Kepemimpinan Kemerdekaan

Oleh : Yudi Latif, Pengurus Aliansi Kebangsaan
Kompas, 16 Agustus 2018

Indonesia merdeka tampil dengan jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyak- an mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demo- krasi identik dengan kebajikan dan kesento- saan masyarakat masa depan (Feith, 1962).

Kepercayaan diri yang tinggi itu tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri”.

Etos kemenangan dan kepeloporan itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya Indonesia menjadi inisiator gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan dunia baru yang tepercaya. Menjelang Konferensi Asia Afrika di Bandung, sebanyak 14 sarjana humanis terkemuka dari Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara mereka terdapat nama-nama: Miss Emily G Back, seorang ekonom dan sosiolog, peraih hadiah Nobel untuk Perdamaian; penulis wanita Pearl Buck, peraih hadiah Nobel, dan juga peraih hadiah Pulitzer; SR Marlow, mahaguru agama; Lewis Munford, ahli filsafat dan sejarah, dan lain-lain.

Surat itu berisi pengharapan pada Indonesia: “Banyak penduduk dunia hidup dalam kemelaratan, banyak yang hidup dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk blok-blok. Di tengah- tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami membuat surat ini…. Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan. Besar harapan kami kepada Tuan, mudah- mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka; untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru…. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan”.

Dari mana ketinggian muruah Indonesia itu bermula? Kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran harkat bangsanya. Sejarawan HG Wells kerap kali mengingatkan. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya.” Tekad sebagai sikap mental(state of mind) yang mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.

Oleh karena itu, Bung Karno berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa. “Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar daripada Stalin adalah jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelt adalah jiwa Roosevelt… lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya.”

Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa, terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, “untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”.

Masa depan bangsa

Harapan dan peringatan kedua Bapak Bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan umum kelima di era Reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, dan keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.

Berdiri di awal milenium baru, dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam perkembangan kawasan? Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita mewarisi sisa-sisa modal sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk bangkit dari keterpurukan. Yang diperlukan adalah menyatukan segala elemen kekuatan nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang lebih produktif.

Kepemimpinan politik harus mampu mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan, bukan untuk terus- terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics). Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif. Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.

Seturut dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui perwujudan keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan, politik-kesejahteraan, birokrasi kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.

Untuk itu, demokrasi yang dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal perlu dibumikan dalam kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Eric Weiner (2016) menengarai bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak pernah memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warganya untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat, dengan semangat kewargaan yang menghormati nalar dan moral publik.

Di sini, budaya literasi kuat. Talenta, toleransi, dan teknologi berkembang. Semangat mencintai tanah air (amore patria)menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun; warga menjadi garda republik. Dalam menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan memainkan peran sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung (secara teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat. “Tugas terberat seorang presiden,” ujar Lyndon B Johnson, presiden ke-36 Amerika Serikat, “bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar.” Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.

Komitmen kepemimpinan negara berlandaskan konstitusi adalah berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif. Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial.

Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selama era Reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik.

Namun, capaian-capaian ini sering kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangan Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan umum di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonominya.

Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara. Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic nationalism, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama dari segala keragaman.

Kesinambungan perjuangan

Dalam meruyaknya tarikan ke arah populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapa pun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sebagai pemimpin nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas landasan republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan politik jangka pendek.

Suasana memasuki peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang sangat krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Persinggungan antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat, bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional adalah kesinambungan perjuangan mencapai cita- cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kemerdekaan dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu besar, baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh para pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas wilayah Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang selalu bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa diambil dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.

Jiwa besar yang memiliki cipta besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar. Seperti diingatkan Bung Hatta, “Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”

Advertisement

In Harmonia Progressio dan Fokus pada Pelanggan : Mantra Kepemimpinan

JUSMAN SYAFII DJAMAL·
FRIDAY, FEBRUARY 23, 2018

‘Jeff’ Bezos pengusaha teknologi Amerika telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan e-commerce sebagai pendiri dan CEO Amazon dot com. Ia menjadi pelopor pedagang buku online. Di bawah kepemimpinannya, Amazon dot com jadi peritel terbesar World Wide Web.

Pada tahun 2012, Amazon mencapai “miles stone” menarik. Raksasa ritel yang awalnya dikenal dengan took buku dan produk media , kini memiliki puluhan juta jenis produk yang tersedia. Sebagian besar produk ini adalah barang non media. Amazon telah secara resmi diubah dari pengecer buku online menjadi pedagang variasi produk di seluruh dunia yang dapat memenuhi kebutuhan beragam jenis populasi.

Jeff Bezos kini jadi salah satu orang terkaya di dunia dengan kekayaan bersih sekitar 72,8 miliar dollar begitu kata Forbes 2017. Ia memimpin dengan mantera berbeda. Jika pemimpin lain waktunya habis untuk melayani keinginan para pekerja yang terus menerus ingin ikut campur dalam pelbagai urusan perusahaan, Fokus Jeff Bezos adalah pada pelanggan. Mantra keberhasilannya adalah ‘The customer is always right’. Pelanggan aalah Raja. Mantera tua yang sangat terkenal di Indonesia, tetapi sering dilupakan.”Bezos has proven the potency of another leadership model; ‘coddling his 164 million customers, not his 56,000 employees’ begitu kata Forbes di tahun 2012.”

Para Manajer dan karyawan sangat mengagumi nya. Dia dapat julukan si ‘kursi kosong’ atau Empty Chair bukan “Chairman” . Sebab selama rapat Bezos secara berkala selalu meninggalkan satu kursi kosong di meja konferensi dan memberitahu stafnya untuk mengasumsikan bahwa seorang pelanggan menempati kursi itu dan merupakan orang yang paling penting di ruangan itu. Jika terjadi perdebatan ia selalu minta pendapat “kursi kosong” dalam ruangan, yang kemudian menjawabnya dengan pelbagai keluhan dan deretan permintaan perbaikan layanan, sebagai hasil survey mereka sendiri.

Hal ini tampaknya lucu tapi Bezos menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat serius. Melalui kursi kosong dalam ruangan ia mendefinisikan kembali semua hal yang pelanggan tidak inginkan. Ada banyak fokus untuk mengurangi cacat dan penundaan delivery karena kehabisan stok.Semua orang mengenalnya memiliki obsesi terhadap pelanggan. Tiga gagasan besar Amazon adalah pemikiran jangka panjang, obsesi pelanggan dan kemauan untuk mencipta jalan baru begitu kata majalah Fortune di tahun 2012

Dalam buku Kotter, J. P. terbit tahun 1990 berjudul A force for change: How leadership differs from management, New York: Free Press. Disebutkan tugas utama pemimpin untuk mengatasi perubahan dan menghadapi kompleksitas zaman yang selalu berubah. Bagi Kotter, para pemimpin mengembangkan visi dan strategi untuk mewujudkan visi. Leadership adalah tata kelola visi. Pemimpin bukan mandor dan manajer penyelia. Manajer terlibat dalam perencanaan dan penganggaran. Pemimpin dan manajer sangat berbeda dalam sikap mereka terhadap tujuan dan konsepsi kerja begitu kata Zaleznik tahun 1977.

Henry Fayol tahun 1916 pertama kali mengidentifikasi fungsi manajemen sebagai perencanaan, pengorganisasian, penempatan pegawai dan pengendalian. Fungsi ini telah didukung dan dimodifikasi oleh ilmuwan lain seperti Kotter tahun 1990 untuk memasukkan unsur tupoksi penganggaran dan pemecahan masalah. Melalui tupoksi seperti ini damat dikembangkan perbedaan hirarki leadershift dan management

Mintzberg tahun 1973 mengusulkan sepuluh peran manajerial dari studinya tentang eksekutif yakni sebagai Decision-Making Roles dengan fungsi sebagai Disturbance handler,

Entrepreneur, Negotiator dan Resource allocator.

Pemimpin juga perlu memainkan Peran sebagai Pusat Pengolahan Informasi yang menjadi Diseminator informasi, memantau lalulintas dan dampak informasi pada tujuan serta bertindak sebagai Juru Bicara. Karenanya Pemimpin tidak boleh diam membisu, harus banyak bicara.

Tugas utama para pemimpin adalah berperan sebagai key drivers dan menjalin harmonisasi hubungan Interpersonal diantara pelbagai kelompok kepentingan. Ia harts mampu menempatkan diri untuk berdiri diatas segala Jenie kepentingan golongan sebagai Simbol figurehead, Pemimpin perubahan dan juga perajut kebhinekaan pandangan yang tercipta ditengah perubahan yang terjadi di lingkungan strategis.

Sampai batas tertentu, karakteristik, keterampilan, fokus dan gaya yang berbeda
diperlukan oleh tiap pemimpin. Tetapi style berbeda itu juga mempersyaratkan agar Pemimpin memiliki lapisan Manajer yang memiliki profesionalisma dan knowhow tentang bagaimana merencanakan, membuat anggaran , mengatur staf serta mengendalikan dan memecahkan masalah dengan cara yang efektif dan efisien.

Fokus manajer adalah pada tatakelola sumber daya fisik yang biasanya menyangkut inter relasi antara Materials, Machinery, Money and Man behind the gun seperti yang dikatakan oleh pakar manajemen Bennis dan Nanus tahun 1985.

Fokus Leadershift adalah memilih “the right man on the right place” agar Tata kelola pada hirarki manajerial level dapat membangun sinergi untuk bersama sama ‘do things right’, ‘melakukan sesuatu dengan benar dan baik’.

Menjaga agar Tiap manager bergerak dalam orbit tupoksi nya masing masing, tida saling sllang. Dalam ilmu aeronautika, diketahui bahwa sistim tatasurya Tiap benda langit selalu bergerak dalam keteraturan. Sebab Tiap benda langit memiliki orbitnya masing masing. Jika keluar orbit ia tidak lagi disebut sebagai benda langit, melainkan meteor yang jatuh kabumi.

Tugas pemimpin, adalah menentukan arah dan memastikan keahlian, sumber daya dan motivasi yang dibutuhkan hadir ditengah perubahan selalu bergerak dalam orbitnya secara harmonis. In harmonia progressio begitu kata motto Institut Teknologi Bandung. Kemajuan tercipta jika lahir dan melahirkan harmoni dari pelbagai profesi berbeda.

Fokus mereka adalah pada tata kelola sumber daya secara visionary, membangun ikatan emosional untuk mencapai tujuan bersama. Oleh Jeff Bezos disimbolkan dgn “empty chair” kursi yg kosong. Seperti kue donat kata Charles Handy menjadi menarik karena ada lubang bundar ditengahnya. Roda sepeda dengan jeruji yg memiliki ruang kosong di sela sela antar jeruji penguat. Empty Chair pengikat batin untuk ber sinergi memberi layanan terbaik pada pelanggan. Sebab Pelanggan adalah raja yang membuat “revenue stream” mengalir dalam cash flow.

Pemimpin harus menunjukkan empati, membangun kepercayaan, rasa hormat dan antusiasme dari mereka yang dipimpinnya untuk menggerakkan perubahan yang ia inginkan.

Mengacu pada teori Bennis dan Nanus Fokus para pemimpin adalah ‘melakukan hal yang benar’, they ‘do the right things’. Menempatkan setiap locomotive pada relnya. Agar Tiap gerak lokomotip yang membawa garbing dari satu tempat awal ketujuan yang berbeda Berjalan diatas rel yang tepat.

Pemimpin memerlukan “Rocket” yg baik dan benar berupa Style of Leadershift, Shared Values, Structure and organizations, systems and mechanism , Strategy , Skills and Staff atau 7S nya Tom Peters dan Robert Waterman dari Mc Kinsey tahun 80 an. Untuk menempatkan “satellite” imajiner berupa visi dan missi pada orbit yg tepat.

Dan Jef Bezos kini jadi salah satu contoh baik bagi para pengusaha yang ingin mengasah berlian sifat sifat kepemimpinan yang tersembunyi dalam diri para manajernya

Salam

Pendidikan, Persekolahan & Kepemimpinan

Harry Santosa – Millenial Learning Center
October 26, 2016

Mengapa kita tidak merasa Kitabullah diabaikan dan dilecehkan ketika sistem pendidikan Islam tak lagi fokus melahirkan peran spesifik peradaban dan kepemimpinan peradaban? Apakah sama pendidikan kepemimpinan dengan pelatihan kepemimpinan?

Dalam beberapa dekade belakangan nampaknya kita sibuk memproduksi cendekiawan pembelajar dengan gelar segudang, professor akademis dengan ijasah segulung besar dll yang berorientasi menguasai konten pengetahuan namun barangkali selama ini abai melahirkan pemimpin yang hebat dalam banyak peran dan bidang.

Hari ini terasa betul krisis kepemimpinan itu, dan sebagian kita menyalahkan dan menumpahkan marah pada “pihak luar”. Padahal jika kita kaji Siroh secara mendalam, Islam adalah agama fitrah yang concern dengan potensi fitrah tiap manusia khususnya generasi peradaban. Islam juga agama peradaban yang pendidikannya sejatinya adalah pendidikan peradaban yang mengantarkan generasi peradaban kita pada peran peran peradaban spesifik terbaik mereka dengan adab mulia sesuai potensi fitrahnya masing masing.

