Bagaimana Paatje mendidik saya

Islam Salim

Tulisan ini dibuat Papa sebagai ganti dari kehadirannya sebagai pembicara tamu pada kuliahnya Miranda: Psikologi Pendidikan dan Keluarga kelas Ekstensi.
Waktu Evita menyampaikan bahwa Miranda meminta saya untuk menceriterakan pada kelasnya bagaimana saya dididik dulu, saya selalu mengatakan bahwa sulit bagi saya untuk melakukannya.

Mengapa sulit? Sulit untuk saya menjelaskan bagaimana pendidikan yang saya alami karena pendidikan berlangsung sangat alami sehingga rasanya tiba-tiba saja saya tahu, tanpa sadar bagaimana saya sampai tahu. Oleh karena itu rasanya lebih baik saya ceritakan saja bagaimana pengalaman masa kecil dan remaja saya sebagai anak dalam keluarga Haji Agus Salim.

Ayah saya, Agus Salim, biasa kami (anak-anak dan muridnya) panggil dengan panggilan kesayangan ‘Paatje’. Begitu mendapat anak pertama, beliau memutuskan untuk mendidik anak-anaknya sendiri. Bukan karena anti pada pendidikan formal secara umum, namun secara khusus beliau berkeberatan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah kolonial dalam negeri. Alasan utamanya adalah karena bagaimanapun juga, pemerintah kolonial cenderung untuk menekankan superioritas barat pada siswa-siswanya.

Oleh karena itu sekalipun kami tidak bersekolah di sekolah kolonial dalam negeri, Paatje tidak berkeberatan kami mengikuti Dalmijers Kursussen (semacam kursus jarak jauh) dari Negeri Belanda sebagai alat pembantu belajar, maupun belajar dari buku-buku pelajaran berbahasa Belanda.

Bagi saya Paatje adalah kepala sekolah saya, karena guru-guru atau dosen-dosen saya tidak hanya beliau saja melainkan juga Maatje, buku-buku, mahasiswa-mahasiswa yang sering datang untuk berbicara dengan Paatje, maupun tokoh-tokoh politik yang kelak sering muncul dalam buku sejarah atau di koran.

Pendeknya kami dibesarkan dalam stimulasi pendidikan yang sangat kaya, karena orangtua kami tidak pernah melarang kami untuk ikut menikmati diskusi atau debat dari para tamu yang selalu meramaikan rumah kami. Kami bertanya apa saja dan kapan saja kepada mereka, terutama pada Paatje dan Maatje, dan juga bisa mengungkapkan pendapat kami mengenai berbagai hal, termasuk apa yang didiskusikan itu.

Mungkin karena sikap Paatje dan Maatje yang selalu menanggapi pertanyaan dan pendapat kami dengan serius, maka saudara-saudara sesama anak dan para mahasiswa dan tamu-tamu lainnya pun menanggapi kami secara serius pula. Kami tidak pernah diperlakukan sebagai anak bawang. Dari sikap ini kami juga belajar untuk menghargai setiap pendapat, siapa pun yang mengajukannya.

Paatje sangat yakin bahwa manusia harus terus belajar dan mengembangkan dirinya. Ini adalah keharusan yang datang bersamaan dengan karunia besar yang diterima manusia sebagai spesies tertinggi; kemampuan berpikir. Oleh karena itu, beliau mengharapkan kami bisa menjadi individu yang mandiri dalam belajar, dan selalu berusaha membantu kami mewujudkannya.

Beliau mendidik kami dengan metode Montessori. Metode yang mendorong anak untuk mengatur dan bertanggungjawab atas pengembangan dirinya sendiri. Oleh karena itu sejak kecil kami tahu bahwa kamilah yang akan menentukan seberapa luas pengetahuan kami.

Kami belajar sesuai dengan minat kami, yang tentunya juga dirangsang oleh Paatje dan Maatje. Karena itu belajar selalu menyenangkan karena memuaskan rasa ingin tahu kami mengenai apa yang kami minati.

