Pecahnya Diri-integratif Kita

Oleh : Radhar Panca Dahana, Budayawan
Kompas edisi 11 Januari 2017

Dalam sebuah acara Debat Kebudayaan Capres dengan para cendekiawan yang saya selenggarakan pada 2009, cawapres Boediono yang saat itu mendampingi capres Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada saya-di balik panggung-untuk tidak ikut dalam dialog tersebut.

“Kenapa?” tanya saya. “Saya tidak tahu harus bicara apa mengenai kebudayaan karena saya, kan, ekonom.” “Apa Anda tidak tahu betapa vitalnya hubungan kebudayaan dengan perilaku ekonomi?” sergah saya. Dengan kerendahatian seorang guru besar, murid terkasih pencetus ekonomi Pancasila, Prof Mubyarto, itu meminta saya memberinya “kuliah” lima menit mengenai hal tersebut.

Tentu saja saya tidak memberinya kuliah. Saya sekadar menjelaskan pandangan saya tentang orang Indonesia yang menganggap sebuah tindakan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari tindak-tindak kemanusiaan lainnya, termasuk tindakan spiritual hingga kultural. Menanam padi, misalnya, tidak bisa dipisahkan dari kesadaran spiritualnya tentang rezeki yang kemudian diekspresikan dalam pelbagai bentuk pemujaan dan rasa terima kasih yang sangat artistik. Itu terjadi di seluruh negeri ini. Bahkan di sebuah suku di Flores, upacara mulai tanam hingga panen itu terjadi tidak kurang dari 28 kali dalam setahun.

Apa yang saya coba lukiskan, dan syukur berhasil membawa sang cawapres di atas naik panggung, tidak lain adalah semacam eksposisi tersingkat-yang pernah saya lakukan-untuk melukiskan “apa, siapa, dan bagaimana” manusia Indonesia. Manusia yang dalam realitas naturalnya, sekurangnya secara geografis, menciptakan dan membiakkan peradaban bahari dengan basis rezeki alam yang melimpah, yang tidak dimiliki lebih dari 75 persen penduduk dunia lainnya.

Dalam adab itu berkembang kesadaran betapa kekayaan tersebut wajib dipelihara melalui cara hidup harmonis, di mana setiap elemen kehidupan memiliki tingkat ketergantungan yang sama tinggi antara satu dan yang lain. Harmoni interdenpendensial inilah yang melahirkan ikatan saling mendukung, memperkuat, dan menciptakan nilai khas negeri ini. Kita menyebutnya kemudian: gotong royong.

Busana kebudayaan

Integrasi manusia, yang dalam bentuk empiriknya bernama (diwakili oleh) kebudayaan ini, memosisikan produk-produk kebudayaan lainnya, seperti politik, ekonomi, hukum, hingga agama dan ilmu pengetahuan hanyalah sebagai instrumen selain untuk survive juga untuk memperkaya atau memuliakan diri dan kehidupannya. Sebagai instrumen, tentu saja ia bersifat fakultatif dan temporer: tidak abadi. Inilah yang disebut “pakaian” atau kelamben, di mana posisi kultural produk-produk kebudayaan itu hanya sebagai adendum atau komplemen dari diri-integratif.

Dalam makna lain, semua instrumen itu bisa berubah kapan dan di mana saja. Namun, yang pasti ia selalu diserap secara difusif atau diintegrasikan secara tidak permanen dengan kesejatian diri di atas. Sekilas ia seperti identitas, tetapi identitas dalam masyarakat bahari tidak (akan) pernah final-lantaran posisi instrumentalnya tadi-sebagaimana, misalnya, terjadi dalam definisi-definisi identitas (berbasis ras, agama, suku bangsa, dll) yang terjadi dalam adab kontinental.

Kenyataan itulah yang dibuktikan oleh sejarah, bagaimana misalnya instrumen akal seperti filsafat hingga sains, dalam bentuk teosufi pada akhir abad ke-19 hingga karya-karya Sosrokartono dan Suryomentaram bahkan Sukarno dan pemikir modern lainnya berhenti pada bahasa atau retorika karena ia tidak mengubah apa pun substansi (kesejatian) dari manusianya. Sama sekali bukan hal menggelikan bila Sosrokartono, salah satu genius (intelektual) terbesar Indonesia abad ke-20, menghabiskan masa akhir hidupnya sebagai penyembuh (healer) dengan kekuatan mistik. Juga munculnya profesor ternama yang begitu percaya pada kesaktian seorang pelawak yang mampu menciptakan uang dari ketiaknya, hampir semua presiden yang kita miliki bermain dengan “jimat”, atau seorang menteri memercayai khasiat batu akik atau “harta” Gunung Padang.

Itulah realitas kita: dulu hingga kini. Bagaimana membantahnya? Skizofrenik secara kultural.

Dalam agama, apa pun agama itu, ia terdifusi secara osmosik dalam kesejatian di atas menjadi bagian dari tradisi atau semacam identitas temporer, seperti proses pribumisasi dalam bahasa modernnya. Juga dalam ekonomi. Kenyataan modern orang Indonesia yang-konon-mempraktikkan secara konsisten apa yang disebut “ekonomi pasar” (bebas, bahkan) tidaklah ditandai oleh berjaya dan bertahannya kesejahteraan negara oleh kekuatan kapital dan industri gigantik (kecuali sebagai perampok harta publik dan sumber daya alam), tetapi oleh 110 juta pekerja yang survive dan berkembang dalam sektor UKM, di mana perilaku atau cara berbisnis tradisional menjadi ciri utamanya.

Bagaimana Anda menjelaskan perilaku manipulatif, kolutif, despot, dan koruptif dari para politisi hingga organisasi-organisasi politik di masa kini, bisa dengan mudah dilakukan dengan dasar argumen di atas. Sebuah kenyataan yang memberi kita kemafhuman betapa banyak orang, pengamat hingga akademisi, yang berlatar kesadaran berpikir instrumental kontinental mengalami kekeliruan fundamental dalam memahami Indonesia dan manusia yang ada di dalamnya.

Pemahaman keliru

Cukup banyak buku, monograf, atau analisis telah dihasilkan para peneliti yang mencoba memahami manusia Indonesia, termasuk Mochtar Lubis, tentu saja, berbasis pada satu adab yang melakukan (justru) disintegrasi akal (logos) dari kesadaran-kesadaran manusia lainnya. Berjayalah logos-sentrisme yang positif-progresif-materialistik. Yang dalam puncaknya, logos menapis, bahkan membuang dengan hampir rasa jijik hal-hal normatif hingga kebenaran-kebenaran dogmatis yang diproduksi agama dan tradisi. Sejak Kant hingga Nietzsche dan dipuncaki oleh murid terbaiknya, Foucault, logos atau akal mendapat kuasa penuh untuk menemukan dan menentukan kebenaran walau ketiganya sendiri ragu karena semua (kebenaran) itu masih berada dalam keremangan kenyataan.

Pembacaan manusia Indonesia, katakanlah yang dilakukan oleh C Geertz dalam tripolarisasi orang Jawa, “masyarakat terbayangkan” Ben Anderson” hingga gerak “menerima dan mengingkari” Lombard, menjadi lancung karena keliru membaca sejak penggunaan metode hingga epistemologi dalam pengertian filsafat pengetahuan ataupun episteme dalam definisi Foucault. Dalam realitas diri-integratif manusia Indonesia tidak mungkin terjadi pemilahan seperti yang dilakukan Geertz karena baik santri, abangan, maupun priayi adalah manusia Jawa yang sempurna sama, hanya cara memosisikan atau memperlakukan instrumen kultural (baca; busana)-nya saja yang beda.

