Membangun Keteladanan Orang Tua

Khuttab Al Fatih

Allah ta’ala berfirman di surat as Shaff ayat 2-3 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

“Sesungguhnya aku takut mengatakan apa yang tidak aku perbuat” semoga Allah melindungi dari penyampaian yang tidak sesuai.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa sallam pun menjalankan amanahnya dengan penuh keteladan, sebagaimana yang di sampaikan oleh Al Julanda Raja Oman radhiallahu anhu berkata : Dia (Allah) telah memberiku petunjuk kepada Nabi buta huruf ini : dia tidak memerintah kecuali menjadi orang pertama yang melakukannya, dia tidak melarang kecuali menjadi yang pertama menjauhinya..” (al-khashaish al kubra, as suyuthi, 2/23,MS).

Subhanallah begitu agungnya pribadi Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam, maka sempurnalah ketika Allah memerintahkan agar jangan mengatakan apa yang tidak kita kerjakan maka Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam sebagai utusan-Nya memberi teladan kepada umatnya untuk melakukan hal yang serupa.

ORANG TUA SEBAGAI SUMBER KETELADANAN

Syaikh Muhammad Quthub menyampaikan kepada kita tentang keteladanan;
“Orangtua dituntut agar menjalankan segala perintah Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya, menyangkut perilaku dan perbuatan. Karena anak melihat mereka setiap waktu. Kemampuan untuk meniru, secara sadar atau tidak, sangat besar. Tidak seperti yang kita duga. Namun kita sering memandangnya hanya sebagai makhluk kecil”
Dari buku Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri pada judul ; Daya Tarik Kepribadian Sebelum Nubuwah, halaman 55, berisikan:
“Nabi Shallallahu `alaihi Wa Sallam telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjungan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, dan ketepatan dalam mengambil keputusan. Beliau lebih suka diam lama-lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrahnya yang suci beliau mengamati lembaran-lembaran kehidupan, keadaan manusia dan berbagai golongan. Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia, dengan membertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau bersekutu di dalamnya. Jika tidak maka beliau lebih senang dengan kesendiriannya.”

Ayat ini semakin mengokohkan beliau sebagai suri teladan yang baik bagi kita;

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “ayat dalam surat al ahzab di atas adalah dasar yang paling utama dalam perintah meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam baik dalam perkataan, perbuatan dan keadaannya, oleh karena itu Allah Ta’ala menyuruh manusia untuk meneladani Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam baik dalam kesabaran, keteguhan, ribath dan kesungguh-sungguhannya, oleh karena itulah Allah berfirman untuk orang yang takut, goncang dan hilang keberaniannya dalam urusan mereka pada perang Ahzab .”

Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bahkan secara spesifik dan teknis memberikan contoh terhadap kita, beliau tidak memerintah kecuali menjadi orang pertama yang melakukannya, dia tidak melarang kecuali menjadi yang pertama menjauhinya.

Maka jawaban dari pertanyaan “Lalu bagaimana dengan kita, akan jadi apakah anak-anak kita kelak?” Bagi kita umat muslim adalah sangat mudah yaitu agar anak-anak kita menjadi anak yang sholeh-ah dan menjadi ahli syurga. Maka ketika visi kita sama yaitu menjadikan anak-anak kita ahli syurga maka Insya Allah jalan yang ditempuh akan sama, karena panduan jalan menuju surga sudah lengkap beserta cara dan contohnya.

Kebahagian bagi orang tua yang telah berhasil menghantarkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang takut kepada Allah Azza wa Jalla, surga sebagai visi besarnya, hafal Al Quran, ahli ibadah, cerdas dan ahli dalam ilmu dunia. Orang tua mana yang tidak haru menyaksikan darah dagingnya tumbuh menjadi manusia yang kesholehannya mampu menaklukkan dunia dan meraih akhirat dengan gemilang.

Dan inilah tugas orang tua, bagaimana orang tua mampu menciptakan suasana rumah sebagai pusat pembentukan akhlak, walaupun gempuran nilai-nilai buruk yang akan mempengaruhi akhlak anak-anak kita terus menghadang. Jangan takut karena kita punya pondasi yang kuat dan tim yang solid di rumah, sehingga segala nilai-nilai buruk tersebut hanya akan seperti debu, cukup dengan mengusap atau menyiramnya dengan air maka hilanglah nilai-nilai yang tidak berguna tersebut dengan mudah.
Maka orang tualah yang paling layak menjadi sumber keteladanan bagi anak-anak di dalam hidupnya, dan ini merupakan pahala yang berlimpah bagi orang tua yang berhasil memberikan keteladanan yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَتَعَلَّمَهُ وَعَمِلَ بِهِ أُلْبِسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَاجًا مِنْ نُورٍ ضَوْءُهُ مِثْلُ ضَوْءِ الشَّمْسِ، وَيُكْسَى وَالِدَيْهِ حُلَّتَانِ لاَ يَقُومُ بِهِمَا الدُّنْيَا فَيَقُولانِ: بِمَا كُسِينَا؟ فَيُقَالُ: بِأَخْذِ وَلَدِكُمَا الْقُرْآنَ.

Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).

Ayo Ayah Bunda! Kita mulai setahap demi setahap, selangkah demi selangkah agar anak-anak kita dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat nanti, Insya Allah.

WARNA-WARNI KETELADANAN

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. : Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam pernah bersabda,

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?
kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar Rum :30)

Dari hadits di atas jelaslah bahwa pendidikan sepenuhnya ada pada orang tua, tetapi ketika kita berhadapan dengan lingkungan dan media yang dapat mempengaruhi akhlak anak-anak kita, apa yang harus kita lakukan?

Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam hidup berdampingan dengan warna keteladanan yang berbeda-beda; keteladanan yang pertama adalah Aminah ibunda beliau, Abdul Mutholib kakek beliau, Tsuwaibah ibu susuan pertama beliau, Halimah bin Abu Dzu’aib ibu susuan yang kedua didampingi suaminya Al Harits bin Abdul Uzza bersama merekalah Nabi Muhammad hingga umur 5 tahun, yang terakhir adalah Abu Thalib paman beliau hingga masa kenabian. Merekalah yang mewarnai karakter mulia Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam walaupun beliau hidup dizaman yang rusak, tetapi tidak mempengaruhi kemulian akhlak beliau, sehingga beliau menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia.

