Indonesia Darurat Matematika!

Ahmad Rizali
Kompas, 24 Sep 2018

Entah apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dinas pendidikan provinsi dan kabupaten kota dalam menyikapi fakta rendahnya keterampilan berhitung warga sekolah yang dikelolanya, selain mengucurkan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang tahun ini berjumlah lebih dari Rp 71 triliun di APBN, yang tak berdampak berarti kepada kenaikan kompetensi guru (De Ree dkk, WB 2016).

Apalagi, ketika keterampilan itu dijadikan tolok ukur kesiapan menghadapi era abad ke-21 dan sebuah studi terbaru (Amanda dkk, CFEE Annual Digest 2018) yang menyatakan bahwa anak muda Indonesia akan siap menghadapi abad ke-21, ketika abad ke-31 menjelang, karena studi tersebut menghitung bahwa selama sekian tahun sejak masuk SD hingga lulus SMA sekolah hanya meningkatkan keterampilan menghitung atau aritmatika sederhana dari peserta didik sebanyak nol koma nol sekian persen.

Hasil studi makro tersebut sejalan dengan hasil ulangan di sebuah kelas di SMA di Kalimantan Tengah yang diunggah oleh seorang guru (Rukim, 2018) pada awal September 2018. Ketika hasil studi itu didiskusikan dengan koleganya di pulau dan kota lain, hasilnya tak jauh berbeda.

Kesimpulannya, meski duduk di kelas IPA, murid tak terampil menyelesaikan operasi sederhana “tambah, kurang, kali dan bagi” termasuk pengertian “peratus atau prosen”, perpuluhan dan pecahan. Padahal, sebuah operasi paling dasar dari aritmatika, seperti menyambung huruf membentuk kata dan kalimat “i-ni bu-di…” dalam konteks membaca dan menulis.

Satu catatan penting, yakni delapan tahun lalu, sudah diingatkan bahwa keadaan darurat buta matematika ini (Koran Tempo, 2008) dengan merujuk ke hasil uji PISA (Program for International Student Assesement) dan uji TIMSS (Trend for International Mathematic and Sciences Study) ketika peringkat siswa Indonesia kelas 2 SMP/MTs hanya selapis di atas Bostwana Afrika.

Ya, peringkat Indonesia nomor dua dari bawah! Sebuah kondisi buta total matematika, dan mereka diramalkan tak siap menghadapi abad ke-21.

Tulisan tersebut yang sudah pasti hanya sebuah peringatan kecil keadaan darurat, karena cukup banyak tulisan lain yang mengingatkan situasi serupa. Tapi, hal itu ternyata dianggap sepi oleh pemerintah yang menganggap semuanya baik-baik saja.

Gerakan transformasi eksponensial

Sikap “Complacency” yang menganggap sebuah persoalan darurat seperti angin lalu adalah sebuah pembiaran dan merupakan kejahatan publik berdosa besar. Persis seperti membiarkan seorang yang diketahui merokok sambil mengisi bensin atau membiarkan got lingkungan rumah tinggalnya penuh jentik nyamuk DBD.

Mirisnya, sulit berharap insiatif perbaikan tersebut datang dari pemerintah, apalagi jika mengikuti logika paper itu, bahwa baku mutu yang memenuhi syarat baru siap di abad ke-31.

Untuk itu, perubahan perbaikan keterampilan tersebut haruslah dimulai secara linier dengan sudut yang curam dan segera menjadi deret ukur atau eksponensial. Insiatif harus dimulai dari organisasi masyarakat sipil (civil society organisation) dan bersama sama membuat sebuah platform untuk berbagi peran.

Tidak sulit mengurainya, terutama jika kita mulai dengan menelaah beberapa Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan Standar Proses (SP) untuk Matpel Matematika SD hingga SMP.

Begitu sudah diketahui “bottle-neck” dari telaah itu, kita ajak relawan yang faham operasi aritmatika dasar, yang dengan metodenya bisa saling memeriksa keterampilan putra-putrinya mulai SD sampai SMP dan mencari persoalan yang menghambat serapan mereka atas mata pelajaran tersebut.

Karena disebut matematika dasar seharusnya itu tidak rumit, karena terjadi kasat mata dalam kehidupan keseharian kita. Belanja ke pasar atau minimarket, kredit motor, membeli bakso, membayar zakat, menghitung hutang harian ke bank pasar, bahkan berbagi warisan peninggalan orang tua, semua memerlukan keterampilan dasar berhitung.

Maka, mereka yang sudah lulus SMA, meskipun mungkin lupa, pasti akan mudah mengingat kembali, apalagi mereka yang lulus di bidang Rekayasa dan MIPA seharusnya masih terampil.

Gerakan ini sulit dan akan menjadi masif, bahkan terukur jika tak dirancang dengan baik. Untuk itu, setiap pemangku kepentingan harus dipetakan perannya, termasuk yang hanya mampu menyumbang uang, bukan keterampilan.

Uang sangat berarti, tapi sebuah gerakan lebih memerlukan semangat berbagi apa yang dimiliki dan tentu kesadaran kondisi darurat, baik dari si penerima manfaat (guru dan murid) atau pemangku kepentingan lain.

Hal tersulit dalam menggelindingkan gerakan ini menjadi bola salju adalah meyakinkan semua pemangku kepentingan, terutama orangtua murid (Sumintono, 2017) bahwa kondisi sudah darurat nasional, karena sikap “complacency” itu sangat sulit berubah, dan sama sulitnya meyakinkan akan adanya banjir bandang jika hutan di ketinggian tidak dijaga, kecuali langsung mengalami sendiri.

Tetapi, pertanyaannya, akankah kita menunggu datangnya abad ke-31 barulah di liang kubur kita berteriak, siapkah akhirnya cucu dan cicit kita menghadapi abad-21?

Advertisement

Sistem Zonasi untuk Eliminasi?

SISTEM ZONASI UNTUK ELIMINASI?

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 5 Ayat (1) menyatakan bahwa ” Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.” Dalam Pasal 11 Ayat (1) ditegaskan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”

Dua dekade Reformasi dan hampir tiga perempat abad sudah usia republik ini. Namun, dunia pendidikan Indonesia masih menghadapi persoalan-persoalan dasar yang klasik, yaitu rendahnya mutu dan terbatasnya akses pendidikan.

Masalahnya adalah Sekolah

Banyak orang tidak mengira bahwa masalah yang paling serius dalam pendidikan Indonesia saat ini justru terlalu banyak sekolah. Masalah ini muncul saat kita mulai menyamakan pendidikan dengan persekolahan. Wajib belajar diartikan wajib sekolah. Ada asumsi kuat bahwa semakin lama bersekolah pasti makin baik karena semakin terdidik.

Oleh karena itu semakin banyak sekolah didirikan, dan semakin banyak anggaran digelontorkan di sektor pendidikan dengan harapan masyarakat akan semakin terdidik. Orang dengan gelar makin panjang berarti makin kompeten dan terdidik.

Padahal yang semakin kita lihat di lapangan justru sebaliknya : tawuran pelajar dan antar-warga makin sering terjadi, pornografi dan narkoba merajalela, intoleransi meningkat, korupsi merebak di mana-mana. Semakin banyak anggota DPR dan birokrat dengan gelar master dan doktor, bahkan profesor, tapi DPR adalah lembaga paling korup.

Persoalan pendidikan justru semakin banyak. Mendikbud pernah bilang, masalah pendidikan dijamin tidak pernah kurang. Contek berjamaah saat Ujian Nasional, sertifikasi guru yang tidak meningkatkan kinerja guru, hasil uji kompetensi guru yang jeblok, budaya baca yang buruk, prasarana dan sarana sekolah yang jauh dari layak, kekerasan oleh guru, serta pengangguran sarjana dan lulusan SMK semuanya justru muncul di sekitar sekolah. Berat mengatakannya tapi kenyataannya memang sekolah justru bagian dari masalah pendidikan, bukan solusinya.

Kesalahan sekolah terbesar adalah kecenderungannya untuk memberi kesan dan pesan sebagai satu-satunya tempat belajar. TK merasa terganggu dengan Pos PAUD Terpadu non-formal yang menjamur. Anak yang tidak bersekolah dicap terbelakang, tidak terdidik dan kampungan. Anak nelayan dan petani usia bersekolah tidak boleh pergi membantu keluarganya pergi ke laut atau ke sawah pada jam sekolah, karena ke laut atau ke sawah membantu orangtua bekerja dianggap bukan kegiatan belajar. Bahkan lebih serius lagi, mengajak anak-anak ini bekerja dinilai melanggar hak anak. Bahkan istilah anak muncul setelah lembaga sekolah diciptakan pada zaman revolusi industri di Inggris. Menjadi dewasa berarti keluar dari sekolah.

Puncak masalah kebanyakan bersekolah adalah Ujian Nasional. Lulus UN dijadikan acuan prestasi pendidikan oleh banyak pihak, terutama birokrat pendidikan. Anak semakin tertekan karena jika tidak lulus UN tidak akan memperoleh ijazah. Menjelang UN banyak dilakukan doa bersama, puasa Senin-Kamis, dan tindakan aneh lainnya. Kata birokrat pendidikan, itu masih lebih baik daripada kebut-kebutan geng motor. Juga terlontar bahwa UN telah berhasil mendorong anak untuk giat belajar. Tanpa UN murid tidak akan terpacu untuk belajar. Karena tekanan psikologis yang tinggi ini menjelang UN digelar juga semakin banyak terjadi kesurupan massal di sekolah.

Anehnya, saat UN dirancang ikut menentukan kelulusan murid dari sebuah sekolah, Kemendikbud justru melakukan sertifikasi guru. Menentukan kelulusan murid adalah tanggungjawab profesional guru yang terpenting, tapi kelulusan murid justru diserahkan sebagian besar pada mesin pemindai melalui Ujian Nasional. UN jelas merampas kewenangan profesional guru yang terpenting yang menjadikannya sebagai profesi yang dihormati. Sejak UN diberlakukan, kehormatan dan harga diri guru hancur berkeping-keping. Tunjangan profesi guru mungkin sebagai penghibur atas kehinaan yang diderita guru.

