JUSMAN SYAFII DJAMAL·
FRIDAY, FEBRUARY 23, 2018
Ketika saya sering menulis di Facebook tentang pelbagai hal, kecuali tentang perusahaan tempat saya bekerja yakni Garuda Indonesia meski sering banyak ahli yang melontarkan pendapatnya dan saya diam saja, banyak kritik dan rekomendasi agar saya berhenti menulis di facebook. Lebih baik focus saja pada pekerjaan yang saya tekuni sekarang. Kata mereka yang sayang pada saya bilang begini :”nanti keseringan main facebook dan menulis kanan kiri, bisa lupa waktu, anak istri dan juga pekerjaan yang jadi tanggung jawab”. Kalau mau menulis ya tulis lah pak hanya bidang keahlian Bapak saja, yakni pesawat terbang dan maskapai penerbangan. Jangan yang lainnya.
Itu permintaan banyak teman facebook saya, yang mungkin belum kenal baik saya. Yang sejak mahasiswa memang sudah seperti ini. Suka menulis dan belajar tentang fenomena sekitar entah itu kehidupan masyarakat, fenomena ekonomi atau juga kemajuan teknologi. Lagipula sebagai perusahaan publik, komut Garuda itu memiliki kendala untuk tidak boleh banyak bicara dan banyak menulis tentang perusahaan sendiri. Sebab sebagai perusahaan publik, OJK telah mengatur tatacara informasi disampaikan. Ada kewajiban perusahaan Tbk agar menyajikan informasi yang sudah selalu hadir setiap kwartal yang berisi laporan Q1, Q2,Q3 dan Q4 yang transparant telah dilakukan oleh Direksi.
Karenanya Saya Cuma bisa menjawab : “yah bagaimana lagi ya . Habis setiap hari saya punya rutinitas yang secara kebetulan muncul. Kebetulan rumah saya dekat dengan mesjid. Jadi saya selalu terbangun jam 4 pagi. Meski tidurnya larut. Mengapa ? karena tepat dijendela kamar saya berjarak kurang lebih 100 meter, ada sebuah loudspeaker dari masjid sebelah yang selalu menyalak tepat waktu. Ada pengumuman dan azan untuk mengajak shalat shubuh. Akibatnya saya punya banyak waktu untuk bercengkrama dengan komputer sehabis menunaikan kewajiban shalat saya. Kebetulan kami sekarang hanya tinggal berdua dirumah. Anak anak berpencar kuliah di kota berbeda. Jadi ya paling baik ,waktu yang ada dimanfaatkan untuk menulis segala sesuatu yang menyenangkan hati.
Hasilnya ada lima buku saya terbit.
Buku Pertama judulnya Grand Strategy Techno Economy. Saya tulis tahun 2008 ketika saya ingin mengajak mertua saya yang tinggal serumah untuk bangkit kembali setelah alami stroke. Tangan kanan nya yang lumpuh saya minta mulai dilatih untuk menulis dengan pulpen setiap pagi. Hasil coretan nya jika dimalam hari saya kembangkan jadi paragraph dan halaman buku. Kemudian saya minta beliau mengkoreksinya. Dengan cara itu ingatan beliau pulih kembali dan tangan kanannya dapat bergerak normal kembali. Kemudian buku itu diedit dan diperbaiki kalimat nya untuk disesuaikan dengan ejaan dan tatabahasa yang baik dan benar oleh seorang teman yang kebetulan jadi wartawan Gatra, Hatim Ilwan.
Buku kedua saya bercerita tentang profesi saya yakni industri penerbangan. Bertepatan dengan perayaan 100 tahun penerbangan komersial didunia, 1 Januari tahun 2014 saya menulis buku kedua. Judulnya “From St Louis to Seulawah” Masa Depan Transportasi Udara di zaman yang berubah.