Begitu juga dengan kita, lingkungan sekitar kita penuh dengan warna-warni keteladanan, mulai dari keluarga Ayah, Bunda, Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi. Kerabat dekat; teman Ayah, teman Bunda, PRT, Tetangga, Teman bermain dan lainnya. Lingkungan sekolah; guru, kepala sekolah, TU, supir dll. Semuanya akan mempengaruhi akhlak anak-anak, disinilah tantangan kita bagaimana mengelola potensi keteladanan yang ada, tentu saja dengan prinsip selama dalam kebaikan mari kita rangkul bersama-sama dalam membentuk akhlak mulia anak.

COPY PASTE KETELADANAN

Di zaman ini banyak sekali model-model pemikiran yang dihasilkan oleh barat, yahudi dan kroni-kroninya. Sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran yang bersifat keduniawian saja, seperti pemikiran liberal, persamaan gender, kebebasan dan lain sebagainya, belum lagi ilmu-ilmu atau teori-teori yang dipelajari di dunia pendidikan, seperti Psikologi, teori pendidikan, ilmu pengetahuan dll. Pemikiran inilah yang menjadi teladan bagi sebagian besar penduduk di negeri ini.
Apakah kita akan turut dalam arus tersebut? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Umat Islam sudah lebih dahulu maju dalam setiap bidang yang disebutkan di atas, bahkan Baratpun mengakui bahwa umat Islamlah yang mengajarkan mereka, kita punya ahli matematika Al Khawarizmi, ahli kedokteran Ibnu Sina, ahli astronomi Al Batani dimana Nicolas Copernicus mengcopy secara utuh pemikirannya.
Jadi harusnya hilanglah sudah keraguan ketika ditanya “harus mengcopy keteladanan dari mana?” Karena sudah jelas bahwa Islamlah yang mengajarkan keteladanan secara universal, dari hal-hal umum sampai hal detail.
Perhatikan ayat berikut:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu,” Allah Maha Pengampun lagi, Maha Penyayang.”
Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul, jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS: Ali Imran ayat 31-32)

Dengan izin Allah peradaban ini akan bangkit kembali ketika umat Islam mulai kembali kepada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Mulai dari hal terkecil dan kita mulai dari keluarga kita. Bahwa sumber keteladanan kita adalah Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam dengan panduan Al Quran, maka jalan lurus akan terbentang dengan terang benderang, setiap badai zaman dapat kita lewati dengan pondasi keimanan dan al Quran, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Wallahu A’lam.

Semoga bermanfaat…Baarakallahu feekum
#Parenting Nabawiyyah
#Inspirasi Rumah Cahaya (IRC)

Advertisement

Tentang Kepemimpinan

Sunindyo
Jul 08, 2016
Tentang Kepemimpinan

Seth Godin, seorang pakar marketing, dalam bukunya tentang kepemimpinan yang berjudul Tribes, menyebutkan bahwa kepemimpinan tidak hanya berarti memimpin dari depan. Bisa juga berarti mendukung dari belakang. Yang jelas memimpin itu tidak diam, tidak berhenti.

Hal ini selaras dengan apa yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah membangun harapan, dan di belakang memberikan dorongan.

Peran seorang pemimpin menjadi penting dewasa ini. Tidak hanya menjadi orang yang berada di depan untuk menggerakkan perubahan, ia bisa berada di berbagai lini sektor untuk memungkinkan perubahan itu terjadi. Pemimpin bukanlah orang yang mengerjakan segala sesuatu seorang diri, ia “hanya” memberi arah ke mana yang akan dituju.

Banyak orang yang memberikan definisi seorang leader atau pemimpin, sebagai seorang yang knows the way, shows the way, dan goes the way. Seorang yang tahu jalan, menunjukkan jalan, dan menjalaninya. Ini baru sebagian benar. Karena pada kenyataannya, seorang pemimpin juga harus menjalani segala macam penderitaan dan tekanan serta tanggung jawab yang lebih besar daripada yang dipimpinnya.

Orang membayangkan bahwa pemimpin adalah seorang sosok luar biasa yang sempurna dan tidak pernah salah dalam mengambil keputusan. Dan jika ia salah, maka kita layak mencercanya. Ini tidak sepenuhnya benar. Kita hidup di era partisipatif, di mana seluruh di antara kita adalah pemimpin, untuk lingkup yang berbeda-beda. Pemimpin adalah manusia biasa yang bisa belajar dan berproses. Ia bisa salah, tapi ia bisa belajar dan memperbaiki kesalahannya. Sudah bukan jamannya kita meletakkan segala kesalahan hanya pada pemimpin dan cuci tangan atas segala permasalahan yang ada manakala kita dibutuhkan. Karena pada hakikatnya kita adalah pemimpin dan menjadi bagian dari kepemimpinan itu sendiri.

Lalu apakah kepemimpinan itu tidak menyenangkan? Apakah ia harus rela menderita? Mengapa banyak orang yang ingin menjadi pemimpin? Mengapa pula banyak yang gagal?

Semua itu adalah soal niat dan motivasi. Kita tidak bisa menilai pemimpin sebagai sesuatu yang berada di luar kita atau sangat berbeda dengan kita. Karena kita adalah pemimpin, dan pemimpin adalah kita. Kita bisa menilai diri kita sendiri, apakah kita sudah layak menjadi pemimpin yang baik? Dengan demikian kita bisa secara fair menilai kepemimpinan orang lain tanpa judgment/penilaian yang berlebihan.

Kita bisa melihat sosok seorang pemimpin secara wajar, sebagai manusia biasa,dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa kultus individu yang berlebihan atau pula cercaan yang berlebihan kala ia salah.

Yang menjadi perbedaan, bahwa seorang pemimpin mempunyai inisiatif dan perhatian yang besar pada yang dipimpinnya. Ia selalu ada dan tidak tinggal diam. Semua orang bisa menjadi pemimpin dalam lingkup yang ia suka dan kuasai. Dan ia bisa membawa dan menggerakkan perubahan secara gradual. Belum tentu suatu yang sangat fenomenal. Namun yang penting adalah sesuatu yang signifikan dan berarti bagi yang dipimpinnya.