Barangkali mindset kita tentang pendidikan sudah tercekoki mindset persekolahan modern hasil impor kolonialisme, sehingga kita memberhalakan akademis, mempertuhankan skill & knowledge semata sehingga hanya menghasilkan orang pandai ilmu agama dan pandai ilmu umum, namun kita lupa bahwa sistem pendidikan Islam sejatinya melahirkan peran peran peradaban dan kepemimpinan terbaik di bidangnya yang penuh manfaat dan menebar rahmat.

Sistem persekolahan modern impor itu tentu mencegah lahirnya kepemimpinan dan peran peran spesifik peradaban di negeri negeri Muslim, karenanya sistem ini menyeragamkan anak anak kita, mengabaikan potensi potensi fitrah anak anak kita, mengusung pendidikan karakter yang tidak relevan dengan potensi fitrah tiap anak. Ujung ujungnya memproduksi kuli kuli peradaban yang patuh tanpa peran peradaban, Lalu bagai berhala kita taat kepadanya.

Sejak sumpah pemuda 28 Oktober 1928, mohon maaf, jelas sekali sekolah, ormas, partai Islam nampaknya mengalami kegagalan melahirkan para pemuda dengan kepemimpinan dalam berbagai peran dan bidang yang dibutuhkan rakyat. Yang muncul adalah para pekerja professional dan professor akademis yang sibuk dengan dirinya tanpa peran kepemimpinan.

Barangkali juga kita salah memahami makna pendidikan peran kepemimpinan dengan pelatihan kepemimpinan?
Kita para orangtua, pendidik maupun perancang pendidikan mungkin lupa bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah Allah di muka bumi bukan khalifah Allah di langit, artinya harus ada peran peran peradaban terbaik di berbagai bidang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Islam, karena Islam adalah agama fitrah dan sekaligus agama peradaban.

Sistem pendidikan Islam kini tak ada bedanya dengan sistem persekolahan modern hanya diberikan label Islam lalu konten Islam ditambahkan di atasnya bersama konten umum sehingga akumulasinya memerlukan jam pelajaran sampai sore alias fullday. Sementara integrasi Ilmu Islam dan ilmu Umum tidak pernah benar benar terjadi.

Namun apakah kepemimpinan bisa dihasilkan dengan mengakumulasi ilmu agama dan ilmu umum seperti itu di kepala anak anak tanpa penggalian potensi potensi fitrah tiap anak? Apakah pendidikan karakter akan berjalan baik tanpa penumbuhan potensi potensi fitrah anak anak kita?

Mari jadilah para arsitek peradaban, untuk mampu mendidik semua aspek potensi fitrah generasi peradaban lalu menghantarkan mereka menuju peran peran spesifik peradaban dan kepemimpinan peradaban terbaik. Tak perlu gelar hebat untuk menjadi arsitek peradaban, siapapun kita mampu melakukannya sepanjang mensyukuri potensi fitrah diri dan potensi fitrah anak anaknya lalu memandunya dengan Kitabullah.

Salam Pendidikan Peradaban

#pendidikanberbasisfitrah dan akhlak
#fitrahbasededucation

Tentang Kepemimpinan

Sunindyo
Jul 08, 2016
Tentang Kepemimpinan

Seth Godin, seorang pakar marketing, dalam bukunya tentang kepemimpinan yang berjudul Tribes, menyebutkan bahwa kepemimpinan tidak hanya berarti memimpin dari depan. Bisa juga berarti mendukung dari belakang. Yang jelas memimpin itu tidak diam, tidak berhenti.

Hal ini selaras dengan apa yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah membangun harapan, dan di belakang memberikan dorongan.

Peran seorang pemimpin menjadi penting dewasa ini. Tidak hanya menjadi orang yang berada di depan untuk menggerakkan perubahan, ia bisa berada di berbagai lini sektor untuk memungkinkan perubahan itu terjadi. Pemimpin bukanlah orang yang mengerjakan segala sesuatu seorang diri, ia “hanya” memberi arah ke mana yang akan dituju.

Banyak orang yang memberikan definisi seorang leader atau pemimpin, sebagai seorang yang knows the way, shows the way, dan goes the way. Seorang yang tahu jalan, menunjukkan jalan, dan menjalaninya. Ini baru sebagian benar. Karena pada kenyataannya, seorang pemimpin juga harus menjalani segala macam penderitaan dan tekanan serta tanggung jawab yang lebih besar daripada yang dipimpinnya.

Orang membayangkan bahwa pemimpin adalah seorang sosok luar biasa yang sempurna dan tidak pernah salah dalam mengambil keputusan. Dan jika ia salah, maka kita layak mencercanya. Ini tidak sepenuhnya benar. Kita hidup di era partisipatif, di mana seluruh di antara kita adalah pemimpin, untuk lingkup yang berbeda-beda. Pemimpin adalah manusia biasa yang bisa belajar dan berproses. Ia bisa salah, tapi ia bisa belajar dan memperbaiki kesalahannya. Sudah bukan jamannya kita meletakkan segala kesalahan hanya pada pemimpin dan cuci tangan atas segala permasalahan yang ada manakala kita dibutuhkan. Karena pada hakikatnya kita adalah pemimpin dan menjadi bagian dari kepemimpinan itu sendiri.

Lalu apakah kepemimpinan itu tidak menyenangkan? Apakah ia harus rela menderita? Mengapa banyak orang yang ingin menjadi pemimpin? Mengapa pula banyak yang gagal?

Semua itu adalah soal niat dan motivasi. Kita tidak bisa menilai pemimpin sebagai sesuatu yang berada di luar kita atau sangat berbeda dengan kita. Karena kita adalah pemimpin, dan pemimpin adalah kita. Kita bisa menilai diri kita sendiri, apakah kita sudah layak menjadi pemimpin yang baik? Dengan demikian kita bisa secara fair menilai kepemimpinan orang lain tanpa judgment/penilaian yang berlebihan.

Kita bisa melihat sosok seorang pemimpin secara wajar, sebagai manusia biasa,dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa kultus individu yang berlebihan atau pula cercaan yang berlebihan kala ia salah.

Yang menjadi perbedaan, bahwa seorang pemimpin mempunyai inisiatif dan perhatian yang besar pada yang dipimpinnya. Ia selalu ada dan tidak tinggal diam. Semua orang bisa menjadi pemimpin dalam lingkup yang ia suka dan kuasai. Dan ia bisa membawa dan menggerakkan perubahan secara gradual. Belum tentu suatu yang sangat fenomenal. Namun yang penting adalah sesuatu yang signifikan dan berarti bagi yang dipimpinnya.

Menjadi pemimpin berarti siap pula dipimpin. Dipimpin oleh orang lain, dipimpin oleh visinya, bukan oleh hawa nafsunya. Untuk itu pemimpin perlu memperhatikan kepada siapa dia harus bertanggung jawab. Kepada Tuhannya, kepada orang yang dipimpinnya, kepada masyarakat sekitarnya, kepada bangsa dan negaranya, kepada alam semesta.

Memang tidak mudah untuk menjadi pemimpin yang baik. Tapi tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Berdiam diri bukanlah pilihan. Apalagi cuma mencaci dan merutuki nasib tidak akan membawa perubahan apa-apa. Bergeraklah. Ambillah inisiatif dan mainkan peranan kita, di depan, tengah ataupun belakang. Menginspirasi dan menggerakkan. Dengan kata-kata atau perbuatan, semua bernilai. Beranilah bertindak karena benar, jangan ragu-ragu atau putus asa.

Sedikit Bekal Ramadhan: Indeks Fitrah Sederhana

Harry Santosa – Millenial Learning Center

Mengukur indeks fitrah, barangkali istilah yang baru kita dengar. Namun suatu keniscayaan jika ingin berjalan menuju “kembali ke fitrah” berarti kita harus punya indeks dari setiap potensi fitrah kita. Agar kita tahu mana fitrah yang tumbuh subur indah paripurna, mana fitrah yang menyimpang atau tidak tumbuh indah.

Kita tidak bisa sekedar mengisi Ramadhan dengan beragam checklist dan agenda, baik untuk diri kita dan anak anak kita, sementara kita tidak pernah tahu, fitrah mana dalam diri kita yang perlu diperhatikan secara serius.

Kita tidak bisa bilang telah memenuhi tujuan penciptaan sebagai hamba Allah dan menjadi khalifah di muka bumi, jika masih banyak peran peran yang seharusnya sudah kita jalani dengan baik sesuai fitrah kita.

Bukankah kita ingin agar semua amal amal kita di bulan Ramadhan ini sungguh sungguh mengembalikan semua potensi fitrah kita agar kita semakin baik dan semakin dekat menuju insan yang kamil?

Insan kamil adalah insan paripurna, yang mampu menjalani peran peran terbaik sesuai potensi fitrah yang Allah karuniakan, meliputi fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah bakat dan kepemimpinan, fitrah seksualitas dan cinta, fitrah estetika dan bahasa dstnya.

Mari kita ukur indeks fitrah kita secara sederhana.
Pilih antara skala 1 sampai 5 yang benar benar mewakili kondisi fitrah saat ini. Gunakan hanya untuk anak anda saja atau untuk diri anda saja sebagai orangtua.
1 selalu , 2 biasanya, 3 tidak jelas, 4. Jarang, 5 Tidak Pernah

A. Fitrah Keimanan
A.1 Apakah (anak) anda melakukan amal ibadah dengan sangat bergairah yang berangkat dari dalam diri (niat yang kuat)?
A.2 Apakah (anak) anda merasa mencintai Allah dengan sungguh sungguh sehingga semua beban ibadah terasa ringan?
A.3 Apakah (anak) anda lebih yakin dan optimis pada rahmat dan kasih sayang Allah daripada takut pada Azab Allah?
A.4 Apakah (anak) anda sangat bergairah membaca buku buku agama atau melihat film agama?
A.5 Apakah (anak) anda berharap bermimpi bertemu Rasulullah SAW?
A.6 Apakah (anak) anda lima tahun terakhir ini suka bersuci dan bersiap ke Masjid atau bangun Sholat Malam?
A.7 Apakah (anak) anda selalu teringat Allah dan menjadi pertimbangan utama jika ada masalah atau akan berbuat sesuatu?
A.8 Apakah (anak) anda selalu beramal tanpa dipengaruhi iming iming ganjaran atau hadiah atau hukuman?
A.9 Apakah (anak) anda punya amalan sunnah unggulan yang sangat disukai, misalnya shodaqoh, shaum atau sholat malam dll

B. Fitrah Belajar dan Bernalar
B.1 Apakah (anak) anda belajar karena suka dan bersemangat bukan karena disuruh?
B.2 Apakah (anak) anda berusaha menemukan solusi untuk melestarikan alam, seperti mengatasi sampah, penghijauan dll?
B.3 Apakah (anak) anda suka memanfaatkan benda benda sekitar untuk media belajar atau obyek belajar?
B.4 Apakah (anak) anda mengagumi, mendiskusikan dengan seru para ilmuwan dan buku buku pengetahuan yang penting?
B.5 Apakah (anak) anda suka belajar tanpa iming2 atau tidak terlalu fokus lagi pada gelar, titel dan beragam sertifikasi ?
B.6 Apakah (anak) anda suka menjelajah alam dan suka merenungi tujuan penciptaan Ilahi lalu mengambil hikmah?
B.7 Apakah (anak) anda menambah dan memutakhirkan pengetahuan spesifik yang sudah dimiliki ?
B.8 Apakah (anak) anda senantiasa melakukan riset walau sederhana dan menyebarluaskan hasilnya atau mengimplementasikan?
B.9 Apakah (anak) anda belajar untuk menjalani peran dan melahirkan karya bukan belajar untuk prestise dunia?

C. Fitrah Bakat dan Kepemimpinan
C.1 Apakah (anak) anda mengenal sifat diri dan aktifitas yang benar benar disukai dan relevan dengan sifat diri?
C.2 Apakah (anak) anda sangat bahagia dan tidak terpaksa melakukan aktifitas atau karir dalam kehidupan?
C.3 Apakah (anak) anda berkeinginan memberikan solusi bagi masyarakat dengan bakat yang dimiliki?
C.4 Apakah (anak) anda bisa membedakan mana aktifitas yang anda hebat namun bukan bakat, dan mana yang hebat tetapi bakat?
C.5 Apakah (anak) anda menyukai menjalani sesuatu yang merupakan panggilan hidup daripada tuntutan kebutuhan hidup?
C.6 Apakah (anak) anda berusaha berubah karena mencari makna hidup (panggilan hidup) bukan karena mengalami kesulitan finansial atau material?
C.7 Apakah (anak) anda mantap dengan pilihan karir pekerjaan atau jurusan pendidikan?
C.8 Apakah (anak) anda bahagia dan tidak bosan menjalani pekerjaan atau pendidikan saat ini?
C.9 Apakah (anak) anda bercita cita mewujudkan sesuatu yang sejalan dengan panggilan hidup atau bakat?