Begitupun Anderson, dengan penjelasan canggihnya secara retoris, saya kira terlalu simplifikatif untuk mengatakan sebuah “bangsa” dibentuk dalam satu “bayangan terbatas” secara kolektif yang secara signifikan ditentukan oleh massifikasi bahasa (Melayu) melalui teknologi percetakan. Argumen itu tidak bisa menjelaskan bagaimana bahasa yang sama di Aceh, Timor Timur, dan Papua membuat sebagian dari masyarakat dari daerah-daerah itu sama sekali tidak merasa satu bangsa dengan orang Bali, Jawa, atau Minahasa. Ia tidak mampu menjelaskan pula bagaimana diri-integratif manusia Indonesia melihat orang lain adalah bagian organik tak terpisahkan dari kesemestaan.

Saya kira juga dengan Lombard, dengan empatinya yang luar biasa pada orang Jawa, gagal memahami dunia “dalam” (kesejatian) dan dunia “luar” (kelamben) yang integratif itu sebagai gerak sentrifugal dan sentripetal manusia Jawa dalam menghadapi lalu lintas budaya di persilangan sejarah hidupnya. Kegagalan-kegagalan dan kekeliruan yang terjadi di atas, juga di banyak kasus akademis lainnya, akan senantiasa terjadi selama mereka berusaha memahami manusia Indonesia dengan sebuah cara atau alat yang mendisintegrasi diri kita dalam instrumen-instrumen yang bebas berbuat atau menyatakan dirinya. Logos atau akal, misalnya. Padahal kebebasan (mistikal-saintifik) itu justru sebenarnya membuat instrumen itu limbung dan linglung, sebagaimana adab kontinental kini mengalami semacam kekosongan batin atau tubuh yang teralienasi karena terdominasi rezim akal.

“Eksemplar” pembangunan

Sesungguhnya apa yang terjadi pada negara dan bangsa kita (dan jadi masalah terbesar kita) di masa kini tak lain terbangun atau terwujudnya eksemplar peradaban yang dominatif dan alienatif di atas. Sejak proklamasi kemerdekaan, sebenarnya juga sejak banyak dekade sebelumnya, Indonesia menegakkan sebuah rezim yang secara sengaja juga sebagian tak-tersadari telah melakukan super-dominasi (bahkan mirip kolonialisme dalam bentuk samar) dan alienasi atas realitas peradaban manusia dan bangsa Indonesia yang integratif di atas.

Proyek-proyek politik dengan demokrasi (liberal), ekonomi dengan kapitalisme (pasar bebas), hukum dengan kodeks yang Anglo-Saxon (plus kontinental), pendidikan yang westernized, pendek kata rezim yang kita sebut “pembangunan” sebenarnya adalah proyek yang secara keras-juga koersif-berupaya mendisintegrasi kesatuan organik dari eksistensi manusia/bangsa bahari. Apa yang instrumental diposisikan begitu sentral dan desisif ketimbang substansial.

Lembaga-lembaga negara (demokratis), organisasi massa, komunitas profesional, LSM, institusi akademik, majelis-majelis agama, industri-perdagangan, hingga media massa dibentuk dan dikembangkan untuk memperkuat dominasi dan alienasi itu, menggunakan hukum dan senjata (polisi dan militer) sebagai alat koersi yang ampuh dan legal! Walau sesungguhnya pertahanan budaya di tiap (suku)-bangsa negeri ini ampuh dan terbukti bertahan lama, tetap saja penggerusan eksistensial dan kultural ini memakan korban karena intensitasnya yang tinggi selama sekurangnya satu setengah abad belakangan.

Banyak tradisi yang sekarat bahkan mampus karenanya. Adat hilang, bahasa binasa. Yang tertinggal adalah adat dan adab dari tradisi/suku-bangsa besar yang mungkin tinggal puluhan dari ribuan yang pernah ada. Apa yang tertinggal itu pun kini mengalami masa sakaratul atau sandhyakala ketika di tiga dekade terakhir terjadi serangan yang begitu masif dan terorganisasi hampir sempurna, menggunakan kecanggihan teknologi komputasi, informasi dan telekomunikasi.

Inilah tantangan kita sebenarnya. Sebagai manusia ataupun bangsa. Tantangan terbesar dan tak ada presedennya. Mengatasi keterbelahan diri akibat sebuah tindakan yang kita lakukan sendiri. Saya tak melihat jalan lain, dalam arti menciptakan semacam adab tandingan, kecuali kita kembali menyibak jalan setapak menuju kesejatian kita yang mula, yang kini entah di mana karena sudah tertutup total oleh semak belukar, bahkan hutan gelap dengan banyak genderuwo di dalamnya. Tapi mutiara khatulistiwa ada di situ, kekuatan (budaya) sesungguhnya yang mampu memberi kita solusi terbaik bagi persoalan terbesar di atas.

Perlu keberanian luar biasa untuk membuka setapak itu. Siapa punya keberanian? Secara kolektif, mari kita frustrasi. Namun, secara pribadi, mungkin dari situ semua bisa diawali.

 

Advertisement

Pendidikan dan Kebudayaan

Amich Alhumami; Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan dan Kebudayaan;
Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas

MEDIA INDONESIA, 23 Februari 2015

PENDIDIKAN dan kebudayaan ialah isu besar yang harus ditangani secara sungguh-sungguh karena merupakan barometer kualitas manusia dan kemajuan suatu bangsa.Kementerian ini jelas merupakan institusi strategis yang semestinya dipimpin oleh sosok yang memiliki pemahaman mendalam mengenai masalah-masalah fundamental di bidang pendidikan dan kebudayaan sekaligus.

Pemahaman yang baik, antara lain, tecermin pada kemampuan untuk meletakkan isu pembangunan pendidikan dalam konteks pembangunan kebudayaan secara keseluruhan. Harus ditegaskan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan sebagaimana para pemikir–klasik dan modern–selalu menempatkan pendidikan sebagai salah satu elemen saja dari kebudayaan.

Berbeda dengan pandangan para pemikir arus-utama, Menteri Anies Baswedan–dalam wawancara dengan Kompas (12/11/2014)–justru punya pandangan lain ketika mengatakan bahwa `kebudayaan ialah bagian dari pendidikan.’ Jelas pandangan ini keliru-suatu kesalahan konseptual yang cukup serius sekaligus menunjukkan betapa sang menteri kurang memahami bidang pendidikan dan kebudayaan yang sangat strategis yang selama bertahun-tahun selalu menjadi pusat perhatian seluruh bangsa.

Mosaic pattern

Saya tidak tahu bacaan apa dan pengarang buku mana yang menjadi rujukan ketika ia mengemukakan suatu konsep paling pokok dan sangat fundamental yang bertentangan dengan pandangan umum di kalangan para pemikir dan ahli pendidikan dan kebudayaan. Berbeda dengan pernyataan sang menteri, pandangan aksiomatis yang berlaku universal ialah pendidikan bagian—jika bukan sebagian kecil saja—dari kebudayaan. Jika kebudayaan laksana mosaic pattern nan indah menawan, pendidikan hanya sepenggal marble yang ikut membentuk keindahan mosaic pattern tersebut. Namun, mosaic pattern tidak akan pernah terbentuk sempurna tanpa aneka rupa marble selain pendidikan.
Sebagai penggalan marble, pendidikan hanya mengisi ruang kecil di salah satu sudut mosaic pattern yang berukuran luas sehingga membentuk gambar besar yang disebut kebudayaan.

Jadi, kebudayaan jauh lebih luas dari pendidikan karena mencakup hampir semua aspek kehidupan umat manusia. Kebudayaan mencakup sistem pengetahuan, sistem nilai dan norma, sistem ekonomi dan mata pencarian, sistem hukum, sistem sosial, dan sistem politik yang menjadi rujukan untuk menciptakan keteraturan hidup bermasyarakat. Kebudayaan mencakup pula aneka jenis kesenian, kreativitas, inovasi, dan daya cipta— buah dari proses pendidikan—yang merepresentasikan manusia, masyarakat, dan bangsa yang beradab. Kebudayaan juga mencakup sistem teknologi dan peralatan sebagai instrumen bagi umat manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan sehingga punya daya survival dan mampu mempertahankan kelangsungan hidup dan kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sedemikian luas cakupan kebudayaan, seorang ahli sosiologi terkemuka Henry Pratt (1967) merumuskan konsep kebudayaan dalam kutipan panjang berikut, “A collective name for all behavior patterns socially acquired and transmitted by means of symbols; hence a name for all the distinctive achievements of human groups, including not only such items as language, tool-making, industry, art, science, law, government, morals and religion, but also the material instruments or artifacts in which cultural achievements are embodied and by which intellectual cultural features are given practical effect, such as buildings, tools, machines, communication devices, art objects, etc.”