Menjadi pemimpin berarti siap pula dipimpin. Dipimpin oleh orang lain, dipimpin oleh visinya, bukan oleh hawa nafsunya. Untuk itu pemimpin perlu memperhatikan kepada siapa dia harus bertanggung jawab. Kepada Tuhannya, kepada orang yang dipimpinnya, kepada masyarakat sekitarnya, kepada bangsa dan negaranya, kepada alam semesta.

Memang tidak mudah untuk menjadi pemimpin yang baik. Tapi tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Berdiam diri bukanlah pilihan. Apalagi cuma mencaci dan merutuki nasib tidak akan membawa perubahan apa-apa. Bergeraklah. Ambillah inisiatif dan mainkan peranan kita, di depan, tengah ataupun belakang. Menginspirasi dan menggerakkan. Dengan kata-kata atau perbuatan, semua bernilai. Beranilah bertindak karena benar, jangan ragu-ragu atau putus asa.

Pendidikan Karakter Seharusnya Di Rumah Tangga

Imam Suprayogo Dua
December 3, 2014

Oleh karena sudah terbiasa bahwa tatkala berbicara pendidikan selalu dikaitkan dengan kurikulum, buku teks, evaluasi, alat pelajaran, dan lain-lain, maka ketika berbicara tentang pendidikan karakter pun juga segera berbicara kurikulum, buku teks, dan lain-lainnya itu. Munculnya gerakan pendidikan karakter maka akhirnya juga diikuti pula munculnya buku-buku ajar tetang pendidikan karakter, kurikulum, penjelasan tentang karakter di depan kelas, dan seterusnya. Hal demikian itu sebenarnya boleh-boleh saja dilakukan, akan tetapi pendidikan karakter tidak harus dilakukan seperti itu.

Mungkin saja banyak kalangan masih mengira bahwa perilaku hanya dibentuk oleh pengetahuan seseorang. Orang yang melakukan perbuatan menyimpang hanya dianggap oleh karena yang bersangkutan tidak mengerti bahwa tindakannya itu tergolong menyimpang. Padahal sebenarnya bukan begitu. Para penjudi, pencuri, pezina, dan koruptor, dan lain-lain amat paham bahwa tindakannya itu adalah dilarang, baik oleh negara, adat istiadat, maupun agama. Tetapi tokh mereka masih juga dilakukannya.

Seseorang melakukan perbuatan terlarang, tercela, dan bahkan jahat, bukan oleh karena yang bersangkutan tidak mengerti bahwa perbuatan itu dibenci oleh orang banyak dan beresiko dihukum, tetapi mereka memang berkeinginan melaksanakannya. Melalui kegiatan menyimpang itu, mereka ingin memperoleh kesenangan. Selain itu, sebenarnya mereka juga tahu bahwa perbuatan itu membahayakan dan beresiko tinggi, tetapi atas dorongan untuk memperoleh kesenangan dari perbuatannya itu, maka seseorang tidak mampu mengalahkan keinginannya itu.

Sementara itu, penjelasan yang diberikan oleh guru di depan kelas atau buku-buku yang harus dibaca hanyalah mengantarkan seseorang untuk memahami tentang karakter baik yang seharusnya dimiliki oleh seseorang. Lewat penjelesan dan buku-buku itu, seseorang hanya sebatas akan mengetahui tentang karakter baik dan karakter buruk. Akan tetapi, belum tentu, setelah mengetahui dan bahkan memahaminya, seseorang selanjutnya menjalankan sebagaimana yang diketahuinya itu. Sebagaimana dikemukkaan di muka, bahwa seseorang belum tentu berperilaku sebagaimana yang diketahui, dipahami, dan bahkan yang diidialkannya.

Perilaku, karakter atau dalam Islam disebut akhlak adalah perbuatan yang bersifat otomatis dalam arti tanpa mengikut sertakan pertimbangan pikiran. Perilaku itu dibentuk melalui pembiasaan dan ketauladanan hidup sehari-hari. Misalnya, seseorang dengan enaknya bangun pagi, lalu shalat subuh berjama’ah di masjid adalah oleh karena sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari. Umpama hal itu belum terbiasa dilakukan, sekalipun hanya sekedar sholat subuh di masjid, maka akan berat sekali dilakukan.

Demikian pula kegiatan sehari-hari yang lebih sederhana, misalnya kebiasaan selalu mengkonsumsi makanan halal, berbicara sopan, selalu meminta izin tatkala menggunakan sesuatu milik orang lain, mengucapkan salam tatkala bertemu dan berpisah, mengenakan pakaian hingga menutup aurat, berjiwa terbuka, toleran, menghormati orang lain, mampu berbagi kasih sayang, dan lain-lain, semua itu harus dibiasakan sejak di rumah tangga.

Sebagai orang tua dan sekaligus pemimpin rumah tangga, pada setiap hari seharusnya memberi contoh dan membiasakan kepada anak-anaknya maupun siapa saja yang hidup bersama di rumah tangga itu. Pebuatan terpuji tidak mengenal batas, misalnya hanya berlaku sehari, dua hari, atau tiga hari dalam seminggu. Perilaku itu harus dilakukan secara terus menerus atau secara istiqomah hingga menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Melalui cara itulah akhirnya membuahkan perilaku, karakter, atau akhlaq. Yaitu, perbuatan yang dijalankan secara otimatis atau tanpa melalui banyak pertimbangan.

Oleh karena itu, ketika pada akhir-akhir ini dirasakan banyak orang, bahwa karakter, perilaku, watak atau akhlak anak-anak mulai menurun, maka yang seharusnya pertama kali dikoreksi adalah kualitas pendidikan di keluarga. Boleh-boleh saja kepala sekolah dan para guru ikut dipersalahkan, dan kemudian mereka menambah jam khusus untuk pendidikan karakter atau akhlaq. Akan tetapi, usaha yang dilakukan oleh mereka itu tidak akan maksimal hasilnya manakala pendidikan di keluarga tidak ditingkatkan kualitasnya. Pendidikan karakter, watak, atau akhlak, di sekolah tetap penting, tetapi yang lebih efektif lagi adalah berlangsung di rumah tangga, yaitu dari orang tua dalam memberikan tauladan dan pembiasaan sehari-hari terhadap para putra putrinya. Wallahu a’lam.