D. Fitrah Seksualitas
D.1 Apakah (anak) anda mantap dengan identitas jenis kelamin ?
D.2 Apakah (anak) anda suka dengan aktifitas dan peran sesuai gender? (Lelaki suka peran kelelakian, dan sebaliknya)
D.3 Apakah (anak) anda dekat pada sosok ayah ibu sejak usia dini sampai aqilbaligh?
D.4 Apakah (anak) anda jika lelaki sangat ingin menjadi ayah yang baik? Jika perempuan sangat ingin menjadi ibu yang baik?
D.5 Apakah (anak) anda merasa siap menikah atau suka anak kecil ketika beranjak aqilbaligh (15 -19 tahun)
D.6 Apakah (anak) anda sangat mencintai ayah dan juga ibu, tidak pernah sangat membenci mereka?
D.7 Apakah (anak) anda sangat tahu bagaimana mensikapi lawan jenis dengan sebaik baiknya?
D.8 Apakah (anak) anda memiliki kemampuan membedakan mana nafsu dan mana cinta? Baik pandangan, sentuhan maupun sikap.
D.9 Apakah (anak) anda merasa tenang dan wajar bila mencintai atau dicintai seseorang?

Jumlahkan hasilnya dan dibagi dengan 36. Tuliskan hasilnya dalam komen di bawah ya 🙂

Jika hasilnya tidak terlalu jauh dari angka 1 maka inshaAllah fitrah kita masih baik.

Beri saran dan tambahan pertanyaan untuk menyempurnakan indeks fitrah ini,

Semoga bermanfaat

Logika, Kepemimpinan dan Akhlak. Ada dimana ketiganya dalam Pendidikan Berbasis Fitrah?

Harry Santosa – Millenial Learning Center

Logika adalah potensi manusia yang kita kenal dengan fitrah belajar dan bernalar. Setiap manusia lahir dengan potensi belajar dan bernalar yang hebat. Fitrah ini puncaknya ada di usia 7 – 10 tahun. Potensi Fitrah belajar dan bernalar ini sangat hebat teraktualisasi jika diinteraksikan dengan ayat ayat Kauniyah atau Alam semesta. Jika fitrah ini teraktualisasi atau terhidayahkan dengan hebat maka peran yang dicapai adalah memberi rahmat bagi semesta alam. Apa buahnya? Tentu saja akhlak terhadap Alam Semesta.

Kepemimpinan adalah potensi manusia yang kita kenal dengan fitrah bakat dan kepemimpinan. Setiap manusia lahir dengan sifat bawaan (bakat) yang unik yang merupakan fitur unik, yang kelak akan menjadi peran spesifik peradaban termasuk peran kepemimpinan dalam bidang peran spesifiknya itu. Golden age fitrah bakat dan kepemimpinan ini ada di usia 11- 14 tahun. Potensi fitrah ini akan hebat jika diinterksikan dengan realita kehidupan dan sosial. Jika fitrah ini teraktualisasi atau terhidayahkan paripurna maka peran yang dicapai adalah membawa kabar gembira (bashiro) dan peringatan (nadziro). Apa buahnya? Tentu saja akhlak bagi kehidupan dan zaman.

Akhlak dalam makna moral dan spiritual, ini adalah potensi manusia yang berangkat dari fitrah iman dan beragama. Setiap manusia lahir sudah bertauhid Rubbubiyatullah, yang kelak akan berkembang menjadi Tauhid Uluhiyatullah. Golden age bagi fitrah ini ada di usia 0-7 tahun. Fitrah iman dan beragama ini akan teraktualisasi atau terhidayahkan dengan hebat apabila diinteraksikan dengan nilai nilai dalam Life System atau Kitabullah. Jika potensi fitrah iman dan beragama tumbuh hebat maka peran yang dicapai adalah menyempurnakan akhlak. Apa buahnya? Tentu akhlaq terhadap Allah. Akhlak ini melingkupi semua akhlak lainnya.

Semua peran2 di atas jika terwujud maka barulah kita bisa mengatakan bahwa tujuan penciptaan telah dipenuhi, yaitu untuk beribadah kepada Allah, menjadi khalifah di muka bumi, pemakmur bumi dan pemimpin orang bertaqwa. .

Salam Pendidikan Peradaban
‪#‎pendidikanberbasisfitrah‬ dan akhlak
‪#‎pendidikanberbasispotensi‬

Globalisasi, Kemampuan Daya Saing, Dan Kepemimpinan Di Masa Mendatang

Oleh:
Dr. Ir. Handry Satriago, MM, MBA

Orasi Ilmiah Pada Pelepasan Wisudawan/Wisudawati
Universitas Paramadina
Jakarta, 19 Maret 2011

Yang saya hormati, Civitas Akademika Universitas Paramadina, Orang tua wisudawan/wisudawati ataupun yang mewakili mereka, para undangan lainnya, serta saudara-saudara para wisudawan/wisudawati Universitas Paramadina.

Ketika saya diminta oleh panitia wisuda untuk membawakan orasi ilmiah pada kesempatan acara ini, perasaan saya seperti teraduk. Di satu sisi, saya merasa terhormat karena dipercaya berada di podium ini untuk menyampaikan pemikiran saya. Ada rasa bangga yang membuncah ketika rasa self-esteem, pengakuan terhadap kemampuan diri saya disentuh oleh permintaan ini. Kebetulan globalisasi yang menjadi tema orasi ini merupakan sesuatu yang saya alami langsung setelah hampir 15 tahun bekerja di perusahaan multinasional yang operasinya terhampar di lebih dari 100 negara. Tapi di sisi lain, permintaan ini seperti mengingatkan saya terhadap sejarah kehidupan saya. Saya seperti membuka album foto lama. Pikiran saya melayang jauh ke masa-masa di mana kesempatan untuk memberikan orasi ilmiah seperti ini bahkan tidak pernah hadir dalam mimpi saya yang paling menyanjung sekalipun. Mengenang hal tersebut, saya bersyukur penuh pada Tuhan Yang Maha Mengatur, dan tanpa sadar saya menggumamkan kata-kata klasik itu: “God really works in amysterious way…”

Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana dan berjuang keras untuk dapat survive di Jakarta. Kedua orang tua saya tidak pernah punya kesempatan untuk menamatkan sekolah mereka lebih tinggi dari tingkat SMP. Mereka termasuk generasi perantau pertama dari kampungnya ke ibu kota ini. Berjibaku dengan keras untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anaknya. Masa kecil saya dilalui sebagai anak orang Padang dalam lingkungan perkampungan Betawi yang kental. Cita-citasaya waktu SD juga sangat sederhana: Asisten Apoteker. Bukan apotekernya, tapi asistennya. Entah kenapa saya selalu menjawab profesi itu kalau ditanya mengenai cita-cita, dan bukan cita-cita seperti kebanyakan anak-anak zaman itu, jadi dokter, insinyur, atau pilot. Mungkin karena ketika diucapkan terdengar seperti sesuatu yang canggih, sophisticated, walaupun saya tidak terlalu mengerti pekerjaan apa itu. Atau mungkin karena memang dari kecil saya selalu ingin berbeda dari apa yang umumnya orang-orang sukai.

Dengan masa kecil seperti itu,segala sesuatu yang berbau ”luar negeri” menjadi sangat luxurious dan tak terjangkau bagi saya, sehingga ketika mengetahui ada program pertukaran remaja Indonesia-Amerika, American Field Services (AFS) pada tingkat SMA, saya rasanya mau mengerjakan apa saja untuk dapat mengikutinya. Tetapi ketika kesempatan itu terbuka lebar, ternyata pada usia 17 tahun lebih beberapa hari, saya menderita sakit yang membuat saya tidak bisa berjalan lagi (di kemudian hari baru diketahui bahwa sakit tersebut ternyata kanker kelenjar getah bening, limphoma non-hodgkin yang tumbuh subur dan merusak sumsum tulang belakang, medulla spinalis, saya). Mimpi saya runtuh. Saat itu, semua cita-cita untuk dapat ke luar negeri terkubur dalam-dalam (jangankan ke luar negeri, melanjutkan sekolah atau berpergian dengan pesawat saja rasanya tidak mungkin). Tapi itulah, Tuhan adalah ahli strategic management yang terbesar. Saya ternyata masih diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan sekolah-kuliah saya, bekerja, dan astaga! setelah 11 tahun sesudah tragedi tak-bisa-berjalan-lagi tersebut dan menjalani kehidupan dengan kursi roda, saya terdampar bekerja di GE, (perusahaan yang sampai sekarang masih mempekerjakan saya). Hanya tiga hari sesudah hari pertama saya bekerja, perusahaan tersebut menyuruh saya pergi ke Singapore. Akhirnya, untuk pertamakali, paspor yang sudah saya buat sejak masa kuliah tersebut dicap oleh petugas imigrasi. Sesudah kepergian pertama tersebut, saya kemudian menjadi “warga negara” global yang memiliki paspor yang cukup kotor dengan berbagai cap imigrasi dari berbagai negara di penjuru dunia. Begitulah, God works in a mysterious way. Manusia sudah diciptakan untuk seharusnya tidak perlu berputus asa.

Bukan maksud saya untuk menjadi melankolis dan dramatis dengan bercerita tentang kisah ”oh mama oh papa” tersebut pada orasi kali ini. Tapi saya ingin berbagi pengalamandan pemikiran dari perjalanan hidup saya selama 42 tahun ini terhadap tiga hal yang ingin saya sampaikan pada orasi ilmiah kali ini: globalisasi, kemampuan daya saing, dan proses memimpin diri sendiri dalam menghadapi tantangan globalisasi tersebut, dilihat dari perspektif bangsa Indonesia di tengah kancah dunia yang terus mengglobal ini. Tiga hal yang menurut saya perlu terus diamati oleh para wisudawan/wisudawati yang sesudah hari ini akan memasuki babak perjuangan kehidupan yang sesungguhnya.

1. Globalisasi dan KemampuanDaya Saing

Secara sederhana, globalisasi sering dianggap sebagai sebuah proses yang mengintegrasikan dunia dalam bidang ekonomi, sosial, ide-ide,pengetahuan, politik, dan budaya. Stiglitz(2006) menyatakan bahwa ekonomilah yang telah mendorong terjadinya globalisasi, didukung oleh menurunnya biaya komunikasi dan transportasi. Akar dari globalisasi adalah terjadinya pertukaran barang, tenaga kerja,teknologi dan modal di berbagai negara dunia. Berbagai referensi tahun 70-an dan 80-an seperti buku The Future Shock maupun The Thrid Wave dari futurist Alvin Toffler (1970; 1980) ataupun Megatrend dari John Naisbitt (1982) sudah memprediksikan dunia yang akan menjadi semakin tanpa batas dengan semakin majunya teknologi informasi. Namun, yang membuat kita tercengang adalah akselerasinya yang semakin hari semakin luar biasa cepat.

Saya beruntung masih sempat mengalami zaman berkirim surat dengan menggunakan perangko, sehingga bisa membandingkannya dengan kondisi sekarang. Saya ingat untuk berkorespondensi dengan seorang teman di Amerika Serikat pada awal tahun 90-an, dibutuhkan waktu paling cepat dua minggu untuk satu putaran menyurati-surat dibalas-dan berkirim surat kembali. Bandingkan dengan sekarang yang dapat dilakukan dalam hitungan detik dengan SMS, BBM, e-mail. Perkiriman berita secara elektronik memang telah terjadi sejak zaman telegraph pada abad ke-18(Standage, 1988), tapi jangkauannya dan jumlah berita yang bisa disampaikan sangat terbatas. Beberapa abad kemudian muncul teknologi faksimili yang bisa mengirim cukup banyak berita dalam hitungan menit, tapi tetap saja dibutuhkan waktu untuk menulis di atas kertas dan mengirimkannya lewat mesin faksimili. Kemudian muncul pager, teknologi pra- SMS yang harus dilakukan dengan cara menelponke seorang operator dan operator tersebut yang akan menyampaikan pesan tertulislewat mesin pager. Teknologi ini cukup laku di zamannya. Sayangnya selalu ada pihak ketiga yang terlibat. Bayangkan ketika digunakan untuk “marahan” dengan pacar, ekspresi kemarahan harus disampaikan dulu kepada operator pager-nya baru kemudian pesan akan dikirimkan (saya tidak dapat membayangkan betapa berat tekanan batin yang dialami oleh para petugas operatorpager pada zaman itu yang harus mendengarkan dan menyampaikan semua berita mulai dari berita kemalangan, bisnis, korupsi, sampai berita putus cinta). Saat ini, semua urusan komunikasi rasanya jadi sangat gampang dan cepat dengan adanya telepon seluler dan internet. Globalisasi dapat digambarkan dengan turunnya biaya telekomunikasi yang drastis, dibandingkan misalnya dengan biaya transportasi barang.

