Tiga Maskapai TimTeng : Kompetitor Airline Domestik di Rute

Jusman Syafii Djamal
February 23, 2016

Kemarin di Singapore Airshow banyak bertemu dengan kolega lama. Sudah sejak tahun 2003 saya tak pernah ikutan nonton Airshow, baik di Paris, Farnborough, Berlin, Dubai, Zuhai ataupun SIngapore Airshow.

Kali ini hadir karena diajak oleh Dirut Garuda pak Arif Wibowo, untuk menyaksikn peristiwa bersejarah. Garuda untuk kedua kalinya dinobatkan menjadi Maskapai Bintang Lima. Menurut CEO Skytrak tidak seperti Hotel. Tidak Ada rangking Maskapai bin tang enam atau tujuh. Five Star Airline is the highest rank.

Tak banyak maskapai didunia yang mendapatkan predikat tertinggi itu. Hanya ada tujuh maskapai penerbangan. Jadi diam diam ada rasa bangga kepada segenap karyawan, pilot dan para awak kabin Garuda. Karena berkat kerja keras dan profesionalisme mereka Maskapai Flag Carrier Indonesia ini telah masuk jajaran maskapai World Class.

Seperti kata ibu Rini Sumarno, Meneg BUMN dalam kesempatak tersebut, kita semua sebagai Bangsa Indonesia merasa ikut bangga. Meski ada tantangan yang lebih berat dimasa depan. Yaitu mempertahankan predikat ini untuk ketiga kalinya.

Kebetulan di Airshow kali ini kami sempat berdiskusi dengan CEO Airbus dan juga Boeing, membicarakan masa depan armada pesawat bagi Garuda.

Maklum kini persaingan jauh lebih ketat. Maskapai Penerbangan Philipine Airlines kemarin membukukan pesanan pesawat Airbus senilai 1,8 Billion Dollar. Termasuk memesan jenis Airbus A350, begitu juga maskapai penerbangan Vietnam Airlines juga telah mengoperasikan pesawat canggih medium range jenis Airbus A350. Pesawat tercanggih dikelasnya.

Maskapai lain seperti ANA, JAL juga sedang memordenisasikan armadanya denga pesawat jenis Boeing 787 dan juga Airbus A350.

Beruntung kini Garuda sudah memiliki armada pesawat 777-ER dan Airbus A330-300 dengan super diamond seat arrangements.

Meski begitu masa depan kompetisi masakapi penerbangan tidak lagi mudah dihadapi.

Apalagi jika kita membiarkan rute internasional dari bandar udara di Indonesia dikuasai maskapai Asing.

Asas kebijakan free trade dan liberalisasi serta deregulasi terus menerus dipompa kedalam benak fikiran kita. Semua merasa kuat dan digjaya. Under-estimate pada “animal spirit” maskapai Timur Tengah yg ingin memangsa seluruh slot dan ijin rute.

Kita merasa perlu membawa turis masuk ke Indonesia dengan terus membuka pasar domestik seluas luasnya.

Non diskriminasi pemberian ijin rute yang dilaksanakan sebagai kebijakan, telah dimanfaatkan oleh maskapai Timur Tengah untuk meminta ijin rute sebanyak banyaknya.

Andaikata kita terus saja memberikan ijin rute dan slot kepada Maskapai Penerbangan Asing seperti Emirat, Qatar dan Etihad tanpa batas. Hukum Darwin akan berlaku, yang kuat dukungan finansial akan memakan maskapai domestik yang diminta berjalan sendirian.

Ketiga maskapai penerbangan Timur Tengah itu kini amat ditakuti. Sebab berkompetisi dengan maskapai ini seperti berkompetisi dengan perusahaan dan Negara sekaligus. Dukungan ketiga kerajaan pada Etihaad, Emirat dan Qatar Airlines telah menyebabkan mereka menjadi maskapai dgn modal tanpa batas.

Profit and loss tidak jadi ukuran. Semua rute internasional jadi makanan empuk bagi ketiga maskapai. ini bukan main main. Ketiganya dapat dukungan harga avtur yang jauh lebih murah, dibanding harga avtur Soekarno Hatta.

Ketiganya dapat dukungan finansial untuk membeli pesawat terbang tercanggih seolah tanpa batas. dukungan lainnya juga mengalir. Kompetitor yg amat tangguh.

Singapore Airline, Delta Airline dan American Airline sebagai raksasa dengan armada pesawat besa jumlahnya saja juga merasa ketar ketir dengan kehadiran ketiga Maskapai Timur Tengah ini.

Sebab mereka tidak takut mengalami kerugian dalam tiap rute yang dijalaninya. Peran dominan ketiga maskapai ini makin terasa.

Di Indonesia jika saja maskapai Timur Tengah ini tidak dibatasi frekwensinya untuk menjalani rute Dubai Jakarta, Dubai Surabaya, Dubai Medan atau Doha Jakarta, Doha Medan, Doha Surabaya, Doha Makasar dan rute internasional lainnya bukan tidak mungkin tidak ada satu maskapai penerbangan domestikpun akan survive melawan ketangguhan ketiga maskapai ini.

Sebab bagi mereka finansial dan biaya operasi is not a limit. Uangnya tanpa seri. Maskapai penerbangan Domestik seperti Garuda, Sriwijaya, Lion Air ingin merebut pangsa pasar International dari Jakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Makasar ke pelbagai bandara internasional baik di Asia, Timur Tengah maupun Eropa.

Untuk itu slot dan frekwensi serta rute internasional bagi maskapai penerbangan Asing perlu dibatasi jumlahnya.

Seperti motto Liverpool kita berharap We never walk alone. Maskapai di Indonesia memerlukan payung pelindung.

Otoritas Penerbangan Sipil Indonesia perlu ikuti jejak FAA dan EASA, Badan Penerbangan Sipil Amerika dan Uni Eropa yang membatasi ruang maneuver dan gerak maju maskapai asing.

Mereka menjalankan Dual Role. Peranan Ganda. Disatu sisi Menjaga Standard Aviation Safety and Security. Non discriminatory.

Dilain pihak berfungsi Juga membuat preferensi, mengedepankan maskapai berbendera Indonesia dengan memproteksi pasar agar Industri Penerbangan Nasionalnya tumbuh sebagai pencipta lapangan kerja dan kebanggaan Nasional.

Sebab kini bisnis mirip seperti perang perebutan teritory. Today Business is a war between nation.

Dukungan Pemerintah untuk ikut mengayomi dan menciptakan “level playing field” atau ekosistem yang kondusif agar tercipta kompetisi yang sehat perlu terus dikembangkan.

We need Managed Market. Not Liberalisasi atau Deregulasi Market, Kita ingin pasar terkelola yang memihak pada keberlangdungan hidup perusahaan berbendera Indonesia.

Rute dan Slot yang terlalu bebas. Free Trade Policy yang terlalu luas jangkauannya, akan menyebabkan harimau bertemu kijang dalam satu kandang.