Sulitnya Mencari dan Menemukan Guru Bangsa

Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Oktober 2014

“I am a teacher who favors the permanent struggle against every form of bigotry and against the economic domination of individuals and social classes.I am a teacher who rejects the present system of capitalism, responsible for the aberration of misery in the midst of plenty. I am a teacher full of the spirit of hope, in spite of all the signs to the contrary.“(Paulo Freire: Pedagogy of Freedom, 1998)

KUTIPAN dari Freire di atas seolah mene gaskan posisi guru itu teramat penting secara spiritual, tidak hanya terbatas pada ruang kelas.Guru dalam pandangan Freire harus memiliki kepekaan yang luar biasa terhadap tatanan sosial sehingga dia bisa membebaskan para siswanya dari pandangan yang sempit dan gelap. Kata guru juga seolah ingin menegaskan arti sesungguhnya tentang keteladanan dan keikhlasan, sesuatu yang sangat sumir dan hampir tak terlihat dari perilaku para tokoh bangsa akhir-akhir ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru memang diartikan dengan beragam makna, dari yang sempit hingga luas.Secara sempit, guru ialah seseorang yang berprofesi mengajar. Jika mengajar dimaknai secara luas, makna `guru’ juga dapat disimpulkan memiliki arti seseorang atau sesuatu yang dijadikan pedoman. Tampaknya `guru bangsa’ mengacu kepada makna tersebut, yaitu seseorang yang bisa dijadikan pedoman atau teladan dalam hidup berbangsa. Pertanyaannya, siapa sosok yang patut kita jadikan guru bangsa saat ini jika kita tak menemukan keteladanan di dalamnya?

Para penguasa bangsa hari ini ialah para politikus yang berasal dari beragam partai politik yang jauh dari menunjukkan keteladanan dalam kehidupan berbangsa. Mereka seolah tak memiliki padanan moral ketika secara kasatmata rela mempertontonkan kerasukan dalam mengejar kekuasaan. Jelas sekali para siswa kita sedang memperoleh keteladanan yang buruk dari para politikus tentang makna kekuasaan yang mengedepankan nilai-nilai keserakahan dan dendam.

Jika kita masih memercayai makna guru sebagai sesuatu yang sangat mulia, kebutuhan untuk menemukan sosok guru bangsa ialah imperatif. Guru bangsa yang kita maksudkan tentunya tak terlepas dari makna yang mulia, yaitu yang mampu memberi teladan pada kebaikan akan hajat hidup orang banyak. Guru bangsa yang kita idamkan hari ini ialah orang dengan kemampuan spiritual luar biasa yang dapat memberikan harapan akan kehidupan yang lebih baik dan mengantarkan orang lain menuju kesuksesan secara duniawi dan ukhrowi.

Sulitnya menemukan guru bangsa juga berkorelasi positif terhadap proses pendidikan yang sudah kita lalui selama lebih kurang empat dekade. Saya curiga jangan-jangan tujuan pendidikan kita selama ini menjadi salah satu alasan sulitnya menemukan orang yang memiliki jiwa keteladanan yang luar biasa. Jika kita survei secara kasar, hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan selalu mengatakan hal-hal yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena sistem pendidikan di negara kita terlalu berorientasi kepada hasil yang bersifat fisik. Ijazah atau kelulusan, kesempatan dalam bekerja, memperoleh kedudukan, ialah di antara fakta-fakta yang ada di sebagian besar kepala siswa kita.

Pendidikan yang berorientasi pada hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan, tetapi sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika proses belajarmengajar dimaknai dan dijalankan sebagai eksplorasi atas nilai-nilai kehidupan yang mulia.

Dengan mengikuti logika Maslow, pendidikan yang berorientasi kepada hasil sesungguhnya hanya akan memperoleh kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk memperoleh kasih sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini. Penghargaan yang tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan memberikan siswa sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada lingkungan sosial tempat mereka berada.

Menurut teori fisiologi, semua tindakan manusia itu berasal dari usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan fisik semata. Padahal, kebutuhan siswa tak hanya soal materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan rasa yang sangat bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan anakanak sekolah, seperti kasus kekerasan.

Ketidakseimbangan

Proses pendidikan yang tak seimbang antara pikir dan rasa inilah salah satu ujung petaka kemanusiaan di Indonesia.Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berke adaban seperti tawuran, dan yang lebih parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.

Jelas sistem pendidikan kita memerlukan road-map baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling menghargai. Mungkin baik untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam praktiknya, antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni-budaya harus proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya mata ajar humaniora dan seni-budaya di sekolah, menurut beberapa temuan riset, rentan menjadikan anakanak berperilaku menyimpang di tengah masyarakat.

Profesor Antonio Damasio (2006) menyebutkan hari ini pada sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang berorientasi kognitif dan emosional. Penyelaman empati dan rasa tak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga anak-anak kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni-budaya dan humaniora seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah rasa inilah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat modern.

Menyeimbangkan pikir dan rasa dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai satu dengan yang lain, dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat Indonesia.

Hans-Peter Becker dalam Unleash the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child (2012) menemukan hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan secara seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak belajar sambil mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari, baik di ruang kelas, sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin belajar.Kombinasi pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku siswa.

Krisis Lelaki

Akmal Sjafril

October 14, 2014

Seorang lelaki harus siap untuk kondisi apa pun. Jika saatnya tiba, ia haruslah bisa diandalkan. Rasa lelah, takut, sedih, semua itu manusiawi, dan menangis pun tidak dilarang. Hanya saja, lelaki tidak boleh tunduk pada kelemahannya di saat-saat genting. Seorang lelaki adalah tulang punggung bagi keluarganya. Ketika bahaya mengintai, maka para lelakilah yang wajib pasang badan. Kekuatannya untuk membela, bukan menindas.  

assalaamu’alaikum wr. wb. 

Dalam sejumlah perbincangan terpisah saya bersama dua orang pakar dalam masalah keluarga, yaitu ust. Bendri Jaisyurrahman dan Bu Elly Risman, terselip sebuah pesan penting yang persis sama, yaitu bahwa negeri ini tengah mengalami ‘krisis ayah’. Sederhananya, krisis ini dapat dimaknai sebagai kurangnya peran ayah di banyak keluarga di negeri ini, sehingga menimbulkan sejumlah konsekuensi serius pada pendidikan anak. Tapi untuk sekali ini, ijinkanlah saya memberi penekanan lebih dengan menggunakan istilah baru: krisis lelaki! 