Paatje dan Maatje selalu yakin akan kemampuan anak-anaknya, sehingga kami pun menjadi yakin bahwa kami bisa. Yang penting mau. Dan pengetahuan yang kami miliki, sekecil apapun selalu dihargai sehingga terasa berarti bagi kami.

Baiklah saya mulai dengan pelajaran dasar kami. Kami belajar bahasa secara otomatis. Paatje dan Maatje biasa menggunakan bahasa Belanda (yang umum digunakan pada saat itu), bahasa Inggris, dan tentunya bahasa Indonesia serta lain-lainnya. Mereka juga biasa berbicara dengan kami dalam aneka bahasa itu. Mungkin itu pula sebabnya begitu kami bisa bicara, kami langsung berbicara dalam berbagai bahasa tersebut dengan lancar.

Alasan orangtua kami memperkenalkan kami pada macam-macam bahasa adalah karena beliau mengharapkan kami bisa belajar dari berbagai sumber, dan buku-buku berbahasa Indonesia pada saat itu masih sangat langka. Belajar dari praktik dan membaca buku berbahasa tersebut membuat belajar bahasa terasa alami. Kami bisa karena biasa, dan dari biasa, kami menangkap kaedah bahasa tersebut secara gramatikanya. Pelajaran bahasa juga kami pelajari melalui lagu-lagu. Dari lagu-lagu, perasaan bahasa (feeling) dapat dengan mudah ditangkap, disamping itu lafaz dan gramatikanya sekaligus terajari.

Belajar bahasa melalui lagu juga memiliki manfaat tambahan, kita sekaligus mempelajari budaya-budaya dari bangsa-bangsa yang bersangkutan. Jadi dengan demikian kita belajar mengenai masyarakat bangsa Inggris maupun Belanda, manusia-manusianya, kelemahan-kelemahannya, kekuatan-kekuatannya, maupun berbagai lapisan masyarakatnya. Ada lagu yang bercerita mengenai keluarga Belanda yang miskin, yang anaknya bercelana bolong sedangkan ibunya yang janda tak mampu membelikan celana baru.

“Daar was eens een haveloos ventje,
die vroeg aan zijn moeder een broek,
maar moeder had geen enkel centje,
en vader was weken lang zoek”

atau lagu yang menceriterakan bagaimana harapan seorang ayah akan masa depan anaknya;
“Jongetje klein, jongetje mijn.
lieveling ga nou maar slapen,
slumer maar zacht, mijn hartedijn,
altijd zal jij onzen oog appel zijn”

Dari lagu-lagu ini kami belajar untuk berempati dengan bangsa-bangsanya, dan sadar bahwa bukan bangsa Belanda yang perlu dimusuhi, melainkan pemerintah kolonialnya.

Di samping lagu-lagu, sajak-sajak pun banyak membantu kami belajar bahasa. Misalnya sajak-sajak karya pujangga-pujangga Inggris maupun lainnya yang berbahasa Inggris seperti Rabindranath Tagore dengan karya-karyanya yang luar biasa, serta Rudyard Kipling dengan Law of the jungle-nya, yang mengingatkan kita akan betapa pentingnya hukum bagi kehidupan bermasyarakat.

Demikian pula Paatje membiarkan kami berkhayal dalam keluh kesah Hamlet:

“To be or not to be, that is the question,
whether ‘t is nobler in the mind to suffer,
the sling and arrows of outrageous fortune,
or to take arms against the sea of troubles,
and by opposing end them ……”

Juga Paatje tidak melarang kami bermain-main dengan cerita konyol, seperti umpatan panjang dalam bahasa Belanda dari Pietje Bel yang berbunyi:

“Wel jou driedubbel overgehaalde kwartjes fonograaf, als je denkt jou ongepatente spreekbuis zo wijd tegen mij te kunnen open zetten ik jou een knal op je eet salon verkopen dat je de rest van je leven nodig hebben, om jou huis arts af te betalen”