Belum lama berselang, melalui wajib belajar 12 tahun, Mendikbud Muhammad Nuh telah menggelar kebijakan pendidikan universal untuk memastikan Indonesia menikmati bonus demografi menjelang 2045. Ini jelas maksud baik Mendikbud, tapi berdasarkan banyak studi, prakarsa ini boleh dipastikan akan gagal jika Kemendikbud masih mendekati pendidikan sebagai persekokahan belaka. Saya justru khawatir yang akan kita hadapi adalah tagihan demografi.

Sekitar 40 tahun yang lalu Ivan Illich sudah mengingatkan bahwa pendidikan universal tidak mungkin tercapai melalui sistem persekolahan. Saat itu Ivan Illich belum membayangkan adanya internet. Internet sekarang sedang mengubah segalanya, termasuk pendidikan. Illich mengajukan jejaring belajar (learning web) sebagai opsi alternatif untuk memastikan setiap warga dapat belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Dalam jejaring belajar ini prakarsa belajar secara mandiri (otodidak) secara informal amat dihargai, dan layanan non-formal ditingkatkan kapasitasnya.

Kita rupanya sudah lupa bahwa institusi yang disebut sekolah itu gejala baru yang umurnya kurang dari 200 tahun, di Indonesia bahkan kurang dari 150 tahun. Kampus umurnya jauh lebih tua. Harvard umurnya 400 tahun. Oxford dan Cambridge atau Sorbonne lebih dari 700 tahun. Hindia-Belanda lebih dulu mengenal pesantren, sebuah lembaga pendidikan dengan set-up yang berbeda dengan sekolah yang diperkenalkan Belanda sebagai respons atas tuntutan the founding fathers. Belanda dengan cerdik menggunakan sekolah justru untuk kepentingan penjajahan.

Perlu diicermati bahwa grand design persekolahan kita tidak berubah banyak sejak Belanda membukanya di Hindia Belanda untuk pertama kali hingga kita memasuki Abad 21 ini : menyiapkan pegawai. Bagi penjajah waktu itu, membuka sekolah berarti menyiapkan pegawai bagi pemerintah penjajahan di Hindia Belanda. Menarik untuk memahami bagaimana KH. Ahmad Dahlan di Jogya, dan Teuku Syafii di.Padang mendirikan sekolah sebagai upaya melawan grand design Belanda ini.

Kurikulum juga sumber masalah. Baru-baru ini Kemendikbud mewacanakan akan mengurangi konten kurikulum yang dinilai oleh banyak kalangan sebagai overloaded. Anehnya, Kemendikbud malah ingin memperpanjang jam sekolah mengikuti model full-day school. Jika ini terjadi sindrom too much schooling akan semakin menjadi-jadi. Keluarga sebagai “sekolah” yang pertama dan utama semakin tergusur, dan murid akan semakin diasingkan dari masyarakat dan lingkungannya sendiri. Setelah lulus murid akan tergagap-gagap hidup di masyarakat.

Pengalaman para pendiri bangsa ini menunjukkan, bahkan sebelum internet dan sekolah ada, belajar tidak pernah mensyaratkan sekolah atau guru bersertifikat. Pada saat dunia sebelum sekolah diciptakan, belajar adalah bagian menyatu dari kehidupan sehari-hari dan pekerjaan yang dilakukan warga saat itu. Belajar dan bekerja berjalan beriringan. Bahkan belajar dimaksudkan untuk memperbaiki praktek bekerja. Bukan sekolah melulu bertahun-tahun, lalu lulus baru mencari pekerjaan. Model kehidupan seperti ini hanya cocok untuk anak orang kaya yang tidak perlu beketja.

Betapa belajar tidak mensyaratkan sekolah jelas dari proses belajar itu sendiri, yaitu mengikuti sebuah siklus belajar : baca – praktek – tulis – bicara. Banyak sekolah kita gagal membangun siklus belajar itu. Sekolah hanya menjadi tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Budaya baca kita terbelakang. Layanan perpustakaan sekolah umumnya menyedihkan. Kesempatan praktek hampir tidak ada, pengalaman sehari – hari anak tidak dihargai guru. Budaya menulis kita amat ketinggalan. Budaya bicara kita mandeg. Yang berkembang bukan budaya dialog dan musyawarah untuk mencapai reasoned agreement, tapi justru voting dijadikan kata putus. Budaya demonstrasi satu arah marak. Lebih buruk lagi : perselisihan diselesaikan dengan tawuran dan pentungan.

Menyambut Abad 21 sebagai abad internet ini, kemampuan beradaptasi secara berprinsip (principled adaptability) akan ditentukan oleh ketrampilan belajar mandiri. Kenyataannya banyak sekolah justru gagal mengembangkan ketrampilan belajar mandiri ini, sementara anak yang miskin semakin kehilangan kepercayaan diri karena tidak bisa bersekolah. Pendidikan dasar dan menengah yang amburadul mendorong kebutuhan pendidikan tinggi. Padahal pendidikan dasar dan menengah yang bermutu seharusnya sudah cukup untuk bekal hidup yang sehat dan produktif.

Perlu dinyatakan secara luas bahwa setiap warga bisa belajar tanpa harus bersekolah. Seorang anak bisa bekerja di pagi hari membantu ayahnya ke laut mencari ikan, lalu sore atau malamnya ke perpustakaan Kelurahan untuk membaca buku dan websites tentang ikan, laut dan kapal. Dia juga kemudian bisa ke bengkel di dekat rumahnya untuk belajar mesin kapal, sementara bengkel tadi bisa mengajukan dana bantuan magang di bengkel ke Dinas Pendidikan setempat. Kurikulum harus menyesuaikan nurid, bukan sebaliknya.

Di zaman internet ini, yang perlu dilakukan untuk memastikan pendidikan yang relevan bagi warga negara adalah menghentikan kecenderungan pendekatan persekokahan yang berlebihan, mengurangi formalisme pendidikan seminimal mungkin, menghapus ijazah SD, SMP, dan SMA. Hanya ijazah sarjana yang perlu dikeluarkan, itupun jika lulusan universitas tsb. memintanya karena tidak cukup percaya diri. Putus sekolah boleh, putus belajar jangan.

Jagat pendidikan tidak boleh terlalu didominasi oleh Pemerintah dengan berbagai macam kebijakan. Sejak sertifikasi guru, akreditasi sekolah, otak-atik kurikulum, bahkan anggaran pendidikan. Pendidikan untuk semua juga berarti pendidikan oleh semua. Kecenderungan Kemendikbud yang sangat mendominasi ini perlu dikurangi dampak negatifnya dengan menyadari bahwa tanpa murid gedung sekolah yang megah dan guru yang pintar sekalipun hanya akan menjadi gudang. Murid ikut memproduksi jasa pendidikan. Murid tidak bisa diremehkan begitu saja. Guru juga perlu diberdayakan dengan memperkuat organisasi profesi guru yang mampu melakukan sertifikasi guru secara mandiri.

Dalam perspektif itulah segala bentuk Ujian, terutama untuk.kepentingan seleksi masuk, seharusnya ditentukan secara opsional oleh murid sendiri on their own terms, bukan oleh Pemerintah. Jika sekolah tidak berubah, tidak lama lagi ia akan menjadi museum. Jika guru tidak berubah, ia akan menjadi dinosaurus, dan Indonesia akan menjadi Jurassic Park.

***

ditulis oleh :
Prof. Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Penasehat Dewan Pendidikan Jawa Timur

Sumber:
Bincang Edukasi

Saatnya Indonesia Memikirkan Urbanisasi

Bernardus Djonoputro
Kompas.com – 28/06/2017

Setelah mudik atau “the grand exodus”, kembali kita menghadapi migrasi ke perkotaan. Pertanyaan menggelitik saya, bagaimana kota seperti Jakarta harus menghadapi migrasi ke kota?

Saya sangat percaya merencanakan Jakarta itu bukan seperti membangun kota kecil di kampung.

Jakarta sebagai salah satu mega city dunia, tentu menjadi pusat perhatian penduduk di negara Indonesia. Diperkiraan total pendatang baru sebanyak 70.000 orang pasca Lebaran kali ini.

Kita harus memandang Jakarta seperti Shanghai, New York, Tokyo, Mexico City dan kota-kota besar lainnya di dunia.

Karena itu, dibutuhkan kecakapan, dana, kepemimpinan, kaidah-kaidah ekonomi dan kualitas perencanaan kota yang sama kualitasnya seperti kota besar dunia tersebut.

Konsekuensinya, kualitas wali kota atau gubernur kota Jakarta, harus sekelas atau lebih baik dari kota dunia.

Lalu bagaimana Jakarta harus menghadapi gelombang urbanisasi?

Urbanisasi merupakan fenomena planet bumi, dan menjadi perhatian semua kalangan. Habitat 3 memandang bahwa urbanisasi seharusnya bisa menjadi produktif, apabila pemerintah dan masyarakat dapat melihat sisi lainnya.

Berbagai solusi dan kebijakan untuk antisipasi urbanisasi dilakukan di berbagai belahan dunia berkembang dan sedang berkembang. Ada yang berhasil, namun banyak pula yang justru menciptakan tekanan sosial dan politik di negara tersebut.

China menerapkan ‘hukou’ sejak lama, yaitu sistem pembatasan populasi perkotaan melalui pendaftaran penduduk di tempat asal, dan membatasi akses para migran kepada pelayanan sosial, pendidikan dan pelayanan medis di kota besar. Penduduk imigran menjadi warga kelas dua di kota besar.

Permasalahan urbanisasi di China menarik dipelajari, karena statistiknya begitu luar biasa. Tahun 1978, tidak ada satu pun kota China berpopulasi di atas 10 juta jiwa, dan hanya dua kota berpenduduk antara 5 dan 10 juta.

Tahun 2010, sudah 10 kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa, dan 10 kota berpenduduk antara 5 juta hingga 10 juta jiwa. Tahun 2011, lebih dari setengah penduduk negeri Tirai Bambu ini tinggal di perkotaan.

Saat ini urbanisasi menjadi kebijakan utama nasional, melalui program “Rencana Urbanisasi Baru Nasional 2014-2020.” Dalam program ini, ditentukan daerah pertumbuhan utama akan semakin cepat berkembang menjadi perkotaan.