Akselerasi perubahan dunia yang menjadi semakin global tersebutlah yang saya coba amati dalam berbagai perjalanandan pengalaman saya dalam 15 tahun terakhir ini. Saya mencoba melihatnya dengan kacamata yang biasa dialami oleh orang-orang yang berpergian, seperti misalnya supir taksi atau petugas hotel dan obrolannya, makanan dan restaurannya, serta barang oleh-oleh.

Supir taksi adalah fenomena globalisasi yang menarik. Di Amerika Serikat, pada tahun 1990-an saya masih merasakan naik taksi yang disupiri oleh orang ”bule”, begitu pula di beberapa negara di Eropa Barat. Pada tahun 2000-an, saya sudah sukar menemukan supir taksi ”bule” tersebut, kebanyakan mereka adalah imigran dari Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika, Asia, ataupun India. Kalaupun ada yang ”bule”, biasanya berasal dari Eropa Timur bekas Uni Sovyet. Obrolan dengan mereka pun terasa benar bedanya. Tahun 90-an tersebut, rasanya obrolan mereka masih tentang kondisi negara mereka, tempat-tempat tourist spot, ataupun gosip tentang bintang olah raga dan bintang film mereka. Tapi ketika saya berkunjung di tahun 2000-an, pembicaraan mereka menjadi semakin global. Mereka tahu tentang Menteri Keuangan kita yang menjadi Direktur World Bank, mereka bicara tentang letusan gunung Merapi dan bencana alam lainnya yang terjadi di berbagai negara, kejatuhan sebuah rezim, atau tentang isu pertikaian agama. Bahkan di salah satu kesempatan di bulan Desember 2006, saya sempat ditanya oleh seorang supir taksi imigran Afganistan di Boston apakah “Inul is still singing with that kind of drilling dance”. Rupanya dia penggemar berat Inul di YouTube! Jika dulu dalam perjalanan taksi saya yang banyak bertanya kepada para supir ini, sekarang mereka yang bertanya melulu. Entahlah kalau ternyata saya yang selalu sial mendapatkan supir taksi yang cerewet.

Petugas hotel juga mengalami perubahan drastis. Dalam berbagai travelling saya di pertengahan tahun90-an, kebanyakan bell boy atau pegawai hotel adalah orang asli negara tersebut. Saya masih ingat betapa bangga rasanya dipanggil ”sir” serta dibawakan tas saya oleh seorang bell boy ”bule” di salah satu hotel di New York city (sebagai bekas bangsa terjajah, sepertinya rasa ”dendam” itu tetap masih ada, walaupun sudah mengaku menjadi warga global). Sekarang ini, pegawai hotel sudah sangat diversified. Saya disambut orang ”bule” Jerman dengan bahasa Jepang yang fasih di Tokyo, petugas room service berkebangsaan Bangladesh dan Uruguay di hotel Innsbruck, Austria, ataupun concierge warga negara Belanda di Shanghai.

Makanan dan restauran. Kita sudah tahu bahwa restoran Jepang dan China ada di mana-mana sejak dulu. Tapi perubahan besar yang sekarang terjadi adalah menjamurnya restauran Thailand, Vietnam, India, dan Arab. Makanan “pendatang” ini dinikmati oleh tidak hanya para imigran, tapi juga oleh banyak orang lokal nya. Makanan dan restauran menurut saya sudah menjadi sangat global dan melintasi batas yang ditentukan oleh faham politik atau kepercayaan yang ada. Bayangkan di kota suci Makkah, restoran Kentucky Fried Chicken (KFC) adalah salah satu restoran yang sangat digemari oleh orang-orang Arab, dan salah satu restauran KFC yang saya lihat letaknya persis berada di pinggir pelataran Masjidil Haram. Apa jadinya kalau para demonstran yang menyerukan boikot produk Amerika, karena haram tersebut, melihat betapa orang-orang yang setelah ibadah di Masjidil Haram berebutan membeli KFC. Nampaknya dunia yang global ini dapat digambarkan oleh industri makanan dengan baik, sampai-sampai Thomas Friedman pada tahun 2000 membuat theory yang dikenal dengan nama The Golden Arches Theory of Conflict Prevention. Restauran McDonald, yang memiliki logo busur emas atau Golden Arches tersebut, diyakini Friedman sebagai lambang globalisasi. Menurutnya, di dua negara yang memiliki restauran McDonald, tidak akan pernah terjadi perang, karena negara tersebut telah memiliki ekonomi cukup kuat yang menghasilkan kaum menengah yang sanggup menopang jaringan restauran McDonald, dan tidak akan tertarik lagi untuk berperang karena mereka telah larut dalam proses globalisasi. Theory ini dalam perjalanannya hanya ”gugur”dua kali (itupun hanya sebentar), yaitu ketika negara-negara Israel berperang dengan Lebanon tahun 2006, dan ketika Russia menyerang Georgia tahun 2008. Yang agak menyeramkan barangkali adalah, di Korea Utara saat ini belum ada restaurant McDonald.

Barang oleh-oleh atau souvenir juga merupakan cerita menarikdan sangat menggambarkan dunia global saat ini. Tahun 1997 saya melihat sebuah kios souvenir kecil di Grand Central Station New York yang bertuliskan ”Made in America”. Ketika saya tanya kenapa harus dipasangkan banner besar-besar seperti ini, si empunya toko menjawab ”we have to be proud of our own product, and keep promoting it….everything is made in China nowadays”. Saya membeli sebuahT-Shirt (bertuliskan Made in America di labelnya) dan sebuah mainan kereta api mini. Tahun 2000, saya kembali ke New York City, dan saya sempatkan untuk ke Grand Central Station kembali untuk mencari toko tersebut. Ternyata toko tersebut sudah tidak ada. Sebagai gantinya adalah sebuah toko souvenir standar yang menjual souvenir yang hampir semuanya“Made in China”. Ketika saya tanya kemana perginya toko “Madein America” tersebut, penjaga tokonya yang merupakan imigran Arab hanya mengangkat bahu. “Why looking for “Made in America”product? We have something similar with cheaper price here”, jawabnya. Fenomena invasi produk China di Amerika Serikat ini barangkali yang membuat Sara Bongiorni (2007) gusar dan membuat buku yang berjudul “A Year Without Made in China”. Saat ini kita tahu, bahwa untuk mendapatkan souvenir yang asli buatan negara yang kita kunjungi sudah semakin susah. T-Shirt misalnya, tidak jarang saya dapatkan yang “Made in Indonesia” (selain “Made in Honduras”, “Made in Bangladesh”, ataupun Made in Paraguay”) di berbagai toko souvenir di penjuru dunia, bahkan di toko-toko yang memiliki private brand sekalipun. Saya pernah membawakan oleh-oleh magnet unik dari Krakow, Polandia, untuk seorang teman, yang kebetulan tidak saya cek labelnya. Ketika saya berikan, dia mengecek labelnya, dan berkomentar “hmm, beli di Tanah Abang ya?” dengan ekspresi muka yang mengejek dan tidak berterimakasih sama sekali.

Mengglobalnya produk China tersebut sangat mencolok saat ini. “Made in China” sepertinya kita temui di berbagai produk di seluruh dunia. Bahkan produk-produk berteknologi tinggi pun sudah “Made in China”. Lampu hemat energi (compact flourescent) misalnya (kebetulan salah satu bisnis GE adalah lampu), bagaimana caranya bersaing dengan China kalau di negeri tersebut terdapat lebih dari 2,000 buah industri rumah tangga yang sanggup membuat lampu seperti yang kami buat dengan pabrik super canggih, tapi dengan harga yang mungkin separuhnya?. Meredith (2007) menyatakan bahwa China adalah “factory of the world”, di mana berbagai perusahaan di dunia menjadikan China sebagai tempat untuk memproduksi barangnya. Terdapat kurang lebih 800,000,000 tenaga kerja di China, yang siap dipekerjakan dan dilatih untuk membuat berbagai produk dengan harga yang murah, karena ongkos kerja mereka yang murah,dan ketersediaan bahan baku maupun bahan setengah jadi yang juga berharga murah, ditambah dengan dukungan penuh dari pemerintanya. Metamorfosis China dari negara berbasis pertanian menjadi negara industri dilalui dengan sangat cepat. Menurut Meredith (2007), di tahun 2000, 30% dari produk mainan anak-anak di dunia berasal dari China. Lima tahun kemudian, angka tersebut meningkat menjadi 75%. Pada tahun 2004, nilai ekspor China adalah US$ 180 milyar, terbesar dari negara manapun di dunia ini. Dibandingkan dengan zaman ketika China masih dalam masa isolasi ekonominya, nilai ekspor China dalam satu hari sekarang ini lebih tinggi dari nilai ekspor mereka selama setahun penuh di tahun 1978. Para pelaku bisnis di dunia yakin bahwa China akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 di dunia dalam waktu yang tidak lama lagi (sekarang ini sudah nomor 2, di atas Jepang dan di bawah Amerika Serikat).

Apa yang membuat mereka sedemikian besar? Pada awalnya adalah pasar yang besar dengan 1.3 miliar penduduk, lalu ketersediaan tenaga kerja yang murah dan bahan baku yang berlimpah. Kemudian tentunya campur tangan pemerintah dalam mengelola modernisasi, masuknya modal asing (yang hanya akan masuk jika negara stabil dan infrastrukturnya memadai), dan yang tidak kalah penting adalah meningkatnya kemampuan sumberdaya manusia mereka. Lebih dari 4.1 juta orang tiap tahunnya lulus dari universitas di China dengan kebanyakan berlatar belakang engineering dan IT yang merupakan sumber daya menggiurkan bagi para perusahaan multinasional yang ingin berkembang di sana.

Selain China, negara yang juga menyeruak sebagai negara yang berperan penting dalam proses globalisasi adalah India. Kalau China adalah “factory of the world”, maka India saat ini menjelma sebagai“back office of the world”. Dengan revolusi intelektual nya, India saat ini menyediakan lebih dari 100,000,000 tenaga kerja english speaking[1]. Dengan jumlah seperti ini, lebih dari 3 juta pekerjaan dalam bidang industrijasa dan riset (customer center, call center, computer programming, legal researcher, laboratory researcher, dan sebagainya) telah berpindah dari negara-negara Barat ke India, dan jumlah ini akan terus bertambah setiap tahunnya. Dari 500 perusahaan-perusahaan besar di dunia (Fortune 500 Companies), sekitar 400 perusahaan-perusahaan tersebut telah memindahkan middle class pekerjaannya ke India saat ini, meningkat drastis dari hanya sekitar 150 perusahaan pada tahun 2005[2]. Investasi di India, terutama dibidang IT dan R&D meningkat pesat. Intel, Microsoft, Cisco, telah berinvestasi lebih dari US$ 1 miliar di India. GE pada dua tahun lalu membangun pusat riset dunia yang ketiganya di Bangalore, dan IBM saat ini menerima pegawai baru setiap lima menit sekali di seluruh India[3]. Dari berbagai cerita di atas, nampaknya definisi globalisasi yang paling menarik adalah sebuah lelucon yang saya dapatkan dari internet seperti terpampang di slide berikut ini.

Lalu, apa arti semua cerita globalisasi di atas bagi kita? Bagaimana dengan keberadaan negara kita tercinta, Indonesia, ini di dunia yang semakin mengglobal tersebut? Seberapa besar kita telah menangguk keuntungan dari proses globalisasi ini, dan bukan menjadi korban dari globalisasi dengan meningkatnya kesenjangan sosial, exploitasi sumberdaya alam dan tenaga kerja murah dalam tingkat pekerjaan yangr endah value? Seberapa siap kita bersaing di kancah global ini?. Jika dilihat dari sumberdaya alam,harusnya kita tidak kalah dari China maupun India, jumlah penduduk kitapun berada di peringkat ke-4 dunia (dengan 237 juta jiwa lebih[4]) sesudah mereka berdua dan Amerika Serikat.

Sebelum mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, saya ingin membawa para hadirin melihat sejarah perdagangan di dunia. Menilik sejarah tersebut, dunia sepertinya sudah menjadi global sejak lama. Perdagangan menghasilkan komoditi-komoditi utama dunia yang menghubungkan aliran pertukaran barang dan tenaga kerja. Pada masa sebelum masehi, komoditi dunia adalah parfum dan bahan wewangian (frankincense dan myrhh), kemudian diikuti oleh sutra dan merica yang mengakibatkan terbentuknya jalur sutra di tahun-tahun awal masehi, dan mencapai puncaknya ketika kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia berburur empah-rempah di kepulauan maluku dan seantero nusantara di sekitar abad 15 –16 Maseh[5]. Pada titik ini, ternyata bangsa kita sudah terlibat dalam globalisasi perdagangan sejak lama. Bahkan, perusahaan multinasional pertama yang berdiri di muka bumi ini adalah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atauDutch East India Company) yang salah satu pusat operasinya berada di Batavia atau Jakarta sekarang. Perusahaan ini merupakan megacorporation yang pertama kali mengeluarkan saham dan memberikan dividen sebesar 18% per tahun selama 200 tahun[6]. Dengan sumberdaya alam yang luar biasa berlimpah dan penduduk yang lebih dari 235 juta jiwa serta sejarah panjang keterlibatan dalam dunia global tersebut, saya tidak mengerti bagaimana kita bisa bangga berada dalam urutan ke-44 dalam Global Competitiveness Index tahun 2010 yang lalu. Jauh di bawah negara kecil dan miskin sumberdaya alam Singapore (urutan ke-3), negara yang musim dinginnya lebih dari lama dari musim panasnya (Finland, urutan ke-7), negara yang kedaulatannya masih diperdebatkan (Taiwan, urutan ke-13), negara yang belajar budidaya buah-buahan dari kita (Thailand di urutan ke-38), ataupun dari negara tetangga kita merasa memiliki batik, keris, dan reog itu (Malaysia, urutanke-28)[7].