Pangkal permasalahannya memang pada figur ayah. Sampai sekarang, masih banyak yang menganggap bahwa peran ibu lebih dominan dalam mendidik anak. Pandangan ini sekarang mulai banyak dibantah. Menurut saya pribadi, peran ibu mungkin lebih banyak secara kuantitatif, sebab umumnya ibu menghabiskan waktu lebih lama dengan anak-anaknya, sedangkan ayah memiliki tanggung jawab lebih untuk mencari nafkah. Meski demikian, bukan berarti secara keseluruhan peranan ayah menjadi kurang, sebab ia memiliki tanggung jawab yang besar dalam menanamkan nilai-nilai fundamental dalam keluarga. Sebagai kepala keluarga, umumnya anak memandang ayahnya sebagai ‘penegak aturan’ di keluarga. Dengan sendirinya, sosok ayahlah yang dipandang sebagai teladan bagi anak-anaknya. Jika ayahnya sudah tidak lagi dihormati, runtuhlah sudah wibawa institusi keluarga. 

Jika di atas disebutkan peranannya sebagai ‘penegak aturan’, jangan disalahpahami seolah-olah tugas seorang ayah hanya sekedar mengevaluasi anak atau memelototi dan memarahinya jika ia melakukan pelanggaran. Lebih dari itu, sosok seorang ayah (semestinya) menunjukkan visi dan misi rumah tangga yang hendak diwujudkan – salah satu dan terutama – melalui pribadi anak-anak yang dilahirkan dari keluarga itu. 

Sudah barang tentu anak perempuan sangat membutuhkan kehadiran ayahnya. Akan tetapi, yang ingin saya tekankan di sini adalah kehadiran ayah untuk anak-anak lelakinya. Bagi anak laki-laki, sosok ayah menjadi sangat penting karena suatu alasan yang sangat sederhana, yaitu: karena sang ayah adalah laki-laki. Ketika sang anak mulai mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai seorang lelaki, maka siapa yang lebih tepat untuk tugas mengajarinya hidup sebagai laki-laki, kalau bukan ayahnya sendiri? 

Saya pun berusaha mengingat-ingat kebersamaan saya dengan almarhum Papa dahulu. Masa-masa itu terasa begitu dekat, meski sebenarnya sudah lebih dari separuh hidup saya jalani tanpa kehadiran beliau. Meski beliau hanya hadir dalam empat belas tahun pertama hidup saya, namun sosoknya tertancap begitu kuat, seolah baru berlalu beberapa hari saja. 

Saya ingat betul betapa beliau tidak suka bila anak-anaknya (tiga anak lelaki!) bermain di dalam rumah seharian. Di antara tiga bersaudara, sayalah yang punya hobi menggambar. Karena itu, saya suka berlama-lama dengan kertas dan sibuk dengan imajinasi. Hobi ini tidak pernah dilarang, hanya saja Papa menganggap anak laki-laki tidak boleh tidak haruslah bermain dengan fisiknya. Sementara kakak-kakak saya menikmati bermain layang-layang di atas atap rumah, saya lebih suka naik sepeda dan memanjat pohon. Dua kebiasaan yang membuat kedua kaki saya penuh dengan bekas luka. Tentu saja, masa kecil saya penuh dengan kebahagiaan. 

Di akhir pekan, yaitu di hari Ahad, cukup sering Papa mengajak kami jalan-jalan. Waktu itu, komplek kami masih terhitung di ‘perbatasan kota’. Artinya, komplek kami berbatasan dengan wilayah pedesaan yang didominasi jalan setapak, aliran sungai, sawah, ladang, dan kadang-kadang bertemu kambing dan kerbau milik petani. Sekarang, jalur petualangan kami sudah menjelma komplek mewah yang bernama Bogor Lakeside. Di suatu titik di tempat yang kini menjadi perumahan itu dulunya adalah bukit yang ditanami oleh berbagai tanaman, terutama singkong, dan di puncaknya ada sebuah warung kecil tempat kami biasa berhenti sejenak untuk makan pisang goreng dan memandangi sungai di bawahnya. Jika kami beruntung, kami bisa menonton petani memandikan kerbau-kerbaunya di sana. Ah, saya ingat sebuah jembatan kayu, tidak jauh dari sana, yang hanya disusun dari tiga atau empat batang pohon bambu. Kami pernah tertawa terbahak-bahak ketika salah seorang kakak saya terpeleset di jembatan itu. Setelah melewati jembatan, kami memasuki perkampungan dan entah bagaimana pada akhirnya sampai juga ke daerah desa Tegallega atau Cimahpar. Saya katakan “entah bagaimana”, karena sesungguhnya perjalanan kami ini punya satu keunikan, yaitu tidak pernah menempuh jalan yang persis sama. Adakalanya kami banyak melewati perkampungan, adakalanya perjalanan didominasi daerah persawahan. 

“Nikmati aja perjalanan. Kalau nyasar ya balik arah, atau tanya jalan ke orang-orang di kampung,” begitu kata Papa saya dahulu. Saya tidak tahu apakah di jaman sekarang masih banyak ayah yang menikmati jalan-jalan santai ke daerah pedesaan bersama anak-anaknya tanpa rute yang pasti. Barangkali, perasaan tidak aman sudah terlalu merebak di negeri ini, sehingga setiap perjalanan harus serba pasti. Yang benar-benar pasti adalah bahwa masa kecil saya penuh dengan kebahagiaan. 

Almarhum Papa-lah yang mengajari saya untuk memahami bagaimana caranya menjadi seorang lelaki. Sebagai anak nakal yang lumayan hiperaktif, masa-masa SD saya (terutama kelas 1-3) penuh dengan pengalaman berkelahi. Saya adalah ‘anak aneh’ yang selalu dapat ranking tapi lumayan sering juga dipanggil ke ruang Kepala Sekolah karena nakalnya. Kalau ketahuan berkelahi, sudah pasti Mama akan memarahi, tapi Papa selalu memastikan bahwa penyebab perkelahiannya bukanlah saya. Agaknya, dengan cara itulah Papa mengajari saya bahwa lelaki adakalanya harus siap berkelahi, tapi hanya tukang onar yang tak berguna sajalah yang suka memulai perkelahian. 

