Sunindyo
Jul 08, 2016
Tentang Kepemimpinan
Seth Godin, seorang pakar marketing, dalam bukunya tentang kepemimpinan yang berjudul Tribes, menyebutkan bahwa kepemimpinan tidak hanya berarti memimpin dari depan. Bisa juga berarti mendukung dari belakang. Yang jelas memimpin itu tidak diam, tidak berhenti.
Hal ini selaras dengan apa yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah membangun harapan, dan di belakang memberikan dorongan.
Peran seorang pemimpin menjadi penting dewasa ini. Tidak hanya menjadi orang yang berada di depan untuk menggerakkan perubahan, ia bisa berada di berbagai lini sektor untuk memungkinkan perubahan itu terjadi. Pemimpin bukanlah orang yang mengerjakan segala sesuatu seorang diri, ia “hanya” memberi arah ke mana yang akan dituju.
Banyak orang yang memberikan definisi seorang leader atau pemimpin, sebagai seorang yang knows the way, shows the way, dan goes the way. Seorang yang tahu jalan, menunjukkan jalan, dan menjalaninya. Ini baru sebagian benar. Karena pada kenyataannya, seorang pemimpin juga harus menjalani segala macam penderitaan dan tekanan serta tanggung jawab yang lebih besar daripada yang dipimpinnya.
Orang membayangkan bahwa pemimpin adalah seorang sosok luar biasa yang sempurna dan tidak pernah salah dalam mengambil keputusan. Dan jika ia salah, maka kita layak mencercanya. Ini tidak sepenuhnya benar. Kita hidup di era partisipatif, di mana seluruh di antara kita adalah pemimpin, untuk lingkup yang berbeda-beda. Pemimpin adalah manusia biasa yang bisa belajar dan berproses. Ia bisa salah, tapi ia bisa belajar dan memperbaiki kesalahannya. Sudah bukan jamannya kita meletakkan segala kesalahan hanya pada pemimpin dan cuci tangan atas segala permasalahan yang ada manakala kita dibutuhkan. Karena pada hakikatnya kita adalah pemimpin dan menjadi bagian dari kepemimpinan itu sendiri.
Lalu apakah kepemimpinan itu tidak menyenangkan? Apakah ia harus rela menderita? Mengapa banyak orang yang ingin menjadi pemimpin? Mengapa pula banyak yang gagal?
Semua itu adalah soal niat dan motivasi. Kita tidak bisa menilai pemimpin sebagai sesuatu yang berada di luar kita atau sangat berbeda dengan kita. Karena kita adalah pemimpin, dan pemimpin adalah kita. Kita bisa menilai diri kita sendiri, apakah kita sudah layak menjadi pemimpin yang baik? Dengan demikian kita bisa secara fair menilai kepemimpinan orang lain tanpa judgment/penilaian yang berlebihan.
Kita bisa melihat sosok seorang pemimpin secara wajar, sebagai manusia biasa,dengan segala kelebihan dan kekurangannya, tanpa kultus individu yang berlebihan atau pula cercaan yang berlebihan kala ia salah.
Yang menjadi perbedaan, bahwa seorang pemimpin mempunyai inisiatif dan perhatian yang besar pada yang dipimpinnya. Ia selalu ada dan tidak tinggal diam. Semua orang bisa menjadi pemimpin dalam lingkup yang ia suka dan kuasai. Dan ia bisa membawa dan menggerakkan perubahan secara gradual. Belum tentu suatu yang sangat fenomenal. Namun yang penting adalah sesuatu yang signifikan dan berarti bagi yang dipimpinnya.
Menjadi pemimpin berarti siap pula dipimpin. Dipimpin oleh orang lain, dipimpin oleh visinya, bukan oleh hawa nafsunya. Untuk itu pemimpin perlu memperhatikan kepada siapa dia harus bertanggung jawab. Kepada Tuhannya, kepada orang yang dipimpinnya, kepada masyarakat sekitarnya, kepada bangsa dan negaranya, kepada alam semesta.
Memang tidak mudah untuk menjadi pemimpin yang baik. Tapi tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Berdiam diri bukanlah pilihan. Apalagi cuma mencaci dan merutuki nasib tidak akan membawa perubahan apa-apa. Bergeraklah. Ambillah inisiatif dan mainkan peranan kita, di depan, tengah ataupun belakang. Menginspirasi dan menggerakkan. Dengan kata-kata atau perbuatan, semua bernilai. Beranilah bertindak karena benar, jangan ragu-ragu atau putus asa.