Di negara-negara besar Afrika, pemerintah kota-kota besar menghadapi tantangan mencari solusi untuk membiayai peningkatan tunjangan sosial bagi para migran dari desa.

Beberapa studi dalam rangka Habitat 3 memperlihatkan banyak pertentangan antara usaha membuat urbanisasi yang “berorientasi warga” dengan menjadikannya program prestisius para politisi.

Di Afrika Selatan, sebuah studi memperlihatkan berbagai tantangan dalam mengelola urbanisasi. Antara lain keterbatasan kebijakan perkotaan, kurangnya prioritas pada pengelolaan perubahan kependudukan dalam proses urbanisasi, hasil perencanaan yang meleset dari tujuan kebijakan, dan terus berkembangnya permukiman informal di pinggiran kota.

Dari beberapa studi urbanisasi di negara-negara tersebut, benang merahnya yaitu diperlukan kaji ulang atas kebijakan-kebijakan perkotaan, perencanaan, praktik tata kota, dan implementasinya.

Kebijakan Urbanisasi Indonesia

Hemat saya, kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia sebenarnya sudah dalam koridor yang tepat, walaupun masih tampak sangat ad-hoc. Yaitu dengan perbaikan ekonomi dan peningkatan penghasilan masyarakat pedesaan, peningkatan kualitas SDM masyarakat perkotaan dan desa, dan peningkatan infrastruktur.

Dana desa dan pembangunan infrastruktur ke daerah pinggiran sangat tepat. Tinggal pelaksanaannya yang harus tepat sasaran dan memenuhi standar.

Mengurangi kesenjangan harus merupakan roh utama kebijakan urbanisasi, ditambah dengan peningkatan utilitas dan fasilitas perkotaan di kawasan pedesaan.

Untuk Jakarta sebagai mega city, masih sangat banyak yang harus dilakukan, terutama berkaitan dengan regenerasi dan revitalisasi kawasan perkotaan yang memburuk kualitasnya, menjadi kawasan kawasan inklusif layak huni. Untuk itu, membentuk compact city di beberapa bagian Jakarta sangat perlu.

Untuk itu kalau dilihat dari rencana detail tata ruang (RDTR) dan Peraturan Zona DKI, ada beberapa revisi yang harus dilakukan, terutama berkaitan dengan usaha menahan alih fungsi dan meningkatkan koefisien luas bangunan (KLB) di beberapa bagian kota.

Namun, peningkatan KLB ini harus berbasis pada daya dukung lahan. Daerah Kemang, kawasan Pasar Minggu, Kebagusan, dan bantaran-bantaran sungai harus ditahan menjadi daerah penyangga.

Sebagai salah konurbasi terbesar ke-4 di dunia, tak pelak Jakarta akan selalu menjadi gula ekonomi bagi warganya.

Mekanisme pasar tidak bisa terelakkan, sehingga diperlukan keberpihakan pemerintah DKI terhadap keberagaman, peningkatan ekonomi warga miskin, perbaikan kawasan kumuh, dan terus menciptakan pekerjaan yang kompetitif.

Penyiapan ruang-ruang terbuka bagi warga dan anak-anak, harus juga disertai dengan program-program pemberdayaan masyarakat, pengentasan ekonomi berbasis warga, dan pelayanan kesehatan kelas dunia bagi semua warga.

Seperti yang pernah saya sampaikan dalam tulisan yang lalu, Indonesia harus segera memiliki kebijakan urbanisasi nasional dan sistem perkotaan yang mumpuni. Saat ini, kebijakan masih sangat apa adanya, cenderung sektoral, dan sama sekali tidak memperlihatkan sifat urgensi mengelola urbanisasi. Pemerintah pusat, bahkan tidak punya statistik resmi target dan besaran urbanisasi

Dengan 60 juta orang diperkirakan bertransformasi menjadi masyarakat perkotaan, dan 70 juta kelas menengah baru hingga 2030, Indonesia harus cepat bergerak.

Harus ada langkah nyata dari pemerintah. Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR), Bappenas, Kemenko Perekonomian, Kemendagri, harus berlomba menjadi yang terdepan.

IPM dan Ketimpangan Sosial

 
Oleh : Bagong Suyanto,
Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
Kompas, 8 Mei 2018
 

IPM dan Ketimpangan Sosial

Meskipun Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2017 meningkat, bahkan melebihi target APBN Perubahan 2017, angka kenaikan- nya tidak terlalu menggembirakan. IPM Indonesia hanya naik 0,63 dari 70,18 tahun 2016 menjadi 70,81 di 2017 (Tajuk Rencana Kompas, 19/4/2018).

Dengan IPM di atas angka 70, Indonesia memang dikategorikan dalam negara IPM tinggi. Namun demikian, perlu dicatat bahwa di balik berbagai kemajuan yang diraih, ketimpangan masih menjadi problem serius.

Di DKI Jakarta IPM 80,06. Tetapi, masih ada 32 kabupaten yang kondisi IPM-nya sangat memprihatinkan. Di sejumlah kabupaten di wilayah Indonesia Timur, akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi umumnya masih rendah. Rata-rata IPM wilayah Indonesia Timur tidak lebih dari 60.

Ketimpangan

Pemerintah bukannya tidak menyadari bahwa selama ini hasil-hasil pembangunan masih belum merata. Di era pemerintahan Jokowi-JK, berbagai upaya telah dilakukan terutama penyediaan infrastruktur jalan dan jembatan, diikuti pembangunan berbagai fasilitas sosial-ekonomi lain.

Namun, untuk melihat hasil program pembangunan di wilayah Indonesia Timur masih perlu waktu. Pembangunan di wilayah itu selama ini terabaikan, sehingga untuk mengejar ketertinggalan jadi jauh lebih sulit.

Papua, misalnya, yang memiliki potensi sumber daya alam luar biasa, selama ini seperti anak tiri bahkan jadi korban eksploitasi model pembangunan yang bias urban. Kekayaan sumber daya alam wilayah Indonesia Timur dieksploitasi habis-habisan, tetapi proses redistribusi aset dan pengembangan sumber daya manusia lokal tidak dilakukan.

Pengalaman masa lalu banyak mengajarkan bahwa pembangunan yang terlalu sentralistik dan menekankan tujuan-tujuan ekonomi dan perubahan fisik yang bias pusat ternyata bukan hanya melahirkan distorsi, tetapi juga mengalienasi manusia lokal. Manusia dan warga masyarakat lokal sering menjadi terasing pada proses perubahan dan pembangunan di sekitarnya.

Bahkan, mereka mengalami proses marginalisasi, semacam proses pemiskinan penduduk yang terjadi karena mereka lebih banyak dianggap sebagai beban pembangunan daripada potensi yang bisa didayagunakan.

Pendekatan pembangunan yang pragmatis—hanya menghela pertumbuhan ekonomi dan perubahan penampakan fisik—bukannya mendorong kemajuan penduduk lokal, justru yang terjadi adalah proses infiltrasi, invasi dan suksesi kepemilikan aset-aset produksi masyarakat lokal kepada pendatang dan kekuatan ekonomi global.

Di wilayah Indonesia Timur, ketika ada pembangunan dan modernisasi, yang menikmati adalah para pendatang dan investor dari luar. Akhirnya, penduduk lokal hanya menjadi penonton di luar pagar, bahkan terusir dari tanah kelahirannya.

Thomas Piketty dalam bukunya Capital, in The Twenty-First Century (2013) jauh-jauh hari telah mengingatkan risiko pertumbuhan yang tidak didukung fondasi sosial kuat. Menurut Piketty, dalam proses pembangunan yang berlangsung cepat, rate of return on capital umumnya akan tumbuh lebih tinggi secara signifikan daripada rate of growth of income and output.

Akibatnya, di balik berbagai kemajuan, kapital akan mereproduksi diri lebih cepat dari peningkatan output dan upah. Pemilik kapital semakin kaya dibandingkan masyarakat lokal, sehingga ketimpangan sosial justru semakin lebar.

Dalam kondisi masyarakat yang terpolarisasi—di mana hasil-hasil pembangunan tidak kunjung menetes dan dinikmati masyarakat miskin—bagaimana cara memastikan agar pembangunan kualitas manusia dapat dikembangkan secara merata?

Untuk mencegah agar kekeliruan orientasi pembangunan tidak bersifat kontra-produktif, dalam satu-dua dekade terakhir telah disepakati bahwa fokus utama pembangunan di Indonesia adalah memberdayakan kemampuan masyarakatnya. Artinya, posisi manusia dalam pembangunan tidak lagi sebagai objek, melainkan benar-benar ditempatkan sebagai fokus utama dan subjek pembangunan.

Jangan nafikan kualitas

Berkaca dari pasang-surut perkembangan data IPM, kita dapat belajar bahwa pembangunan yang menafikan pembangunan kualitas manusia bukan hanya mempersulit upaya segera keluar dari ketidakberdayaan, ancaman penyakit dan kebodohan, tetapi juga membuat masyarakat makin terperosok pada tekanan kemiskinan dan kesengsaraan.

Di Indonesia Timur, kualitas manusia sering sulit didongkrak karena akses terhadap pendidikan rendah, tingginya kematian bayi dan terjadinya perluasan pendalaman kemiskinan. Tidak banyak kesempatan dan peluang sosial-ekonomi yang dapat dimanfaatkan masyarakat, karena struktur sosialnya tidak ramah.
UNDP (1990) menyatakan yang dimaksud dengan pembangunan manusia hakikatnya ialah suatu proses memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk.

Pembangunan dikatakan gagal jika hasil akhir pembangunan malah melahirkan ketidaksetaraan dan memperkecil peluang moblitas vertikal masyarakat. Terjadilah penyia-nyiaan potensi produktif dan alokasi sumber daya yang tidak efisien.

Di masyarakat yang struktur sosialnya belah ketupat, seperti Korea Selatan, Australia dan berbagai negara maju lainnya, di mana jumlah kelas menengah lebih besar dari pada masyarakat miskin, kesempatan untuk bersaing dan memperbaiki taraf kehidupan akan lebih terbuka. Tetapi, di wilayah Indonesia Timur yang struktur sosialnya berpola piramida, peluang masyarakat miskin untuk memperbaiki kualitas hidup lebih terbatas.

