https://tirto.id/indonesia-tak-cakap-berhitung-karena-matematika-dianggap-sulap-dacn
Hasil Indonesian National Assessment Program (INAP) yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperlihatkan sebagian besar siswa kelas 4 Sekolah Dasar (SD) di Indonesia kurang cakap dalam literasi matematika. Hanya 2,29 persen siswa yang masuk kategori baik, sementara 20,58 lainnya masuk kategori cukup. Sedangkan siswa yang kurang cakap dalam literasi matematika mencakup 77,13 persen.
Tidak hanya yang duduk di bangku SD saja, pun orang Indonesia berusia lebih dewasa kurang cakap dalam berhitung.
Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang digelar Rand Corporation pada 2000, 2007, dan 2014 salah satunya mengukur kecakapan berhitung dasar orang Indonesia usia 7-28 tahun. IFLS menyuguhkan dua bentuk tes: Tes A untuk responden berusia 7-14 tahun dan Tes B untuk responden berumur lebih dari 15 tahun. Di masing-masing tes itu, sesuai dengan usianya, responden diminta menjawab soal matematika sederhana kelas 1 SD, misalnya berapa 49-23?, hingga 5 SD, misalnya berapa bunga 5 persen dari Rp75.000?.
Hasilnya, tidak semua responden di suatu rentang umur tertentu menjawab semua soal perhitungan secara benar. Selain itu, persentase responden yang menjawab tes secara benar di usia anak sekolah tidak berbeda jauh dengan responden yang lebih dewasa.
Untuk soal “Berapa 49 dikurangi 23?”, yang memiliki persentase terbanyak menjawab dengan benar ialah responden berusia 15 tahun, yakni sebanyak 82,7 persen. Sedangkan persentase responden berusia 28 tahun yang menjawab pertanyaan itu dengan benar tidak sampai 80 persen.
“Dari kelas 1 sampai kelas 12 itu penambahan kemampuan bermatematikanya sangat kecil atau cenderung datar. Pergi ke sekolah tidak berarti anak itu belajar. Itu temuan masalahnya,” ujar Niken Rarasati, peneliti bidang pendidikan di SMERU Research Institute, kepada Tirto usai deklarasi.
Di sisi lain, pendeklarasian Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika menandakan orang yang peduli dengan pendidikan, terutama matematika, di Indonesia tidaklah sedikit. Dalam acara yang diselenggarakan di Gedung Perpustakaan Lama Universitas Indonesia (UI) itu, para guru, peneliti, dan pemerhati pendidikan berkumpul membicarakan cara pengajaran yang mampu mengentaskan buta matematika.
Matematika Bukan Sulap
Dalam Proofs and Refutations (1976), Imre Lakatos menjelaskan metodologi Euclidean (Euclid adalah filsuf Yunani Kuno perintis matematika geometri) mengarahkan Matematika untuk disajikan melalui cara-cara baku, yang disebut Lakatos sebagai gaya deduktif.
“Gaya ini dimulai dengan daftar aksioma, lemma dan/atau definisi yang susah. Aksioma dan definisi sering terlihat artifisial dan membingungkan. Seseorang tidak pernah diberitahu bagaimana rincian itu muncul. Setelah daftar aksioma dan definisi, muncul teorema yang ditulis dengan hati-hati. Begitu beratnya kondisi itu; tampaknya tidak mungkin ada orang yang pernah mereka-reka. Kemudian, teorema diikuti buktinya (proof),” sebut Lakatos.
Alhasil, matematika laiknya sulap. Siswa wajib menerima pengajaran tanpa diberikan kesempatan berdialog mengenai asumsi yang mendasari penjelasannya. Gaya deduktif menyembunyikan petualangan. Seluruh cerita di balik formula pun lenyap.
Namun, Brian Hudson, Sheila Henderson, dan Alison Hudson menuliskan dalam “Developing Mathematical Thinking in the Primary Classroom: Liberating Students and Teachers as Learners of Mathematics” (2014) bahwa pendekatan deduktivis yang mendominasi pengajaran matematika memang bermasalah. Namun, mereka mengutarakan masalahnya tidak sesederhana itu. Hudson dan kawan-kawan juga menyatakan transposisi didaktik juga menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Konsep transposisi didaktik berhubungan dengan konteks sosial. Ia menekankan matematika bukan sekumpulan pengetahuan untuk bertindak dan menyelesaikan masalah di lingkungan di mana ia diciptakan atau digunakan. Tetapi, ia merupakan pengetahuan untuk diajarkan dan dipelajari.
Transposisi didaktik ada untuk mengakui bahwa keberadaan patahan (rupture) antara kehidupan sehari-hari dan sekolah. Menurut Hudson dan kawan-kawan, patahan ini dapat mengarah kepada degradasi kualitas epistemik suatu ilmu ketika ia diajarkan di sekolah.
Kualitas epistemik meninggi terjadi kala matematika disajikan sebagai sesuatu yang labil, tidak pasti, dan dapat dibantah. Kualitas ini mendorong pelajarnya berpikir kritis, bernalar. Sedangkan kualitas epistemik menurun dicirikan Matematika yang disajikan secara otoritatif, dogmatis, mutlak, atau tidak bisa dibantah. Melalui kualitas ini, para pelajar didorong untuk mengikuti prosedur dan membatasi diri di antara dua jawaban: benar atau salah.
Peneliti pendidikan Guy Brosseau menjelaskan bahwa melalui transposisi didaktik, guru harus mampu membuat matematika mengikuti selera dan konteks para pelajarnya. Padro Palhares menuliskan dalam “Mathematics Education and Ethnomathematics. A Connection in Need of Reinforcement” (2012) bahwa etnomatematika dapat membantuk kontekstualisasi dan, bahkan, membuat matematika lebih manusiawi untuk dipelajari.
Usaha untuk mendekatkan antara siswa dan matematika dengan menggunakan etnomatematika pun sudah banyak dikaji para peneliti pendidikan di Indonesia.
Muhammad Suhadak menguji penggunaan buah pinang untuk pembelajaran aritmatika siswa SMP Negeri 3 Biak, Papua. Pinang adalah buah yang digunakan sehari-hari dan mudah ditemui di Papua. Menurut riset Suhadak terhadap 40 siswa yang kemudian ia publikasikan dalam “Keefektifan Penggunaan Media Berbasis Budaya Papua Dalam Pembelajaran Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Ditinjau dari Prestasi” (2016), rata-rata skor siswa sebesar 77,36 dalam skala 100. Menurut Suhadak, cara ini efektif.
Jelas, ruang kelas bukan arena pertunjukan yang hanya membuat siswa seolah menjadi penonton, sementara guru menjadi pesulap dan matematika adalah sihirnya.