Kaitan pendidikan-kebudayaan

Dengan meletakkan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan-bukan sebaliknya, seperti yang dipahami Pak Menteri–pendidikan sejatinya adalah suatu proses pembudayaan untuk melahirkan manusia-manusia yang berbudaya. Kaitan erat pendidikan-kebudayaan tampak dalam rumusan umum yang selalu muncul dalam cultural discourse di kalangan para ahli ilmu-ilmu sosial; education is a means of developing civilized human beings and creating cultured human societies.

Dalam perspektif demikian, pendidikan ialah jalan strategis untuk membangun kebudayaan dan peradaban umat manusia, seperti yang diyakini para pemikir klasik-modern. Rabindranath Tagore, seorang pendidik dan pujangga India yang meraih Nobel Sastra 1913 menegaskan keterkaitan pendidikan-kebudayaan. Pendidikan dimaknai sebagai medium pembelajaran untuk menghargai khazanah kebudayaan lain dengan tetap merawat kebudayaan sendiri. Tagore menghargai nilai-nilai multikulturalisme dan meyakini pendidikan dapat menjadi jembatan penghubung antarkebudayaan. Setiap kelompok masyarakat pemilik suatu kebu dayaan dapat memetik hal-hal yang baik dan positif dari kebudayaan lain untuk diadopsi, guna memperkaya khazanah kebudayaan sendiri. Suatu kebudayaan tidak mungkin terisolasi dari kebudayaan lain dan pendidikan berfungsi membangun kesepahaman antarkebudayaan dalam suatu relasi yang harmonis di dalam masyarakat.

Kita juga dapat merujuk pemikiran tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara yang memaknai pendidikan sebagai proses liberasi sosial-politik-budaya. Karena itu, pendidikan harus mampu menumbuhkan dan membangun jiwa-jiwa merdeka dan mandiri. Pendidikan adalah kerja kebudayaan untuk melahirkan manusia-manusia yang berpikiran merdeka, berjiwa patriotik, dan berwatak nasionalis yang mampu melawan hegemoni kekuasaan kolonial. Tokoh pendidikan lain, Mohammad Syafei, juga berpendirian bahwa pendidikan harus mampu menanamkan jiwa mandiri, memupuk kemampuan berdikari, menumbuhkan etos kerja tinggi melalui proses pembelajaran berdasarkan pengalaman dan pendidikan sepanjang hayat. Bahkan, ahli filsafat dan sastrawan angkatan Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana berpendapat bahwa upaya membangun sebuah bangsa yang modern sejatinya ialah pekerjaan pendidikan.
Bangsa modern mensyaratkan kesediaan untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran baru, belajar dari pengalaman bangsa lain, mengembangkan ilmu pengetahuan, terbuka, dan bersedia menyerap nilai-nilai kemodernan yang berasal dari Barat dengan tetap menjaga identitas kebangsaan dan kebudayaan Indonesia.

Strategi kebudayaan

Sangat jelas, pemikiran pendidikan yang dikemukakan para pemikir klasik-modern tersebut mengandung makna esensial kebudayaan. Mereka menyentuh pikiran, akal budi, nilai-nilai, dan sikap mental setiap insan—dalam komunitas dan bangsa—yang harus dipupuk dan dikembangkan melalui proses pendidikan sebagai medium pembebasan untuk membangun kebudayaan dan peradaban maju serta modern.

Dalam konteks demikian, pendidikan harus dimaknai sebagai strategi kebudayaan yang berorientasi untuk mengembangkan seluruh potensi manusia. Pendidikan merupakan wahana pembelajaran yang memfasilitas tiga aspek penting setiap manusia dapat tumbuh kembang sempurna: (1) Cognitive learning yang meliputi pengembangan ilmu pengetahuan, talenta, dan daya intelektualitas; (2) Affective development yang meliputi penanaman nilai-nilai moralitas dan religiositas serta pemupukan sikap emosional dan sensitivitas; dan (3) Practical compentence yang mencakup peningkatan kinerja, kemampuan adaptasi, peningkatan kemahiran, dan keterampilan teknik untuk memperluas berbagai pilihan pekerjaan dan mengatasi masalah-masalah praktis dalam kehidupan.

Sebagai bentuk strategi kebudayaan, pendidikan dimaksudkan untuk menyiapkan individu dan masyarakat agar dapat membangun kehidupan modern di masa depan. Pendidikan merupakan (1) medium bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan-kesenian; (2) wahana sosialisasi nilai, pembinaan sikap mental, dan karakter; (3) pemupukan jiwa kreatif yang dapat mendorong tumbuhnya kebebasan dan daya cipta melalui serangkaian eksperimentasi.
Mengingat posisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang demikian penting, maka seyogianya diurus oleh figur dengan kemampuan istimewa yang tergolong outstanding. Oleh karena itu, sungguh diperlukan sosok menteri yang punya pemahaman mendalam dan komprehensif atas masalah-masalah mendasar pendidikan dan kebudayaan. Bangsa ini sangat merindukan tokoh-tokoh sekaliber Daoed Joesoef, Fuad Hasan, dan Malik Fadjar untuk memimpin kementerian strategis ini agar tidak muncul pemahaman keliru dengan ungkapan “kebudayaan ialah bagian dari pendidikan.“

Kurikulum bagi Raksasa

Iwan Pranoto,
Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi

Tempo, 18 Desember 2014

Dari empat negara berpenduduk terbesar, yaitu Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan Indonesia, negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional. Bahkan, standar CCSS (Common Core State Standards) yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian. Standar CCSS ini pun sementara baru mencakup mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris saja. Para pendidik AS berpendapat bahwa standar CCSS ini dan, khususnya, ujiannya membuka peluang terjadinya penyeragaman pendidikan dan anak didik. Dan, hal ini bertentangan dengan kebebasan individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.

Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional, apalagi kurikulum nasional. Di negeri ini keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum Framework, yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training.

Seperti Sekolah Riverside di Ahmedabad, di negara bagian Gujarat di India, yang didirikan oleh edukator Kiran Bir Sethi, para guru bersama kepala sekolah merancang kurikulum setiap mata pelajaran sendiri untuk jenjang SD dan SMP. Adapun untuk jenjang SMA, sekolah ini menggunakan kurikulum yang disesuaikan untuk sistem Cambridge. Tiap sekolah negeri pun berhak merancang kurikulumnya sendiri. Sementara itu, setiap negara bagian memiliki sejumlah dewan pendidikan yang masing-masing menawarkan standar. Sekolah negeri maupun swasta di India bebas memilih mengikuti dewan pendidikan yang mana atau memilih standar yang lain. Ujian di tingkat SMA nanti akan mengikuti standar yang sudah dipilih.

Adapun Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasional untuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya. Meski demikian, yang disebut satu kurikulum nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus “kadar”-nya sejak 1993 untuk jenjang SD dan SMP. Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya sembilan mata pelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik, bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan. Sekolah juga harus memberi pelajaran bahasa asing, tapi siswa boleh memilih bahasanya. Kemudian, untuk jenjang SMP, ada 13 mata pelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah pusat. Kemudian, SMA-nya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, bahkan setiap siswa dapat merencanakan pendidikan SMA-nya sendiri.

Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu, sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, pemaksaan kurikulum tunggal untuk negara berpenduduk besar sungguh meragukan. Pada Abad ke-21 ini, saat nilai-nilai lokal mengglobal, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah. Kebudayaan lokal yang beraneka ragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanya Indonesia memiliki karakter geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah keanekaragam. Karena itu, proses belajar-mengajar dan, khususnya, kurikulum bagi anak-anak kita di berbagai pelosok Tanah Air perlu luwes agar pendidik/sekolah dapat mengadaptasi program belajar-mengajarnya untuk kebutuhan kecakapan anak khusus di daerah itu. Keunikan lokal ini harus eksplisit dirumuskan dan diilustrasikan dalam desain pembelajaran.

Ke depan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan tidak lagi memaksakan satu kurikulum tunggal dan sebangun pada semua sekolah dari Pulau Biak sampai Pulau Nias, dari Sungai Memberamo sampai Sungai Siak. Seperti tiga negara raksasa sebelumnya, penduduk Indonesia luar biasa banyak dan tersebar. Sungguh pemikiran yang kurang matang jika memaksakan satu seri buku ajar tunggal untuk semua sekolah di negara besar ini.

Walau terganggu saat kebijakan Kurikulum 2013 dipaksakan, konsep keanekaragaman kurikulum itu sudah digagas dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) lebih dari satu dekade lalu. Semoga Kementerian Pendidikan baru meneruskan jiwa keanekaragaman pendidikan di UU Sisdiknas tersebut.

Kementerian Pendidikan, khususnya Puskurbuk-Balitbang, perlu mulai mereka-cipta kerangka kurikulum yang dapat digunakan untuk menjadi panduan yang memudahkan sekolah dalam merumuskan kurikulum yang sesuai dengan keunikan daerah, geografis, dan kebudayaannya. Dengan kurikulum sekolah yang relevan dengan kedaerahan dan kehidupan, para pelajar akan meningkatkan dorongan belajar dari dalam diri. Pelajaran di sekolah semakin terkait dengan kehidupan di lingkungannya. Hal ini akan menjauhkan citra buruk belajar sebagai beban, bukan berkat.

Tantangan dan strategi mendidik raksasa tentu berbeda dibanding mendidik negara kecil berpenduduk sedikit dengan lokasi geografis homogen.

http://m.tempo.co/read/kolom/2014/12/18/1849

Revolusi Kebudayaan

Yudhistira ANM Massardi ; Sastrawan
KOMPAS, 02 Desember 2014

Mari kita renungkan kembali jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang belum selesai. Dari masa silam, kita selalu membanggakan Kerajaan Sriwijaya yang berjaya di sekitar Palembang pada 600-1400. Kita juga membanggakan Majapahit di sekitar Surabaya pada kurun 1293-1519. Kita pun membanggakan kemegahan Borobudur dan Prambanan di sekitar Yogyakarta.

Terhadap tonggak-tonggak masa silam itu, kita (ingin) menyatakan diri sebagai bagian darinya: sebagai generasi pemilik dan penerus. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyadari bahwa itu adalah hasil karya ”mereka” dan tak ada hubungannya dengan ”kita”. Lalu, muncullah pertanyaan eksistensial itu: ”Jadi, sebenarnya, siapakah kita?”

”Simsalabim”

Dari sejarah Indonesia modern, kita belajar tentang sekelompok priayi di ”Sekolah Dokter Jawa” (STOVIA) di Jakarta yang—pada 20 Mei 1908—mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo. Para pemuda itu tercerahkan dan menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah nasion besar yang harus memerdekakan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Kesadaran itu kemudian berlanjut dengan berdirinya partai-partai politik yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.

Tonggak penting berikutnya adalah ikrar Sumpah Pemuda yang dirumuskan dalam Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebuah penegasan tentang semangat persatuan dalam keindonesiaan: bertumpah darah, berbangsa, dan menjunjung bahasa satu: Indonesia.

Kita tahu bahwa Sumpah Pemuda itu tak disertai semacam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi pengejawantahannya. Alhasil, ikrar itu seolah-olah menjadi sesuatu yang taken for granted, diterima begitu saja sebagai sebuah kebenaran faktual.

Sebuah masalah eksistensial mahabesar dan mendasar, yang menjangkau sekitar 13.500 pulau, 700 bahasa, dan 300 kelompok etnis/suku bangsa dari Sabang sampai Merauke, dalam dua hari, bagaikan disulap dengan mantra simsalabim, dinyatakan sudah langsung melebur menjadi satu: Indonesia! Padahal, kita tahu, itulah isu-isu yang jadi sumber pemicu konflik primordial-sektarian yang sangat sensitif hingga sekarang.

Memang tak terbayangkan, bagaimana mungkin ketiga isu besar yang diikrarkan Sumpah Pemuda itu bisa menjadi, tanpa sebuah proses transformasi sosial-politik-budaya yang panjang dan sukar. Karena itu, menganggap masalah besar itu selesai begitu saja pada 28 Oktober 1928 adalah tindakan yang, selain absurd, tidak bertanggung jawab. Ini harus segera disadari dan dijadikan sebagai agenda Revolusi Kebudayaan yang belum usai.

Menjadi ”orang Indonesia” itu sungguh tidak mudah. Adalah tidak mudah menjawab pertanyaan orang asing: ”Bagaimana Anda mengidentifikasi diri sebagai seorang Indonesia?” Karena, di balik kata ”Indonesia” itu berderet sejumlah fakta yang harus ditaruh sebagai catatan kaki, atau masing-masing memerlukan penjelasan sebuah buku.

Bagi mayoritas bangsa Indonesia, langkah pertama untuk menjadi orang Indonesia adalah wajib mempelajari bahasa Indonesia sebagai ”bahasa asing pertama”. Langkah kedua, menjadikan diri sebagai ”orang asing pertama” di lingkungan budaya lokal. Langkah ketiga, membayangkan bersaudara dengan orang-orang yang hidup di daerah yang jauh, yang bahasanya sukar dipahami dan masakannya rasanya ”aneh”. Langkah keempat, harus menerima dan menghormati agama, norma, hukum, dan adat-istiadat yang beraneka rupa banyaknya sebagai bagian dari identitas diri, dan seterusnya.

Selain Sumpah Pemuda, ideologi negara Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kesepakatan-kesepakatan abstrak yang harus dikonkretkan melalui kerja besar seluruh bangsa di dalam arahan pemerintahan yang sadar, paham, penuh kesungguhan, dan konsisten sepanjang hayat menjadi Indonesia.

Republik hidroponik

Namun, sekali lagi, ”menjadi Indonesia” itu bukan perkara mudah. Para bapak pendiri bangsa pun tak selesai merumuskannya.

Dalam sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 29 Mei 1954, dengan agenda Dasar Negara Indonesia, Mohamad Yamin menegaskan: ”Negara baru yang akan kita bentuk adalah suatu Negara Kebangsaan Indonesia… yang berketuhanan.” Itu bukanlah kelanjutan dari Kerajaan Syailendra-Sriwijaya ataupun Kerajaan Majapahit. Karena, tradisi kenegaraan kedua kerajaan itu, ”dengan Negara Indonesia Merdeka tidak tersambung, melainkan sudah putus,” katanya. Itu karena, ”aspirasi kita sekarang jauh berlainan daripada zaman yang dahulu itu. Agama sudah berlainan, dunia pikiran sudah berbeda, dan susunan dunia sudah berubah.”

Tak jelas berapa kuat pemikiran Yamin itu memengaruhi 65 anggota peserta sidang BPUPKI. Satu hal yang pasti, hingga disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi, tak ada lagi diskusi yang merujuk Sriwijaya dan Majapahit sebagai contoh negara yang berjaya berkat keunggulan armada lautnya. Dengan kata lain, sejak awal berdirinya, Republik Indonesia tak memberi tempat lagi pada semangat bahari dan kemaritiman. Melupakan ”nenek moyang”-nya yang ”orang pelaut”. Seperti dikatakan Yamin, hubungannya ”sudah putus”! Artinya, kita pun menjadi warga negara ”republik hidroponik” yang akarnya tidak membumi.