Dalam rangka memperbaiki kualitas dan angka IPM, sebagian mungkin benar dengan cara menghela setinggi mungkin angka pertumbuhan ekonomi dan menarik sebanyak-banyaknya investasi modal asing.

Tetapi, berkaca pada masa lalu, sebetulnya tidak ada jaminan bahwa IPM otomatis akan terdongkrak jika kita hanya mengandalkan pada laju pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian, paling-tidak ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk memperbaiki kualitas pembangunan manusia Indonesia. Pertama, bagaimana menempatkan pembangunan kualitas manusia menjadi bagian dari upaya menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan posisi tawar masyarakat miskin.

Kedua, pemerintah perlu menyadari arti penting investasi sosial dalam pembangunan dan kemudian menerjemahkan dalam bentuk program pembangunan bidang sosial-budaya. Mencegah anak putus sekolah, anak tidak terserang busung lapar, masyarakat miskin tidak makin terpuruk, dan sebagainya, lebih bermakna daripada mengembangkan pendekatan kuratif. Selain ongkos sosialnya mahal, juga menyebabkan kesempatan memberdayakan menjadi lambat.

Ketiga, menyadari bahwa kesenjangan kualitas manusia jika dibiarkan berlarut-larut akan rawan menimbulkan polarisasi sosial bahkan konflik antarkelas. Maka ke depan yang dibutuhkan adalah kebijakan pembangunan bidang sosial yang lebih memihak kepada golongan bawah sampai pada suatu titik tertentu tercapai keseimbangan yang merata

Resume Workshop #1 Islamic Worldview dan Pendidikan Islam – Introduction

Harry Santosa
29 April 2018
Bersama Prof. Wan Mohd dan Dr. Adian Husaini

Hari ini Ummat Islam pada umumnya dikuasai dan dipengaruhi oleh worldview (cara pandang terhadap segala sesuatu) di luar Islam, sehingga kemudian pada tataran ekonomi, pendidikan, politik dsbnya Ummat ini benar benar terpasung cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak di luar Islam terhadap apapun yang dijalaninya.

Ketika ada kerinduan Ummat Islam untuk kembali kepada Islam, munculah beragam produk Islam, seperti Perbankan Syariah, Sekolah Islam, Partai Politik Islam, Pemimpin Islam dstnya, namun sayangnya karena tak berangkat dari Islamic Worldview maka produk Islam itu hanya berupa penempelan Islam saja, sekedar casing casing syariah semata, tetapi platform dan mindsetnya tetap bukan Islam. Produk produk itu sekedar produk tanpa berangkat dari sejarah, filosofi, khazanah Islam yang kokoh.

Islamic Worldview adalah cara pandang Islam terhadap manusia, ilmu atau sains (Alam), Sejarah, Kehidupan dan Zaman (Waktu) serta Kitabullah atau Sistem Hidup atau Ethics. Ia tak berhenti sampai kepada Mindset semata tetapi juga turun kepada sesuatu yang digunakan Ummat dalam kehidupannya.

Islamic Worldview ini dibangun tentu dari pendidikan yang benar yang melahirkan para pemikir dan arsitek peradaban, namun sayangnya pendidikan Islampun diragukan platform dan filosofinya berangkat dari Islamic Worldview. Itu bisa dilihat misalnya dari fenomena para hafizh yang tak berkeinginan menjadi ahli tafsir, atau banyak Doktor bidang tafsir yang tak membuat tafsir kontemporer yang dibutuhkan ummat. Itupula mengapa alumni pendidikan Islam tetap berorientasi menjadi pekerja, pendidikan guru Islam tidak suka menjadi guru di lembaga Islam, alumni aliyah yang jadi karyawan pabrik dstnya.

Dalam sosial media, kebanyakan fokus obrolan dan diskusi (lingkar peduli) juga mengarah hanya kepada tema tema yang sebenarnya bukan otoritasnya dan tanggungjawabnya (circle of control), karena kebanyakan kita tak punya kendali atas diri kita sendiri.

Intinya Islamic Worldview ini membutuhkan arsitek peradaban, yang merancang “why we exist”, merancang cara pandang Islam tentang peradaban dan masa depan ummat Islam misalnya 50 tahun ke depan. Rancangan ini tentu harus memiliki otoritas yang diikuti ummat Islam dalam membangun semua aspek dan bidang kehidupan.

Kemudian rancangan worldview ini harus juga turun kepada taxonomy atau klasifikasi pengetahuan yang bukan hanya menentukan struktur konten pengetahuan, tetapi juga struktur berfikir, struktur fakultas, struktur inovasi, struktur komunitas serta penempatan pakar terbaik atas tiap klas pengetahuan tertentu.

Disinilah kemudian pendidikan bisa memprosesnya menjadi peran peran dalam peradaban, melahirkan nara sumber hebat untuk tiap tema pengetahuan, leader dan rujukan dalam tiap bidang bidang itu kemudian menjadi karya karya peradaban yang memberi kabar gembira dan sekaligus peringatan akan keburukan.

Prof Wan Mencontohkan bagaimana bangsa Yahudi membangun worldviewnya, dimulai dari konsep sampai praktek dan strategi menyebarkannya atau mempengaruhi cara pandang, cara lihat, cara bertindak manusia di dunia.

Sebagai contoh, bangsa Yahudi pernah melakukan konferensi, mengumpulkan 70 pakar nya di jantung kota di Amerika, New York, untuk merancang Jew Worldview dan merancang strategi bangsa Yahudi 50 tahun ke depan. Mereka bervisi untuk menempatkan pakar pakar mereka sebagai rujukan dunia dalam pemikiran, pendidikan, politik, ekonomi dstnya.

Hasil konferensi di atas didokumentasikan dalam majalah Yahudi, “Commentary Magazine” pada November 2015. Yang menarik adalah di akhir pertemuan itu, seorang pembicara mengutip ucapan seorang pemikir Yahudi, pada Abad 1 Masehi, yaitu Hillar.

Ucapan Hillar yang dikutip,
“If I am not for my self, who will be for me”
“If I am for myself, who am i”
“If not now, when?”

Bayangkan betapa bangsa Yahudi masih mengutip pemikiran pemikirnya 2000 tahun lalu. Ucapan itu menunjukkan bagaimana bangsa Yahudi mengkonstruksi “why we exist” untuk membangun peradabannya, tak menunggu ummat lain apalagi meminta bantuan, bahkan mereka harus menampilkan kehebatannya sendiri.

Sejarah adalah faktor penting merancang Worldview, karena dari sejarahlah berbagai pemikiran dan model dapat ditemukan dan dikaji untuk melihat pola kemenangan dan kekalahan.

Sebagai contoh pentingnya menelusuri sejarah, yaitu OECD pernah mempublikasi hasil penelitiannya tentang sejarah Baghdad Abad 10, mengenai bagaimana menangani urbanisasi dan tata kota. dsbnya.

(Selesai)

“Hambarnya Kehidupan Petani Garam”

Hambarnya Kehidupan Petani Garam

Oleh : Suhardi Suryadi,
Konsultan The Institute For Democracy Education

Kompas edisi Kamis, 5 April 2018

Publik selalu tidak percaya setiap kali pemerintah melakukan impor atas berbagai komoditas seperti garam.

Sebab selain Indonesia punya lahan luas sepanjang pesisir (99.093 kilometer), berada di daerah tropis, juga garam secara tradisional sudah bertahun-tahun diproduksi petani karena tidak membutuhkan teknologi tinggi. Akan tetapi, ironisnya, impor garam ternyata sudah berlangsung sejak 1990.

Memang tidak dapat dipungkiri jika impor adalah pilihan pahit karena bertujuan mencukupi kebutuhan nasional. Data Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia menyebutkan bahwa produksi garam nasional pada 2016 hanya mencapai 144.000 ton. Dalam musim tertentu, produksi garam Indonesia maksimum hanya mencapai 1,9 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan garam nasional sekitar 4,1 juta ton per tahun untuk memenuhi konsumsi publik 780.000 ton, sisanya untuk mencukupi keperluan industri.

Minim insentif

Impor pada dasarnya mencerminkan kegagalan pemerintah dalam industrialisasi garam rakyat. Mengingat hampir 20 tahun, kebijakan dan program yang ada belum memungkinkan adanya jaminan ketersediaan garam tanpa impor. Alasan klasik yang muncul adalah faktor iklim dan cara tradisional dalam produksi garam rakyat sebagai penyebabnya. Sekalipun hal ini benar, maka seharusnya pemerintah mengantisipasi dengan merumuskan kerangka pengembangan yang tepat menuju swasembada garam

Program garam untuk rakyat (Pugar) yang dilakukan sejak tahun 2011 melalui pemberian bantuan dana untuk peningkatan produksi hanya mencapai target sekitar 50 persen. Ketidaktepatan penyaluran dana dengan waktu petani memulai kegiatan pengolahan garam menjadi sumber persoalannya.

Di wilayah Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, misalnya, petani membutuhkan dana pada bulan Mei-Juni untuk biaya menggarap lahan, akan tetapi justru dana turun pada bulan September. Oleh karena itu, sekalipun program ini dapat memperbaiki produksi dari 55 ton per hektar menjadi 73 ton per hektar, akan tetapi kurang memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan pasokan garam petani.

Program garam untuk rakyat ternyata juga kurang menarik minat petani untuk memperluas lahannya. Sampai tahun 2014, luas lahan garam sekitar 27.898 hektar atau turun sekitar lima persen dibanding tahun 2013 yang luasnya 29.367,82 hektar. Hal ini menunjukkan bahwa garam pada dasarnya belum menjadi salah satu komoditas yang menguntungkan bagi petani, meskipun permintaannya tinggi.

Bahkan jumlah petani yang mengusahakan tambak garam mengalami penurunan. Data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) tahun 2016 menyebutkan jumlah petani garam tahun 2012 sebanyak 30.668 jiwa menjadi 21.050 jiwa di 2016. Artinya, ada sekitar 8.400 petani garam yang alih profesi.

Kondisi tersebut tidak terlepas dari harga garam rakyat yang rendah. Untuk kualitas satu (K1) berkisar Rp 540-Rp 550 per kilogram (kg). Padahal harga patokan pemerintah Rp 750/kg. Sebaliknya, petani nyaris kurang menikmati manfaat ketika harga garam naik karena lemahnya posisi tawar petani dalam menghadapi kartel perdagangan garam di tingkat lokal yang menentukan kualitas dan harga secara sepihak.

