Pendidikan Tanpa Mendidik

Oleh: Yudi Latif
Kompas, 4 Agustus 2016

Dunia pendidikan kita sudah melenceng jauh dari orbit hakikat pendidikan sesungguhnya. Menteri silih berganti, namun pusat perhatiannya sama: administrasi pendidikan (anggaran, bantuan operasional sekolah, rancang bangun kurikulum, standar formal kompetensi guru, ujian nasional dan sejenisnya).

Esensi pendidikan nyaris tak tersentuh. Paling jauh, yang dikembangkan dalam sistem persekolahan kita hanyalah “pengajaran” (onderwijs), yakni pemberian materi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan. Mata pelajaran sarat muatan kognitif. Sukses pendidikan diukur oleh pencapaian anak dalam bidang penalaran seperti itu, seperti tercermin dalam muatan ujian nasional. Tak heran, banyak orang tua menambah jam pelajaran anaknya dengan mengikuti bargai kursus dalam/luar sekolah.

Bias pengajaran membuat dunia pendidikan pada umumnya mengabaikan tugas mendidik: memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Suhu pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara, mengingatkan bahwa “pendidikan”(opvoeding) merupakan sesuatu yang lebih luas dan esensial daripada pengajaran. Pendidikan bermaksud “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anakitu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-setingginya”.

Singkat kata, pendidikan adalah proses belajar menjadi manusia seutuhnya dengan mempelajari dan mengembangkan kehidupan sepanjang hidup, yang diperantarai sekaligus membentuk kebudayaan. Dalam proses belajar memanusia dan membudaya itu, tugas guru bukanlah memaksakan sesuatu pada anak, melainkan menuntun mengeluarkan potensi-potensi bawaan anak agar bertumbuh.

Darisitulah muncul istilah education (Latin: educare; ex-ducare) yang berarti mengeluarkan dan menuntun, dalam arti mengaktifkan kekuatan terpendam bawaan sang anak.

Apa yang harus diaktifkan adalah budi-pekerti. Budi mengandung arti “pikiran, perasaan dan kemauan”; pekerti artinya “tenaga”. Alhasil, pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat malahirkan penciptaan dan perbuatan yangbaik, benar dan indah.

Dengan pengembangan “budi-pekerti” anak didik diharapkan berdiri sebagai manusia merdeka. Kemerdekaan yang harus ditumbuhkan dalam pendidikan mengandung tiga sifat: berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain dan dapat mengatur diri sendiri. Itu sebabnya mengapa di banyak negara, orang tua dilarang mengantar anaknya ke sekolah.

Sampai di sini, tampak jelas betapa terbelakangnya dunia pendidikan kita. Keterbelakangan sesungguhnya bukanlah ketika dibandingkan dengan pencapaian bangsa-banga lain; karena setiap bangsa punya sejarah, tantangan dan ukuran nilainya masing-masing; melainkan keterbelakangan dari hakikat pendidikan yang dikehendaki.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia berkebudayaan yang merdeka itu berorientasi ganda: memahami diri sendiri dan memahami lingkungannya. Kedalam, pendidikan harus memberi wahana kepada peserta didik untuk mengenali siapa dirinya sebagai “perwujudan khusus” dari alam. Proses pendidikan harus membantu peserta didik menemukenali kekhasan potensi dirinya sekaligus kemampuan untuk menempatkan keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagad besar.

Ahli-ahli pendidikan berhaluan merdeka, mulai dari Maria Montessori, Helen Parkhurst, Rabindranath Tagore, Ki Hadjar Dewantara hingga Paulo Freire mengingatkan fungsi pendidikan sebagai usaha mencerdaskan jiwa kanak-kanak menurut kodratnya masing-masing. Seturut dengan itu, kerja mendidik bukanlah mengajar, melainkan menuntun.

Karena potensi anak berbeda-beda, maka proses pendidikan jangan sampai menghilangkan kodrat individualitas seseorang karena terdidik bersama-sama yang lain. Harus lebih banyak ruang untuk menuntun anak secara individual, jangan hanya berbarengan secara klasikal.

Sedangkan keluar, pendidikan harus memberi wahana kepada anak didik untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem prilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Bibit unggul individualitas harus tumbuh di atas tanah sosialitas Pancasila yang subur. Maka dari itu, pengembangan “kecerdasan kewargaan” berbasis Pancasila bukan sekadar ornamen, melainkan substansi penting pembelajaran. Itu sebabnya, muatan ujian nasional yang dirumuskan kementerian semestinya (pun secara historis) lebih menekankan subjek-subjek yang dapat memperkuat integrasi nasional dan karakter bangsa, seperti sejarah, geografi, bahasa, dan ideologi bangsa. Adapun bahan uji bagi mata pelajaran lainnnya bisa dirumuskan oleh asosiasi-asosiasi pengajar dalam mata pelajaran yang sama.