Setelah runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit, sesungguhnya semangat kemaritiman masih kuat dikibarkan oleh Kesultanan Demak sebagai penerus Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan besar pun masih berperan penting bagi hubungan perdagangan domestik dan internasional, seperti Cirebon, Sunda Kelapa, dan terutama Banten. Namun, setelah Demak runtuh dan dilanjutkan Kerajaan Pajang pada 1549, dan Kesultanan Banten runtuh pada 1813, boleh dikatakan berakhirlah semangat bahari di Nusantara.

Pusat Kerajaan Pajang tak lagi di pesisir, tetapi di pedalaman Jawa Tengah. Sultan Ageng Tirtayasa pun menarik diri dari pantai dan masuk ke Serang, membuka sawah baru secara spektakuler. Menghentikan penanaman lada, komoditas yang jadi rebutan bangsa Eropa yang datang dengan kapal-kapal dagang dan kapal perang dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda, yang merangsang ketamakan. Sejak itu, kita tidak lagi berorientasi ke laut yang terbuka, tetapi mengolah tanah yang terbatas di pedalaman!

Revolusi belum selesai

Ketika Bung Karno berkali-kali menyatakan bahwa ”revolusi belum selesai”, seharusnya itu dalam konteks transformasi segenap nilai yang hendak diraih oleh ikrar Sumpah Pemuda dan pengamalan filosofi Pancasila. ”Revolusi belum selesai” yang dimaksudkannya seharusnya adalah Revolusi Kebudayaan! Yakni, gerakan perubahan fundamental yang cepat untuk mengubah paradigma primordial-sektarian ke lingkup nasional dan mondial. Mengubah paradigma maritim ke paradigma agraris. Dengan begitu, bangsa Indonesia yang baru dilahirkan memperoleh cukup waktu dan ilmu untuk menjadi warga dunia yang maju dan bermartabat.

Pemutusan hubungan dengan masa silam yang berbasis kemaritiman (Sriwijaya dan Majapahit) seperti yang dianjurkan Yamin pun tak diikuti langkah-langkah fundamental yang bertanggung jawab: apakah kita akan melakukan Revolusi Agraria atau Revolusi Industri. Akibatnya, kita melewati jembatan emas kemerdekaan dengan kebingungan, dan akhirnya baku-bunuh sendiri di depan pintu gerbang dunia baru: hingga sekarang!

Bahkan, kita kini berada di ambang jurang negara gagal. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang memberikan harapan baru. Dengan konsep hendak menjadikan Indonesia sebagai ”poros maritim dunia,” Joko Widodo diharapkan bisa melaksanakan bukan hanya Revolusi Mental, melainkan sekaligus juga Revolusi Bahari! Dan itu adalah Revolusi Kebudayaan! Perubahan paradigma: dari kekacauan paradigma agraris-industri yang inkonsisten ke paradigma semesta kemaritiman yang terpadu. Menjadi ”poros maritim” bukan hanya dalam pengertian bisnis-perdagangan, melainkan juga geopolitik dan budaya.

Nyi Loro Kidul

Kegagalan Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong di Tiongkok adalah karena ia kaku, bengis, dan berdarah. Revolusi Kebudayaan Jokowi hanya akan berhasil jika digerakkan dengan pembaruan sistem pendidikan, dan dimulai sejak pendidikan anak usia dini. Dimulai dengan pelajaran berenang, makan ikan, dan tamasya yang menyenangkan ke tepi laut. Bersamaan dengan itu, industri pembuatan kapal digalakkan, seperti yang dilakukan Sriwijaya dan Majapahit, seperti yang dilakukan Kekaisaran Ottoman sejak 1518 untuk menguasai Eropa, dan dilakukan Jepang di awal Reformasi Meiji pada 1868.

Tentu, tidak seperti negara-negara penakluk itu, armada laut yang harus kita bangun adalah lebih untuk memaknai substansi Sumpah Pemuda dan Pancasila: persatuan, keadilan, dan kemakmuran bagi semua anak bangsa dari Sabang hingga Merauke. Sementara, secara mental, itu untuk menepis legenda Nyi Loro Kidul yang membuat anak-anak kita takut ke laut. Juga untuk menepis legenda Malin Kundang yang memberi contoh negatif bahwa anak yang merantau melalui laut akan durhaka kepada ibunya.

Itu artinya, pemerintah harus menggerakkan rakyat Indonesia untuk membangun dan menggali kembali semua potensi yang diwariskan para nenek-moyangnya. Sebab, Jalesveva Jayamahe artinya adalah ’justru di laut kita jaya’. Bukan di sawah atau di kebun yang membuat kita jadi petani yang harus bersusah payah mencangkul, menanam, dan memanen hasilnya dalam waktu berbulan-bulan, dan kemudian lahannya kian menyempit karena diwariskan kepada anak-cucu-cicit, dan akhirnya dijual, disulap jadi ojek sepeda motor! Dan kini sawahnya pun berubah menjadi mal! ●
Diposkan oleh Budi Santoso di 06.52
Kirimkan Ini lewat Email

Dongeng Rakyat dan Makna Kebudayaan

Murti Bunanta ; Ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak; Spesialis Sastra Anak
KOMPAS, 14 November 2014

SALAH satu jalan untuk membuat anak tetap setia pada cerita rakyat Nusantara, selain melalui buku cerita yang dikemas dengan berkualitas dan ceritanya dituliskan kembali dengan baik dan hati-hati, adalah kehadiran Festival Cerita Rakyat Nusantara.

Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) yang telah 22 tahun menyelenggarakan Festival Cerita Rakyat Nusantara bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama dengan Bentara Budaya Jakarta, ingin berbagi pengalaman dan sangat menganjurkan penyelenggaraan sebuah festival cerita rakyat sesering mungkin dan sebanyak mungkin di setiap kota dan daerah.

Bukan uji coba

Apa arti Festival Cerita Rakyat Nusantara? Kita diajak untuk memaknai, menghayati, mengalami, dan merasakan kebudayaan dan tradisi. Karena itulah, sebuah penyelenggaraan festival tidak pantas hanya berdasarkan pada ”kemegahan fisik” pameran. Yang penting adalah isi festival yang dirancang jauh sebelumnya: apa ceritanya; siapa pendongengnya; siapa pembacanya (bila dari buku cerita); adakah nilai tambah festival, misal pengenalan kuliner dari cerita rakyat; alat musik pengiring cerita; alat peraga pengiring cerita; kostum, dekorasi pementasan; tampilan penyajian, dan sebagainya.

Oleh karena itu, penyajian dan rancangan festival tidak boleh dirusak oleh ”pendongeng” yang tiba-tiba ingin muncul dan pamer kebolehan. Apalagi, kalau pendongeng ini adalah pendongeng sewaan dari perusahaan yang berniat promosi. Sebuah Festival Cerita Rakyat bukanlah tempat untuk ”uji coba” dan menjadikan anak sebagai ”kelinci percobaan”.

Sebuah festival bukan tempat untuk memamerkan jumlah pendongeng, melainkan tempat untuk membuat pendengar dan pengunjung bersentuhan kembali dengan kebudayaan dan tradisi yang mungkin tidak dialaminya karena ada cerita-cerita kontemporer lain. Itu sebabnya, KPBA sangat selektif dan hati-hati memilih pendongeng yang akan menjadi ”agen” cerita rakyat kepada pendengarnya, baik pendongeng anak maupun orang dewasa. Pendongeng haruslah orang yang dapat meneruskan dan membawa kembali budaya tempat cerita tersebut berasal. Oleh karena itu, pihak penyelenggara sebaiknya berdiskusi dengan para pendongeng yang telah dipilih.

Penyajian cerita

Pada masa kini, sajian cerita rakyat dapat dikemas dalam bentuk yang modern, seperti melalui pembacaan cerita dari buku oleh para CEO, petinggi instansi pemerintah, wartawan, ibu rumah tangga, dan guru. Dengan syarat, mereka dapat menghargai cerita dan memaknai cerita serta mampu meneruskan kebudayaan dari cerita yang dibacanya.