Banyak pihak menilai bahwa krisis garam selama ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah memberi insentif kepada petani garam melalui harga dan teknologi yang menjamin kenaikan produksi garam di tingkat petani. Jika itu bisa dilakukan, petani secara mandiri dan maksimal dapat melakukan perbaikan kapasitas dan kualitas garam karena terkait dengan kelangsungan penghidupannya.

Tanggung jawab negara

Memproduksi garam berkualitas tinggi untuk pasar industri jelas butuh waktu berbulan- bulan. Tentu ini sulit dipenuhi oleh petani yang punya banyak keterbatasan; mulai dari modal, teknologi, hingga saluran distribusi. Terlebih petani acapkali membutuhkan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan. Karena itu, petani umumnya memproduksi hanya dalam hitungan hari dan menghasilkan garam kualitas rendah.

Dengan demikian, swasembada garam adalah suatu keniscayaan dan merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkan. Artinya, pemerintah perlu melakukan investasi dalam memperkuat industri garam rakyat dan tidak cukup atau sekedar memberi bantuan modal yang terbatas melalui program garam untuk rakyat.

Ada dua kebijakan yang dapat dibangun. Pertama, mendirikan badan layanan umum yang khusus membiayai kebutuhan investasi garam di tingkat petani: mulai dari pembukaan lahan hingga pengolahan pasca panen, sehingga menghasilkan garam dengan kandungan NaCI tinggi, magnesium rendah dan kadar air rendah.

Kedua, mengorganisir petani garam dalam suatu kelembagaan koperasi maupun perusahaan sebagai entitas bisnis, mengingat untuk memproduksi garam berkualitas dibutuhkan lahan yang luas, fasilitas pengolahan skala besar dan dukungan teknologi serta manajemen usaha yang profesional. Dengan begitu kepastian garam dari sisi kuantitas, kualitas dan kontinuitas dapat terjamin.

Pada dasarnya tidak sulit bagi pemerintah jika benar-benar ingin merealisasikan terwujudnya swasembada garam nasional. Jika tak direalisasikan maka publik akan menilai bahwa pemerintah sesungguhnya memang tak ingin ada swasembada garam untuk kesejahteraan petaninya. Bukankah impor lebih memberi manfaat ekonomi bagi aparat ketimbang rakyat?

.

Kehilangan Indonesia

Analisis Politik Yudi Latif
Kompas edisi Kamis, 29 Mar 2018

Menjadi pemerintah itu memang harus bisa meramalkan (to govern is to foresee). Karena tak seorang pun tahu pasti apa yang akan terjadi di masa depan, cara terbaik untuk menghadapi masa depan adalah dengan mengendalikannya. Dengan berlandaskan basis data yang sahih, berbagai kecenderungan positif ataupun negatif bisa diantisipasi untuk memastikan agar gerak sejarah masa depan tetap berjalan pada jalur keselamatan.

Bagaimana kalau seseorang yang berpotensi mencalonkan diri dalam bursa pemilihan presiden “membeli” skenario negatif yang meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030? Ya, tentu sah-sah saja. Namun, pernyataan seorang pemimpin untuk hal-hal seserius masa depan negaranya tentu harus diperhitungkan masak-masak. Pertama, apakah prakiraan itu berlandaskan basis data dan argumen memadai. Kedua, seburuk apa pun skenario masa depan yang mungkin terjadi, tugas pemimpin menumbuhkan optimisme. Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkata, “Tugasku adalah untuk memberikan harapan kepada rakyat, bukan untuk membuatnya mengalami demoralisasi.”

Dengan kepelikan yang menghadang Indonesia di masa depan, yang diperlukan memang bukanlah suatu optimisme yang buta, melainkan suatu optimisme dengan mata terbuka. Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat. Meskipun demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membelenggu kita dalam penjara pesimisme. Pemikiran konvensional beranggapan kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.

Namun, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komit- men hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan.

Pertama-tama, hendaklah disadari Indonesia negeri pejuang, bukan negeri para begundal. Dalam ungkapan Bung Hatta, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu Tanah Air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Berjuang, “berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan dalam tentang arti kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.

Jika Indonesia ada karena etos kejuangan menegakkan cita-cita kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, Indonesia terancam karam seiring pemudaran nilai-nilai dasar tersebut. Indonesia telah lolos berbagai ujian kemelaratan dan penderitaan, sejauh masih ada semangat perjuangan dan solidaritas kemanusiaan. Namun, daya hidup dan karakter keindonesiaan justru goyah saat ketamakan dan pertikaian elite menari di atas penderitaan rakyat.

Dengan keserakahan dan pertikaian elite, kita terancam “kehilangan Indonesia”. Hal ini mengingatkan pada pernyataan PM Belanda Hendrik Colijn pada 1938. Ketika menanggapi Petisi Soetardjo, anggota Parlemen Hindia Belanda, yang menuntut kemerdekaan Indonesia, Colijn mengatakan, “Indie verloren, rampspoed geboren” (Kehilangan Indonesia, timbul bencana). Kehilangan Indonesia merupakan bencana besar atas rontoknya cita-cita besar mewujudkan bangsa merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Untuk menghindari hal itu, para elite di Ibu Kota harus banyak belajar dan berempati kepada rakyatnya. Pergilah ke seluruh pelosok Tanah Air. Di mana pun titik bumi negeri ini dipijak akan dijumpai keragaman manusia yang menanti pengharapan dengan kegigihan daya juang.

Melihat Indonesia dari pinggir seperti melihat pendaran cahaya yang lebih terlihat indah dari lingkar terluar. Apa yang terlihat muram di Ibu Kota tampak lebih cerah di tepian. Bukan karena kehidupan di tepian lebih makmur, melainkan karena kesederhanaan yang membuat harapan hidup lebih mudah didekati dengan kebersahajaan. Di kesuburan tanah pinggiran masih tertanam kesuburan jiwa. Kepolosan wajah perdesaan bak cermin bening yang bisa memantulkan ketulusan pengabdian secara setimpal.

Ada dua sisi waktu yang tak bisa kita perbuat: masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat di masa kini. Kita mesti merebut hari ini dengan menanam benih kebaikan meski tampak sebagai misi ketidakmungkinan. Tidak perlu putus asa sebab tugas hidup bukanlah meraih keberhasilan, melainkan memperjuangkan keberhasilan. Dengan ketulusan pengabdian, setiap amal tidaklah sia-sia.

Di sinilah Tanah Air pengabdian kita. Di sepanjang untaian zamrud khatulistiwa, anak-anak negeri hidup damai saling mengasihi, tiada kebinatangan saling menginjak dan mengusir sesama. Syukur pada Ilahi dengan turut merawat dan memakmurkan ibu pertiwi. Di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung

Roadmap to Zero Accident : Better Safe than Sorry

Jusman Syafii djamal
February 23 · Public

Beberapa peristiwa kecelakaan bis pariwisata dan accident yang terjadi dalam pembangunan infrastruktur akhir akhir ini, saya jadi teringat diskusi saya dengan beberapa pakar engineering dimasa lalu, lima sepuluh tahun berselang tentang “product safety” dalam satu seminar. Saya diminta bicara tentang “Roadmap to Zero Accident : sebuah Lesson Learned”. Diskusi ini menyangkut topik tentang Keselamatan produk yang menjadi issue global akibat dari beberapa kegagalan menjaga kualitas produk pelbagai jenis industry. Dari industri jasa hingga industri manufaktur.

Isu “product safety” ini mencuat dari spectrum industri mainan anak anak, makanan hingga industri mobil dan pesawat terbang. Isu product safety muncul baik dari negara berkembang hingga negara maju. Dari produsen peralatan original atau Original Equipment Manufacturing (OEM) hingga perusahaan multinasional yang terkenal di dunia (MNC). Seolah tidak ada industri yang kebal problema dan risiko keamanan produk. Kegagalan produk memenuhi persayaratan yang ditetapkan seperti persyaratan safety, persayaratan emisi gas buang yang rendah, kegagalan memenuhi standard kualitas yang ditentukan sering menjadi fokus tatakelola organisasi dan manajemen puncak sebuah perusahaan.

Definisi safety dapat ditemukan jika kita merancang bangun produk rekayasa dan rancang bangun melalui Standard Militer, yakni dalam MIL-STD-882D, di mana keamanan didefinisikan sebagai “kebebasan yang dimiliki oleh konsumen produk atau pihak ketiga dari kondisi gangguan dan ancaman produk yang tidak berkualitas yang dapat menyebabkan kematian, cedera, penyakit kerusakan atau kehilangan peralatan atau properti, atau kerusakan lingkungan” (MIL -STD-882D 2000, hlm. 1-2).

Dalam 20 tahun terakhir semakin banyak studi tentang budaya keselamatan dan iklim kerja serta managemen tatalaksana proyek ditulis dalam literatur manajemen keselamatan. budaya keselamatan produk (Rollenhagen 2010; Svenson 1984; Van Vuuren 2000).

Istilah tentang FTA atau Fault Tree Analisis (analisis pohon kesalahan), Failure Mode and Effect Analysis (FMEA analisis efek modus kegagalan), Preliminary Hazard Analysis atau PHA (analisis bahaya awal), Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP analisis bahaya dan titik kontrol kritis ), dan prinsip manajemen tatakelola safety atau Safety Management Systems menjadi kosakata yang harus difahami oleh para perancang bangun produk dan pimpinan proyek bidang engineering.

Budaya keselamatan produk sejak awal harus terintegrasi dengan baik dalam arus kerja lapangan yang dilaksanakan.

Banyak contoh yang dapat dikedepankan. Diantaranya dapat ditelaah dari sebuah buku berjudul :”Responsible Product Innovation: Putting Safety First”, karya Andy Yunlong Zhu , Max von Zedtwitz dan Dimitris G. Assimakopoulos Springer International Publishing AG 2018.