Prioritaskan Pendidikan Dasar

Ibarat pohon, akar merupakan titik tumpu ketahanan bertumbuh. Demikian juga halnya dalam proses tumbuh hidupnya manusia. Solusi atas keterbelakangan hasil pendidikan kita harus dimulai dengan memperkuat pendidikan dasar. Sesuai dengan namanya, pendidikan dasar harus benar-benar memberikan modal dasar dalam proses belajar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan sebagai proses kebudayaan menghendaki agar proses belajar-mengajar tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan kognitif, melainkan juga kemampuan afektif dan konatif.

Pertama-tama, kurikulum pendidikan dasar harus memberi perhatian pada olah pikir lewat pembelajaran membaca, menghitung, menutur, mendengar, menulis, dan meneliti dalam kerangka budi pekerti. Pelajaran membaca lebih dari sekadar belajar melek-huruf, atau sekadar membaca buku pelajaran yang diwajibkan. Pelajaran membaca harus menjadi kecapakan fungsional yang dibiasakan (reading habit) sejak pendidikan dasar. Kecakapan dan kebiasaan membaca sejak dini akan memudahkan anak-anak untuk menjelajahi dunia ilmu pengetahuan melampaui batas-batas pelajaran sekolah.

Budaya baca kian penting dihadapkan pada perluasan terpaan media digital dengan muatan pesan yang serba ringkas dan instan. Tanpa tradisi membaca yang kuat akan sulit bagi generasi baru untuk memahami dan mengembangkan penalaran panjang seperti pengetahuan-pengetahuan naratif (filsafat, ideologi, sejarah, agama, sastra dan lain-lain). Padahal, pengetahuan naratif merupakan sumber penemuan diri dan pembentukan karakter.

Oleh karena itu, paling tidak satu hari dalam seminggu, harus disediakan wahana bagi anak-anak untuk membaca atas pilihannya sendiri. Sekolah hanya menyediakan bahan-bahan bacaan yang sejalan dengan misi pendidikan budi-pekerti. Setelah membaca, anak-anak juga harus dilatih untuk menuturkan apa yang mereka tangkap dari bahan bacaan. Latihan menutur bukan sekadar membantu mengingat, tetapi juga melatih kepercayaan diri, serta pembiasaan saling mendengar dan saling mengapresiasi sesama peserta didik.

Selain membaca, siswa harus diberikan kecapakan menghitung. Pada enam tahun pertama pendidikan dasar, tidak perlu diberikan pelajaran matematika yang rumit. Negara, seperti Finlandia, dengan prestasi pendidikan yang hebat pun mulai menghilangkan pelajaran matematika di sekolah dasar. Pada tingkat ini, cukuplah diberikan pelajaran aritmatik sederhana sebagi dasar kecapakan hidup, yang diterapkan langsung dalam praktik kehidupan. Pelajaran matematika bolehlah mulai diperkenalkan pada kelas tujuh.

Pelajaran membaca berkelindan dengan pelajaran menulis. Pelajaran menulis tidak sekadar diletakkan di pojok mata pelajaran bahasa, melainkan subjek tersendiri yang terintegrasi dengan seluruh mata pelajaran. Kecakapan menulis merupakan bekal dasar bagi asah kemampuan logika, sistematika, meneliti dan mencipta. Tak heran, saat Amerika Serikat menyadari penurunan daya saing, solusi kurikulumnya justrume wajibkan pelajaran mengarang di tingkat pendidikan dasar dan menengah (Godzich, 1994).

Menumbuhkan hasrat menulis pada gilirannya akan mendorong semangat meneliti, baik lewat membaca ayat-ayat kitabiyah (buku), ayat-ayat kauniyah (alam semesta),ayat-aya tarikhiyah (sejarah), dan ayat-ayat nafsiyah (diri sendiri). Di situlah, anak terdidik agar kelebihan dirinya tidak menimbulkan kacau-kaos, melainkan beres-kosmos bagi kehidupan semesta.

Kedua, kurikulum pendidikan dasar harus menyediakan peserta didik suatu wahana olah rasa untuk mengasah daya-daya afeksi yang dapat memperkuat kepekaan estetik, kehalusan perasaan, keindahan perangai, kepekaan empati dansolidaritas sosial, sensitivitas daya spiritualitas, ketajaman rasa keadilan, semangat kebangsaan (nasionalisme) dan gotong-royong.