Papa juga memiliki sedikit bakat menggambar, dan beliau suka mengamati gambar-gambar saya. Sejak TK, saya sering meniru gambar-gambar kartun, robot, atau apa saja yang menarik perhatian. Sampai suatu saat, mungkin di kelas dua atau tiga SD, beliau berpesan agar saya berhenti meniru. “Coba hasilkan karya sendiri, jangan meniru-niru lagi. Kalau kerja kita bagus, orang lainlah yang akan meniru kita,” kurang lebih begitu pesan beliau pada suatu senja. Sejak saat itu, saya benci meniru, bahkan ada ketidaksukaan melakukan hal-hal yang banyak dilakukan orang, semata-mata karena banyak yang melakukannya. Oleh karena itu, saya tidak pernah mengikuti tren. Karena banyak yang main layangan, saya tidak pernah tertarik main layangan. Ketika saya sadar hampir semua anak laki-laki bermain bola, saya pun mulai bermain basket, meski waktu itu tubuh saya terlalu pendek dan baru bertambah tinggi secara signifikan ketika SMP. Ketika banyak orang memilih elang dan harimau sebagai lambang kelompoknya di Pramuka dulu, saya memilih serigala! Dan saat EBTA Praktek (masih ada yang ingat?) saya memilih lagu daerah yang tak dipilih oleh seorang pun di sekolah saya waktu itu, yaitu “Apuse”. Oh ya, saya juga tidak pernah merokok barang sekali hisap pun, karena semua orang belajar merokok hanya karena ikut-ikutan, ya‘kan? 

Sesungguhnya, almarhum Papa bukan orang yang pandai bicara. Beliau tidak pernah banyak bicara. Mungkin karena itu pula saya bisa mengingat pesan-pesannya; jumlahnya sedikit, mudah diingat dan terus teringat. Di balik segala kekurangannya (dan semua orang memiliki kekurangan), beliau adalah ayah yang memberikan rasa aman yang luar biasa kepada seluruh keluarganya. Saya teringat perjalanan-perjalanan panjang kami sekeluarga dengan mengendarai mobil ke Yogyakarta, Bali dan Sumatera. Masih teringat jelas bagaimana kami bergantian duduk di depan untuk menemani beliau ketika harus menyupir tanpa henti semalaman. Tentu saja, setelah beberapa lama, siapa pun yang bertugas menemani pada akhirnya menyerah juga pada kantuk. Kemudian beliau akan mengusap kepala kami dan menyuruh kami untuk tidur saja. Seluruh perjalanan itu kami percayakan kepadanya. 

Kalau ada yang menyangka Papa saya ini orangnya galak, maka asumsinya sangat jauh dari yang sebenarnya. Meskipun memiliki wajah ‘keras’ (dan ini membuat sebagian teman saya yang pernah berjumpa dengan beliau merasa agak takut), tapi nyatanya beliau justru paling senang bercanda. Kalau marah, beliau hanya diam, dan diamnya itu sudah cukup untuk membuat kami duduk diam dengan mulut terkunci. Main tangan? Subhaanallaah, tidak pernah sekalipun! 

Setiap pengalaman itu pada akhirnya membantu saya memahami artinya menjadi laki-laki. Seorang lelaki harus siap untuk kondisi apa pun. Jika saatnya tiba, ia haruslah bisa diandalkan. Rasa lelah, takut, sedih, semua itu manusiawi, dan menangis pun tidak dilarang. Hanya saja, lelaki tidak boleh tunduk pada kelemahannya di saat-saat genting. Seorang lelaki adalah tulang punggung bagi keluarganya. Ketika bahaya mengintai, maka para lelakilah yang wajib pasang badan. Kekuatannya untuk membela, bukan menindas. Saya bersyukur telah mendapatkan semua pelajaran ini dalam empat belas tahun pertama hidup saya. 

Sekarang, marak beredar sebuah video yang merekam pengeroyokan seorang anak perempuan (!) sekolah dasar yang dihajar bertubi-tubi, baik oleh sesama anak perempuan, juga oleh beberapa anak lelaki (!!!). Lemahnya pengawasan guru dan orang tua, minimnya nilai-nilai agama, pengaruh tontonan yang tidak baik, sudah barang tentu menjadi ‘tersangka’. Akan tetapi, saya tidak ingin kita melupakan adanya suatu krisis yang juga menjadi faktor pemicu kasus menyedihkan ini, yaitu krisis lelaki. 

Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau lalai menjelaskan kepada anak-anak lelakimu bahwa memulai perkelahian itu tidak baik? Apakah engkau lupa betapa berbahayanya dunia ini jika setiap lelaki memanfaatkan tenaga besarnya untuk kekerasan? Apakah engkau tidak tahu bahwa perkelahian itu selalu ada dalam dunia anak lelaki, dan mereka butuh bimbingan untuk memahami realita ini dengan benar? 

Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau lalai mengingatkan kepada anak-anak lelakimu bahwa pengeroyokan adalah tindakan pengecut, dan kepengecutan adalah najis bagi lelaki!? Apakah engkau hendak mengaku lalai pula mengajarkan kepada mereka bahwa kaum lelaki adalah pelindung perempuan, dan bukannya penindas mereka? Apakah engkau lupa mengajari mereka untuk menghormati ibu mereka, dan menghormati semua ibu dan calon ibu di dunia ini? 

Duhai para Ayah, ijinkanlah saya bertanya: apakah engkau telah demikian lalai sehingga anak-anak lelakimu menjadi pengecut yang ikut-ikutan memukuli anak perempuan, atau turut menikmati tontonan keji itu sampai habis, atau tak punya sedikitpun keberanian untuk membela temannya yang membutuhkan bantuan?

Duhai para Ayah, selamatkanlah anak-anak lelakimu sekarang, agar mereka tumbuh menjadi sebenar-benarnya lelaki, dan bukan hanya manusia yang berjenis kelamin lelaki! Bimbinglah mereka menjadi manusia yang mulia, bukan manusia rendah yang hidup hanya untuk diri sendiri dan esok mati tanpa meninggalkan nama untuk dikenang! 