Cerita rakyat akan menarik sekali jika dikemas dengan musik, alat peraga, dan menyelipkan dengan pas bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang umumnya paling dikenal mayoritas pendengar.

Tarian daerah, musik kontemporer, bahkan balet ataupun tarian hiphop yang dikemas dalam penyajian cerita rakyat akan menjadikan dongeng pementasan yang mengagumkan. Hal ini adalah nilai tambah bagi cerita rakyat yang menandakan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang dinamis.

Namun, cerita rakyat bukanlah sembarang cerita yang isi dan maknanya bisa diubah-ubah seenaknya walaupun dapat disajikan dengan kemasan modern. Cerita rakyat mengandung kebudayaan yang empunya cerita.

Misalnya, tidaklah elok kalau Si Malin Kundang kemudian bersekolah di sebuah universitas di Jakarta, naik kapal terbang, dan suka makan piza. Kita tidak boleh mengubah latar belakang cerita dan membawa cerita menjadi cerita yang terjadi pada masa kini. Apalagi, kalau nanti Si Malin Kundang akhirnya dikutuk jadi batu. Di mana logika cerita?

Cerita rakyat adalah cerita ”pada zaman dahulu kala”. Anak dan pendengar dibawa ke sebuah masa yang memperkenankan sesuatu yang tidak masuk akal menjadi masuk akal. Ini adalah cara suatu masyarakat dari sebuah kebudayaan mengajarkan nilai dan moral kepada generasinya yang berlaku turun-temurun. Jadi, menyajikannya boleh dengan cara ”modern”, tetapi nilai suatu kebudayaan tetaplah harus dihormati.

Saran penyelenggaraan

Festival Cerita Rakyat adalah sebuah acara yang harus dirancang dengan arif, hati-hati, dan bijaksana karena akan membawa kembali kebudayaan yang mungkin belum pernah dialami pendengar masa kini. Karena itu, sejak dari pembukaan festival harus dipikirkan siapa yang membuka dan apa yang akan disampaikan. Pembuka festival dapat ”merusak” festival jika tidak sesuai dengan rancangan dan maksud festival.

Perlu dan penting dicermati juga Festival Cerita Rakyat mempunyai manfaat lain yang lebih luas, yaitu membuat masyarakat kembali mengingat dan meningkatkan keinginan membaca kembali cerita rakyat. Karena itu, buku cerita rakyat harus dikembangkan dan dikemas dengan berkualitas.

Perlu dicatat pula, sebuah Festival Cerita Rakyat dapat digelar dengan berbagai tema, yaitu cerita rakyat Asia, cerita rakyat ASEAN, cerita rakyat dunia, cerita rakyat Eropa, cerita rakyat Afrika, dan seterusnya. Kita dapat menikmati berbagai cerita rakyat ini karena nilai dan moral cerita rakyat bersifat universal.

Pendidikan Berbasis Kebudayaan

Haryadi Baskoro  ;  Peneliti Kebudayaan;
Pemimpin 3H Advocates & Consultants Yogyakarta

KOMPAS, 08 November 2014

SAAT diumumkan, disebut tugas Anies Baswedan adalah sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Ini menunjukkan komitmen pemerintahan Jokowi untuk menjadikan kebudayaan sebagai basis pendidikan.

Hal itu sejalan dengan pemikiran Bung Hatta, sebagaimana dikutip Yudi Latif (Kompas, 21/8), bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan; pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Secara antropologis, Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan, sistem perilaku, dan budaya materi yang menjadi milik diri melalui proses belajar. Artinya, manusia menjadi makhluk yang berbudaya melalui proses belajar. Tidak ada yang instan sehingga ketika proses belajar kebudayaan (enkulturasi) itu diformulasikan, lahirlah sistem-sistem pendidikan berjenjang yang kompleks.

Anak dan remaja

Kebudayaan, entah yang bernilai positif atau negatif, menjadi milik diri melalui proses belajar. Perilaku (budaya) korupsi tidak muncul begitu saja. Kebiasaan menyontek sejak duduk di bangku sekolah dasar, misalnya, adalah proses belajar awal dari perilaku korup tersebut. Apalagi kebudayaan yang mulia dan luhur, yang kini menjadi sesuatu yang langka, tidak bisa dimiliki tanpa belajar keras dalam waktu lama.

Dalam proses pembudayaan, yang dipelajari oleh manusia pada awal proses sosialisasinya dalam kehidupan bermasyarakat akan begitu tertanam dalam jiwa sehingga sulit diubah. Sebagai contoh adalah budaya makan nasi, kita susah mengubahnya karena itulah yang pertama kita pelajari.

Oleh karena itu, tepat jika pembudayaan harus dimulai pada masa kanak-kanak dan remaja, yaitu masa-masa sekolah di bangku pendidikan dasar dan menengah. Revolusi mental pada dasarnya sulit ketika mentalitas buruk sudah terbentuk sejak kanak-kanak, seperti pada kasus mental korup yang berakar pada mental menyontek sejak anak-anak. Itulah sebabnya mental korup bangsa ini tidak mudah dihapuskan sekalipun dengan ancaman dan hukuman yang mengerikan. Mentalitas sebuah bangsa akan kuat apabila ditanamkan sejak masa kanak-kanak.

Orang Jawa punya ungkapan yang mengatakan bahwa menyembuhkan penyakit batuk (watuk) itu mudah, dua-tiga hari sembuh. Namun, menyembuhkan penyakit karakter (watak) tidak bisa dalam setahun atau dua tahun. Oleh karena itulah, revolusi dalam konteks perubahan rezim yang bobrok sering terpaksa menjadi sebuah upaya perubahan radikal dengan kekerasan. Alasannya sederhana, mengubah mental para pemimpin sangat tidak mudah sehingga pembaruan lebih cepat terjadi apabila dilakukan penggulingan kekuasaan secara paksa.

Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa emas sekaligus periode rentan yang sangat kritis. Salah didikan, fatal akibatnya. Itulah sebabnya gerakan terorisme mengader anak-anak belia karena mudah diindoktrinasi. Radikalisme dan sikap ekstrem, intoleransi, dan perilaku kekerasan mudah diajarkan pada diri anak-anak.

Anies Baswedan dituntut untuk bisa mengemas pendidikan moral, budi pekerti, Pancasila, pendidikan damai (peace education), pendidikan pluralisme-multikulturalisme untuk para pelajar kita. Revolusi pada dasarnya adalah pembaruan yang radikal meski tidak selalu terjadi dalam waktu cepat. Jika pembudayaan Indonesia intensif dilakukan sejak kanak-kanak, niscaya gerakan revolusi mental bangsa akan berbuah lebat pada masa 20 tahun atau 30 tahun yang akan datang.

Budaya kreatif

Kebudayaan itu bersifat kreatif. Kebudayaan adalah hasil karya, rasa, dan cipta manusia yang dinamis. Para pemimpin masa silam harus memiliki kualifikasi narendra sudibyo, yaitu sebagai para penggagas, pencipta, dan pengembang peradaban. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk kreator budaya karena menghadapi alam tempat berpijak yang selalu menantangnya untuk bertahan hidup.

Dengan demikian, kebudayaan (mental dan perilaku) kreatif itulah yang harus ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Hal itu karena, pada dasarnya, sifat kreatif yang asli juga muncul pada periode perkembangan psikologis anak-anak, seperti yang terjadi pada anak-anak yang kesukaannya adalah bertanya (periode bertanya). Pendidikan tradisional yang hanya bersifat mencekoki anak dengan seabrek pengetahuan terbukti justru menumpulkan mental bertanya dan jiwa kritis anak-anak kita.