Thomas Friedman (2005) membedakan sejarah globalisasi dalam tiga periode, yaitu Globalization tahap I (1492-1800) yang menurutnya adalah globalisasi negara-negara; Globalization tahap II (1800–2000)yang merupakan globalisasi perusahaan, dan Globalization tahap III (2000–present) yang melibatkan globalisasi dari individu-individu. Kalau kita amati, dalam dua tahap globalisasi pertama, peranan bangsa kita lebih menjadi sebagai objek ketimbang sebagai pelakuyang mendapatkan keuntungan dari proses globalisasi tersebut. Pada Globalisasi tahap I, sumberdaya alam dan penduduk negara kita dieksplorasi besar-besaran untuk perdagangan dunia, dan keuntungannya dibawa ke luar negeri. Pada Globalisasi tahap II, saya sukar menemukan perusahaan lokal kita yang benar-benar menjadi perusahaan multinasional global. Padahal, Michael Porter, mahaguru manajemen dari Harvard Business School tersebut sudah mewanta-wanti dari sejak tahun90-an tentang pentingya daya saing suatu negara dalam kompetisi global. Porter (1990; 1998) menyatakan bahwa suatu negara akan menjadi lebih kompetitif dibanding negara lainnya bukan semata karena sumber daya alamnya ataupun murahnya tenaga kerja, ataupun karena kondisi makroekonomi-nya yang bagus. Salah satu faktor penting dalam meningkatkan daya saing suatu negara adalah dengan keberadaan faktor mikroekonomi-nya, yaitu banyaknya perusahaan-perusahaan lokal yang kompetitif di dunia global, dan innovatif dalam menciptakan produknya yang didukung oleh semakin canggihnya permintaandari pasar lokal[8]. Melihat negara-negara yang kompetitif dalam daftar World Economic Forum, bisa dimengerti mengapa Amerika Serikat selalu berada di peringkat lima besar, banyak sekali perusahaan-perusahaan lokal mereka yang menjadi perusahaan multinasional seperti IBM, Microsoft, Boeing, 3M, dan tentunya GE. Begitu pula Jepang dengan Toyota, Honda, Mitsubishi, Mitsui mereka. Korea Selatan dengan Samsung, Hyundai, dan LGnya, Jerman dengan Siemens dan BMW mereka. Bahkan negara dingin Finland pernah berada di peringkat ke-1 untuk negara paling kompetitif dengan bermodalkan perusahaan global Nokia-nya. Juga terlihat bahwa negara-negara ”new economy” China (dengan Harbin, Shanghai Electric, Huawei), India (dengan Tata, Bajaj, Wipro) telah memiliki daya saing yang cukup kuat di pasar global. Begitupula dengan negara-negara tetangga yang peringkatnya di atas kita, seperti Thailand yang memiliki Charoen Phokpan, ataupun Malaysia dengan Petronasnya.

Benar bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir kita telah diperhitungkan sebagai salah satu negara dengan ekonomi yang kuat, GDP rata-rata kita terus tumbuh di atas 5 persen, indikator makroekonomi yang cukup baik, cadangan devisa yang meningkat, pasar modal yang bergairah, nilai tukar mata uang yang cukup stabil, dan modal asing yang masuk terus bertambah. Tapi jika kita lihat lebih dalam lagi, saya khawatir negara kita ini lebih dianggap sebagai pasar bagi para pengusaha global ketimbang sebagai negara pelaku globalisasi yang mendapatkan keuntungan dari globalisasi. Artinya masih sebagai objek dari globalisasi tersebut, dan belum menjadi subjek. GDP kita yang tumbuh tersebut selama 10 tahun terakhir ini didominasi oleh pertumbuhan konsumsi (60%) dibanding pertumbuhan produksi[9]. Kredit yang disalurkan pada tahun 2008, misalnya, 35% nya adalah untuk konsumsi (membeli motor, mobil, perabot, dan sebagainya yang bukan merupakan produk yang kita hasilkan sendiri)[10]. Bahkan data statistik kita selama 10 tahun terakhir menunjukkan ekspor kita semakin menuju ke arah ekspor bahan baku ketimbang bahan manufaktur, gejala yang sering disebut sebagai de-industrialisasi. Modal asing yang masuk lebih banyak disalurkan ke pasar modal dibanding investasi untuk membangun industri. Sesuatu yang sebenarnya beresiko tinggi, karena kalau pasar modal di negara-negara maju, yang dalam tiga tahun terakhir ini terpuruk, menjadi baik, ada kemungkinan modal asing tersebut lari dari Indonesia. Berbagai faktor utama yang menjadi penghambat investasi asing di Indonesia untuk sektor industri antara lain adalah buruknya kondisi infrastruktur di Indonesia (listrik yang tidak cukup,jalanan yang macet bukan main, pelabuhan laut dan airport yang kurang mendukung lancarnya transportasi, dan sebagainya). Belum lagi faktor kurang efisiensinya birokrasi pemerintahan dan masalah korupsi dan transparansi yang masih menggerogoti kita. Saya coba bandingkan dengan negara lain, Thailand misalnya. Negara ini kabel listriknya juga semrawut, kotornya tidak kalah darikita, penduduknya juga tidak banyak yang berbahasa Inggris, tapi investasi asing di sektor manufakturnya tinggi, dan yang membuat mereka menjadi tujuan investasi adalah karena infrastrukturnya yang lebih baik dan lebih mendukung pertumbuhan produksi dibandingkan dengan negara kita. Vietnam malah sekarang berada di depan kita sebagai negara untuk tujuan investasi di sektor industri. Belum lama ini GE berinvestasi lebih dari 50 juta dollar untuk pembangunan pabrik wind turbine di Hai Phong. Kondisi yang membuat hati saya teriris waktu itu, karena saya tahu benar seharusnya peluang investasi tersebut dapat dilakukan di Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,khususnya para wisudawan dan wisudawati calon pemimpin di masa depan, inilah tantangan kita yang sesungguhnya. Bagaimana kita dapat menjadi pelaku, menjadi subjek dalam proses globalisasi yang terus berjalan dengan cepat ini. Bukan turut serta dalam globalisasi sebagai objek yang akan dieksploitasi oleh bangsa lain. Bagaimana kita dapat meningkatkan daya saing kita di kancah dunia global, dan menangguk keuntungan dari proses globalisasi tersebut.

2. Memimpin Diri Sendiri Untuk Menghadapi Tantangan Globalisasi

Sekarang ini, kalau menggunakan terminologi Friedman (2005; 2008), kita ada di globalisasi tahap III, yaitu globalisasi dari individu-individu. Tenaga kerja menjadi sedemikian beragam, tanpa dibatasi kewarganegaraan, ras, keyakinan agama, ataupun wilayah geografis. Individu yang berkemampuan global menjadikan perpindahan pekerjaandari satu wilayah ke wilayah lainnya (outsourcing). Sebagai contoh sebuah kumpulan anak-anak kreatif mendirikan perusahaan kecil di pinggiran jalan di Bangalore, India, yang bernama Dhruva. Perusahaan ini mampu menjadi supplier terbesar di Amerika Serikat untuk jasa menggambar karakter animasi dari industri game (PlayStation, X-box)[11]. Hal ini kemudian menyebabkan banyak orang di Amerika Serikat yang kehilangan pekerjaan karena terjadinya outsourcing pekerjaan ke India. Meredith (2007) mengatakan “India saat ini sudah menjadi rumah bagi dunia industri travel agent, riset hukum, konsultan bisnis, dan bankers. Begitu juga dengan pekerjaan para Doktor diAmerika Serikat yang bergaji US$150 ribu per tahun sudah banyak dilakukan di India oleh orang India”. Dengan situasi seperti itu, pertanyaan yang mendasar bagi kita adalah sejauh mana sumberdaya manusia Indonesia siap untuk juga berperan dalam proses globalisasi tersebut.
Kalau kita menggunakan data statistik seperti Human Development Index (HDI) yang mengukur kualitas sumberdaya manusia dari hampir seluruh negara di dunia, nampaknya gambaran kesiapan kita masih mengkhawatirkan. Dalam HDI tahun 2010, kita berada di peringkat ke-108 dari 169 negara[12]. Artinya, kualitas pengembangan sumberdaya manusia kita masih termasuk ke dalam kelas medium human development ditinjau dari statistik antara lain tingkat harapan hidup, pendidikan, dan indeks gross national income/GNI (tingkat standard berkehidupan). Jauh tertinggal dari negara-negara di Eropa Barat, Amerika Serikat, ataupun Singapore yang sudah masuk ke kelas very high human development, maupun dari Malaysia, Saudi Arabia, Russia dan Brazil yang sudah berada di kelas high human development.

Jika kita harus menunggu program-program Pemerintah untuk meningkatkan kualitas HDI kita sehingga dapat bersaing di pentas global, mungkin akan dibutuhkan waktu yang cukup lama. Bayangkan saja, tahun lalu Pemerintah kita baru mencanangkan untuk menghasilkan 5,000 doktor tiap tahun dan menargetkan jumlah doktor di Indonesia sebesar 50,000 orang pada tahun 2014. Bandingkan dengan China yang saat ini saja sudah memiliki lebih dari 250,000 doktor, atau dengan Amerika Serikat yang memiliki sekitar 1,500,000 orang doktor[13]. Dengan kondisi persaingan global yang semakin meningkat sekarang ini, menurut saya, kitalah yang harus memimpin diri kita sendiri untuk dapat memiliki daya saing global. Para lulusan perguruan tinggi seperti anda sekarang, harus mempertanyakan bagaimana untuk dapat fit dengan tuntutan global yang ada, dan peranan apa yang harus diambil agar bisa mendapatkan keuntungan dari proses globalisasi yang ada. Menurut pengalaman saya, sekurangnya ada lima hal yang harus dimiliki oleh pemimpin global di masa mendatang, yaitu (1) memiliki wawasan global dan mampu membangun relationshipdan network di tingkat global, (2) tidak melulu mengikuti arus, tapi berani berpendapat berbeda yang didukung oleh argumentasi rasional yang solid, (3) terus berupaya untuk mencari differensiasi untuk meningkatkan daya saing, dan untuk itu mereka tidak takut dengan perubahan, (4) memiliki integritas yang kuat dan teguh pada pendirian ketika dihadapkan pada tantangan yang berkaitan dengan etika, (5) memiliki intelektualitas yang menghasilkan kemampuan cross-functional dan bersemangat untuk terus meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Hal ini sejalan dengan permintaan terhadap global leader yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional sesuai hasil riset yang dilakukan oleh lembaga sumberdaya manusia Hewitt Association pada tahun 2008[14].

Saudara wisudawan/wisudawati yang hari ini berbahagia, anda adalah pemimpin-pemimpin masa depan negara ini. Anda dituntut untuk memiliki wawasan global untuk dapat tampil dengan baik di pentas global. Betul bahwa kita perlu memiliki kearifan lokal seperti yang diajarkan oleh orang-orang tua kita terdahulu. Namun menurut saya, kedua hal tersebut tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Pepatah Minangkabau yang mengatakan bahwa “alam takambang jadi guru” menghadirkan realitas baru, yaitu “alam” yang ada tidak lagi hanya alam Minangkabau, atau alam Indonesia. “Alam” yang menjadi “guru” kita saat ini adalah dunia yan gsekarang menjadi global, yang hadir dengan dua hal sekaligus, ancaman dan juga kesempatan. Pemimpin di masa depan juga diharapkan memiliki dan mampu membangun jejaring dan hubungan di dunia global. Jejaring yang saat ini dengan teknologi informasi yang ada tidak terlalu susah untuk dilakukan, asal bisa dan maumenggunakan internet.