Yang pertama-tama mengajarkan kami membaca adalah Maatje, dan untuk anak yang sudah berada pada urut-urutan tengah dan akhir tentu saja juga dari meniru saudaranya belajar membaca, maupun secara sengaja diajarkan oleh kakak atau adik yang sudah lebih dahulu bisa membaca. Waktunya? Tergantung kesiapan sang anak. Rata-rata kami telah bisa membaca usia 4 atau 5 tahun. Namun ada kakak saya yang termasuk sangat pandai, Yoyet atau Violetta Hanifah, baru bisa baca terlambat dalam ukuran kami, karena memang belum timbul minatnya (beliau sangat aktif dan periang), ya tidak apa-apa. Karena begitu bisa membaca beliau langsung menyusul yang lain dengan kecepatan tinggi.

Begitu bisa lancar membaca, dunia serasa makin luas. Bahan bacaan sangat banyak di rumah, terutama karena kami boleh membaca semua yang ada. Oleh karena itu mungkin pola bacaan kami memang acak. Sejak masih sangat muda kami sudah membaca beraneka buku seperti Mahabarata, karya-karya Shakespeare, filsuf-filsuf besar seperti Nietzsche, maupun buku cerita anak-anak seperti Pietje Bel, Tom Poes, H.C. Andersen sprookjes en vertellingen dan sebagainya sesuai dengan minat kami masing-masing.
Minat saya sendiri adalah buku-buku petualangan seperti kisah Old Shatterhand dan Winnetou, Tarzan, King Arthur and his Knights, Pietje Bel, Billetje en Boenstaak, serta buku-buku klasik seperti The Tales of Two Cities. Pendeknya kami bebas memilih buku bacaan kami mulai dari yang bagus sampai yang umumnya kurang terpuji, selama kami merasa nyaman membacanya dihadapan Paatje dan Maatje.

Yang menyenangkan dari kemampuan membaca adalah kami bisa tahu banyak hal dan bisa belajar sendiri. Setelah itu biasanya kami saling menceriterakan apa yang kami baca, ini memancing pada diskusi yang mengasyikkan dengan siapa saja yang ada dan yang berminat. Melalui cara ini kami bisa dapat ide bacaan yang merupakan PR kami selanjutnya, karena biasanya kami semua jadi berminat juga membaca buku yang diceriterakan tersebut. Salah satu cara Paatje mendorong kami mempelajari buku adalah dengan cara menceriterakan dengan seru apa yang dibacanya, dan bila kami sudah tampak berminat, beliau mempersilakan kami untuk mempelajarinya sendiri, tentu saja kami boleh bertanya padanya apabila ada yang tidak kami mengerti. Kemudian kami diskusikan pendapat kami mengenai bacaan tersebut.

Acara membaca dan mendiskusikan apa yang kami baca mendorong kami untuk berusaha memahami isi bacaan dan secara tidak langsung mengasah kemampuan kami untuk berpikir, logika berpikir maupun kemampuan berargumentasi. kami berusaha untuk menyimpulkan pelajaran apa yang kami peroleh dari bahan bacaan tersebut. Kemampuan membaca ini pula yang membawa kami pada berbagai kemampuan lainnya serta meluaskan wawasan kami.

Pelajaran matematika pun kami pelajari kurang lebih seperti kami belajar membaca, dan pengetahuan umum lainnya. Guru-guru favorit saya adalah Egmont Colerus yang mengajarkan saya melalui bukunya Van Punt nar Vierde Demensie dan Van 1 x 1 naar integraal. Ilmu Fisika dan Kimia saya pelajari dari buku Van Bernsteen nar Kermemahncchemie ini karya Dr. K.K. Darrow. Semua buku-buku yang sangat mengasyikkan ini bisa saya temukan dalam perpustakaan Paatje.