Penerbangan komersial pertama dimulai dengan tiket seharga US $ 400 dan waktu penerbangan hanya kurang lebih 30 km dari kota St. Petersburg menuju Tampa, di Florida Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Januari 1914, pilot Tony Jannus dari St Petersburg-Tampa Airboat Line mengantar penumpang pertamanya yang membayar, Abram Pheil, bekas walikota St. Petersburg, ke Tampa. Tiket dijual dalam sebuah lelang yang dipublikasikan secara massive, hanya untuk memperebutkan satu-satunya kursi passenger di pesawat terbang. Penerbangannya singkat – hanya 23 menit – sementara pesawat terbang di ketinggian rata-rata 15 kaki di atas perairan terbuka diatas teluk yang memisahkan kedua kota tersebut.
Pesawat Jannus adalah XVI Benoist, sebuah pesawat dua tempat duduk kecil dengan kokpit terbuka. Nama Thomas W. Benoist penerbang dan produsen pesawat terbang Amerika yang terkenal , ditahbiskan disana.
Dalam buku berjudul From St Louis to Seulawah itu, saya bercerita tentang bagaimana seorang Chief Executive Officer (CEO) Air France, maskapai penerbangan nasional milik Prancis, pada 1993, sering pusing tujuh keliling.
Saban pulang ke rumah di senja hari, sang CEO selalu mendapati kiriman faks dari kantornya yang berisi data kerugian perusahaannya. Angka kerugian hariannya pun cukup bikin jantung copot , yakni sekitar US$ 4 juta. Tak mengherankan jika di akhir tahun, Air France mengalami kerugian hingga mencapai US$ 1,5 miliar.
Sepuluh tahun kemudian, pada 2003, nasib yang sama dialami chairman maskapai penerbangan Amerika Serikat, United Airlines. Setiap hari ia berkeluh kesah kepada istrinya bahwa maskapai penerbangan yang dikelolanya terus merugi. Angka kerugiannya pun tak kalah fantastis. Saban hari, salah satu raksasa maskapai penerbangan asal “negeri Paman Sam” itu mengalami kerugian hingga US$ 7,7 juta. Total jenderal, United Airlines merugi US$ 2,8 miliar pada tahun itu.
Angka kerugian Air France jelas memperlihatkan satu contoh tingkat kedalaman lembah finansial yang dihadapi maskapai penerbangan saat krisis tahun 1990-an. Tahun yang tercatat sebagai hari-hari buruk bisnis jasa penerbangan.
Dua kisah yang berselang 10 tahun dan terjadi di dua kawasan berbeda –satu di Prancis, Benua Eropa, satu lagi di Amerika Serikat– itu memperlihatkan gejala bisnis yang juga dialami pengelola maskapai penerbangan lainnya.
Tidak terkecuali di Indonesia, seperti yang dialami Bouraq, Adam Air, Batavia Air, Mandala dan juga Merpati. They were not alone. Kisah sedih kebangkrutan maskapai penerbangan ini yang menyebabkan mungkin persepsi banyak kalangan tentang maskapai penerbangan jadi seperti penuh rasa khawatir. Seolah setiap hari ada krisis menanti ditikungan. Padahal jika terus dipenuhi rasa takut , insan dirgantara diseluruh dunia pasti akan menutup bisnis ini dan pindah bisnis lainnya. Dan akibatnya kita kehilangan momentum bisnis karena wahana berinteraksi tatap muka antara pelaku bisnis beda benua tidak terjadi. Maskapai penerbangan kini sudah jadi kebutuhan strategis, jembatan dan tol udara yang menyebabkan setiap orang dapat makan malam di jakarta, makan pagi di Tokyo dan makan siang di Amsterdam.
Pengalaman CEO Air France dan Chairman United Airlines yang diceritakan diatas menjadi salah satu kisah menarik dari buku karya Rigas Doganis yang berjudul Airline Business. Dalam karyanya itu, Doganis menyebutkan bahwa maskapai penerbangan merupakan badan usaha yang bergerak dalam ekosistem bisnis yang bersiklus pasang-surut dengan margin yang tipis .A cyclical and marginal industry.