Pendidikan berbasis budaya untuk pelajar sekolah dasar dan menengah haruslah pendidikan transformatif yang mencerdaskan. Menurut Darmaningtyas, sebagaimana dikutip Ma’arif (2005), pendidikan transformatif adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk mengembangkan proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif.

Dalam hal ini, potensi-potensi individual tidak dimatikan dengan bentuk pendidikan yang bersifat penyeragaman dan pemberian sanksi-sanksi. Anak didik dibiarkan berkembang secara wajar dan manusiawi. Pendidikan harus bebas dari penindasan, ketimpangan, dominasi, dan eksploitasi. Pendidikan harus menekankan kesetaraan, saling memahami, memiliki kepekaan, dan kebebasan. Tujuan akhirnya adalah supaya anak didik mempunyai pengetahuan yang kritis (critical knowledge).

Tantangannya, kecerdasan (sifat kritis dan kreatif) anak-anak kita harus dipadukan dengan mentalitas idealis. Itu karena, meski metode-metode pembelajaran masa kini bersifat mencerdaskan, tetapi cenderung pragmatis. Metode quantum teaching yang terkenal itu, misalnya, substansinya pragmatis. Kita membutuhkan kebangkitan generasi yang idealis. Namun, idealisme itu sendiri harus diajarkan secara atraktif dan menyenangkan bagi anak-anak kita tanpa merenggut kebahagiaan mereka.

Pendidikan dan Kebudayaan

Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 07 November 2014

SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.
Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.

Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.

Satu menteri

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles.

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan ”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana? Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang masih ”berbudaya”.

Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. ”It is not the business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.”

Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban. Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan.

Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan. Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Segera koreksi

Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mereka pimpin. Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidik in spite of kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata-mata sebagai suatu profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega mempermainkan pendidikan.

Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik. Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang fatal.

Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”.

Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti John Lock, John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.

Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.

Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.

Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Mereka inilah pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar bahwa le gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat. Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang pendidikan.

Wahai Presiden dan Wakil Presiden, sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah keutuhan Kemendikbud, jangan main-main dengan pendidikan dan kebudayaan. Pikirkan baik-baik. Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”. Sementara itu, kaum intelektual dan para orangtua murid yang terdidik hendaknya tidak bersikap indifferent. Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka tergantung dari masa depan Indonesia.

Sifat-sifat Asasi Peradaban Barat

September 29, 2014

Bentuk : Rangkuman Diskusi Pekanan DISC 1 Dzulqoidah 1435 AH/26 September 2014 M
Pemateri : Tri Shubhi Abdillah
Perangkum : Yogi T. Rinaldi

Mengenali lawan dalam sebuah peperangan adalah sebuah strategi yang amat penting. Ketidaktahuan dalam mengenali lawan hanya akan membuat serangan-serangan yang dilancarkan tidak tepat sasaran. Tampaknya itu yang hendak disampaikan di awal perenggan sembilan oleh Syed M. Naquib al-Attas di dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin, ketika hendak menjelaskan apa sebenarnya Kebudayaan Barat.

Kaum Muslimin belum sepenuhnya mengetahui apa sebenarnya Kebudayaan Barat. Ketidaktahuan ini menyebabkan ketidakmampuan kaum Muslimin dalam mengukuhkan kedudukannya ketika menghadapi serangan-serangan yang diluncurkan oleh Kebudayaan Barat. Oleh karena itu, seyogyanya kaum Muslimin mengetahui sifat-sifat asasi Kebudayaan Barat itu.

Unsur-unsur Pembentuk Peradaban Barat

Kebudayaan Barat merupakan hasil adonan daripada unsur-unsur Kebudayaan Yunani Kuno, Kebudayaan Romawi, dan unsur-unsur lain dari hasil cita-rasa dan gerak-daya bangsa-bangsa Eropa sendiri, khususnya dari suku-suku bangsa Jerman, Inggris dan Prancis. Dari kebudayaan Yunani Kuno, mereka telah meletakkan dasar-dasar falsafah, kenegaraan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kesenian; dari Kebudayaan Romawi, mereka telah merumuskan dasar-dasar undang-undang, hukum dan ketatanegaraan. Agama Kristen, meskipun berhasil memasuki benua Eropa, tetapi tidak berhasil meresap ke dalam qolbu Peradaban Barat.

Seorang pendeta dan profesor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, menyatakan bahwa Barat dan orang-orang Barat maju bukan karena Kristen. Dia mencontohkan, bahwa bos Pabrik Coklat Cadbury menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan di Selly Oak bukan karena dia seorang Kristian, tapi karena dia kaya dan punya dana sosial lebih. Profesor ini sepertinya ingin mengungkapkan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.

Sebenarnya bukan Kristen yang berhasil mengubah Barat, tetapi Baratlah yang telah mengubah agama Kristen. Agama ini, telah diambil-alih dan diubah-gantikan oleh Peradaban Barat demi melayani dan agar dapat selaras dengan kepercayaan-kepercayaan yang dianut Peradaban Barat sebelum masuknya agama Kristen. Peradaban Barat telah berhasil mencampuradukkan ajaran-ajaran Yunani Kuno dan Romawi yang kemudian menjelma menjadi agama Kristen. Menurut al-Attas, agama yang berasal dari Asia Barat ini adalah satu-satunya agama yang telah berpindah dari pusat aslinya, yaitu dari Darussalam Palestina ke Roma Italia. Perpindahan ini pada hakikatnya adalah suatu bentuk pembaratan (westernization) dan penyerapan unsur-unsur Barat secara berangsur-angsur dan berturut-turut. Oleh sebab itu, dari sudut pandang Islam, terdapat dua agama Kristen: Kristen awal dan benar, dan Kristen versi Barat. Kristen awal dan benar adalah Kristen yang dibawa oleh Nabi Isa As. yang sesuai dengan Islam. Mereka adalah mukmin dan muslim.

Islam pun turut mempengaruhi Peradaban Barat pada Abad Pertengahan dengan menyumbangkan unsur-unsur penting dalam ilmu pengetahuan sains dan teknologi. Akan tetapi perkembangan yang amat mempengaruhi kemajuan Peradaban Barat ini kemudian mengikuti bawaan jiwa asli Peradaban Barat, yakni menceraikan nilai-nilai agama dari setiap elemen kehidupan. Alhasil, Kebudayaan Barat adalah kebudayaan yang hampa dari agama, kebudayaan yang telah membunuh tuhan seperti yang digemakan oleh Nietzsche, yang tidak lain adalah pembunuhan agama Kristen.

Sifat-sifat Asasi Peradaban Barat

Setelah Peradaban Barat membunuh tuhan, mereka kemudian malah mengangkat akal (rasio) mereka sebagai tuhan untuk membimbing manusia Barat. Oleh sebab itu, sebenarnya Peradaban Barat bukan berasaskan pada agama (Kristen) tetapi filsafat, karena itulah tidak ada agama dalam jiwa pengalaman mereka, suatu ketetapan akan keyakinan.

Sebelum kemunculan agama Kristen, pada zaman Olimpus Yunani Kuno, alam tidak dipisahkan dari dewa-dewa. Akan tetapi ketika kemerosotan agama terjadi di kalangan orang Yunani, dewa-dewa itu secara berangsur-angsur disingkirkan dari alam tabii. Ini kemudian menghasilkan kehampaan akan makna spiritual. Pada awalnya, kosmologi Yunani sebagaimana manusia zaman kuno lainnya, diserapi oleh kepercayaan bahwa ada kekuatan spiritual yang mengatur, memelihara dan menopang alam semesta. Mereka menyebutnya dengan archē sebagai substansi spiritual yang membentuk dasar semua realitas. Setelah dewa-dewa itu diusir dari masing-masing tempatnya di alam tabii, filsafat Yunani mengalami perubahan tafsir terhadap alam, yang menjadi lebih berupa penjelasan alamiah dan ‘rasional’.

