat kita mungkin ada yang tak sahih. Oleh karenanya, manusia perlu terus mencari reasonable doubts atau keraguan masuk akal yang mendasari pada pendapatnya melalui tahap meragui, dan kemudian memperbaikinya. Descartes membahasakannya, “untuk mencapai kepastian … kibaskan tanah dan pasir, sehingga berpijak pada batu.”

Proses meragui tidak hanya akan memperkokoh pendapat, tetapi menumbuhkan kebijaksanaan si subjek. Ini sebuah pesan bahwa moral diekspresikan dari dalam pengalaman berilmu-pengetahuan sendiri ke luar, bukan diindoktrinasi dari luar ke dalam ilmu pengetahuan. Kebersahajaan ini berwujud pengakuan atas adanya keterbatasan kepastian sebuah pendapat. Jika pengalaman meragui dibarengi kegiatan berpikir reflektif atau tafakur, subjek menyadari bahwa masih ada bagian dalam pengetahuannya yang patut diragui. Akan bertumbuh pemahaman bahwa pendapat dirinya belum sempurna, sedang pendapat orang lain mungkin dapat melengkapi pendapatnya.

Dalam kelas, laboratorium, dan bahkan saat belajar mandiri, pelajar diharapkan berlatih meragui suatu gagasan serta belajar merumuskan alasan keraguannya, kemudian menelaahnya lebih lanjut untuk mencari argumen pendukungnya, sampai akhirnya menjadi kepercayaan. Rangkaian pengolahan akal ini merupakan bagian dari kecakapan yang sejatinya bertumbuh subur dalam pendidikan secara umum. Jika ini berjalan, pelajar menumbuhkan nilai, sikap, dan keterampilan yang akan menjadi kebiasaan bernalar untuk dibawa terus dalam kehidupannya di kemudian hari.

Sebaliknya, jika tahap meragui ini absen dalam pengajaran IPA lalu ditambah lagi pengajarannya dogmatis, maka lengkaplah pelajaran IPA menjadi kumpulan mantra sakral yang tabu disangsikan. Kemudian, karena hakikat IPA yang memang universal, pelajar mungkin akan tergiur menganalogikan kepastian mutlak berpikirnya, termasuk cara pandang hitam-putih, pada berbagai fenomena dalam kehidupan. Dampaknya, tabiat menutup diri menguat, karena keyakinan bahwa apa yang dipahaminya sudah benar mutlak serta semua pendapat berbeda darinya pasti salah. Ini yang akan memunculkan benih intoleransi dan takut pada perbedaan. Perlu diselidiki lebih jauh jika pendekatan pengajaran IPA dogmatis tersebut yang melahirkan fenomena seperti yang ditemukan penelitian LIPI di atas.

Strategi

Menghindarkan warga negara, khususnya pemuda, dari pemikiran yang bertentangan dengan Dasar Republik tak cukup dilakukan dengan sekedar larangan atau ceramah. Perlu ada langkah positif membangun tameng sesungguhnya, yaitu kecakapan berpikir, keterampilan berargumentasi, sampai perangai ilmiah warga.

Pembelajaran bernalar, termasuk kebiasaan berakal di atas, dalam sistem pendidikan di RI memang membutuhkan pembenahan mendasar dan segera. Berikut diajukan dua pendekatan membenahinya agar tepat sasaran, segera, dan hemat.

Sudah disadari bahwa menciptakan dokumen pendidikan semacam standar, kurikulum, dan buku ajar bermutu setara dengan yang telah dibuat lembaga di beberapa negara lain sulit dan butuh waktu tak sebentar. Padahal, menunggu perbaikan dokumen pendidikan merupakan kemewahan yang tak dimiliki anak-anak kita hari ini.

Oleh karenanya, pertama, pendekatan reverse engineering atau rekayasa mundur yang jamak digunakan di bidang industri manufaktur dapat dicoba diterapkan guna merekacipta program pendidikan. Setidaknya, untuk matapelajaran yang universal seperti matematika, IPA, dan pendidikan jasmani, rancangan pembelajarannya dapat dikembangkan dari dokumen rujukan yang terbukti baik dan sudah banyak dibuat lembaga atau negara lain. Justru cerdas jika menerapkan strategi menggunakan apa yang sudah dikerjakan pihak lain kemudian memodifikasinya sehingga lebih baik sekaligus sesuai dengan keadaan Indonesia.

Kita perlu mengurangi kegemaran reinventing the wheel atau mengulang pekerjaan menemukan lagi sesuatu yang sesungguhnya sudah jamak. Terlebih, kerap “roda” yang diciptakan juga tak lebih baik ketimbang “roda” yang sudah ada. Pada sisi lain, dokumen pendidikan seperti kurikulum dan buku ajar yang jelas-jelas masih keliru amat tak etis disajikan ke anak kita sendiri. Seperti, tak ada ibu atau ayah yang menyuapkan makanan rusak bagi anaknya, demikian pula tak sepatutnya Negara menerapkan kurikulum atau buku ajar tak baik ke warganya.

Kedua, melalui forum maya pendidik, dapat disebarkan inovasi dan praktik pembelajaran yang mengetengahkan cara mengelola kelas dalam menumbuhkan kebiasaan berakal dalam video klip 5-menitan. Ini akan lebih menyasar tepat pada inti permasalahan pendidikan, segera, terencana, sekaligus hemat. Tiap pelajar akan merasakan langsung perbaikan pendidikan ketimbang pendekatan pelatihan guru lewat tatap muka yang mahal, rumit, bertele-tele, boros waktu, serta keterbatasan pelatih andal.
Membelajarkan kebiasaan berakal dan kecakapan bernalar, secara umum, bukan sesuatu yang mustahil, bahkan di tingkat SD. Dari yang paling sederhana, seperti guru mengajak mendiskusikan berbagai jalan berbeda untuk menyelesaikan suatu masalah, mengkaji berbagai cara pandang berbeda terhadap suatu isu, dsb dapat diterapkan agar pelajar membiasakan diri dengan keberagaman pendapat serta pemikiran.
Mengedepankan akal serta menyuburkan perangai ingin tahu, kejujuran, terbuka, dan meragui akan menjamin perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus membela Republik Nalar.

Catatan:
Versi pendek tulisan ini dimuat di Kompas, 5 Maret 2016.