Disana ditulis cerita tentang bagaimana pada tanggal 14 Agustus 2007, Mattel (perusahaan mainan terbesar di dunia) memperingatkan Product Saftey dari 18,2 juta mainan yang mengandung magnet kecil dan kuat yang dapat membahayakan anak-anak jika dilepaskan dan ditelan. Meskipun mainan mengikuti spesifikasi desain Mattel, barang yang diproduksi di China mengandung potensi bahaya. Akibatnya, “Made in China” dan pabrikan China untuk mainan anak anak yang mengandung magnet kecil ini, banyak dikritik di media.

Kasus produkct safety yang melibatkan industry China adalah formula susu bubuk melamin. Formula ini bisa menyebabkan susu encer dan menjadi lebih kaya kandungan protein. Akan tetapi konsumsi berlebihan formula susu melamin mengandung risiko kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Pada bulan November 2008, China melaporkan sekitar 300.000 korban. Enam bayi meninggal akibat kerusakan ginjal dan 860 bayi dirawat di rumah sakit

Begitu juga pemimpin industry otomotif seperti Toyota, General Motors, dan Volkswagen semuanya menderita masalah Product Safety selama beberapa tahun terakhir.

Toyota memiliki masalah dengan 12,8 juta mobil yang diproduksi antara tahun 2008 dan 2010 . Desain pedal yang cacat, menyebabkan pabrikan ini mengalami kerugian citra perusahaan dengan biaya miliaran dollar. Pada saat Presiden Toyota Akio Toyoda meminta maaf atas kesaksiannya kepada Kongres AS, harga saham Toyota telah turun sekitar 20% . Toyota kapitalisasinya merosot 35 miliar dollar AS. Kehilangan nilai pasar hanya dalam waktu 1 bulan.

Pada bulan Maret 2014, Toyota didenda 1,2 miliar dollar AS karena dianggap menyembunyikan masalah dan melindungi citra perusahaannya. Yang menyebabkan sejumlah korban tewas yang seharusnya dapat dicegah jika mereka lebih terbuka. Ini merupakan hukuman pidana terbesar yang pernah dikenakan pada perusahaan mobil dalam sejarah Amerika Serikat.

Pada tahun 2014, General Motors (GM) menarik hampir 30 juta mobil di seluruh dunia karena switch pengapian yang salah terhubung. Setidaknya terjadi 124 kematian. GM mengakui bahwa saklar pengapian diketahui telah salah disain atau rancang bangun setidaknya selama satu decade. Namun GM baru memutuskan untuk tidak menarik mobil tersebut sebelum tahun 2014.

National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) memberlakukan denda sebesar 35 juta dollar Amerika kepada GM karena menunda penarikan kembali mobil yang cacat, yang merupakan denda tertinggi yang dapat dipungut oleh NHTSA. Total biaya untuk recall mencapai 4,1 milyar dollar AS tahun 2014.

Kredibilitas Volkswagen sebagai produsen mobil yang andal mendapat pukulan besar pada tanggal 18 September 2015. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan kendaraan “diesel bersih” Volkswagen melanggar Clean Air Act. Pembuat mobil Jerman telah dibuktikan telah memasang sebuah perangkat lunak yang memungkinkan mobil lulus dalam tes emisi dengan memberikan informasi keliru, sehingga membuat mereka tampak lebih bersih dari pada sebenarnya. Tapi begitu di jalan, mobil-mobil ini akan memompa oksida nitrogen polutan (NOx) hingga 40 kali ambang batas yang ditolerir oleh hukum lingkungan hidup.

Perangkat lunak saat diuji coba, dapat dimanfaatkan untuk mengalihkan kontrol emisi dan mematikannya. Instalasi ini digunakan dimobil Volkswagen, Audi, SEAT, dan Skoda di seluruh dunia. Sekitar 580.000 kendaraan Volkswagen di Amerika Serikat dan hampir 10,5 juta lebih di seluruh dunia – ternyata sama sekali tidak memenuhi syarat “green rendah emisi”. Dalam 5 hari pengungkapan masalah menyebabkan CEO VW, Martin Winterkorn mengundurkan diri, dan beberapa insinyur diskors. Perusahaan menyisihkan 7,3 milia dollar Amerika, akibat kecerobohan ini.

Kasus lain adalah Galaxy Note 7, salah satu smartphone Samsung yang paling canggih. Diluncurkan tanggal 19 Agustus 2016, Samsung menghentikan penjualan telepon dalam waktu 2 minggu dan mengumumkan setelah menerima keluhan bahwa telepon tersebut menghasilkan panas yang berlebihan dan terbakar.

Sebuah recall resmi diumumkan pada tanggal 15 September 2016 oleh Komisi CPSC (Consumer Product Safety Commission) di Amerika Serikat, AS, setelah muncul 92 laporan tentang overheating telepon, termasuk 25 laporan luka bakar dan 55 laporan kerusakan properti.

Samsung menukar ponsel yang terkena dampak dengan versi terbaru menggunakan baterai dari pemasok yang berbeda. Namun, Samsung akhirnya menghentikan produksi perangkat ini tanggal 11 Oktober. Samsung akhirnya menarik kembali 2,5 juta ponsel Galaxy 7 di seluruh dunia. Dilaporkan bahwa setidaknya 112 ponsel Galaxy Note 7 terbakar pada bulan pertama penjualan. Credit Suisse menilai bahwa Samsung kehilangan setidaknya 17 miliar dollar pendapatannya akibat penarikan kembali produk ini, begitu catatan Wikipedia 2017.

Catatan diatas memperilhatkan betapa pentingnya kita kembali menyadari pentingnya upaya terus menerus untuk mengembangkan Roadmap to Zero Accident dalam setiap program pengembangan produk baik layanan jasa penerbangan, layanan jasa transportasi darat, laut dan kereta api maupn dalam pengembangan produk industry otomotive, produk mainan anak anak dan segala jenis produk makanan serta pembangunan infrastruktur berbasis teknologi tinggi.

Zero Accident mirip seperti kata kata dan definisi yang ditulis Wynand Serfontein tahun 2014: Zero Harm” is a “do not” target. “Do” targets are possible, while “do not” is often impossible.

The focus should be on aspects like “the best available and reasonable safety practices”, or “improved measures” or “better hazard/ risk identification.” These are things that can be done.

If you tell me “do not get injured”, I am going to ask you “How will I not get injured?” What will your answer be? If you do have an answer, I bet it will probably be a list of things I should DO.

Zero Harm adalah target ” jangan sampai terjadi”. Jika target berupa angka ditetapkan, biasanya hal ini dapat dilakukan, sementara target “jangan sampai terjadi” seringkali sukar dilakukan tetapi belum tentu tidak dapat dilakukan.

Fokus kegiatan untuk mencapai “Zero Accident” atau Zero Harm adalah seperti target yang dikembangkan oleh GE dibawah kepemimpinan Jack Welch tentang Zero Waste bermetode Six Sigma. Harus ada identifikasi pada aspek seperti “praktik keselamatan terbaik yang tersedia dan yang masuk akal”, atau “tindakan perbaikan” atau “identifikasi bahaya / risiko yang lebih baik.” Ini adalah tentang daftar hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya accident melalui Ketelitian, Keteraturan, Kecermatan dan Kedisiplinan untuk mengikuti standard kerja yang telah ditetapkan.

Jika kita mengatakan kepada diri sendiri “jangan sampai terluka”,ketika sedang mengenderai mobil atau memotong sayur, maka pasti kita akan berlatih menyetir yang baik atau berlatih puluhan jam untuk menggunakan pisau dapur dalam memotong daging atau sayur.

Kita akan selalu bertanya kepada para ahli yang memiliki jam terbang sebgai Chef atau Safety Driver “Bagaimana agar saya tidak terluka ketika menyetir atau memotong daging dan sayur ?” Apa jawaban para ahli ? Jika mereka memiliki jawaban,dan saya yakin para ahli pasti memiliki jawabannya. Maka apa yang ditulis dan dianjurkan dalam rekomendasi para ahli itu pasti akan menjadi daftar hal yang harus dilakukan.

Better Safe than Accident.
Mohon Maaf Jika ada yang keliru. Salam

Menghentikan Sementara Pembangunan Jalan Layang : Decision After so many Accident ?

Jusman Syafii Djamal
February 23, 2018

Pembangunan infrastruktur jalan layang dihentikan. Apa perlu ? Begitu saya menulis didalam facebook saya. Sebab Ketika membaca statement diatas sebagai seorang insinyur penerbangan sy jadi bertanya , lantas industri dan kontraktor kontruksi bangunan bertingkat Indonesia bagaimana nasib nya ? Pertanyaan ini diajukan ketika saya sedang diatas mobil menuju bandung. Dikiri jalan saya melihat kemajuan pekerjaan pembangunan infrastruktur LRT. Di kanan jalan juga berdiri tiang kokoh dari konstruksi jalan bertingkat. Pekerjaan nya dari segi kualitas dan kerapihan sangat membanggakan.

Sebab memang ilmu Teknik bangunan sipil termasuk ilmu tertua bidang ke insinyuran di Indonesia. Juga industri konstruksi bangunan dengan Mata rantai supply chain subkontraktor nya telah terbangun menjadi network keahlian yg patut diunggulkan. Keahlian insinyur sipil dan ahli kontraktor bangunan bertingkat Indonesia termasuk top rank di kawasan Asia

Kita mengenal jejak karya Insinyur Sukarno di hotel Preanger, bangunan bertingkat zaman old. Begitu juga jejak karya ir Rooseno dan Ir Sutami yg menbangun bangunan konstruksi jalan layang pertama di Indonesia. Jembatan Semangi, Hotel Indonesia, Hotel Nusantara , Gedung Gelora Bung Karno adalah jejak keahlian insinyur Indonesia generasi tahun 60 an yang tak lapuk ditelan zaman.

Begitu juga jalan tol konstruksi cakar ayam, teknologi sosrobahu yang disegani oleh insinyur dan para ahli dunia. Ada juga jejak keahlian masa lalu tentang “space structure”, konstruksi yg menggantung di udara hanya dgn kombinasi clamp dan ball joint untuk atap bandara. Kubah mesjid dan juga hasil rekayasa rancang bangun ir Wiratman ahli bangunan tahan gempa yg sudah almarhum, yang memimpi kan pembangunan jembatan layang penghubung Jawa Sumatera.