Dalam buku lainnya, berjudul Flying Off Course, Rigas Doganis menjelaskan tentang siklus alamiah industri maskapai penerbangan yang terang benderang. Pengalaman di banyak negara, memperlihatkan bahwa bisnis maskapai penerbangan sering mengalami masa suram. Keuntungan sulit diperoleh, sedangkan biaya operasional terus meningkat. Namun biasanya masa sulit ini berlangsung empat atau lima tahun. Kemudian masa suram ini, menurut profesor tamu bidang transportasi udara pada College of Aeronautics Cranfield University itu, bakal berganti dengan musim panen –bisnis berkembang selama lima atau enam tahun. Meskipun demikian, dalam tahun-tahun yang baik sekalipun, net profit maskapai penerbangan setelah dikurangi pajak dan bunga pinjaman hanya berkisar 2-3% dari nilai pendapatan.
Semua sepakat bahwa maskapai penerbangan adalah bisnis padat modal dan teknologi. Bisnis maskapai penerbangan amat kompetitif penuh risiko, meski dalam setiap risiko selalu tersembunyi keberuntungan. Ada adagium “no pain, no gain”. Jika tak mau menderita, sulit untuk memperoleh keberuntungan. Tak salah jika ketika kecil kita diajari pepatah: “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Bisnis maskapai penerbangan padat peralatan berteknologi tinggi. Teknologi tinggi terejawantahkan dalam bentuk produk pesawat terbang, terimplementasi dalam proses bisnis, serta bersenyawa sebagai ekosistem manajemen operasi dan finansial maskapai penerbangan. Pesawat terbang, sarana-prasarana perawatan pesawat terbang, simulator training awak pesawat, dan peralatan utama “ground support” serta jaringan komputer dan internet dalam sistem booking tiket, hingga check-in penumpang mengandung kadar teknologi tinggi.
Bisnis maskapai penerbangan merupakan hibrida dari dua DNA industry. Industri retail dan industry manufaktur. DNA industry retail menyebabkan para pengelola maskapai penerbangan harus selalu berorientasi harian dan jangka pendek. Seperti hotel, kamar terisi berapa jika belum ada pesanan apakah harga harus dibanting tidak, jika diturunkan bagaimana dengan citra atau image yang muncul. Jika harga diturunkan apakah revenue menutup biaya tidak. Begitu seterusnya EBITDAR menjadi focus.
Secara alamiah, DNA industry retail pada bisnis maskapai penerbangan menyebabkan lahir persepsi bahwa bisnis airline sama seperti bisnis jasa pelayanan atau services industry. Dalam beberapa hal tampak luar, ia mirip dengan pembesaran skala dan volume perputaran uang pada bisnis tukang cukur, katering makanan, dunia entertain, atau bioskop. Tapi, pernahkah kita membedakan antara sistem pembayaran di industri maskapai penerbangan dengan jasa tukang cukur? Di industri penerbangan, tanpa tiket, seorang penumpang tak bisa diangkut. Artinya, pembayaran mendahului layanan jasa yang diterima. Sedangkan dalam layanan potong rambut, dicukur dulu, baru bayar, atau layanan jasa mendahului pembayaran.
Karena itu, tiap hari bisnis pengelola maskapai penerbangan merasa selalu kaya dengan uang tunai yang mengalir dari pembayaran pemesanan tiket atau bersifat “cash rich”, meski kewajiban mengangkut penumpang belum dilaksanakan. Namun, lantaran menerima pembayaran sebelum jasa diberikan itulah, pelanggan di industri penerbangan ingin diperlakukan seperti raja. Customer is the king.
Volume uang masuk mendahului kewajiban ini membawa pengaruh tersendiri. Kantong terasa tebal, hati terasa ingin terus mentraktir orang lain. Karena itu, tak jarang pengelola maskapai penerbangan terkecoh untuk selalu berlomba memberikan kemudahan layanan bagi pelanggan. Mereka terfokus pada “demand side” dan mencoba menemukan terus jalan untuk meberikan “diskon dan pelbagai hadiah” guna menarik penumpang sebanyak-banyaknya. Prilaku banting harga ini menimbulkan resiko, menurunnya profit margin industri jasa ini akibat kompetisi banting harga tanpa kendali.