Untuk itu, kurikulum pendidikan hendaklah memberi perhatian pada pelajaran kesenian, moral keagamaan, kesejarahan, pendidikan karakter personal dan kewargaan, wawasan kebangsaandan kemanusiaan.

Ketiga, kurikulum pendidikan juga harus memberi wahana olah raga untuk mengembankan ketahanan, ketangkasan dan kesehatan jasmani, yang diperlukan sebagai sarana fisik untuk mengaktualisasikan segala pontensi budi-pekerti anak.

Tak kurang dari filsuf pendidikan seperti Socrates dan Plato jauh-jauh hari telah menekankan pentingnya pendidikan gimnastik (olah tubuh/fisik). Olah raga selain menawarkan kesederhanaan dalam menghasilkan hidup sehat, juga dapat mengembangkan sportivitas, keriangan permainan, ketahanan mental, keberanian mengambil risiko, semangat kerjasama dan jiwa patriotisme.

Keempat, kurikulum pendidikan harus menumbuhkan olah karsa yang dapat mendorong kemauan peserta didik untuk mengembangkan kecakapan hidup dengan mengenali dan mengaktualisasikan potensi kecerdasannya masing-masing.

Orientasi pada pemuliaan ragam inteligensia menuntut perubahan sistempembelajaran dari “sekolah berorientasi kelas” menuju ”sekolah berorientasi individu”. Kurikulum inti dibuat lebih terbatas untuk memberi keleluasaan bagi siswa untuk mengambil subjek pilihan sesuai dengan minat dan bakatnya.

Konsekuennya fungsi guru bukan sekadar mengajar, melainkan sebagai penuntununtuk memantau potensi dan kecenderungan masing-masing siswa; berperan sebagai broker kurikulum yang membantu siswa mengembangkan potensi dan preferensinya; sekaligus menjadi broker yang menghubungkan siswa dengan
komunitas yang lebih luas.

Minat dan bakat siswa harus bisa dihubungkan dengan berbagai cerlang budaya dan pusat teladan di lingkungan negara, pasar dan masyarakat. Untuk itu, kerangka insentif perlu diberikan oleh pemerintah danmasyarakat kepada orang/institusi yang menyediakan kesempatan belajar luar sekolah.

Alhasil, sekolah di masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan danotonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif untuk mentransformasikan pribadi unggul menjadi kolektivitas unggul, dengan menempatkan kreativitas dan karakter di jantung kurikulum.

Pembenahan Guru

Untuk dapat mengemban tugas pendidikan seperti itu, guru juga harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalamproses pengajaran. Dalam kaitan ini, pengembangan kurikulum yang dikembangkan pemerintah tidak perlu terlalu kaku dan mendetil. Harus dihindari kecenderungan ganti menteri ganti kurikulum.

Sejalan dengan pasal 38 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003, yang dilakukan pemerintah cukuplah menggarikan “kerangka dasar dan struktur kurikulum”. Selebihnya, berikan kebebasan kepada guru untuk berimprovisasi. Pendidikan sebagai proses pemerdekaan tidak bisa dicapai, bila gurunya sendiri terbelenggu.

Pada titik ini, prioritas selanjutnya adalah peningkatan mutu guru. Seorang juru didik memerlukan kecakapan yang lebih baik dari juru ukir. Jika seorang pengukir kayu saja wajib mempunyai pengetahuan yang mendalam dan luas tentang hakekat kayu dan teknik ukir, apa lagi juru didik yang diharapkan mampu mengukir manusia secara lahir dan batin.

Sungguh ironis, rekrutmen tenaga pendidik saat ini lebih mementingkan aspek-aspek formal ijazah dan tingkat pendidikan, dengan melupakan kompetensi didaktik-metodiknya.

Sudah saatnya pesan Undang-Undang Sisdiknas mengenai perlunya sekolah guru berasrama segera diwujudkan. Tak cukup bekal kesarjanaan di berbagai disiplin ilmu, para calon pendidik masih harus mendapatkan proses penggemblengan dalam kecapakan ilmu pendidikan setidaknya selama satu tahun.

Itulah peta jalan sederhana agar dunia pendidikan benar-benar menunaikan kerja mendidik tunas-tunas harapan bangsa demi keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama.