Ya Allah, selamatkanlah anak-anak bangsa ini, dan berilah kami petunjuk untuk keluar dari krisis lelaki ini. Aamiin, aamiin, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin, yaa Arhamar-Raahimiin… 

wassalaamu’alaikum wr. wb.

Apa Konsep Aqil Baligh dalam Islam?

Winda Frestikawati
2 Oktober, 2014

Alhamdulillah group Home Education berbasis Potensi dan Akhlak kembali aktif setelah restukturisasi group dan member yang semakin banyak. Siang ini (01 Oktober 2014) diskusi hangat bersama pakar home education dimulai lagi. Dengan Subject Matter Expert (SME) tetap kami, Bapak Harry Santosa (founder MLC sekaligus praktisi HE sejak 1994). Banyak ilmu baru yang kita dapatkan hari ini, ilmu pendidikan dalam Islam sangat utuh dan sangat menakjubkan.

Pasti banyak ayah dan bunda yang bertanya, bagaimana ya konsep pendidikan dalam islam? mengapa generasi nabi terdahulu menjadi generasi emas umat Islam? Bisakah kita membangun generasi seperti itu? Awalnya saya pun kurang paham dengan apa itu konsep pendidikan dalam Islam. Dari berbagai informasi, sedikit demi sedikit membuka mata saya tentang mutiara Islam yang terpendam oleh peradaban modern. Semuanya akan kita bahas dengan diskusi bertahap. Berikut paparan awal dari diskusi kami.

Menikah dan mendidik anak adalah peristiwa peradaban yang luar biasa baik kebahagiaannya, amanahnya maupun pahalanya. Kami akhirnya meyakini dan menyadari bahwa tiada lembaga terbaik di muka bumi untuk mendidik generasi kecuali di keluarga dan di jamaah atau komunitas. Fungsi pernikahan atau berkeluarga adalah mendidik anak dan membangun kepemimpinan/kemandirian berbasis potensi keluarga. Ketika kedua fungsi itu hilang, maka berakhirlah peran dan fungsi keluarga.

Di abad modern ini, nyaris di banyak keluarga atau rumah, kedua misi dan fungsi itu tercerabut dari rumah. Umumnya fungsi mendidik anak diserahkan kepada persekolahan, fungsi kepemimpinan atau kemandirian atau kewirausahaan diserahkan kepada industri di luar rumah. Ketika amanah-amanah ini terlalaikan, maka terjadilah penyimpangan fitrah yang luar biasa dari anggota-anggota keluarga dan akhirnya secara massive menjadi penyimpangan sosial dan kejiwaan di masyarakat. Diantaranya perceraian sangat mudah terjadi, menurut statistik perceraian di Indonesia terjadi setiap 36 menit. Rumah tidak lagi sehangat dulu. Orang lalu sibuk bicara quality time, padahal quantity time juga sangat penting.

Terkait dgn tema hari ini mengenai konsep Aqil Baligh, sangat erat kaitannya dengan peran Home Education. Dunia di luar sana tidak pernah peduli dengan konsep pendidikan yang melahirkan generasi aqil baligh. Tradisi generasi aqil baligh sebenarnya berlangsung sampai era sebelum persekolahan modern masuk ke Indonesia.

Rasulullah SAW telah memulai pendidikan generasi aqil baligh ini tentu pada dirinya sendiri lewat bimbingan Allah SWT. Usia 9 tahun, Rasulullah SAW telah magang berdagang ke Syams bersama pamannya. Lalu kemudian Rasulullah SAW mempraktekannya kepada sahabat-sahabat muda (sahabat yg masih anak ketika Rasulullah SAW sudah menjelang senja).

Kita mengenal Usamah bin Zaid ra. Siroh mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Apakah Rasulullah SAW lalai ketika menikahkan Usamah ra? Tentu tidak. Usamah telah mengalami pendidikan generasi aqil baligh. Siroh kemudian mencatat bahwa Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Apakah Rasulullah SAW lalai ketika menunjuk seseorang dalam penugasan yang penting? Tentu tidak.

Kami meyakini bukan hanya Usamah ra yang menjalani pendidikan generasi aqil baligh ini, tetapi juga sahabat-sahabat lain yang seangkatan dengannya. Tentu dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya, model mendidik seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat.

Jika dikonversi dengan zaman sekarang, usia 20 tahun ke atas hampir sama dengan usia 14 tahun ketika zaman Rasulullah SAW. Zaman kita kurang lebih mundur 6 tahun tingkat kedewasaannya. Ada upaya melambatkan terbentuknya generasi aqil baligh ini. Bukan hanya pada generasi muda Islam, namun seluruh generasi di abad modern. Sebuah Journal Psikologi tahun 2009 menyebutkan bahwa penyebab penyimpangan perilaku generasi muda adalah karena lambatnya pengakuan sosial pada kedewasaan mereka. Di Amerika, bahkan kecenderungan seorang dianggap dewasa ketika berusia 26 tahun.

Model mendidik generasi aqil baligh seperti yg Rasulullah SAW teladankan kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Kita saksikan sepanjang sejarah putra-putra aqil baligh Islam bukan hanya mandiri ketika aqil baligh tetapi telah memiliki peran yang menebar rahmat dan manfaat kepada umat. Imam Syafii rahimahullah telah menjadi Mufti (pemberi fatwa) di usia 14 tahun. Alkhawarizmi telah menjadi penemu pemikiran-pemikiran matematika sejak usia 10 tahun dan menjadi guru besar di usia 16 tahun. Home Education secara berjamaah adalah lembaga yang paling siap dan mampu melakukan hal itu.

Dalam masyarakat yang menyerahkan anaknya pada persekolahan modern, sulit untuk melahirkan generasi aqil baligh. Sistem persekolahan yang ada telah mensegregasi anak-anak menjadi kelas-kelas sosial yang seolah-olah telah baku. Misalnya disebut dewasa kalau sudah lulus kuliah dan bekerja. Di masyarakat modern, jarang ada yang mau menerima anak-anak berusia 14-16 tahun dalam sebuah peran-peran di sosial masyarakat.