Ketika melaksanakan kewajiban melayani dan mengangkut fenomena bisnis mungkin berubah. Uang yang diterima sebelumnya ketika penumpang membeli ticket, harus ditombokin karena biaya operasi tiba tiba meningkat, misal akibat kenaikan harga bahan bakar. Naiknya sewa garbarata, tarmac ataupun ongkos parkir serta biaya sewa gudang dan lounge di bandara. Gap ini harus selalu menjadi pusat perhatian para pengelola.
Sementara DNA Industri manufaktur yang melekat pada Industri jasa maskapai penerbangan mengandung konsekwensi cara pandang tata kelola berbda. Persfektip jangka panjang tentang efisiensi dan produktivitas pesawat terbang baru dalam satu rute akibat kemajuan teknologi misalnya, perlu masuk dalam radar. Planning tentang roadmap to zero accident, roadmap to safety, perawatan alat peralatan utama yang tepat waktu dan sesuai jadwal harus dialokasikan biayanya. Tatacara produksi jasa yang memenuhi kaidah operasional sesuai regulasi yang ditentukan oleh Regulator perlu dikelola tepat sasaran. Semuanya Costly dan jangka panjang.
Kadar teknologi canggih yang bersenyawa dalam infrastrukur bisnis ini menyebabkan maskapai penerbangan rentan terhadap perubahan dan fluktuasi nilai tukar mata uang. Sebab biasanya infrastruktur berupa pesawat terbang dan peralatan teknologi lainnya dibeli atau disewa dalam mata uang dolar Amerika, sedangkan pemasukan dari penjualan tiket dan kargo dibayar dengan nilai rupiah atau mata uang lokal.
Fluktuasi nilai mata uang dengan sendirinya memiliki pengaruh terhadap perhitungan biaya dan pendapatan yang bisa berdampak negatif atau positif pada margin keuntungan. Tanpa hitungan yang cermat dan teliti, biaya sewa atau depresiasi dan amortisasi yang menyertai dan bersenyawa setiap jam dalam pemanfaatan infrastruktur ini seringkali dinomorduakan. Muncul masalah “cost of capital” di belakang hari yang menyertainya.
Tidak mudah mengelola dua DNA Industri yang mengalir dalam darah disatu tubuh. Seringkali jika yang jadi pusat perhatian adalah sisi pendapatan atau revenue, banyak aspek beban biaya yang merambat naik tanpa terasa (creeping cost).
Akibatnya mata tidak boleh pindah dari bola biaya yang bergerak kesana kesini akibat peningkatan cost of capital, dan cost of doing bisnis seperti kenaikan harga bahan bakar, kenaikan pungutan, pajak penumpang atau airport tax, sewa konsesi ruangan penumpang ataupun kargo di bandara, biaya sewa tempat parkir dan landas pacu serta biaya tata kelola lalulintas udara yang dibebankan sebagai biaya operasi.
Bisnis jasa Maskapai Penerbangan yang padat modal, padat teknologi dan padat regulasi memang sangat berbeda dengan bisnis tukang cukur, layanan jasa rumah makan dan perhotelan atau juga solution provider seperti telecomunivation dan digital platform lainnya.
Tidak mudah tetapi menyenangkan bagi yang sudah hidup dalam profesi bidang keahlian teknologi dirgantara lebih dari 20 tahun. Saya share pengalaman pribadi ini, agar teman teman facebook yang sudah menasehati saya berhenti menulis bisa memahami “addiction to read and write” yang muncul karena sosial mediabernama facebook ini. Beruntung saya punya isteri Arita yang selalu ingatkan saya untuk berhenti, jika lupa sekitar.
Mohon Maaf jika ada yang keliru disini. Salam