Beberapa minggu setelah saya diberi tanggungjawab sebagai Presiden dan CEO untuk GE di Indonesia, saya diwawancara oleh sebuah majalah nasional. Saya ditanya, “Mengapa baru sekarang ada pimpinan GE yang merupakan produk lokal Indonesia?”. Benar juga, pikir saya. Saya benar-benar “produk lokal”. Masa kecil saya dilalui di pelosok Jakarta dengan mainan yang belum “Made in China”seperti mandi hujan, berenang di kali, mencuri mangga dengan ketapel, sepakbola lumpur (tidak ingat apakah bola-nya waktu itu sudah “Made in China”). Lalu pendidikan saya juga semuanya dilalui di Indonesia, (ijazah Monash Mt. Eliza University saya adalah dual degree program dari IPMI Business School di Kalibata). Saya mencoba menganalisis, apa yang kurang dari orang Indonesia selama ini sehingga dibutuhkan waktu 70 tahun keberadaan GE di Indonesia untuk mendapatkan seorang leader yang asli “produk” dalam negeri. Ternyata ada satu hal yang menjadi karakter umum orang kita dalam bekerja yang kurang fit dengan tuntutan untuk menjadi seorang pemimpin di perusahaan global, yaitu kita terlalu penurut dan segan untuk menyampaikan dan “menjual” pendapat yang berbeda ketika harus berurusan dengan atasan, apalagi dengan atasan yang merupakan orang asing.

Para pimpinan di GE berulangkali mengatakan bahwa mereka mencari orang-orang yang mampu berkata kepada atasannya “No! We cannot go into that direction, because it is not the right direction. We have to go to this direction because of these reasons..a),… b),… c)…, and to be able to success on that direction, these are the things that we need to do, and this are the supports that we need from you”. Kemampuan untuk berpendapat seperti ini kelihatannya gampang, namun dibutuhkan tidak hanya mentalitas untuk tidak cuma mengikut, tapi juga pengertian yang mendalam terhadap suatu masalah, sehingga dapat berpikir secara out of the box dan menghasilkan solusi alternatif bagi permasalahan yang dihadapi.

Tidak ada yang lebih berbahaya bagi sebuah organisasi selain para followers yang hanya melulu mengikuti apa kata atasannya. Kebetulan disertasi doktoral saya adalah tentang followership, dimana saya menemukan fakta bahwa bawahan (follower) sangat mampu mempengaruhi kinerja dari atasannya, dan salah satu pengaruh follower yang dapat membuat kinerja atasannya menjadi tidak baik adalah bila follower tersebut tidak berani menyampaikan pendapatnya yang berbeda. Fakta dan sejarah memperlihatkan banyaknya organisasi, baik itu organisasi bisnis, politik, negara, dan sebagainya yang runtuh karena followernya hanya mengikuti atasan dan tidak berani menyampaikan pendapatnya yang berbeda dariatasannya. Sebagai contoh adalah kasus-kasus besar seperti Enron, ataupun obat Vioxx di perusahaan farmasi Merck[15], yang terjadi karena followers yang tidak berani menyampaikan pandapat mereka walaupun mereka tahu terjadi ketidakberesan atau kesalahan.

Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudara hadirin sekalian. Dalam konteks memimpin diri sendiri, saya barangkali adalah orang yang senang “melawan”. Lebih dari separuh hidup saya sekarang ini, saya melawan terhadap keterbatasan yang ada. Rasanya hidup ini kurang berwarna jika kita melulu hanya mengikuti apa yang dikatakan dan ditimpakan kepada kita. Perlawanan saya terhadap kondisi fisik yang saya alami sejak tahun 1987 ini mungkin adalah kekuatan saya yang terbesar. Saya merasa dunia ini akan terasa lebih kaya kalau ada orang yang mempertanyakan sesuatu dan melihat dari sudut pandang yang berbeda. Seseorang yang melawan terhadap kondisi biasa, melawan terhadap padangan umum, dan berpikir mengenai alternatif dan sudut pandang yang berbeda. Mungkin semangat dan kebiasaan itu pula yang akhirnya membawa saya sampai pada posisi sekarang ini di GE.

Semangat melihat dari kaca mata berbeda, mempertanyakan sesuatu, dan tidak serta merta langsung mengikuti apa yang dikatakan atau diperintahkan menurut saya dapat dilahirkan dari pola pikir yang antara lain diwujudkan dari kemampuan kita bertanya dengan pertanyaan “why”, “why not”, dan “how”. Pertanyaan “why” akan membuat kita berusaha untuk mengetahui rasionalitas dari pendapat orang lain, dan memancing kita untuk berpikir mengenai alternatif lain. Pertanyaan “why not” adalah dasar dari kita untuk dapat menyampaikan pikiran kita yang berbeda berdasar argumentasi rasional yang solid. Terakhir, pertanyaan “how” melatih kita untuk dapat mengetahui proses yang ada dan merancang eksekusi dari alternatif solusi yang kita sodorkan. Sayangnya, tipikal pertanyaan-pertanyaan seperti tersebut di atas jarang diajarkan pada sistem budaya dan sistem pendidikan kita.

Saya beruntung dibesarkan dalam keluarga yang membebaskan saya untuk bertanya apapun. Kedua orang tua saya bukan orang yang memiliki pendidikan tinggi yang menguasai psikologi anak ataupun menguasai teori-teori terbarukan untuk mendidik anak yang benar. Namun satu hal yang saya ingat benar, pertanyaan dan berpendapat selalu mendapat tempat yang bebas di dalam rumah tempat saya dibesarkan tersebut. Tidak pernah rasanya saya dilarang berpendapat berbeda, tidak pernah saya dilarang untuk bertanya, bahkan untuk sebuah pertanyaan yang paling tidak masuk akal atau paling nyeleneh pun. Bisa dijawab atau tidak oleh orang tua saya, disetujui ataupun tidak pendapat saya, itu hal lain lagi. Namun boleh kah ditanyakan dan diperdebatkan, itu suatu hal yang pasti boleh. Entah bagaimana kedua orang tua saya yang tidak pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi tersebut bisa sampai pada esensi dasar dari kehidupan berdemokrasi. Orangtua yang luar biasa hebat, yang saya kagumi perjuangannya.

Suatu hari pada sekitar tahun 70-an Ayah saya berkata kepada para familinya yang datang merantau dari kampung ke Jakarta. “Untuk hidup di Jakarta, yang penting punya KTP dan SIM. Sedangkan untuk hidup lebih dari normal, kalian harus bisa berbasaha Inggris”. Nasehat yang sederhana dari seseorang yang berpikiran sederhana. Walaupun begitu, beliau sesungguhnya sudah menemukan konsep competitiveness secara autodidak. Beliau percaya bahwa seseorang harus memiliki diferensiasi di tengah standard industri yang berlaku. Pada sekitar tahun 70-an tersebut, ijazah perguruan tinggi barangkali adalah differensiasi yang paling tinggi, dan dapat mengantarkan orang ke sebuah pekerjaan yang menjamin tingkat kemakmuran, namun tidak banyak yang memilikinya, dan kesempatan untuk mendapatkannya juga tidak mudah. Di sisi lain, jenis pekerjaan yang mengandalkan fisik tersedia cukup banyak di Jakarta, asalkan mau bekerja. Hanya saja, bekerja fisik dengan modal KTP dan SIM adalah standard industri. Untuk mendapatkan diferensiasi tanpa sekolah tinggi, diperlukan keahlian lain, dan ayah saya melihat menjamurnya perusahaan minyak asing saat itu adalah peluang untuk mendapatkan diferensiasi tersebut. Beliau ”walk the talk”, bermodalkan diferensiasi dengan bahasa Inggris tersebut, dirambahnya rimba Jakarta, dan sekurangnya sampai sekarang beliau telah berhasil menghantarkan anaknya menjadi doktor dan CEO dari sebuah perusahaan multinasional.

Saudara wisudawan/wisudawati yang berbahagia. Di zaman globalisasi individual ini, ijazah perguruan tinggi, mampu berbahasa Inggris, dan melek komputer serta internet (ingat, internet bukan hanya http://www.facebook.com atau http://www.twitter.com) adalah standard industri. Beberapa tahun yang lalu mungkin masih merupakan keunggulan bersaing, tapi dengan semakin cepatnya perubahan di dunia, keunggulan bersaing juga dengan cepat menjadi standard industri. Untuk menjadi pemain global,anda harus memiliki diferensiasi yang memberikan kemampuan daya saing. Bagaimana cara menciptakan diferensiasi tersebut? Pada awalnya adalah mindset, pola pikir yang berdasar dari keinginan untuk berbeda, dan keinginan untuk tidak melulu hanya mengikuti arus atau keumuman yang ada. Ada semangat eksplorasi dan inovasi dalam mencari dan menemukan diferensiasi tersebut. Ada keinginan dan kesiapan untuk selalu berubah, dan tidak takut dengan adanya perubahan. Kadang seseorang butuh untuk mengambil resiko menempuh jalan yang berbeda dari kebanyakan jalan yang orang lain tempuh untuk dapat menemukan daya saingnya. Beberapa tahun yang lalu, teman saya seorang Human Resource Director dari sebuah perusahaan multinasional perbankan di Jakarta pernah bercerita, bahwa dia barus saja meng-hire seorang pegawai melalui proses yang unik. Biasanya, jika ada lowongan pekerjaan, team HR harus menyeleksi ratusan surat lamaran beserta CV nya. Semua orang HR setuju bahwa penilaian seseorang lebih ditentukan dari hasil wawancara ketimbang analisis dari CV mereka, tapi tentunya tidak mungkin melakukan wawancara kepada ratusan pelamar pekerjaan. Pegawai baru teman saya ini, sebut saja namanya Maya, menunjukkan hal yang berbeda, ketimbang hanya mengirimkan surat lamaran, dia mengirimkan lamaran berikut sebuah CD yang bertuliskan ”play me” pada amplopnya. Hal tersebut tentunya menarik perhatian, bukan karena team HR nya laki-laki semua, tapi karena ini adalah sesuatu hal yang unik, dan ketika team penyeleksi memutar CD tersebut, tampaklah Maya duduk disebuah kursi, dengan berpakaian rapi, di shoot dengan kamera telepon seluler. Maya bercerita tentang dirinya, cita-citanya dan keinginannya bekerja selama tidak lebih dari tiga menit. Hari itu juga Maya mendapatkan kesempatan untuk dipanggil wawancara, dan beberapa hari kemudiandia diterima bekerja diperusahaan teman saya tersebut, mengalahkan ratusan pelamar lainnya yang memiliki CV yang lebih hebat dari dia.

Selain wawasan global, berani berpendapat, dan melakukan differensiasi, seorang pemimpin global di masa ini membutuhkan integritas yang kuat. MantanCEO GE, Jack Welch, selalu berujar bahwa bahwa salah satu ciri seorang pemimpin yang hebat adalah ketika dia berani, dengan segala konsekuensinya, untuk berkata ”tidak” ketika dihadapkan pada tantangan untuk melanggar integritas dan etis. Dalam bisnis di dunia global, integritas dan kepercayaan adalah modal utama. Di GE, kami siap, dan seringkali terjadi, kehilangan peluang untuk memenangkan sebuah proyek karena kami berpegang teguh pada integritas dan hukum yang berlaku. Kami percaya bahwa sistem yang berpegang pada hukum yang berlaku akan adalah pilihan yang tidak dapat ditawar, dan pada akhirnya akan membawa kemenangan yang lebih sustainable. Buktinya GE sudah berumur lebih dari 130 tahun dan terus mencoba menjalankan bisnisnya dengan integritas yang teguh, kami tetap maju dan tidak tergilas oleh para pesaing yang mencoba menghalalkan segala cara untuk menang. Kemenangan dengan cara melanggar integritas hanyalah kemenangan sementara, dan hanya akan menyimpan bom waktu yang siap untuk meledak kapan saja di masa mendatang.

Menjadi pemimpin di dunia global memerlukan intelektualitas yang harus terus diperbaharui. Intelektualitas yang saat ini dibutuhkan adalahyang didasarkan pada keinginan untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada. Dunia global mensyaratkan pemainnya untuk tidak alergi dengan teknologi baru, selalu siap untuk berubah dan kalau perlu men-challenge proses dan pengetahuan yang sekarang ada untuk dapat menemukan cara dan proses yang lebih baik. Kurang lebih 500 tahun yang lalu,seorang ahli anatomy bernama Andreas Vesalius (1514 – 1564) membuat buku yan gberjudul De Humani Corpis Fabrica (Tentang Struktur Tubuh Manusia). Dalam bukunya, dia membuktikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki jumlah tulang rusuk yang sama, menentang pendapat orang-orang yang percaya pada kisah didalam Old Testament yang menyatakan Eva (Siti Hawa) dibuat dari tulang rusuk Adam. Dia juga menentang teori dari Aristoteles yang sudah dipercaya selama ratusan tahun mengenai jantung adalah pusat pikiran dan emosi. Vesalius membuktikan bahwa otak dan sistem jaringan syaraflah yang merupakan pusat dari pemikiran dan emosi tersebut. Hasil pekerjaan Vesalius dianggap revolusioner karena dia selalu mempertanyakan cara lama dalam mempelajari anatomi, yang pada zaman itu masih berdasarkan ajaran dari ”dokter” Yunani kuno, Galan, yang hidup antara tahun 129 – 216 sebelum masehi. Vesalius berulang kali menekankan bahwa proses belajar jangan hanya tergantung pada cara belajar dan ajaran dari orang-orang sebelumnya.