Seorang pakar psikolog Muslim, kalau tidak salah berasal dari Turki, namanya Malik Badri. Tahun 85 pernah ke Indonesia. Bukunya yang terkenal dan banyak diterjemahkan adalah Dilema Psikolog Muslim, mengatakan penjenjangan toddler, kids, teenager, adults dengan masing-masing punya tahap awal, tengah dan akhir, bukan berasal dari landasan ilmiah. Itu hanya pengamatan psikolog barat terhadap masyarakat mereka, yang kemudian diadopsi menjadi jenjang persekolahan.

Malik Badri mengatakan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan di dunia, yaitu sebelum aqil baligh dan sesudah aqil baligh. Baligh adalah kondisi tercapainya kedewasaan secara biologis. Kalau anak pria, biasanya suara membesar, tumbuh jakun, mimpi basah dan sebagainya. Kalau anak wanita ditandai dgn menstruasi, buah dada membesar, dan seterusnya. Kondisi baligh dicapai umumnya pada usia 13-16 tahun.

Secara syariah ketika seorang anak mencapai aqil baligh, maka berlakulah sinnu taklif yaitu masa-masa pembebanan syariah. Artinya anak kita yang mencapai aqil baligh maka kewajiban syariahnya akan setara dengan kedua orangtuanya. Ketika itu anak-anak kita akan setara kewajibannya dengan kedua orangtuanya dalam shalat, puasa, zakat, haji, jihad, nafkah dan kewajiban sosial lainnya. Mereka telah menjadi manusia dewasa, yang memikul semua beban kewajiban seorang manusia dewasa.

Artinya pendidikan Islam sejatinya menyiapkan anak-anak Islam agar mampu menerima kewajiban syariah ketika mereka mencapai aqil baligh. Islam tdk mengenal konsep BALIGH belum AQIL dan AQIL namun belum BALIGH, alias remaja.Istilah remaja atau Adolescene bahkan tidak dikenal di seluruh dunia sampai abad ke 19.

Baligh (kedewasaan fisik biologis) mesti sejalan dengan Aqil (kedewasaan psikologis, sosial, syariah). Transisi menuju aqil baligh boleh, sepanjang tidak terlalu lama. Jadi home education mengantarkan anak agar sampai di waktu yang tepat. Ketika perkembangan sekunder (reproduksi) sudah dimulai, maka kedewasaan yang menjadi penjaganya.

Kita bisa saksikan bahwa anak-anak muslim generasi kini, mereka sudah baligh di usia 13-16 tahun, namun baru benar bisa mandiri di usia 23-26 tahun. Semua ulama Fiqh sepakat bahwa anak yang sudah aqil baligh (terutama pria) maka tidak wajib lagi dinafkahi. Jikapun masih dinafkahi, itu namanya shodaqoh karena statusnya adalah dewasa faqir miskin. Subhanallah, kita bisa bayangkan andai amanah Rasulullah SAW tentang pendidikan generasi aqil baligh ini dijalankan oleh ummat Islam. Terjadi percepatan peradaban yang luar biasa. Kenakalan dan penyimpangan remaja yang menguras banyak tenaga, pikiran, air mata, nyawa dan bahkan kehormatan tidak akan terjadi. ZERO WASTE GENERATION. Itulah mengapa peradaban Islam dahulu excelent.

Para pemuda belia belasan tahun telah mencapai peran-peran peradabannya di usia aqil baligh. Karya-karya peradaban akan melimpah, bukan sampah-sampah peradaban. Apakah Allah SWT lalai ketika menjadi seorang pria mampu bereproduksi maka wajib berproduksi, yaitu memampukan dirinya mengemban amanah syariah dan peran peradabannya? Tentu tidak. Karena kelalaian dan “tdk paham” dalam mendidik anak sebelum aqil baligh, akhirnya generasi kita benar-benar jauh tertinggal dari pendidikan anak dalam islam sebenarnya.

Sepanjang sejarah manusia dalam peradaban apapun kita temukan bahwa kedewasaan sosial psikologis (aqil) umumnya dicapai pada saat kedewasaan biologis (baligh). Jika Allah SWT telah memberi kemampuan reproduksi (baligh) apakah Allah lalai bahwa anak-anak itu tidak mampu dewasa secara sosial psikologis (aqil)?

Lingkunganlah yg menyebabkan kedewasaan itu melambat dan terhalang. Konsep sosial masyarakat kita membuat pembatasan-pembatasan yang tidak berlandaskan fitrah perkembangan manusia. Mengapa anak-anak remaja susah diatur, melawan, suka pulang malam, menginap di rumah teman dan lain-lain itu karena sejatinya mereka telah menjadi dewasa. Bukankah orang-orang dewasa tidak suka diatur? Karena orang dewasa itu pada galibnya suka mengatur dirinya sendiri. Tanpa kita lakukan apapun, anak-anak akan menjadi dewasa pada waktunya, itu fitrah Allah. Hanya saja mengapa peran kita sebagai orang tua penting karena banyak yang menghalangi dan menghambat fitrah ini, termasuk tanpa sadar kita sendiri.

Faktor penghambat dan penghalang fitrah ini antara lain usia baligh anak-anak semakin cepat, karena pengaruh tontonan, gaya hidup, asupan makanan yang tidak sehat, kematangan biologis menjadi cepat, kedewasaan melambat. Selain itu keteladanan dan model persekolahan juga salah satu faktornya.

Adzan maghrib menandakan bahwa diskusi harus berakhir. Selain untuk kewajiban menunaikan ibadah shalat, diskusi ini diharapkan juga agar tidak mengganggu family time masing-masing keluarga. Kalau para sahabat saja BISA melakukannya, tentunya kita yang meyakini Rasul sebagai uswah hasanah, Insya Allah bisa mewujudkan Khairu Ummah kembali di jaman ini. Permasalahannya bukan BISA atau TIDAK BISA, tetapi MAU atau TIDAK MAU, untuk itu terus semangat menggali mutiara-mutiara Islam yang terpendam, dan mengamalkan semampunya untuk generasi berikutnya.

Nantikan ulasan diskusi kami di group Home Education berbasis Potensi dan Akhlak selanjutnya.

Salam HE,
Winda Maya Frestikawati

http://windafrestikawati.wordpress.com/2014/10/02/apa-konsep-aqil-baligh-dalam-islam/