(Yudi Latif, Penghayat Ajaran Ki Hadjar Dewantara)

Advertisement

Pendidikan dan Kebudayaan

Daoed Joesoef ; Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 07 November 2014

SETELAH menanti selama sepekan penuh, the longest week that ever exist, Presiden Joko Widodo mengumumkan komposisi pemerintahannya. Setelah menyaksikan di layar televisi susunan Kabinet Kerja-nya, saya sangat kecewa.
Presiden cum pemimpin baru Indonesia betul-betul telah keliru memahami ”pendidikan” dan ”kebudayaan”, yang saya pikir bukan merupakan konsen saya saja, melainkan adalah masalah masa depan Indonesia selaku satu negara-bangsa.

Padahal, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Tanah Air tercatat jelas bahwa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang sewaktu masih dijajah berani mendirikan sekolah bersistem nasional berhadapan dengan sekolah kolonial Belanda. Sekolah nasional itu adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di Yogyakarta. Ada Indonesische Nijverheid School yang didirikan Moh Syafei di Kayu Tanam dan Normal School yang didirikan oleh Willem Iskander di Tano Bato.

Semua lembaga pendidikan nasional tersebut secara esensial membelajarkan aneka pengetahuan yang dikemas dalam budaya nasional dan bermental perjuangan kemerdekaan. Dengan kata lain, para pendiri bangsa itu sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian dari sistem nilai yang dihayati oleh manusia. Pendidikan bertugas mengembangkan manusia menjadi pencipta nilai dan pemberi makna pada nilai.

Satu menteri

Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memecah belah keutuhan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dibenarkan masih ”berbudaya” adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan sempalannya, pendidikan tinggi, digabung ke Kementerian Riset dan Teknologi, tanpa kebudayaan. Kebijakan ini sungguh merisaukan karena kekeliruan kecil bisa berakibat besar yang tak terelakkan, suatu bahaya fatal yang dahulu sudah diingatkan oleh Aristoteles.

Betapa tidak. Pendidikan adalah satu keseluruhan walaupun dibuat berjenjang, secara formal sejak TK hingga S-3. Pendidikan (education) beda dengan persekolahan (schooling). Persekolahan mengurus (memikirkan) semua bahan pelajaran yang diperlukan oleh anak didik untuk mampu survive dalam menempuh kehidupan. Pendidikan bertanggung jawab atas perkembangan keseluruhan pribadi anak—the development of the whole child. Maka, penting sekali bahwa pendidikan formal anak bangsa ditetapkan di bawah tanggung jawab satu orang menteri, siapa pun dia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tidak dikaitkan dengan kebudayaan. Lalu, bagaimana dengan ”nasib” Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Karawitan, serta Fakultas Seni Rupa dan Desain dari ITB, yang notabene membelajarkan teknologi? Bukankah semua lembaga pendidikan yang disebut tadi tergolong pada perguruan tinggi? Apakah akan dimatikan begitu saja? Kalau dibiarkan hidup, mereka ”berinduk” ke mana? Masak urusannya akan diserahkan begitu saja kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang masih ”berbudaya”.

Proses pendidikan tinggi di mana pun di dunia berusaha menghasilkan ”budayawan” (man of culture), bukan ”ilmuwan” (man of science), walaupun tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. Sebab, ilmu pengetahuan tanpa budaya bisa tergelincir ke teknologi (applied science) yang menghancurkan manusia itu sendiri. ”It is not the business of science to inherit the earth,” kata Prof Bronowski, ”but to inherit the moral imagination; because without that, man and belief and science will perish together.”

Sementara yang konsen pada moral dan moralitas adalah budaya, sebagai salah satu nilai yang terus-menerus menjadi urusannya para excellence. Dan, kita selaku satu bangsa diniscayakan mengembangkan kebudayaan demi bisa mencapai peradaban. Bukankah sila kedua dari Pancasila berbunyi: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Unsur yang membentuk peradaban adalah kebijakan, pengetahuan, dan keindahan.

Ini bukan berarti bahwa riset tidak perlu. Kita menghadapi masa depan dengan suatu senjata yang tidak dikenal oleh penguasa negeri puluhan tahun yang lalu. Senjata ini berupa pengetahuan ilmiah dan kapasitas menyempurnakannya tanpa batas melalui riset ilmiah pula. Sejauh yang mengenai Indonesia dewasa ini, hal ini dapat dilaksanakan di lingkungan satu lembaga formal, yaitu Kemendikbud.