Carilah cara untuk mempelajari sesuatu dengan cara yang berbeda. Nasehat Vesalius ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Dalam upaya meningkatkan intelektualitas bangsa kita, tidak cukup dengan hanya mengandalkan proses belajar yang ada di dalam dunia sekolah ataupun perguruan tinggi. Seseorang harus secara aktif menemukan cara mempelajari sesuatu untuk meningkatkan intelektualitas mereka. Apakah itu dengan banyak bertanya pada orang, belajar sendiri melalui internet, ataupun dengan melawat ke negara lain untuk melihat bagaimana mereka telah membangun negara mereka, apapun caranya yang penting jangan pernah merasa bahwa pengetahuan yang dimiliki saat ini sudah cukup. Di GE,kami selalu dengan bangga menyebut diri sebagai A Learning Company, sebuah perusahaan yang selalu belajar. Jangan takut melakukan kesalahan selama kita dapat belajar sesuatu dari kesalahan tersebut. Pada hari pertama saya bekerja, saya bertanya pada atasan saya ”apa yangharus saya lakukan, chief”?, dan dia menjawab, ”make your first mistakes, and learn form it…”

Saudara Wisudawan dan Wisudawati yang saya percaya kemampuan anda semua untuk menjadikan Indonesia lebih baik, pimpinlah diri anda untuk menjadi orang yang memiliki daya saing di dunia global ini. Jika kebetulan perjalanan anda menghadapi rintangan, jangan menyerah, tetap jalani perjuangan anda. Pada waktunya, pasti ada yang akan anda dapatkan, walaupun tidak semuanya seperti yang anda harapkan, tapi pasti akan ada hal baru yang anda dapatkan. Ingatlah, God works in a mysterious way…. Manusia sudah diciptakan untuk terus berusaha.

Jakarta, 19 Maret 2011

REFERENSI

Meredith, R. (2007). The Elephant and The Dragon. New York: W.W Norton Company.

Naisbitt, H. (1982). Megatrend, Ten New Directions Transforming Our Lives. New York : Warner Books

Bernstein, W.J. (2008). A Splendid Exchange, How Trade Shaped The World. New York:Atlantic Monthly Press

Bongironi, S. (2007). A Year Without “Made In China”. New Jersey: Wiley & Sons.

Friedman, T. (2000). The Lexus and The Olive Oil. New York: Anchor Books.

Friedman, T. (2005). The World is Flat, A Brief History of The Globalized World in The 21st Century. New York: Allen Lane Penguin Group.

Friedman, T. (2008). Hot, Flat,and Crowded. New York: Picador.

Gandossy, B.,S. Greenslade & T. Kao. (2008). Managing Leadership in Turbulent Times—Why and How the Global Top Companies for Leaders Optimize. White Paper. Hewitt Associates.

Pitakasari,R.A. (2010). “Indonesia targetkan lahirkan 5,000 doktor per tahun. Harian Republika, 29 Juni 2010

Human DevelopmentReport 2010.

Kellerman, B.(2008). Followership: How followers are creating change and changing leaders. Boston: Harvard Business Press

Porter, M.E. (1990). On Competition. New York: Free Press.

Porter, M.E. (1998). The Competitive Advantage of Nations. New York: Free Press.

Satriago, H. (2010). Examining The Influence of Followers on Leaders’ Performance, A Reverse Pygmalion Effect. Dissertation. University of Indonesia.

Standage, T. (1988). The Victorian Internet. New York: WalkerPublishing

Standard Chartered Special Report 14 February2011. Indonesia– Infrastructure Bottleneck

Stiglitz, J. (2006). Making Globalization Work, The Next Steps To Global Justice (pp. 4 – 5). New York: Allen Lane Penguin Group.

Toffler, A. (1970). The Future Shock. New York: Random House Publisher.

Toffler, A. (1970). The Third Wave. New York: Bantam Books.

Wikipedia website(http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company), berdasarkan referensi Ames, G. J. (2008). The Globe Encompassed: The Age of EuropeanDiscovery, 1500-1700. New York:Pearson Prentice Hall
World Economic Forum Global Competitiveness Index 2010 – 2011

[1] Meredith (2007) menyebutkan jumlah ini dua kali lebih banyak dari tenaga kerja di Inggris,negara yang dulu mengkoloni India.
[2] Data dari India’s National Association of Software and Service Companies. http://www.nasscom.in/
[3] Laporan dari Hewitt Associates, 2008.
[4] Data BPS2010.
[5] Ulasan panjang lebar mengenai sejarah perdagangan ini ditulis oleh William J.Bernstein (2008) dalam bukunya yang berjudul “A Splendid Exchange, How Trade Shaped The World”. Buku ini bercerita tentang bagaimana perdagangan mengubah wajah dunia sejak sebelum masehi sampai dengan abad 21.
[6].Wikipedia website (http://en.wikipedia.org/wiki/Dutch_East_India_Company),berdasarkan referensi Ames, Glenn J. The Globe Encompassed: The Age of European Discovery, 1500-1700. Pearson Prentice Hall, 2008
[7] World Economic Forum Global Competitiveness Index 2010 – 2011
[8] Porter’s Diamond Model(1990) dikembangkan oleh Michael Porter untuk menjelaskan mengapa ada negara-negara yang makmur, dan ada negara-negarayang kurang makmur dalam kancah persaingan antar negara-negara untuk meningkatkan kemakmuran mereka.
[9] Standard Chartered Bank Special Report 14 Febuary 2011. Indonesia– Infrastructure Bottleneck
[10] Data Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010.
[11] Thomas Friedman (2005) sedemikian terpukaunya dengan industri IT (software programming, web design, game, dan sebagainya) di India. Dalam bukunya “The World is Flat” dia mengeksplorasi dan menemukan banyak perusahaan IT di India yang merupakan supplier besar untuk industri IT di negara-negara Barat. Hebatnya, perusahaan-perusahaan ini dijalankan oleh segelintir orang dan banyak yang hanya berkantor di pinggiran jalan ataupun di garasi mobil.
[12] Human Development Report 2010
[13] Harian Republika, 29 Juni 2010
[14] Hewitt Association pada tahun 2008 mengumpulkan 12 top multinational companies untuk berpartisipasi dalam sebuah study tentang talent dan leadership terhadap implikasi dari global market. Hasilnya menunjukkan bahwa global leader di masa depan harus memiliki karakteristik yang berpandangan dan memiliki jejaring global, sadar dan haus terhadap perkembangan teknologi, nyaman dengan kondisi chaos dan ketidakpastian, dapat beroperasi dengan speed dan agility, mampu mendorong terjadinya pertumbuhan yang berdasar pada penciptaan nilai, mendukung keragaman tapi juga sensitif terhadap perbedaan, memiliki kemampuan cross functional,dan berpegang teguh terhadap integritas.
[15] Barbarra Kellerman (2008) menggambarka nsecara kronologis dan detail proses kejatuhan Enron dan gagalnya pemasaran obatanti-inflamasi Vioxx dari Merck dalam bukunya yang berjudul ”Followership”,yang menjelaskan bahwa follower adalah sama pentingnya dengan leader dalam proses leadership

Tidak Semua Permainan Layak Dimainkan

Indrawan Nugroho
April 13, 2016

Sejak Program Pemberdayaan Jenius Lokal mendapat anugerah The Most Impactful Program World Game Award 2016, banyak yang menanyakan apa kunci sukses dari program tersebut. Ijinkan saya menjawab pertanyaan itu melalui serial tulisan saya dalam tiga hari kedepan. Supaya lebih relevan dengan dunia teman-teman semua, maka kunci sukses tersebut saya akan bahas dalam konteks membangun dan mengembangkan bisnis.

Ada tiga kunci sukses. Pertama adalah tujuan yang agung. Jangan bangun bisnis sekedar untuk mencari keuntungan. Bangunlah bisnis dalam rangka memperjuangkan misi besar yang memberi dampak kebaikan bagi banyak orang.
Selama 2 tahun, Global Business Consulting mewawancarai lebih dari 500 eksekutif berskala global untuk mencari tahu mindset kepemimpinan mereka. Masing-masing diminta untuk mengingat kembali masa-masa saat mereka mampu bekerja paling produktif dan menghasilkan karya terbaiknya. Apa yang ada dalam pikiran mereka saat itu?

Dua jawaban mendominasi. Pertama, ketika mereka memiliki purpose yang tinggi (purposeful, 26%). Mereka berada dalam puncak produktivitasnya ketika merasa menjadi bagian dari sebuah tujuan agung, apakah itu menjadikan dunia lebih baik, meninggalkan legacy, atau alasan spiritual. Kedua, ketika pekerjaan mereka berkontribusi langsung terhadap kehidupan orang lain, apakah itu membantu orang lain, merawat mereka, maupun berkolaborasi dengan mereka (other people, 23%).

Apple dan Disney adalah dua perusahaan yang pertumbuhannya sangat tinggi, disaat yang sama memberikan dampak besar bagi dunia. Apa yang menjadi tujuan didirikannya kedua perusahaan tersebut? Apple ingin “memberi kontribusi pada dunia dengan menciptakan alat untuk pikiran yang dapat memajukan umat manusia”. Disney ingin “menciptakan kebahagiaan untuk orang lain”.

Tujuan agung itu inspirasional. Apalagi jika Anda menunjukkan kegairahan yang tinggi (passionate) terhadap upaya mencapai tujuan itu. Tujuan agung Anda akan menarik orang-orang hebat untuk bergabung dan berkolaborasi. Pada dasarnya orang selalu tertarik untuk menjadi bagian dari sesuatu yang besar dan mulia karena kita semua ingin merasa berarti. Orang-orang hebat inilah yang kemudian akan membuat perusahaan Anda tumbuh menjadi besar.

Saya rasa inilah yang membuat para Coaches terbaik Indonesia bersedia berkolaborasi dan memberikan kontribusinya di program Pemberdayaan Jenius Lokal. Hal ini juga yang membuat para talenta SDM terbaik bersedia bekerja di Kubik Group dan memberikan hasil karya terbaiknya setiap hari. Mereka bangga menjadi bagian dari tujuan agung mewujudkan peradaban SuksesMulia di Indonesia.

Sebagai pebisnis skala kecil dan menengah, Anda tidak bisa menawarkan gaji yang tinggi seperti yang ditawarkan perusahaan besar. Maka tawarkan mereka sebuah tujuan yang agung. Ajak mereka untuk membuat perbedaan positif bagi banyak orang. Kemudian hidupkan nilai-nilai perusahaan yang selaras dengan tujuan agung itu. Desain semua aktivitas kerja berdasarkan tujuan agung itu. Niscaya Anda akan punya tim hebat yang bisa menaklukkan tantangan apapun yang ada di depan Anda.

Sekarang silakan lihat kembali apa tujuan Anda menjalani karir, profesi atau bisnis Anda. Apa yang Anda tengah perjuangkan? Hanya untuk mengisi perut Anda atau untuk membuat perbedaan positif bagi banyak orang?
Mungkin sebagian Anda merasa bahwa sekarang belum saatnya berfikir besar seperti itu, “nanti saja kalau bisnis saya sudah berhasil”. Maaf jika saya harus dengan tegas mengatakan bahwa Anda salah. Ingat bahwa apa yang Anda putuskan kemudian jalani, semua bermula dari pikiran Anda. Anda tidak akan pernah jadi besar kalau pikiran Anda kerdil.

Saya ‘berdarah-darah’ di lima tahun pertama membangun Kubik. Di masa itu, datang banyak godaan tawaran kerja yang menggiurkan yang bisa jadi solusi cepat bagi banyak masalah saya saat itu. Tapi saya tetap istiqomah dengan bisnis saya. Kenapa? Karena saya punya tujuan yang agung . Dan saya percaya bahwa Kubik adalah kendaraan terbaik yang bisa membawa saya kesana.
Tidak semua permainan layak dimainkan. Coba lihat kembali karir, profesi, atau bisnis yang tengah Anda jalani. Kemudian tanyakan, “is it a game worth playing?”

Indrawan Nugroho
Business Innovator
CEO CIPTA Consulting

Darurat Kepemimpinan

Yudi Latif ; Cendekiawan
MEDIA INDONESIA, 06 April 2015

Negara tercinta kita sedang dalam cobaan berat. Kepemimpinan negara seperti layangan putus benang di tengah impitan kesengsaraan rakyat dan pertikaian kepentingan elite yang tercerabut dari nasib rakyat.

Harga kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, BBM, elpiji, terus naik dengan pasokan yang makin sulit diperoleh di pasar. Saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan penaikan tarif kereta ekonomi, rencana pengenaan PPN atas tarif listrik dan tol, penaikan biaya meterai, dan berbagai kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya kian membebani rakyat. Subsidi untuk rakyat dipangkas, tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat negara dinaikkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.

Konflik dan pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemahkan kebersamaan. Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.