Postulat bahwa alam semesta tercipta dari anasir-anasir utama seperti air, udara, tanah dan api adalah sebagai bukti penjelasan alamiah itu. Hal tersebut seperti diyakini oleh Thales (624—546 SM), Anaximenes (585—528 SM), Diogenes (w. 460 SM), Hippasus, Herakleitos (535—475 SM) dan Empedokles (490—430 SM). Semenjak terusirnya kepercayaan terhadap mitos dewa-dewa, filsafat Yunani mengangkat akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Apa yang dapat dicerap oleh indra, yakni yang empirik dan rasional adalah yang ada (wujud) dan benar.

Kemudian, ketika Aristoteles (384—322 SM) memperkenalkan filsafat Yunani kepada dunia Romawi di mana kemudian agama Kristen merumuskan dan membentuk dirinya sebagai agama Kekaisaran Romawi dan dunia Barat, Rasionalisme murni ini beserta naturalismenya melucuti alam tabii dari makna spiritualnya, sehingga alam hanya dapat dikenali dan dimengerti oleh rasio manusia. Meski tidak dimungkiri masih ada bentuk-bentuk filsafat lain yang mengakui pentingnya spiritual dari alam tabii dan metafisika dalam dunia Yunani, tetapi Aristotelianisme lebih memegang pengaruh.

Akibat dari pemisahan spiritual dari alam tabii adalah munculnya pandangan Dualistik. Faham dualisme ini mengikrarkan adanya dua hakikat dan kebenaran yang senantiasa terpisah serta bertentangan. Manusia terjerembab pada dua hal yang senantiasa dikotomis dan tidak dapat disatukan, seperti fisika dan metafisika, Tuhan dan alam, ruhani dan jasmani, material dan immaterial, ilmu dan tanzil, dunia dan akhirat, kepercayaan dan ilmu pengetahuan, akal dan wahyu, tekstual dan kontekstual, agama dan negara, dan sebagainya. Syed M. Naquib menyebutnya dengan pandangan Sekular dan syirik yang berbeda dengan tawhid.

Lagi-lagi karena pengagungan terhadap akal secara berlebihan akhirnya Peradaban Barat memungkiri peran wahyu yang dibawa oleh agama. Segala sesuatu yang berasal dari agama bagi Peradaban Barat akhirnya hanya dapat dipercayai (iman), tidak termasuk ilmu pengetahuan. Pengingkaran terhadap kepercayaan agama, yang telah menjadi sifat bawaannya, kemudian diperkukuh pula oleh kekecewaannya dalam pengalaman beragama (Kristen) pada Abad Pertengahan, yang tidak berhasil menjamin keyakinan dan yang hanya penuh dengan dugaan-dugaan itu menjadikan manusia Barat sebagai manusia yang Sekular. Akibatnya memunculkan sebuah faham pandangan hidup, yang biasa disebut dengan nama Humanisme.

Faham Humanisme berkeyakinan bahwa manusia dapat menentukan kebenarannya sendiri. Manusia dianggap mempunyai kapasitas untuk berkembang sendiri tanpa agama dan Tuhan. Manusia dapat mengetahui baik dan buruk dengan akalnya. Humanisme menjadikan manusia sebagai satu-satunya ukuran segala sesuatu. Humanisme tiada lain adalah antroposentrisme yang berbeda sepenuhnya dengan teosentrisme. Humanisme adalah sebuah agama baru yang mulanya berteduh di dalam rumah agama, tetapi kemudian keluar dan memaki agama.

Anehnya akhir-akhir ini sering kali kita jumpai istilah yang saling bertentangan tetapi seolah mencoba disatukan seperti “Kristen Humanis”, “Muslim Humanis”, “Humanisme Islam” atau yang lainnya. Teologi agama seolah berorientasikan manusia, bukan lagi berdasarkan wahyu. Lagi-lagi ini adalah sebuah pandangan yang sekular.

Selain pengagungan yang berlebihan kepada rasio, faham dualisme dan pandangan-alam sekular, Peradaban Barat juga bercirikan tragedi. Pandangan Hidup yang tragis, menurut al-Attas, yaitu menerima pengalaman kesengsaraan hidup sebagai satu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia dalam dunia.

Semenjak zaman Yunani Kuno, bangsa-bangsa Yunani Kuno menganggap tragedi sebagai satu unsur penting kehidupan manusia; bahwa manusia itu merupakan pelakon dalam drama kehidupan dan pahlawan-pahlawannya membayangkan watak yang tragis. Faham tragedi kehidupan ini disebabkan oleh kehampaan qolbu dan iman. Kehampaan iman adalah akibat dari falsafah yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling bertentangan satu sama lain hingga menimbulkan syak serta ketegangan jiwa. Keadaan jiwa yang tiada tenteram ini mengakibatkan pula perasaan takut dan sedih menjalani dan mengenang nasib diri.

Manusia Barat meyakini bahwa kehidupan manusia adalah sebuah episode-episode tragedi yang harus dilalui. Bahkan mereka berkeyakinan bahwa nasib terburuk bagi manusia adalah dilahirkan. Kehampaan hati dari nilai-nilai spiritual yang kemudian diisi oleh perasaan tragis ini menganjurkan manusia Barat mencari jawaban dari persoalan-persoalan hidup, untuk giat berusaha menyelidiki, mengkaji dan mereka-reka teori baru, dan mengemukakan masalah asal-usul alam semesta dan manusia. Hasil fikiran tersebut dianggap sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang tidak lain hanyalah sekedar syak dan wasangka. Pengembaraan dan pencarian jawaban persoalan-persoalan tersebut malah menjadi semangat Peradaban Barat. Anehnya, mereka tidak ingin mengakhiri pencarian tersebut, justru pencarian tersebut bagi mereka setidaknya dapat mengurangi beban kekosongan dan kesunyian jiwa. Seolah-olah hal tersebut menjadi penawar hati yang tegang.

Menurut al-Attas, manusia Barat itu adalah seperti pejalan haus yang pada pertama kalinya secara tulus mencari air pengetahuan, tetapi kemudian, karena mungkin menemukannya kurang menarik, lalu dia mulai mengeraskan cangkirnya dengan garam keraguan sehingga rasa hausnya menjadi tidak terpuaskan meskipun dia minum secara berkelanjutan. Dengan demikian air tersebut tidak dapat menghilangkan hausnya dan dia pun telah lupa tujuan asal dan sejatinya untuk apa air itu dicari.

Manusia Barat akhirnya beranggapan bahwa mencari kebenaran itu lebih penting daripada menemukan kebenaran itu sendiri. Mereka akan senantiasa ‘menjadi’ (becoming) tetapi tidak pernah ‘jadi’.

Sifat-sifat asasi Peradaban Barat tersebut yakni pengagungan yang berlebihan kepada akal (rasio), keabsahan terhadap visi dualistik terhadap realitas dan kebenaran, pandangan-alam sekular, dan faham humanisme menjadi elemen penyusun Pandangan-Alam (Worldview) Barat. Peradaban Barat juga telah mengucilkan metafisika tempat teologi bersemayam; dalam bidang Epistemologi, Barat telah menolak wahyu sembari mengangkat tinggi-tinggi akal sebagai sumber ilmu pengetahuan; sedangkan dalam hal aksiologi, tujuan ilmu pengetahuan sendiri jadi tidak jelas. Akhirnya, kita harus memandang bahwa Barat bukan sekadar arah mata angin atau sebuah entitas politik, akan tetapi lebih dari itu, Barat adalah sebuah Pandangan-Alam.

Rujukan:
Al-Attas, Syed M. Naquib. 2011. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN
Al-Attas, Syed M. Naquib. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI
Saefuddin, A.M. 2010. Islamisasi Sains dan Kampus. Jakarta: PT PPA Consultants
Rinaldi, Yogi T. 2014. “Kosmologi Dalam Pandangan Hamzah Fansuri”. Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. (Skripsi)
Materi Kajian Pekanan DISC, “Tragedi Barat: Sebuah Kandungan Penting dari Imperialisme Baru” oleh Khayrurrijal Abdul Halim.