Kecelakaan pembangunan jalan layang yang berturut turut terjadi memang menyedihkan dan perlu solusi. Tetapi sebab sebab terjadi nya kecelakaan belum lah terang benderang. Apakah karena salah disain, salah rancang bangun , salah tatacara konstruksi, atau sebab lainnya.

Di tahun 2007 ketika diminta menangani jumlah kecelakaan transportasi yang hampir setiap Hari terjadi tahun 2006 di seluruh Indonesia, banyak tekanan publik yang meminta agar kementerian perhubungan untuk mencabut segala jenis izin. Baik angkutan darat , cabut izin operasi bis yg alami kecelakaan, izin operasi maskapai, izin pelayaran termasuk izin kereta api yg sering anjlok. Akan tetapi pengalaman saya hampir lebih 20 tahun di industri penerbangan mengingatkan saya bahwa tidak mungkin ada perusahaan yang secara sengaja didirikan untuk membuat tragedi. Tidak mungkin ada bis, kereta api, kapal dan pesawat terbang yang dirancang secara sengaja untuk menjadi “moving coffin” atau peti mati bergerak mencari korban.

Accident should be managed properly. Tiap kecelakaan mengikuti hukum Murphy, if something goes wrong goes wrong. Jika segala sesuatu tidak ditempatkan pada rel atau jalan aktivitas yg seharusnya dilakukan dengan baik dan benar, Benih kecelakaan yang tertidur dalam sistem akan bangkit tumbuh berkembang. Kecelakaan tidak pernah muncul sebagai akibat dari satu sumber peristiwa. Ada rangkaian kejadian yg mendahului nya.

Karena itu investigasi kecelakaan transportasi dan accident lainnya berbeda dgn investigasi peristiwa kriminal. Penyelidikan kriminal arah nya selalu siapa yg harus dihukum , apa bukti baik berupa evidence maupun motif. TKP harus di sealed, tidak boleh ada benda di lokasi kejadian yg ber pindah tempat dan digunakan. Segala jenis barang yg Ada dilokasi TKP adalah barang bukti. Tutup TKP dan analisa.

Sementara penyeludikan kecelakaan punya metode berbeda. Science approach. Interview, lihat barang bukti analisa Mata rantai melalui fault tree diagram bangun skenario tentang kemungkinan penyebab kecelakaan. Temukan alur nya mengapa accident terjadi. Apakah man made berupa error decision , kelalaian ikuti standard operating procedure , ketidak telitian operasi dilapangan akibat kelelahan, penerangan yg tdk memadai diwaktu malam, pekerja belum dapat makan dan sebab sebab lain nya untuk menemukan “clue” bukan untuk mencari Siapa yg salah.

Adagium KNKT atau Komite Nasional Keselamatan Transportasi National Transportation safety committee atau NTSC yang dilahirkan atas dasar gagasan Prof Oetarjo Diran, pendiri jurusan Teknologi Penerbangan yg kini sudah almarhum jelas sekali : investigasi kecelakaan bukan “blaming game”. Tidak untuk mencari Siapa yang salah dan menjatuhkan hukuman atau efek jera. Melainkan untuk mencari akar masalah supaya peristiwa serupa tidak terjadi dimasa depan.

Mengapa ? Sebab kegiatan ekonomi, arus penumpang dan arus barang harus tetap terjaga keberlangsungan hidupnya. Sistim logistik merupakan jantung perekonomian. Begitu juga “freedom of movement”, kebebasan orang bergerak dari satu kota asal ke kota tujuan harus difasilitasi dengan pelbagai kemudahan. life must go on.

Aktivitas bisnis untuk menggerakkan roda ekonomi harus terus berjalan. Mengatasi krisis sebaiknya dilakukan dengan tidak melahirkan krisis baru. Bisnis dan aktivitas ekonomi memerlukan jembatan udara berupa pesawat terbang, jembatan dan tol laut berupa kapal laut. Begitu juga kemacetan lalu lintas yg sudah menahun terjadi memerlukan konstruksi bangunan bertingkat. Dan di Indonesia menurut hemat saya generasi muda insinyur kontruksi bangunan yang jauh lebih baik dan lebih pintar dari generasi 45, 60 dan 70 an banyak sekali. Every genius of his times selalu datang pergi.
Serahkan tiap pekerjaan dan tupoksi pada ahlinya.

Mudah mudahan penghentian pembangunan infrastruktur jalan layang ini bersifat sementara. Dengan kata lain memiliki batas waktu dan kriteria yang sederhana untuk dilaksanakan kembali. Sebab tidak mudah menjaga momentum pembangunan infrastruktur. Jeda sedikit dapat melahirkan bangunan mangkrak jadi monument. Mudah2an tidak terjadi.

Mohon Maaf jika food for thought ini ada yg keliru. Salam

Bisnis Jasa Penerbangan Padat Teknologi, Bukan Layanan Bisnis Tukang Cukur ? : Sebuah Catatan

JUSMAN SYAFII DJAMAL·
FRIDAY, FEBRUARY 23, 2018

Ketika saya sering menulis di Facebook tentang pelbagai hal, kecuali tentang perusahaan tempat saya bekerja yakni Garuda Indonesia meski sering banyak ahli yang melontarkan pendapatnya dan saya diam saja, banyak kritik dan rekomendasi agar saya berhenti menulis di facebook. Lebih baik focus saja pada pekerjaan yang saya tekuni sekarang. Kata mereka yang sayang pada saya bilang begini :”nanti keseringan main facebook dan menulis kanan kiri, bisa lupa waktu, anak istri dan juga pekerjaan yang jadi tanggung jawab”. Kalau mau menulis ya tulis lah pak hanya bidang keahlian Bapak saja, yakni pesawat terbang dan maskapai penerbangan. Jangan yang lainnya.

Itu permintaan banyak teman facebook saya, yang mungkin belum kenal baik saya. Yang sejak mahasiswa memang sudah seperti ini. Suka menulis dan belajar tentang fenomena sekitar entah itu kehidupan masyarakat, fenomena ekonomi atau juga kemajuan teknologi. Lagipula sebagai perusahaan publik, komut Garuda itu memiliki kendala untuk tidak boleh banyak bicara dan banyak menulis tentang perusahaan sendiri. Sebab sebagai perusahaan publik, OJK telah mengatur tatacara informasi disampaikan. Ada kewajiban perusahaan Tbk agar menyajikan informasi yang sudah selalu hadir setiap kwartal yang berisi laporan Q1, Q2,Q3 dan Q4 yang transparant telah dilakukan oleh Direksi.

Karenanya Saya Cuma bisa menjawab : “yah bagaimana lagi ya . Habis setiap hari saya punya rutinitas yang secara kebetulan muncul. Kebetulan rumah saya dekat dengan mesjid. Jadi saya selalu terbangun jam 4 pagi. Meski tidurnya larut. Mengapa ? karena tepat dijendela kamar saya berjarak kurang lebih 100 meter, ada sebuah loudspeaker dari masjid sebelah yang selalu menyalak tepat waktu. Ada pengumuman dan azan untuk mengajak shalat shubuh. Akibatnya saya punya banyak waktu untuk bercengkrama dengan komputer sehabis menunaikan kewajiban shalat saya. Kebetulan kami sekarang hanya tinggal berdua dirumah. Anak anak berpencar kuliah di kota berbeda. Jadi ya paling baik ,waktu yang ada dimanfaatkan untuk menulis segala sesuatu yang menyenangkan hati.

Hasilnya ada lima buku saya terbit.
Buku Pertama judulnya Grand Strategy Techno Economy. Saya tulis tahun 2008 ketika saya ingin mengajak mertua saya yang tinggal serumah untuk bangkit kembali setelah alami stroke. Tangan kanan nya yang lumpuh saya minta mulai dilatih untuk menulis dengan pulpen setiap pagi. Hasil coretan nya jika dimalam hari saya kembangkan jadi paragraph dan halaman buku. Kemudian saya minta beliau mengkoreksinya. Dengan cara itu ingatan beliau pulih kembali dan tangan kanannya dapat bergerak normal kembali. Kemudian buku itu diedit dan diperbaiki kalimat nya untuk disesuaikan dengan ejaan dan tatabahasa yang baik dan benar oleh seorang teman yang kebetulan jadi wartawan Gatra, Hatim Ilwan.

Buku kedua saya bercerita tentang profesi saya yakni industri penerbangan. Bertepatan dengan perayaan 100 tahun penerbangan komersial didunia, 1 Januari tahun 2014 saya menulis buku kedua. Judulnya “From St Louis to Seulawah” Masa Depan Transportasi Udara di zaman yang berubah.

Penerbangan komersial pertama dimulai dengan tiket seharga US $ 400 dan waktu penerbangan hanya kurang lebih 30 km dari kota St. Petersburg menuju Tampa, di Florida Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Januari 1914, pilot Tony Jannus dari St Petersburg-Tampa Airboat Line mengantar penumpang pertamanya yang membayar, Abram Pheil, bekas walikota St. Petersburg, ke Tampa. Tiket dijual dalam sebuah lelang yang dipublikasikan secara massive, hanya untuk memperebutkan satu-satunya kursi passenger di pesawat terbang. Penerbangannya singkat – hanya 23 menit – sementara pesawat terbang di ketinggian rata-rata 15 kaki di atas perairan terbuka diatas teluk yang memisahkan kedua kota tersebut.

Pesawat Jannus adalah XVI Benoist, sebuah pesawat dua tempat duduk kecil dengan kokpit terbuka. Nama Thomas W. Benoist penerbang dan produsen pesawat terbang Amerika yang terkenal , ditahbiskan disana.

Dalam buku berjudul From St Louis to Seulawah itu, saya bercerita tentang bagaimana seorang Chief Executive Officer (CEO) Air France, maskapai penerbangan nasional milik Prancis, pada 1993, sering pusing tujuh keliling.

Saban pulang ke rumah di senja hari, sang CEO selalu mendapati kiriman faks dari kantornya yang berisi data kerugian perusahaannya. Angka kerugian hariannya pun cukup bikin jantung copot , yakni sekitar US$ 4 juta. Tak mengherankan jika di akhir tahun, Air France mengalami kerugian hingga mencapai US$ 1,5 miliar.