Partai-partai politik sebagai pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi aneka kepentingan dari luar yang mengarah ke perpecahan, tanpa komitmen pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.

Kemerosotan otoritas kepemimpinan dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan kerawanan sosial: tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan, dan pembunuhan, dan radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.

Dalam menghadapi cobaan berat yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, kita tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan orientasi. Cobaan berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat gotong royong; melawan setiap usaha pecah belah; serta meneguhkan kembali komitmen untuk mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit perseorangan dan golongan.

Di tengah penderitaan rakyat dan pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan para pemimpin dan aparatur negara. Seperti diingatkan oleh Bung Hatta, “Indonesia luas tanahnya dan besar daerahnya dan sebagai nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu, soal-soal yang mengenai pembangunan negara Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit jumlahnya dan tidak pula mudah adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya, dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.“

Dalam menunaikan rasa tanggung jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam menjalankan sistem pemerintah an negara karena pe nyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan semangat konstitusi proklamasi. Untuk itu, para penyelenggara negara, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, harus kembali ke rel pemerintahan yang sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Di tengah kegaduhan demokrasi, banyak orang dan aktor politik lupa pada pokok persoalan. Bahwa demokrasi lebih dari sekadar ledakan perhimpunan, pesta pemilihan, atau rebutan kekuasaan, tapi modus kekuasaan yang seharusnya lebih menjunjung tinggi daulat rakyat dengan mewujudkan tujuan negara, seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945: `Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’.

Dalam kaitan ini, perbaikan tata negara dan tata kelola negara menjadi kata kunci dalam perwujudan aspirasi demokrasi dan tujuan bernegara. Ledakan partisipasi massa dalam pesta demokrasi sering berujung dengan kekecewaan, ketika hiruk pikuk per debatan politik tidak punya persambungan dengan output pemerintahan.

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kita tidak cukup berpesta demokrasi. Taruhan kita ada pada kemampuan untuk memperbaiki tata kelola negara.
Jika berkaca dari keberhasilan reformasi birokrasi di negara-negara lain, ditemukan tiga faktor kunci (critical success factors) dalam reformasi tata kelola negara, yaitu (1) adanya kepemimpinan yang kuat; (2) adanya komitmen dan kesepa haman bersama yang kuat; dan (3) adanya agenda reformasi yang jelas, bertahap, dan terukur.

Faktor pertama merupakan kunci pembuka kotak pandora, bagi perbaikan faktor faktor lainnya. Bahwa demokrasi yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki kepemimpinan yang `kuat’, yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan menjalankan amanat konstitusi. Di sini, pemimpin negara mesti sadar bahwa demokrasi tak bisa dipisahkan dari konstitusi seperti tecermin dalam istilah `demokrasi konstitusional’ (constitusional democracy). Istilah itu mengandung makna bahwa demokrasi merupakan suatu fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya ialah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.

Dengan kata lain, demokrasi yang di jalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa diambil begitu saja dari pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara tersebut. Demokrasi harus disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat konstitusi, yang merupakan abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa.

Dalam usaha melaksanakan konstitusi tersebut, diperlukan keteladanan kepemimpinan. Dengan kepemimpinan yang committed terhadap konstitusi, ketaatan warga negara pada otoritas bukan sebagai ekspresi dari loyalitas dan ketakutan personal yang bersifat ad hoc, melainkan sebagai ekspresi dari kesadaran hukum untuk kemaslahatan bersama yang bersifat permanen.

Menyangkut keteladanan kepemimpinan itu, presiden dalam konstitusi Republik ini menempati posisi sentral. Sebagai kepala negara dan pemerintahan, presiden melambangkan harapan masyarakat bahwa amanat konstitusi itu akan diterjemahkan ke dalam kerangka kebijakan dan dijalankan administrasi pemerintahan secara rasional. Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal itu berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif.

Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial. Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah, peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada `keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Negara kesejahteraan menjadi pertaruhan dari kesaktian Pancasila.

Untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi di negara seperti ini, Joseph E Stiglitz (2005) merekomendasikan perlunya keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar.Dalam hal ini, negara-negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi mereka.Tidak ada cara tunggal dan sistem yang sempurna, seperti yang sering dikhotbahkan para arsitek ekonomi di World Bank dan IMF.Seturut dengan itu, pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat.

Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar rakyat, harus berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara.

Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional), dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektifnya, mulai mendapatkan ancaman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang bersemangat partikularistik.

Fungsi pemimpin negara di tengah gelombang ekstremitas dalam masyarakat benarbenar sedang diuji. Betapa pun Presiden/ Wakil Presiden tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sekali mereka terpilih, anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama.

Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden lebih dari sekadar `petugas partai’, tapi petugas seluruh rakyat Indonesia yang harus dilayaninya. Terlalu besar taruhannya jika Presiden tidak lagi mendengar jerit tangis ratusan juta rakyat hanya karena lebih mengutamakan kepentingan perseorangan dan golongan.

Dalam situasi krisis akut dengan darurat kepemimpinan, dunia politik memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini tidaklah merefleksikan kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, tetapi terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan. Singkat kata, diperlukan kepemimpinan moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar keyakinan. Tentang hal itu, Khalifah Umar memberikan petunjuk, “Yang dapat memangku kepemimpinan ini ialah orang yang tegas tapi tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah, murah hati tapi tidak boros, hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah yang mampu.“

Menegakkan Etos Kepemimpinan Bangsa

Muhammadun ; Analis Studi Politik Program Pascasarjana
UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 02 Januari 2015

PERINGATAN Maulid Nabi Muhammad SAW menjadi refleksi penting bangsa ini dalam menegakkan etos kepemimpinan bangsa. Kepemimpinan bukan sekadar atribut dan pangkat dalam birokrasi atau partai politik (parpol). Kepemimpinan merupakan gerak hidup manusia untuk selalu berdiri tegak membangun diri sendiri dan bangsa. Dalam kepemimpinan, tak ada kepentingan sesaat karena kepentingan jangka panjang dan kepentingan bangsa harus selalu di depan.

Bangsa Indonesia membutuhkan referensi etos kepemimpinan. Semangat kerja yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo dan kabinetnya harus dibarengi etos kepemimpinan yang berkarakter dan bervisi masa depan. Etos kepemimpinan Nabi Muhammad bisa menjadi oase yang sangat tepat untuk memecahkan kebuntuan dan kemacetan yang menghadang. Kita bisa melihat berbagai kepala daerah yang usai menjabat langsung mendekam di bui tahanan. Anggota dewan sebagai wakil rakyat justru selalu mencederai amanat rakyat. Kasus korupsi men jadikan pemimpin bangsa ini kehilangan jiwa kepemimpinannya. Itulah problem serius yang masih mendera Indonesia masa transisi reformasi sekarang ini.

Sekarang ini saatnya refleksi. Mengapa? Karena umat Islam di Indonesia sering kali mengabaikan kepemimpinan Nabi Muhammad. Padahal, hampir seluruh lembaga negara dipimpin umat Islam. Apalagi, presiden sejak awal dipimpin umat Islam. Menurut Dr M Syafi ’i Antonio dalam Super Leader, Super Manager (2010) dijelaskan bahwa paling tidak ada 3 faktor mengapa umat Islam tidak mampu menangkap suri teladan Muhammad SAW secara holistis dan komprehensif. Pertama, adanya distorsi citra yang secara subjektif sengaja dimunculkan para orientalis. Kedua, munculnya prasangka buruk (prejudice) yang berlebih dari beberapa kalangan ketika nilai-nilai positif (uswah hasanah) Rasulullah SAW akan dikaji dan dipraktikkan di lapangan dalam kehidupan sehari-hari.

Faktor yang ketiga ialah tradisi dan kebiasaan kebanyakan umat Islam yang melihat dan menempatkan sosok Muham mad SAW hanya dari satu sisi. Sering kali kita terjebak ke dalam `pengultusan’ individu sosok Muhammad. Mungkin tanpa disadari banyak di antara kita yang memosisikan sosok Muhammad SAW terlalu melangit, tinggi, dan jauh di atas sehingga beliau menjadi `asing’ bagi kita untuk ditiru dan dijadikan suri teladan. Padahal, Rasulullah SAW dalam beberapa kesempatan pernah mengatakan “Janganlah kalian terlalu mengagung-agungkan aku, seperti halnya kaum Kristen mendewakan Isa bin Maryam. Sesungguhnya, aku ini manusia biasa putra seorang wanita Mekah yang memakan daging yang dikeringkan (lauk sederhana). Panggillah aku Rasulullah dan hamba Allah“ (HR Tirmidzi).

Ketiga hal tersebut juga menjangkiti para pemimpin bangsa ini. Makanya, sudah saatnya sekarang ini maulid Nabi dijadikan sebagai starting point bangsa ini untuk terus menggali keteladanan Muhammad sebagai pemimpin yang sukses dalam mengelola rakyatnya. Muhammad merupakan pemimpin yang bisa mengayomi rakyatnya, begitu membela kaum miskin, dekat dengan kaum pinggiran, orang pertama yang selalu menjenguk rakyatnya yang sedang sakit, memberikan apa pun yang dimiliki untuk kepentingan rakyat, serta teguh dalam menegakkan keadilan.Bahkan, kalau anaknya sendiri mencuri, maka ia sendiri yang akan memotong tangan anaknya tersebut.

Bagi Muhammad, kepemimpinan ialah amanah. Suatu amanah akan dimintai pertanggungjawabannya. Itu dikatakan dengan jelas oleh beliau, yakni “Sesungguhnya imam (kepala negara) ialah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.“ (HR Al-Bukhari dan Muslim). Jika seorang pemimpin menjalankan amanah kepemimpinannya dengan benar, ia pun akan dicintai rakyatnya. Kata-katanya akan di dengar, seruannya akan dijalankan, dan kehormatan serta kewibawaannya pun akan terjaga di mata rakyatnya. Ia juga tidak akan merasa dijauhi dan dibenci rakyatnya. Bahkan, ia akan dicintai rakyatnya jika ia memimpin rakyatnya dengan penuh kecintaan.

Segitiga sukses

Menurut Wahidunnaba (2009), ada segitiga sukses dalam kepemimpinan Muhammad, yakni pemimpin yang holistis, accepted, dan proven. Muhammad merupakan pemimpin yang holistis karena ia mampu mengembangkan leadership dalam berbagai bidang kehidupan.Kepemimpinannya mampu meresap ke berbagai nuansa kehidupan melalui celahcelah tanpa disadari manusia pada saat itu. Beliau memulai mengembangkan kepemimpinannya berawal dari dirinya sendiri (self development) terlebih dahulu. Semangat kepemimpinan bisnis dan entrepreneurship yang ditunjukkannya semasa masih muda sangat menakjubkan. Kegiatan bisnis yang dilakukannya hampir tidak pernah mengalami kerugian.

Saat menjadi kepala rumah tangga, beliau mampu mengembangkan leadership dalam kehidupan rumah tangganya. Kepemimpinannya mewarnai kehidupan sehari-hari bersama istriistrinya sehingga nuansa harmonis tercipta begitu indah. Beliau dapat bersifat adil terhadap mereka semua. Dalam kehidupan yang lebih heterogen, yaitu tatanan kehidupan masyarakat, beliau melahirkan era baru. Era yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Kepemimpinannya menjadikan kehidupan masyarakat menjadi pusat peradaban dunia. Sistem perpolitikan yang beliau terap kan mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakat menjadi bermartabat. Sistem pendidikan dalam masyarakat berubah total. Pendidikan yang diterapkan menjadikan masyarakatnya bermoral dan nampak cerah.

Beliau juga pemimpin yang accepted. Seorang pemimpin yang diterima dan diakui semua masyarakatnya. Bahkan, kepemimpinan beliau masih diterima sampai saat ini.Jika terhitung, sudah berapa miliar orang yang mengakui kepemimpinannya. Terlepas dari wahyu yang disampaikan, akhlak beliau juga patut diterima dan dijadikan suri teladan. Yang ketiga, Nabi Muhammad SAW ialah pemimpin yang proven. Figur pemimpin yang terbukti telah membawa perubahan bagi masyarakat. Kepemimpinan yang selalu berorientasi pada bukti riil, tidak sekadar katakata persuasif. Pemimpin yang berorientasi ke depan.

Dari sinilah, pemimpin bangsa ini mestinya segera mengambil hikmah dari kepemimpinan Muhammad. Mulai dari diri sendiri, setidaknya itulah yang sangat tepat bagi seluruh warga bangsa ini, khususnya para pemimpinnya. Dengan belajar menjadi pemimpin bagi diri sendiri, maka pelan tetapi pasti akan bisa menjadi pemimpin yang baik bagi bangsa ini. Sebagai penutup, camkanlah pernyataan Muhammad ini, “Sebaik-baiknya pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian serta yang kalian doakan dan mereka juga mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian serta yang kalian laknat dan mereka juga melaknat kalian“. (HR Muslim, Ahmad, dan Ad-Darimi).