Paatje memahami apa yang tidak kami dapatkan dengan tidak mengikuti pendidikan formal; teman-teman sebaya! Teman kami umumnya adalah teman-teman Paatje dan Maatje. Oleh karena itu kami diikutkan pada kegiatan kepanduan. Bertemu anak-anak lain juga bisa membantu kami untuk mengukur kemampuan kami dan mendapat masukan mengenai apa yang bisa kami pelajari lagi. Di samping asyiknya kegiatan fisik anak-anak laki seusia kami tentunya. Kami juga menjadi anggota Jong Islamiten Bond, sebuah perkumpulan pemuda-pemudi Islam.

Satu hal lagi yang saya ingat, Paatje, sesuai dengan metode Montessori yang digunakannya, membebaskan kami dalam belajar dan mengembangkan diri. Tidak pernah ada paksaan atau larangan dari Paatje, namun kami diajarkan untuk berpikir sebaik-baiknya sebelum mengambil keputusan.

Suatu senja saya mendekati Paatje, yang sedang mengarang di ruang kerjanya, dengan permintaan apa Paatje punya dua tiga buku yang dapat menuntun saya ke dalam ilmu ghaib. Paatje pun berhenti menulis dan bangun serta mendekati lemari-lemari bukunya dan mengeluarkan dua tiga buku itu. Tapi Paatje tidak langsung memberikannya kepada saya, melainkan meletakkannya di pojok meja tulisnya. Dia pun bertanya pada saya apakah saya tahu dua tiga kyai terkenal yang dia sebutkan namanya. Ketika saya mengaku tahu siapa yang disebutkannya itu, Paatje pun bertanya apa kesan saya mengenai tiga kyai tersebut. Saya terus terang menyatakannya bahwa saya rasa mereka adalah orang-orang yang kurang berbudaya. Paatje pun berkata; mereka adalah ahli-ahli ilmu ghaib yang terkemuka. Adapun kekurangan mereka di luar bidang ilmu ghaib adalah disebabkan karena seluruh tenaga mereka terkuras dalam mengumpulkan dan memelihara keahlian ghaib mereka. Jangankan untuk mempelajari bidang lain. nafsu belajar sekali pun tidak ada lagi. “Renungkanlah malam ini, kalau besok masih tetap ingin mengkaji buku-buku ini, ambillah.” Keesokan harinya saya kembalikan buku-buku itu pada Paatje sambil berkata: “Saya belum siap untuk buku-buku itu.”

Seingat saya Paatje tidak pernah menentukan apa kami yang laki-laki akan disunat seperti layaknya orang-orang muslim, dan kapan kami mau melakukannya. Semua terserah kami. Bahkan Paatje tidak pernah memaksa kami untuk memeluk agama Islam. Kami dipersilakan mempelajari berbagai agama, tetapi kami mendapatkan pelajaran Islam seperti kami mendapat pelajaran bahasa dan membaca, secara alami. Dan disini guru agama Islam kami adalah yang menurut kami guru terbaik: Haji Agus Salim dan ibu kami; Zainatun Nahar Salim.

Jadi bisa disimpulkan dari tulisan singkat ini adalah sebagai berikut.
• Saya belajar dengan gairah ingin mengetahui sesuatu, baik yang secara otomatis merupakan minat saya maupun yang dipancing oleh lingkungan sehingga muncul minat saya.
• Saya belajar bahwa banyak sekali yang bisa dan harus kita pelajari dalam alam semesta.
• Saya belajar dari siapa saja dan apa saja karena saya belajar bahwa segala sesuatu bisa jadi sumber belajar, asal kita mau.
• Saya belajar bahwa sayalah yang bertanggung jawab atas pengembangan pengetahuan saya, tapi cukup rileks bahwa orangtua saya dan semua yang ada di sekitar saya akan membantu bilamana dibutuhkan.
• Dan tentu saja belajar itu penting dan mengasyikan!