Sepuluh tahun kemudian, pada 2003, nasib yang sama dialami chairman maskapai penerbangan Amerika Serikat, United Airlines. Setiap hari ia berkeluh kesah kepada istrinya bahwa maskapai penerbangan yang dikelolanya terus merugi. Angka kerugiannya pun tak kalah fantastis. Saban hari, salah satu raksasa maskapai penerbangan asal “negeri Paman Sam” itu mengalami kerugian hingga US$ 7,7 juta. Total jenderal, United Airlines merugi US$ 2,8 miliar pada tahun itu.

Angka kerugian Air France jelas memperlihatkan satu contoh tingkat kedalaman lembah finansial yang dihadapi maskapai penerbangan saat krisis tahun 1990-an. Tahun yang tercatat sebagai hari-hari buruk bisnis jasa penerbangan.

Dua kisah yang berselang 10 tahun dan terjadi di dua kawasan berbeda –satu di Prancis, Benua Eropa, satu lagi di Amerika Serikat– itu memperlihatkan gejala bisnis yang juga dialami pengelola maskapai penerbangan lainnya.

Tidak terkecuali di Indonesia, seperti yang dialami Bouraq, Adam Air, Batavia Air, Mandala dan juga Merpati. They were not alone. Kisah sedih kebangkrutan maskapai penerbangan ini yang menyebabkan mungkin persepsi banyak kalangan tentang maskapai penerbangan jadi seperti penuh rasa khawatir. Seolah setiap hari ada krisis menanti ditikungan. Padahal jika terus dipenuhi rasa takut , insan dirgantara diseluruh dunia pasti akan menutup bisnis ini dan pindah bisnis lainnya. Dan akibatnya kita kehilangan momentum bisnis karena wahana berinteraksi tatap muka antara pelaku bisnis beda benua tidak terjadi. Maskapai penerbangan kini sudah jadi kebutuhan strategis, jembatan dan tol udara yang menyebabkan setiap orang dapat makan malam di jakarta, makan pagi di Tokyo dan makan siang di Amsterdam.

Pengalaman CEO Air France dan Chairman United Airlines yang diceritakan diatas menjadi salah satu kisah menarik dari buku karya Rigas Doganis yang berjudul Airline Business. Dalam karyanya itu, Doganis menyebutkan bahwa maskapai penerbangan merupakan badan usaha yang bergerak dalam ekosistem bisnis yang bersiklus pasang-surut dengan margin yang tipis .A cyclical and marginal industry.

Dalam buku lainnya, berjudul Flying Off Course, Rigas Doganis menjelaskan tentang siklus alamiah industri maskapai penerbangan yang terang benderang. Pengalaman di banyak negara, memperlihatkan bahwa bisnis maskapai penerbangan sering mengalami masa suram. Keuntungan sulit diperoleh, sedangkan biaya operasional terus meningkat. Namun biasanya masa sulit ini berlangsung empat atau lima tahun. Kemudian masa suram ini, menurut profesor tamu bidang transportasi udara pada College of Aeronautics Cranfield University itu, bakal berganti dengan musim panen –bisnis berkembang selama lima atau enam tahun. Meskipun demikian, dalam tahun-tahun yang baik sekalipun, net profit maskapai penerbangan setelah dikurangi pajak dan bunga pinjaman hanya berkisar 2-3% dari nilai pendapatan.

Semua sepakat bahwa maskapai penerbangan adalah bisnis padat modal dan teknologi. Bisnis maskapai penerbangan amat kompetitif penuh risiko, meski dalam setiap risiko selalu tersembunyi keberuntungan. Ada adagium “no pain, no gain”. Jika tak mau menderita, sulit untuk memperoleh keberuntungan. Tak salah jika ketika kecil kita diajari pepatah: “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.

Bisnis maskapai penerbangan padat peralatan berteknologi tinggi. Teknologi tinggi terejawantahkan dalam bentuk produk pesawat terbang, terimplementasi dalam proses bisnis, serta bersenyawa sebagai ekosistem manajemen operasi dan finansial maskapai penerbangan. Pesawat terbang, sarana-prasarana perawatan pesawat terbang, simulator training awak pesawat, dan peralatan utama “ground support” serta jaringan komputer dan internet dalam sistem booking tiket, hingga check-in penumpang mengandung kadar teknologi tinggi.

Bisnis maskapai penerbangan merupakan hibrida dari dua DNA industry. Industri retail dan industry manufaktur. DNA industry retail menyebabkan para pengelola maskapai penerbangan harus selalu berorientasi harian dan jangka pendek. Seperti hotel, kamar terisi berapa jika belum ada pesanan apakah harga harus dibanting tidak, jika diturunkan bagaimana dengan citra atau image yang muncul. Jika harga diturunkan apakah revenue menutup biaya tidak. Begitu seterusnya EBITDAR menjadi focus.

Secara alamiah, DNA industry retail pada bisnis maskapai penerbangan menyebabkan lahir persepsi bahwa bisnis airline sama seperti bisnis jasa pelayanan atau services industry. Dalam beberapa hal tampak luar, ia mirip dengan pembesaran skala dan volume perputaran uang pada bisnis tukang cukur, katering makanan, dunia entertain, atau bioskop. Tapi, pernahkah kita membedakan antara sistem pembayaran di industri maskapai penerbangan dengan jasa tukang cukur? Di industri penerbangan, tanpa tiket, seorang penumpang tak bisa diangkut. Artinya, pembayaran mendahului layanan jasa yang diterima. Sedangkan dalam layanan potong rambut, dicukur dulu, baru bayar, atau layanan jasa mendahului pembayaran.

Karena itu, tiap hari bisnis pengelola maskapai penerbangan merasa selalu kaya dengan uang tunai yang mengalir dari pembayaran pemesanan tiket atau bersifat “cash rich”, meski kewajiban mengangkut penumpang belum dilaksanakan. Namun, lantaran menerima pembayaran sebelum jasa diberikan itulah, pelanggan di industri penerbangan ingin diperlakukan seperti raja. Customer is the king.

Volume uang masuk mendahului kewajiban ini membawa pengaruh tersendiri. Kantong terasa tebal, hati terasa ingin terus mentraktir orang lain. Karena itu, tak jarang pengelola maskapai penerbangan terkecoh untuk selalu berlomba memberikan kemudahan layanan bagi pelanggan. Mereka terfokus pada “demand side” dan mencoba menemukan terus jalan untuk meberikan “diskon dan pelbagai hadiah” guna menarik penumpang sebanyak-banyaknya. Prilaku banting harga ini menimbulkan resiko, menurunnya profit margin industri jasa ini akibat kompetisi banting harga tanpa kendali.

Ketika melaksanakan kewajiban melayani dan mengangkut fenomena bisnis mungkin berubah. Uang yang diterima sebelumnya ketika penumpang membeli ticket, harus ditombokin karena biaya operasi tiba tiba meningkat, misal akibat kenaikan harga bahan bakar. Naiknya sewa garbarata, tarmac ataupun ongkos parkir serta biaya sewa gudang dan lounge di bandara. Gap ini harus selalu menjadi pusat perhatian para pengelola.

Sementara DNA Industri manufaktur yang melekat pada Industri jasa maskapai penerbangan mengandung konsekwensi cara pandang tata kelola berbda. Persfektip jangka panjang tentang efisiensi dan produktivitas pesawat terbang baru dalam satu rute akibat kemajuan teknologi misalnya, perlu masuk dalam radar. Planning tentang roadmap to zero accident, roadmap to safety, perawatan alat peralatan utama yang tepat waktu dan sesuai jadwal harus dialokasikan biayanya. Tatacara produksi jasa yang memenuhi kaidah operasional sesuai regulasi yang ditentukan oleh Regulator perlu dikelola tepat sasaran. Semuanya Costly dan jangka panjang.

Kadar teknologi canggih yang bersenyawa dalam infrastrukur bisnis ini menyebabkan maskapai penerbangan rentan terhadap perubahan dan fluktuasi nilai tukar mata uang. Sebab biasanya infrastruktur berupa pesawat terbang dan peralatan teknologi lainnya dibeli atau disewa dalam mata uang dolar Amerika, sedangkan pemasukan dari penjualan tiket dan kargo dibayar dengan nilai rupiah atau mata uang lokal.

Fluktuasi nilai mata uang dengan sendirinya memiliki pengaruh terhadap perhitungan biaya dan pendapatan yang bisa berdampak negatif atau positif pada margin keuntungan. Tanpa hitungan yang cermat dan teliti, biaya sewa atau depresiasi dan amortisasi yang menyertai dan bersenyawa setiap jam dalam pemanfaatan infrastruktur ini seringkali dinomorduakan. Muncul masalah “cost of capital” di belakang hari yang menyertainya.

Tidak mudah mengelola dua DNA Industri yang mengalir dalam darah disatu tubuh. Seringkali jika yang jadi pusat perhatian adalah sisi pendapatan atau revenue, banyak aspek beban biaya yang merambat naik tanpa terasa (creeping cost).

Akibatnya mata tidak boleh pindah dari bola biaya yang bergerak kesana kesini akibat peningkatan cost of capital, dan cost of doing bisnis seperti kenaikan harga bahan bakar, kenaikan pungutan, pajak penumpang atau airport tax, sewa konsesi ruangan penumpang ataupun kargo di bandara, biaya sewa tempat parkir dan landas pacu serta biaya tata kelola lalulintas udara yang dibebankan sebagai biaya operasi.

Bisnis jasa Maskapai Penerbangan yang padat modal, padat teknologi dan padat regulasi memang sangat berbeda dengan bisnis tukang cukur, layanan jasa rumah makan dan perhotelan atau juga solution provider seperti telecomunivation dan digital platform lainnya.

Tidak mudah tetapi menyenangkan bagi yang sudah hidup dalam profesi bidang keahlian teknologi dirgantara lebih dari 20 tahun. Saya share pengalaman pribadi ini, agar teman teman facebook yang sudah menasehati saya berhenti menulis bisa memahami “addiction to read and write” yang muncul karena sosial mediabernama facebook ini. Beruntung saya punya isteri Arita yang selalu ingatkan saya untuk berhenti, jika lupa sekitar.

Mohon Maaf jika ada yang keliru disini. Salam