Kementerian ini membawahi kegiatan pendidikan tinggi yang sudah mengurus pendidikan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kalau kegiatan penelitian ini perlu lebih diintensifkan dan, karena itu, dianggap perlu ada Kementerian Riset tersendiri, silakan saja. Namun, jangan merusak lembaga yang sudah berjalan. Kementerian Riset seharusnya memanfaatkan lembaga-lembaga riset yang sudah ada, yaitu LIPI, BPPT, bila perlu Bappenas. Sambil lalu perlu dipertanyakan apakah pemecahan Kemendikbud sudah dikonsultasikan lebih dahulu pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)?

Segera koreksi

Ide pemecahan Kemendikbud ini konon datang dari Forum Rektor Indonesia. Kalau hal ini benar, sungguh disayangkan. Ternyata para rektor ini tidak menyadari ide humanitarian yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini mereka pimpin. Mereka ternyata adalah ”guru” dan ”besar”, tetapi bukan pendidik in spite of kebesarannya itu. Mereka menganggap jabatannya semata-mata sebagai suatu profesi teknis, bukan vokasi (suatu panggilan nurani). Mereka sungguh tega mempermainkan pendidikan.

Maka, ada baiknya para rektor dan dekan membaca tulisan yang penuh dengan kearifan dari Prof Dr Tjipta Lesmana berjudul Jangan Pecah Kemendikbud. Selama 40 tahun dia memberi kuliah di beberapa universitas/perguruan tinggi dan pernah ikut riset di LPPM yang ketika itu dipimpin seorang teknikus picik. Berdasarkan pengalamannya itu, Tjipta Lesmana berpendapat, penggabungan perguruan tinggi ke riset dan teknologi mengandung dua kesalahan berpikir yang fatal.

Pertama, riset tidak mesti selalu diarahkan ke kebutuhan pasar dan industri. Keharusan riset seperti ini adalah pandangan Marxis yang serba materialistis dan kurang memandang manusia sebagai ”thinking thing”, sebagaimana dinyatakan oleh Descartes: cogito ergo sum, aku berpikir, maka aku ada.

Peradaban Barat amat mencerahkan bukan berkat penelitian materialistis, melainkan karena karya-karya besar dari ”the thinking thing”, berupa hasil penelitian sosial, terutama penelitian filosofi. Budaya Indonesia ”rusak” karena negara kita kekurangan ahli pikir. Sementara nenek moyang kita telah berpepatah, ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”.

Masih menurut Pak Tjipta, teknolog-pemimpin riset cenderung melupakan nama-nama besar, seperti John Lock, John Milton, Mintesquieu, Rousseau, James Madison, dan Paine Burke, apalagi trio filosof nomor wahid di zaman Yunani Kuno: Socrates, Plato, dan Aristoteles, mereka semua jadi besar namanya di manca dunia karena kehebatannya berpikir dan berfilosofi sepanjang hayatnya.

Kesalahan pemikiran fatal kedua dari penguasa Indonesia kini adalah memecah kesatuan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, dengan alasan yang sama seperti yang telah saya ajukan di atas.

Ada dikatakan bahwa pemecahan Kemendikbud setelah dilakukan perbandingan dengan keadaan pendidikan di luar negeri. Jangan sekali-kali membuat perbandingan dua kondisi yang tidak setara. Bandingkan kondisi kita dengan kondisi negeri maju ketika dahulu masih tertinggal seperti kita sekarang.

Di Perancis, misalnya, guru sekolah menengah (sudah) disebut professeur. Mereka adalah lulusan sekolah guru yang bernama Ecole Normale. Mereka sudah menjadi profesional begitu rupa hingga tanpa menteri atau kementerian apa pun di atasnya, proses pendidikan tetap berjalan sebagaimana seharusnya. Mereka inilah pelaksana sejati dari sistem pendidikan nasional bangsanya. Mereka sadar bahwa le gouvernement passe, les professeurs restent—pemerintah (boleh) silih berganti, tetapi para guru tetap di tempat. Di Indonesia belum terbentuk ketegasan profesionalisme di kalangan korps guru-guru kita. Mereka masih berupa pencari nafkah halal di bidang pendidikan.

Wahai Presiden dan Wakil Presiden, sebelum terlambat, masih ada kesempatan emas untuk mengoreksi kekeliruan kebijakan mumpung nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikanlah keutuhan Kemendikbud, jangan main-main dengan pendidikan dan kebudayaan. Pikirkan baik-baik. Nenek moyang kita telah berpepatah: ”pikir itu pelita hati, salah pikir binasa diri”. Sementara itu, kaum intelektual dan para orangtua murid yang terdidik hendaknya tidak bersikap indifferent. Masa depan anak-anak Anda yang menjadi taruhan dan para masa depan mereka tergantung dari masa depan Indonesia.